Share

Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!
Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!
Author: Dentik

1

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-01-22 21:33:23

“Dasar wanita murahan!”

Plak... tangan perempuan itu menampar pipiku dengan keras. Rasanya sangat panas, kulihat beberapa orang yang ada di lobi tekejut sekaligus senang melihat tontonan gratis.

“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.

Dadaku bergemuruh hebat, rasanya ingin menampar balik perempuan itu. Namun, tak berselang lama security sudah menyeretnya keluar.

Kini tinggal diriku yang terpaku merasakan nyerinya pipi bekas tangan istri atasanku.

“Maya, bibirmu...” ucap seseorang yang mendekat. Dia adalah Rosa, teman satu devisi. Sebelumnya aku menganggap dia seperti malaikat di neraka jahanam ini. Namun, sekarang sudah tidak. Aku tidak mempercayai perempuan itu lagi.

Tak menggubrisnya, aku memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi. Menenangkan diri yang dibuat shock kedatangan tamu tak diundang. Beberapa menit kemudian kudengar beberapa orang masuk dan berbincang-bincang.

“Hei! Kalian tahu? Maya tadi dilabrak istri Pak Kenzo, bahkan sampai kena tampar!” seru seseorang, tapi aku tau jika itu adalah Tina. Orang yang suka bergosip bahkan menyudutkanku tanpa ampun.

“Hahaha... Benarkah? Seandainya aku melihatnya pasti akan terbahak-bahak.”

“Sayang sekali, tadi sangat seru tau. Bahkan seperti sinetron! Istri sah Vs Pelakor. Itu benar-benar kejadian yang sangat menarik, apalagi bagian istri Pak Kenzo menampar Maya. Wah... benar-benar menegangkan,” jelas Tina.

“Pantas saja jika dia mendapatkan tamparan dari istri manager. Maya saja suka menggoda Pak Kenzo, ditambah pakaiannya yang ketat membuatnya begitu menjijikkan,” sahut wanita lain, yang kutahu itu adalah suara Putri.

“Iya benar! Dia juga suka bersikap genit untuk memikat para lelaki di sini.”

“Dia benar-benar layak disebut wanita murahan. Pantas saja menjadi janda, kelakuannya persis seperti wanita panggilan!”

“Hijab yang dia pakai ternyata untuk menutupi kebusukannya. Ih najis banget!”

Aku hanya bisa menundukkan menerima semua makian mereka. Telingaku terasa sangat panas mendengar gunjingan rekan kerja yang tiada habisnya. Tanpa sadar buliran air mata menetes di rok spanku. Rasanya sangat menyiksa, tetapi keadaan yang berada di ambang kehancuran memaksaku untuk bertahan di tempat kerja ini.

Setelah gerombolan orang tersebut keluar dari kamar mandi, segera kuseka wajah yang berantakan ini di wastafel. Terlihat darah di sudut bibirku.

“Ah! Sshhh... perih banget.”

Sudah berapa kali aku mengeluarkan keluhan mendapat perlakuan tak adil dari orang-orang sekitarku. Direndahkan karena menjadi janda, dianggap wanita murahan, pelakor, dijadikan kambing hitam. Semua itu aku terima hanya untuk mendapatkan uang. Demi Bimo anak semata wayangku, diri ini akan berusaha sebaik mungkin menjalani hidup yang berat. Bahkan menguras lautan pun akan kulakukan jika itu untuk putraku. Terlihat mataku yang sembap karena lelah menangis, bekas tamparan perlahan sudah menghilang. Namun, luka di sudut bibir ini menjadi saksi betapa kejinya seseorang menfitnahku.

Kling! Suara notifikasi ponsel membuyarkan lamunanku. Nama Kenzo tertera di layar itu.

[Aku akan balik ke kantor 30 menit lagi, kamu jangan pulang dulu. Langsung ke ruanganku sekarang!]

Aku terkekeh membaca pesan itu. Dia adalah lelaki jahanam yang menjadikanku sebagai wanita rendahan di hadapan orang-orang kantor. Sayangnya, Kenzo juga penyelamatku di kondisi yang menyedihkan ini. Jika bukan karenanya, aku tak akan bertahan hidup hingga sekarang.

“Aku akan meminta ganti rugi yang besar untuk kejadian ini Kenzo. Tunggu saja!”

