Michaela merasa seluruh tubuhnya bergetar, terombang-ambing oleh goncangan jip tua yang melaju di jalanan berbatu. Tangan dan kakinya terikat erat, sementara sepotong kain yang kasar dan kotor membungkam mulutnya, menghalangi semua upayanya untuk berteriak minta tolong. Hanya mata Michaela yang bisa bergerak bebas, memandang dengan panik ke arah hutan yang semakin menebal di luar jendela.
Jip tua itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tersembunyi di balik pepohonan tinggi. Cahaya bulan yang redup memperlihatkan sekilas bayangan bangunan tua yang tampak seolah telah berdiri di sana selama bertahun-tahun, jauh dari hiruk pikuk kota. Rumah itu sunyi, terpencil di tengah pedesaan yang sepi, tanpa ada tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Ace turun dari jip dengan gerakan yang tenang namun berbahaya. Wajahnya tetap menampilkan senyum sinis yang sama seperti yang ditunjukkannya sejak pertama kali menangkap Michaela. Ia membuka pintu belakang jip dan tanpa ragu membungkuk untuk mengangkat tubuh Michaela yang lemah. Dia membopongnya dengan mudah, seakan-akan berat tubuh Michaela tidak lebih dari sehelai bulu. Michaela mencoba meronta, tubuhnya berusaha melawan ikatan yang mengekangnya, tetapi Ace terlalu kuat. Dia hanya bisa mengeluarkan erangan tertahan di balik kain yang menyumbat mulutnya. Panik dan ketakutan semakin mencengkeramnya saat Ace membawa dirinya menuju rumah kecil itu. Sesampainya di pintu depan, Ace mendorong pintu kayu tua yang berderit keras saat terbuka, menambah kesan angker dari tempat itu. Tanpa banyak bicara, dia membawa Michaela masuk dan menutup pintu di belakang mereka dengan kakinya, suara pintu yang menutup terdengar berat dan pasti, seolah-olah menandakan bahwa tidak ada jalan keluar lagi bagi Michaela. Di dalam rumah, ruangan utama itu terlihat sederhana namun suram. Dinding kayu yang lapuk dan langit-langit rendah menciptakan suasana yang menyesakkan. Hanya ada beberapa perabotan usang di sana—sebuah sofa tua yang sudah terkelupas, meja kecil yang penuh dengan bekas goresan, dan sebuah lampu gantung yang berayun pelan, memancarkan cahaya redup yang menciptakan bayangan-bayangan aneh di sekeliling ruangan. Ace berjalan menuju sofa dan dengan kasar menurunkan tubuh Michaela di atasnya. Michaela terjatuh dengan keras di atas sofa itu, tubuhnya terasa sakit karena benturan tersebut. Dia mencoba mengumpulkan kekuatan untuk kembali melawan, tetapi tatapan dingin Ace yang menatapnya membuat semua keberaniannya luruh seketika. Ace melangkah mundur sejenak, memperhatikan Michaela yang masih terikat dengan pandangan penuh penguasaan. Ia tidak berbicara, hanya menyeringai sambil mengamati setiap gerakan Michaela yang masih berusaha untuk melepaskan diri. Tatapan matanya penuh dengan kesenangan yang gelap, seperti seorang predator yang menikmati ketakutan mangsanya. "Kau tidak akan bisa lari dari sini, manis," ucap Ace akhirnya, suaranya rendah dan penuh ancaman. "Di sini, kau hanya milikku." Michaela menatap Ace dengan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Ia mencoba berteriak lagi, berharap suara yang dikeluarkan cukup keras untuk menarik perhatian siapa pun yang mungkin berada di dekat sana, meskipun dia tahu itu sia-sia. Ace hanya tertawa kecil mendengar usaha sia-sia Michaela. "Kau benar-benar tidak mengerti, ya? Tidak ada seorang pun yang bisa mendengarmu di sini," Ace mendekatkan wajahnya ke arah Michaela, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. "Tidak ada orang lain di sini, hanya kita berdua. Teman-temanku kembali ke markas untuk minum-minum, jadi malam ini kita punya tempat ini hanya untuk kita." Michaela mengerjap, tubuhnya semakin bergetar ketakutan. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatinya berdegup kencang, hampir meledak karena adrenalin yang bergejolak dalam tubuhnya. Ace menarik kursi kayu usang dari dekat meja dan duduk di hadapan Michaela, seolah menikmati ketegangan yang dirasakan gadis itu. Dia menatap Michaela tanpa berkedip, matanya gelap dan sulit ditebak, sementara senyum dingin tetap tertempel di wajahnya. Michaela merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan pria ini. Dia tahu bahwa satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah tetap kuat dan tidak menyerah pada rasa takut yang terus menerus menghantamnya. Ace sepertinya menyadari air mata yang tertahan itu. "Jangan menangis, manis," katanya dengan nada pura-pura lembut. "Aku tidak akan menyakitimu... setidaknya tidak jika kau menurut padaku." Ucapan itu justru membuat