Share

Bab 3. Terperangkap di tengah sepi

Michaela merasa seluruh tubuhnya bergetar, terombang-ambing oleh goncangan jip tua yang melaju di jalanan berbatu. Tangan dan kakinya terikat erat, sementara sepotong kain yang kasar dan kotor membungkam mulutnya, menghalangi semua upayanya untuk berteriak minta tolong. Hanya mata Michaela yang bisa bergerak bebas, memandang dengan panik ke arah hutan yang semakin menebal di luar jendela.

Jip tua itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tersembunyi di balik pepohonan tinggi. Cahaya bulan yang redup memperlihatkan sekilas bayangan bangunan tua yang tampak seolah telah berdiri di sana selama bertahun-tahun, jauh dari hiruk pikuk kota. Rumah itu sunyi, terpencil di tengah pedesaan yang sepi, tanpa ada tanda-tanda kehidupan di sekitarnya.

Ace turun dari jip dengan gerakan yang tenang namun berbahaya. Wajahnya tetap menampilkan senyum sinis yang sama seperti yang ditunjukkannya sejak pertama kali menangkap Michaela. Ia membuka pintu belakang jip dan tanpa ragu membungkuk untuk mengangkat tubuh Michaela yang lemah. Dia membopongnya dengan mudah, seakan-akan berat tubuh Michaela tidak lebih dari sehelai bulu.

Michaela mencoba meronta, tubuhnya berusaha melawan ikatan yang mengekangnya, tetapi Ace terlalu kuat. Dia hanya bisa mengeluarkan erangan tertahan di balik kain yang menyumbat mulutnya. Panik dan ketakutan semakin mencengkeramnya saat Ace membawa dirinya menuju rumah kecil itu.

Sesampainya di pintu depan, Ace mendorong pintu kayu tua yang berderit keras saat terbuka, menambah kesan angker dari tempat itu. Tanpa banyak bicara, dia membawa Michaela masuk dan menutup pintu di belakang mereka dengan kakinya, suara pintu yang menutup terdengar berat dan pasti, seolah-olah menandakan bahwa tidak ada jalan keluar lagi bagi Michaela.

Di dalam rumah, ruangan utama itu terlihat sederhana namun suram. Dinding kayu yang lapuk dan langit-langit rendah menciptakan suasana yang menyesakkan. Hanya ada beberapa perabotan usang di sana—sebuah sofa tua yang sudah terkelupas, meja kecil yang penuh dengan bekas goresan, dan sebuah lampu gantung yang berayun pelan, memancarkan cahaya redup yang menciptakan bayangan-bayangan aneh di sekeliling ruangan.

Ace berjalan menuju sofa dan dengan kasar menurunkan tubuh Michaela di atasnya. Michaela terjatuh dengan keras di atas sofa itu, tubuhnya terasa sakit karena benturan tersebut. Dia mencoba mengumpulkan kekuatan untuk kembali melawan, tetapi tatapan dingin Ace yang menatapnya membuat semua keberaniannya luruh seketika.

Ace melangkah mundur sejenak, memperhatikan Michaela yang masih terikat dengan pandangan penuh penguasaan. Ia tidak berbicara, hanya menyeringai sambil mengamati setiap gerakan Michaela yang masih berusaha untuk melepaskan diri. Tatapan matanya penuh dengan kesenangan yang gelap, seperti seorang predator yang menikmati ketakutan mangsanya.

"Kau tidak akan bisa lari dari sini, manis," ucap Ace akhirnya, suaranya rendah dan penuh ancaman. "Di sini, kau hanya milikku."

Michaela menatap Ace dengan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Ia mencoba berteriak lagi, berharap suara yang dikeluarkan cukup keras untuk menarik perhatian siapa pun yang mungkin berada di dekat sana, meskipun dia tahu itu sia-sia. Ace hanya tertawa kecil mendengar usaha sia-sia Michaela.

"Kau benar-benar tidak mengerti, ya? Tidak ada seorang pun yang bisa mendengarmu di sini," Ace mendekatkan wajahnya ke arah Michaela, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. "Tidak ada orang lain di sini, hanya kita berdua. Teman-temanku kembali ke markas untuk minum-minum, jadi malam ini kita punya tempat ini hanya untuk kita."

Michaela mengerjap, tubuhnya semakin bergetar ketakutan. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatinya berdegup kencang, hampir meledak karena adrenalin yang bergejolak dalam tubuhnya.

Ace menarik kursi kayu usang dari dekat meja dan duduk di hadapan Michaela, seolah menikmati ketegangan yang dirasakan gadis itu. Dia menatap Michaela tanpa berkedip, matanya gelap dan sulit ditebak, sementara senyum dingin tetap tertempel di wajahnya.

Michaela merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan pria ini. Dia tahu bahwa satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah tetap kuat dan tidak menyerah pada rasa takut yang terus menerus menghantamnya.

Ace sepertinya menyadari air mata yang tertahan itu. "Jangan menangis, manis," katanya dengan nada pura-pura lembut. "Aku tidak akan menyakitimu... setidaknya tidak jika kau menurut padaku."

Ucapan itu justru membuat ketakutan Michaela semakin menjadi-jadi. Namun, dia tahu tidak ada gunanya melawan sekarang. Dia hanya bisa berharap dan berdoa agar seseorang—siapa pun—akan menemukannya sebelum terlambat.

Ace mendekatkan tubuhnya sedikit lagi, menatap Michaela dengan intensitas yang membakar. "Kau gadis yang menarik, kau tahu itu? Aku bisa melihatnya sejak pertama kali aku melihatmu. Dan sekarang, kau di sini, bersamaku. Ini akan menjadi malam yang panjang, manis."

Michaela hanya bisa menatap Ace dengan tatapan tak berdaya. Mulutnya masih tersumpal, tidak ada kata yang bisa diucapkannya. Tapi dalam hatinya, dia bersumpah bahwa dia akan mencari jalan keluar dari tempat ini, apapun caranya. Dia tidak akan menyerah, bahkan jika harapannya mulai memudar.

Malam yang panjang itu baru saja dimulai, dan Michaela tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, satu hal yang pasti—ini bukan akhir dari segalanya. Di dalam dirinya, masih ada secercah harapan bahwa dia akan bisa bertahan dan melarikan diri dari mimpi buruk ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status