Tangan ini mencengkram sudut washtafel dengan erat, ingin sekali aku menonjok cermin lebar di depanku. Rasanya tidak adil aku mendapatkan perlakuan tak adil secara bertubi-tubi. Diceraikan karena melahirkan anak autis, dan dianggap pelakor demi menutupi kelakuan bejat wanita bak bidadari kantor. Diri ini terasa akan meledak menahan gejolak emosi yang kupendam sedari lama.

Perlahan tapi pasti panasnya lahar dalam otak kian mendingin seiring basuhan air di wajah.

“Hahhh... aku harus meminta bayaran lebih dari Kenzo. Harga diriku sudah diinjak-injak tanpa ampun. Aku tidak terima!”

Aku berjalan menuju ruangan manajer marketing, tempat laknat yang menjadikanku babu dari teman sepermainan masa kecil. Kulihat ruang kantor sudah kosong, semua pekerja sudah pulang. Kini tinggal aku seorang diri.

“Sudah berapa lama aku menangis di kamar mandi? Apa selama itu sampai kantor menjadi sepi seperti ini?”

Kaki jenjangku tak menghentikan langkahnya sedikitpun. Ketika akan membuka pintu, tiba-tiba Kenzo sudah berada di belakangku.

“Cepat masuk,” perintahnya. Dan aku menuruti perkataan lelaki itu tanpa banyak bicara.

Atasanku itu menjatuhkan amplop coklat di meja.

“Bayaranmu,” ucapnya dingin. Sangat tidak sopan! Namun apa daya, aku hanyalah karyawan kecil yang berada di bawahnya. Manusia dengan kekuatan sebesar semut ini hanya bisa pasrah.

“Sampai kapan kamu akan seperti ini? Aku sudah tahu Zo! Rosa yang jadi selingkuhanmu kan!” emosiku sudah tak tertahankan.

“Shut up! Diamlah! Aku sudah memberimu uang, apa masih kurang?” Mata Kenzo menyala seperti bara api. Urat di wajahnya pun tak ketinggalan menampilkan ekspresi bengis.

“Kurang! Harga diriku kamu jadikan keset, ini tidak cukup untuk menggantinya.”

Lelaki itu mendengkus dengan kesal dan langsung menarik laci yang ada di meja kerjanya.

“Ambil ini semua! Dasar wanita matre!” ketusnya sembari melemparkan dua amplop di depanku. Aku hanya bisa menghela napas dengan kasar. Tingkahnya tidak pernah berubah, seperti anak kecil.

“Berhentilah bermain-main dengan wanita lain. Jika kamu terus-terusan seperti ini, maka dalam sekejap uangmu akan habis,” nasihatku padanya. Meskipun aku jengkel karena mendapatkan kesialan dari ulah Kenzo. Bagaimanapun dia tetaplah sahabatku. Orang yang selalu membantuku ketika mempunyai masalah.

“Berhenti mengoceh mak lampir! Bukankah ini juga membuatmu senang? Kamu bisa mendapatkan uang yang banyak.”

“Asal kau tau, wanita ini sudah tidak ada harga dirinya di hadapan manusia-manusia di luar sana. Ini semua karena ulahmu Zo.”

“Ulahku? Tidak May, ini karena statusmu seorang janda. Ini sangat lumrah disandang wanita sepertimu. Jadi berhentilah menyalahkanku, ambil uang itu dan langsung keluar dari sini!” serunya.

Kudengus napasku dengan kasar, yang dikatakan lelaki itu memang tak sepenuhnya salah. Gelar janda memang memunculkan berbagai pandangan buruk di masyarakat, apalagi ini di Indonesia. Meskipun kantor dipenuhi dengan orang-orang yang berpendidikan, tapi padangan mereka mengenai janda masih buruk. Ya... tidak semua, tapi kebanyakan seperti itu. Aku hanya bisa menerimanya dengan lapang dada.

Melihat Kenzo yang memalingkan wajahnya dariku, kuputuskan untuk keluar dari ruangan ini. Saat akan menutup pintu, tiba-tiba...

“Aku baru saja memberikan nomormu ke kenalanku, baik-baiklah sama dia.”

“Shut up!” tak lupa kutunjukkan jari tengah padanya.