ketakutan Michaela semakin menjadi-jadi. Namun, dia tahu tidak ada gunanya melawan sekarang. Dia hanya bisa berharap dan berdoa agar seseorang—siapa pun—akan menemukannya sebelum terlambat. Ace mendekatkan tubuhnya sedikit lagi, menatap Michaela dengan intensitas yang membakar. "Kau gadis yang menarik, kau tahu itu? Aku bisa melihatnya sejak pertama kali aku melihatmu. Dan sekarang, kau di sini, bersamaku. Ini akan menjadi malam yang panjang, manis." Michaela hanya bisa menatap Ace dengan tatapan tak berdaya. Mulutnya masih tersumpal, tidak ada kata yang bisa diucapkannya. Tapi dalam hatinya, dia bersumpah bahwa dia akan mencari jalan keluar dari tempat ini, apapun caranya. Dia tidak akan menyerah, bahkan jika harapannya mulai memudar. Malam yang panjang itu baru saja dimulai, dan Michaela tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, satu hal yang pasti—ini bukan akhir dari segalanya. Di dalam dirinya, masih ada secercah harapan bahwa dia akan bisa bertahan dan melarikan diri dari mimpi buruk ini.Michaela duduk diam di sofa, masih merasakan bekas ikatan yang baru saja dilepaskan dari pergelangan tangan dan kakinya. Rasa sakit dan nyeri akibat ikatan yang terlalu erat masih terasa, tetapi lebih dari itu, ketakutan yang membekapnya sejak pertama kali bertemu dengan Ace perlahan mulai berubah menjadi kewaspadaan. Dia tidak bisa mengabaikan situasi genting yang dihadapinya, tetapi setidaknya, dia bisa bernapas lebih lega tanpa harus terus-menerus berjuang melawan ikatan yang mengekangnya. Ace berdiri di depan Michaela, menatapnya dengan tatapan tajam, seperti seekor serigala yang sedang mempertimbangkan langkah berikutnya. Dia tidak tersenyum kali ini, wajahnya tampak serius, bahkan sedikit gelap. Michaela menelan ludah, mencoba menenangkan diri agar tidak terlihat terlalu gugup di depan pria yang bisa dengan mudah menghancurkannya. "Kau berjanji tidak akan mencoba kabur?" tanya Ace, suaranya dingin dan penuh ancaman tersembunyi. Michaela mengangguk cepat, menatap Ace dengan
Pagi itu terasa seperti pagi-pagi lainnya di rumah keluarga Blackwood. Burung-burung berkicau lembut di luar jendela besar yang menghadap ke taman luas. Di dalam ruang makan yang elegan, Paula Rose Blackwood, seorang wanita anggun dengan rambut pirang yang mulai beruban, sedang duduk menikmati sarapan bersama suaminya, John Blackwood. Suasana tenang itu tiba-tiba hancur ketika ponselnya berdering keras di atas meja. Paula meraih ponselnya dan melihat nomor yang tidak dikenal. Dia mengernyit sejenak, merasa sedikit khawatir, tetapi tetap mengangkatnya. "Halo, Paula di sini," suaranya terdengar tenang, meskipun hatinya mulai berdebar. Di seberang sana, terdengar suara yang mengabarkan sesuatu yang tak pernah diinginkannya. "Mrs. Blackwood, ini polisi. Kami menghubungi Anda terkait dengan putri Anda, Michaela. Kami sangat menyesal, tapi... dia telah diculik." Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah hari yang cerah. Paula merasakan tubuhnya seketika lemas, tangan yang me
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap melalui tirai tipis di kamar tempat Michaela terbaring. Matanya terbuka perlahan, membiasakan diri dengan kegelapan yang memudar oleh sinar mentari yang malu-malu. Seluruh tubuhnya terasa kaku, dan pikirannya masih berkelana di antara kenyataan yang membingungkan dan mimpi buruk yang baru saja ia alami. Semalam, dia nyaris tidak bisa tidur—pikiran tentang kejadian yang menimpanya, serta kebingungan tentang masa depannya, terus menghantui.Telinganya menangkap suara dentuman halus dari luar kamarnya. Sesuatu sedang terjadi di luar sana, suara benda yang bergesekan, mungkin dari dapur. Michaela duduk di tepi tempat tidur, hatinya berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar dan memeriksa.Dia berjalan dengan langkah ringan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ketika ia sampai di ruang tamu, matanya langsung tertuju pada dapur kecil di ujung ruangan. Ace sedang berdiri di sa
Pagi itu, suasana di kantor Ryan Alexander Blackwell terasa lebih sunyi daripada biasanya. Meskipun rutinitas bisnis tetap berjalan, bayang-bayang kegelisahan karena hilangnya Michaela terus membayangi setiap orang, terutama Cole, asisten setia Ryan. Hari ini, Cole berdiri di depan pintu ruang kerja tuannya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia tahu ada kewajiban pekerjaan yang harus disampaikan, di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Ryan sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk.Cole mengetuk pintu dengan pelan, hampir ragu-ragu. Suara berat Ryan terdengar dari dalam, mempersilakannya masuk. Cole membuka pintu dengan hati-hati dan melangkah masuk ke ruangan yang dipenuhi dengan nuansa maskulin, dengan dinding berlapis kayu gelap dan meja besar di tengahnya. Ryan duduk di balik meja, wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya, dengan tatapan yang terfokus pada layar komputer di depannya."Selamat pagi, Tuan," sapanya dengan nada hormat.Ryan mengangkat waj