Setelah bertemu dengan Kenzo, aku langsung mengemasi barangku dan pulang. Tiga amplop dengan nominal yang cukup banyak sudah terkantongi dengan aman di tas jinjingku. Langkah kakiku terasa sangat ringan berjalan ke parkiran.

Brukk!!! Tiba-tiba badanku tersungkur di lantai parkiran.

“Aduh.. baru saja merasa bahagia kenapa aku kena apes lagi.”

Mataku melebar melihat pemandangan di depanku, seonggok manusia tengah terbaring di sana.

“Ya Tuhan! Apakah itu mayat!?”

Bersambung...

Baca juga novelku yang lain berjudul :

"Dendam Istri Taruhan" Cerita ini tentang:

Perjanjian Pra-nikah tidak menjamin rumah tangga baik-baik saja. Berawal dari noda lipstik di baju suaminya, akhirnya Dea mengetahui rahasia dari selingkuhan suaminya. Wanita itu tiba-tiba mengajak Dea bertemu. Icha mengungkap berbagai fakta mengejutkan yang dilakukan suami hingga kakak kandungnya sendiri.

 

Pertemuan Dea dan Icha mencuatkan banyak fakta busuk tentang Kevin. Kenyataan pahit yang Dea dengar dari mulut Icha, ia adalah istri taruhan dari permainan konyol Kevin dan kakak kandunganya sendiri. Ditambah diam-diam  suaminya membalikkan nama seluruh hartanya, padahal mereka sudah memilih untuk pisah harta. 

 

Semua fakta itu membuat Dea terkejut. Ia sudah menyiapkan gugatan cerai pada Kevin. Namun setelah bertemu dengan Icha, ia mengurungkan gugatannya. Kini Dea akan membalas dendam pengkhianatan dan rasa sakit yang ia dapatkan selama pernikahan.  

 

Berhasilkah Dea membalaskan dendam atas semua penderitaannya selama ini?  

 

Apakah karma akan berlaku pada semua orang yang telah menyakitinya?

 

Baca “DENDAM ISTRI TARUHAN” untuk mengetahui kelanjutan cerita Dea.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   2

    Tubuh manusia itu terlihat sangat pucat, dadaku berdesir hebat. Bulu kudukku meremang melihatnya. Aku ingin berteriak dengan keras, tapi tenggorokanku tercekat kuat. Dengan tangan bergetar, kucoba untuk berdiri.“Emh!” desah manusia itu.“Apakah kamu masih hidup?” tanyaku, mencoba memastikan keadaan orang itu. Dengan pelan kaki ini melangkah mendekatinya. Lelaki berbibir tipis itu enggan menyahut pertanyaanku. Keadaannya sangat mengenaskan.“Are you okay?” kali ini aku benar-benar khawatir melihatnya. Dia terlihat ingin menjawab pertanyaanku, tapi mulutnya sulit digerakkan. Kupindai keadaan sekitar, tak ada seorangpun di sini.“Okay. Permisi, aku akan membawamu ke rumah sakit. Kau terlihat sangat mengkhawatirkan, sebelum ajal menjemput tak ada salahnya jika aku berusaha membawamu ke tempat berobat. Setidaknya jika nanti benar-benar meninggal, aku tidak memiliki penyesalan telah menelantarkanmu di sini,” cerocosku padanya.Entah lelaki itu mendengar perkataanku atau tidak, setidaknya a

    Last Updated : 2025-01-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   3

    Lelaki yang membuangku demi kehormatan keluarganya kini berani menunjukkan batang hidungnya. Dua tahun lalu dimana aku yang menyandang sebagai istri direktur di salah satu perusahaan pangan terbesar negara ini, tapi semua runtuh ketika aku bercerai dengan suamiku. Dari awal memang aku tak direstui menikah dengan David, mantan suamiku. Namun, karena kegigihan lelaki itu membuat keluarganya tunduk dan menerimaku dengan terpaksa. Sangat disayangkan, saat pernikahan berjalan di tahun ketiga tiba-tiba aku dipermalukan dengan keji. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan hal itu karena kehadiran Bimo. Buah hati hasil hubungan cintaku dengan David mengidap autism, dan keluarganya menganggap itu sebagai aib. Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka mencaciku dengan kasar bahkan David tak berkutik dan memilih keluarganya.“Maya, detik ini juga aku menceraikanmu!” seru David menggelegar di ruangan pertemuan keluarga. Aku hanya terpaku mendengar perkataan itu.“Astaghfirullahaladzim! Ada apa Nak

    Last Updated : 2025-01-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   4

    Ketika sudah memeriksakan diri, aku pun kembali menghampiri Bu Yati.“Gimana Bu?”“Tadi dijemput mobil hitam.” Dia memperlihatkan hasil jepretannya padaku.‘Sudah kuduga, dia menunggu Kenzo.’ Mobil civic berwarna hitam itu adalah milik atasanku. Meskipun wajah lelaki itu tak terekspos dalam foto ini, tapi kode plat mobil itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa itu lelaki jahanam.“Kirim ke ponselku ya Bu. Aku ingin menjenguk seseorang dulu.”Kami berjalan beriringan menuju kamar inap Tristan. Dahiku berkerut saat seorang pria baru saja keluar dari sana. Namun, wajah orang itu tak terlihat jelas karena tertutup oleh masker dan topi. Cara jalannya nampak tergesa-gesa seperti mengejar sesuatu.“Tunggu di sini sebentar ya Bu,” pintaku. Wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kubuka daun pintu, terlihat Tristan yang menatap datar kehadiranku.“Hai, masih hidup ternyata,” sapaku. Terdengar nyeleneh, tapi aku tipe orang yang kurang beramah-tamah dengan orang lain.“Sud

    Last Updated : 2025-01-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   5

    “Maya, kita bicara sebentar.”“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.“Pulang kerja.”Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”“Kalau aku sih sudah resign.”“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup. ”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai e

    Last Updated : 2025-01-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   6

    Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.“Mari ikut saya ke kantor polisi.”“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hany

    Last Updated : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   7

    “Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a

    Last Updated : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   8

    Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku

    Last Updated : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   9

    Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras

    Last Updated : 2025-02-21

Latest chapter

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   73

    Ketiga karyawan tersebut menoleh dengan kikuk. Cengir kuda dengan mata melotot, saling melemparkan lirikan. "He-he Pak..." ucap salah satu karyawan, dia menganggukkan kepalanya.Tristan tersenyum tulus pada mereka. "Ikut ke ruangan saya, sekarang."Saat membalikkan badan ke arahku, dia berucap. "Tolong, delivery makanan untuk kita berlima.""Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku. Ketiga orang yang sebelumnya menggunjing kami, mematung.Tristan yang sudah berjalan beberapa langkah dari kami, segera berhenti dan menoleh. "Ayo.""S-siap, Pak!" Ketiga karyawan tersebut langsung mengikuti CEO masuk ke lift khusus eksekutif.Setelah pintu lift tertutup, aku menghela napas panjang. Dalam hati, aku sedikit merasa puas melihat ekspresi panik mereka yang tadinya sok berani menggunjing di balik punggung orang. Tapi di sisi lain, aku juga kasihan. Semoga mereka sadar dan tidak mengulangi hal yang sama lagi.Aku segera menuju pantry dan menghubungi layanan katering langganan kantor. “Lima pors

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   72

    "Tidak perlu!" sela seseorang yang baru saja masuk ke ruang rapat. Semua orang tertuju padanya."Kita selesaikan masalah ini sekarang juga!"Mataku terbelalak mengetahui siapa orang itu. Sosok yang tanpa sadar aku rindukan kehadirannya. Paulo tersenyum lega ke arahku. "Maaf, Pak Tristan tapi-" Pak Haryo berusaha mencegah Tristan."Tidak ada tapi-tapian Pak Haryo. Lihat bukti saya terlebih dahulu." Tristan melemparkan flasdisk kepada Paulo. Paulo pun memainkan rekaman cctv di kamar Tristan yang ada di New York dan Paris."Bisa kalian lihat sendiri, aku dan sekretarisku menempati kamar yang berbeda. Meskipun ruangannya sama, rapi ada dua kamar di sana. Kami berdua tidak pernah melewati batas, justru orang lain sudah mengusik privasiku. Sampai mencuri jaketku!" Tristan mengarahkan pandangan dan jari telunjuknya pada Rahma. Perempuan yang beberapa kali mengunjungi kamar kami di New York.Mulut Rahma terngaga berusaha mencuatkan alasan, tetapi ditahan Tristan."Tidak perlu beralasan, aku