Michaela masih duduk di ruang tamu, menikmati sisa sarapan yang disajikan Ace. Pikirannya terus berputar, memikirkan cara terbaik untuk melarikan diri dari tempat ini. Namun, semua pikirannya terhenti ketika Ace tiba-tiba berdiri dari kursinya, mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Suara ponsel berdering, memecah keheningan di antara mereka.Ace melirik layar ponselnya, ekspresi wajahnya berubah serius. Dia melangkah menjauh dari meja makan, memisahkan diri dari Michaela, dan mengangkat panggilan tersebut."Ada apa?," suaranya terdengar tenang, namun dengan nada yang lebih rendah dari biasanya. Michaela menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap apa yang sedang dibicarakan."Bos, ada masalah. Kita butuh kau di sini sekarang juga," suara di seberang terdengar mendesak, menandakan ada sesuatu yang sangat penting sedang terjadi.Ace mengerutkan kening, suaranya menegang. "Apa yang terjadi? Kenapa mendesak sekali?""Kami menemukan sesuatu yang aneh di markas. Aku rasa kau perlu meliha
Malam itu, Michaela meringkuk di atas kasur yang usang. Matanya terbuka lebar, menatap kosong pada langit-langit yang tampak kusam.Dalam kegelapan kamar, hanya ada suara napasnya yang teratur dan sesekali gemerisik angin dari luar. Ia berusaha menahan tangis, tapi air matanya hampir menetes. Ia tak ingin Ace atau siapa pun mendengarnya menangis. Dia tak ingin terlihat lemah, terutama di depan pria yang telah menculiknya ini.Hatinya terasa sangat berat. Segala ketakutan dan kesedihan yang ditahan sejak ia dibawa ke tempat ini, kini menyeruak dalam keheningan malam. Ia merindukan rumahnya—suara lembut ibunya yang memanggil namanya, aroma masakan hangat yang selalu menyambutnya setiap pulang, dan sentuhan lembut ibunya di rambutnya setiap malam sebelum tidur. Ia bahkan merindukan suara langkah kaki ayahnya di lorong, dan kehadiran Ryan, tunangannya, yang selalu memastikan dia aman.Michaela menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang ingin keluar. Ia memejamkan mata, berharap s
Di sebuah ruangan besar dengan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke kota, Ryan Alexander Blackwell duduk di belakang meja kerjanya. Tangannya yang kuat mencengkeram rambutnya, menariknya dengan frustasi.Sudah dua hari sejak Michaela menghilang, dan Ryan merasa seolah dunia telah runtuh di sekitarnya. Pikiran tentang Michaela terus menghantuinya, bayangan wajah tunangannya yang cantik dan senyum yang selalu membuat hatinya tenang, kini hanya menyisakan rasa sakit dan kerinduan yang dalam.Ryan mengerang pelan, suaranya dipenuhi dengan kesakitan yang ia coba sembunyikan dari semua orang. "Michaela... di mana kau?" bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar di ruangan yang sepi itu. Ia membayangkan Michaela di tempat yang tidak diketahui, mungkin ketakutan, mungkin terluka. Gambar-gambar mengerikan terus menerus berputar di benaknya, membuatnya semakin tenggelam dalam rasa putus asa."Aku tidak bisa terus seperti ini," katanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, nyaris seperti berbic
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai jendela, menyebarkan kehangatan di seluruh kamar.Michaela perlahan membuka matanya, terbangun oleh cahaya yang menerpa wajahnya. Tubuhnya masih terasa lemas, dan dia belum sepenuhnya pulih dari demam yang menyerangnya malam sebelumnya.Meskipun tubuhnya sudah tidak sepanas semalam, kelemahan masih menguasai dirinya. Ia berbaring di sana sejenak, memandang ke langit-langit kamar yang usang dengan perasaan hampa.Perasaan rindu pada keluarganya kembali menyeruak di hatinya, membawa serta kenangan indah tentang rumahnya yang hangat dan penuh cinta. Michaela menahan napas, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh lagi. “Aku sangat merindukan kalian…” gumamnya pelan, suaranya bergetar dengan emosi yang ia coba tahan. Bayangan wajah ibunya, senyum lembut ayahnya, dan tawa hangat mereka membuat dadanya terasa semakin sesak. Dengan susah payah, Michaela mencoba bangkit dari tempat tidur. Namun, tubuhnya belum sepenuhnya k