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   71

    “Boleh saya tahu siapa saksi mata itu?” tanyaku. “Atau, setidaknya, apakah bisa dihadirkan sekarang juga agar saya bisa membela diri dengan adil?” Pak Haryo menatapku sangat tajam. "Tidak perlu. Tonton saja rekaman ini."Pria itu menjentikkan jari meminta operator untuk menyalakan proyektor. Di layar terpampang adegan Tristan menggendongku dan memasukkanku ke kamarnya. Jantungku sontak berdegup. Itu adalah hari di mana aku baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani rehabilitasi. Hanya itu yang dipertontonkan padaku. Bu Nanda memijit pelipisnya. "Biarkan saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pak," mohonku.Kepala tim legal itu mengangkat tangannya, kode menolak permohonanku. "Kita lakukan rapat direksi besok siang. Semua bukti sudah kuat, kami tidak ingin mencoreng nama baik Panthelis dengan tindakan tidak senonoh. Sekarang kembali ke posisi masing-masing."Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk kecil tanpa suara. Sia-sia menjelaskan sekarang. Mereka sudah menutup telinga.

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   70

    Paulo hanya tersenyum, berdiri sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Bisikannya nyaris seperti racun yang disusupkan langsung ke pikiranku."Ada seseorang yang sengaja menjatuhkan kamu, Maya. Dan dia nggak main-main."Seketika udara di ruangan seolah membeku."Pasang flashdisk ini, tapi pastikan kita sendirian. Ini bukan sekadar soal gosip. Ini sudah personal."Aku menatapnya tajam. "Siapa, Paulo?"Ia hanya mengangkat alis, lalu berbisik,"Rahma bukan satu-satunya."Tanganku gemetar saat menerima flashdisk itu. Tubuhku mendadak dingin, meski AC kantorku sudah lama mati sejak siang. Pikiran tentang Bimo, pekerjaanku, dan reputasi yang kujaga selama ini mendadak seperti benang kusut yang siap putus kapan saja."Kalau ini jebakan," ucapku pelan.Dia mengangkat tangan, "Relax, darling. Aku di tim kamu. Selalu di tim kamu."Aku menarik napas dalam, lalu bangkit dari kursi dan menuju ke pintu. Kupastikan ruangan terkunci, bahkan kucek ulang gorden agar tak ada celah untuk orang luar meng

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   69

    Benar saja, keesokan harinya Tristan terbang ke New York.Aku dikepung tumpukan dokumen dari beberapa divisi. Panthelis, perusahaan tempatku bekerja, memang tengah menggeliat agresif di pasar global. Fokus utama kami adalah produksi rokok, dan sejak Tristan menjabat sebagai CEO, ekspansi bisnis menjadi gila-gilaan. Tak hanya Asia, kini kami mulai menancapkan kuku di Eropa. Bahkan, kami sedang mengembangkan lini produk baru: rokok elektrik atau vape, dengan sentuhan desain dari Paris dan riset dari New York.Tumpukan file di mejaku tak hanya soal distribusi, tapi juga konsep visual, kemasan, rasa, hingga strategi branding. Di depan mataku, ada blueprint elegan untuk rokok elektrik bernuansa retro-futuristik. Aromanya? Cherry-vanilla bourbon. Fancy. Logo-nya terukir Taffer Phantelis, entah bagaimana aku menduga itu berarti sesuatu seperti “Kerjaan Phantelis” dalam bahasa Prancis. Seolah menunjukkan bahwa ini bukan sekadar produk, tapi simbol baru dari eksistensi kami.Pintu ruanganku ti

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   68

    "Ma..."Suara yang sangat familiar tertangkap di daun telingaku. Aku segera menoleh, dan tebakanku benar. Itu Tristan, berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celananya. Kancing kemejanya terbuka, memamerkan sedikit dada bidangnya yang eksotis. Entah kenapa pipiku terasa panas. Segera kutundukkan kepalaku."I-iya, Nak?" Bu Ayu menyahutinya dengan sedikit tergagap."Papa di mana?"Tristan menggeret salah satu kursi dan duduk bersama kami."Bar saja kembali ke kamar. Ada apa?""Ya sudah kalau gitu. Cuma tanya saja. Bimo di mana?""Sedang istirahat di kamarnya."Keadaan menjadi hening beberapa saat. Aku mengeratkan cengkeraman tanganku. Namun, Bu Ayu kembali mengajakku bicara. "Makanlah, Maya.""I-iya, Bu." Kuanggukkan kepalaku dengan sopan. Saat melihat ke arah atasan yang duduk di depanku. Aku bisa melihat seringaian kecil darinya. Dia membuatku semakin tidak nyaman!"Bagaimana pekerjaanku hari ini?" tanyanya datar."S-sudah selesai, Pak."Ada lengkungan kecil di bibirnya. "Bagus. T

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   67

    "Lepas, Zo," mohonku pada Kenzo. Dia hanya menggeleng dan menarikku duduk. Tubuhku yang sudah lelah bekerja seharian, limbung seakan menuruti permintaannya."Sebentar saja." Kenzo melepaskan cengkeramannya saat aku sudah terlekat di kursi."Tenanglah, Maya. Aku tidak akan menyakitimu. Aku bisa menjamin dia juga tidak akan menyakitimu. Jadi atur emosimu," ucap Kenzo penuh perhatian.Aku menghela napas, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergejolak.David menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya tajam, tapi ada sorot keraguan di dalamnya. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi menahannya. Sementara itu, Kenzo bersandar di kursinya, tangannya terlipat di depan dada dengan wajah tidak sabar."Ada apa sebenarnya?" tanyaku akhirnya, menatap David dengan waspada. Kenzo diam dan memberikan ruang untukku berbicara. David meremas gelas kopinya. Tatapan kami yang sempat bertemu, langsung ia putus begitu saja. Ia tertunduk sejenak, lalu mengembuskan napas panjang. "Aku

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   66

    Aku menghela napas panjang, berusaha menahan emosi saat lift terus bergerak naik. Rahma memang selalu punya cara untuk menyulut konflik. Sekarang, Rosa sukarela terseret dalam perseteruan yang tidak penting. Aku bisa menangkap niat Rosa, dia pasti ingin membersihkan namanya dengan membelaku."Rahma, cukup," ucapku datar. Aku berusaha tenang meski dadaku bergemuruh.Rahma mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Kenapa? Nggak suka denger kenyataan? Lo pikir semua orang di kantor ini nggak lihat gimana lo nebeng terus sama Bu Ayu? Anaknya lo dijilat, lo dapat perhatian khusus. Emang enak ya jadi lo?"Aku menatapnya tajam. "Kamu ngomong gitu kayak tahu semuanya aja. Apa kamu tahu gimana aku berjuang sendirian? Apa kamu tahu gimana sungkannya aku melihat anakku dijaga Bu Ayu setiap hari?"Rosa menelan ludah. Dia tampak tidak nyaman, tapi tetap berdiri di tempatnya, seakan mempertimbangkan apakah harus ikut bicara atau tidak. Rahma justru tertawa kecil, sinis."Lo pikir gue nggak tahu?

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   65

    Bu Yati mengusap air matanya yang mulai jatuh dengan tangan gemetar. Aku semakin khawatir melihatnya seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku, mencoba menenangkan.Bu Yati menelan ludahnya, lalu menatapku dengan pandangan takut. "Saya... saya takut, Mbak Maya."Jantungku mencelos. Aku segera mendekatinya, menggenggam tangannya yang dingin. "Takut kenapa, Bu? Ada yang terjadi? Masalah yang kemarin kan sudah selesai. Tristan yang bilang.""B-benar, Mbak. Masalah itu memang sudah selesai."Wanita itu menatap ke arah pintu seolah memastikan bahwa Bu Ayu benar-benar sudah pergi. Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata, "T-tapi Bu Ayu... Bu Ayu berubah, Mbak. Setelah saya ketahuan tentang obat yang Bimo konsumsi, sikapnya langsung lain. Beberapa hari ini sikapnya makin aneh, Mbak."Aku mengerutkan kening. "Maksud Ibu, makin aneh bagaimana?"Bu Yati menarik napas panjang. "Saya tahu ini bukan urusan saya, Mbak, tapi tadi siang saya sempat merapikan kamar Bimo. Saya menemukan botol obat yang biasa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status