Lelaki yang membuangku demi kehormatan keluarganya kini berani menunjukkan batang hidungnya. Dua tahun lalu dimana aku yang menyandang sebagai istri direktur di salah satu perusahaan pangan terbesar negara ini, tapi semua runtuh ketika aku bercerai dengan suamiku. Dari awal memang aku tak direstui menikah dengan David, mantan suamiku. Namun, karena kegigihan lelaki itu membuat keluarganya tunduk dan menerimaku dengan terpaksa. Sangat disayangkan, saat pernikahan berjalan di tahun ketiga tiba-tiba aku dipermalukan dengan keji. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan hal itu karena kehadiran Bimo. Buah hati hasil hubungan cintaku dengan David mengidap autism, dan keluarganya menganggap itu sebagai aib. Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka mencaciku dengan kasar bahkan David tak berkutik dan memilih keluarganya.
“Maya, detik ini juga aku menceraikanmu!” seru David menggelegar di ruangan pertemuan keluarga. Aku hanya terpaku mendengar perkataan itu.
“Astaghfirullahaladzim! Ada apa Nak David? Kenapa kamu menceraikan Maya, salah dia apa?” tanya mamaku yang terkejut mendapati anaknya tiba-tiba diceraikan.
“Dia melahirkan anak cacat! Keluarga kami tidak bisa menerima anak idiot itu!” caci ibu mertua sembari menunjuk Bimo yang berada di dekapanku.
“Apa maksudnya?” waktu itu aku masih kebingungan dengan konflik yang kami hadapi.
“Bimo autis May,” jelas David dingin.
“A-apa!?”
“Kami tidak bisa menerima kehadiran anak cacat itu! Makanya kami meminta kamu dan orangtuamu untuk menyetujui perceraian ini.” Ibu mertua melirikku dengan tajam. Semua anggota keluarga memandang rendah aku.
“Dia bukan anak cacat Ma! Dia anak istimewa yang diberikan tuhan untuk aku dan Mas David!”
Suami yang aku andalkan ketika dirundung kini tak berpihak sedikitpun, justru memilih meninggalkan ruang pertemuan dan sejak itu aku tak pernah bertemu dengannya. Dan pada hari itu juga aku langsung diusir dari kediaman kami.
“Pergi dari sini sekarang! Keluargaku sudah tak sudi menerima kalian di sini.” Ibu mertua melemparkan tas besar yang berisikan uang dan emas. “Bawa ini dan jangan pernah mengusik kami!” lanjutnya. Masih kuingat mendiang ibuku yang menangis tersedu-sedu mendapat perlakuan keji dari mertuaku.
“Kamu yang kuat ya Sayang, Mama akan membantumu merawat Bimo. Maafkan Mama...” Kata maaf berkali-kali diucapkan wanita itu. Dia merasa gagal menjadi ibu yang baik untukku karena tak bisa membawa ayah kembali ke pelukan kami hingga ia dijemput ajal setahun yang lalu. Dengan dasar inilah keluarga David tak menyukaiku. Karena aku adalah anak broken home yang tak memiliki ayah.
Kehadiran lelaki itu secara tiba-tiba membuatku ingin muntah. Dadaku bergemuruh hebat menatapnya. Tak hanya itu, kepalaku terasa pening ketika mencium aroma tubuhnya. Wangi parfum yang selalu kurindukan siapa sangka sekarang bagaikan racun.
“Maya... sudah lama tidak bertemu,” ucapnya dengan senyum semringah. Tanpa menjawab, segera kulangkahkan kakiku menuju pintu masuk.
“May, aku ingin bicara sebentar,” pintanya sembari mencengkram tanganku yang akan membuka daun pintu.
“Lepaskan.”
“Aku mohon.”
“Satu menit,” jawabku tanpa menatap David.
“Terima ini.” Lelaki itu menyondorkan paper bag yang berukuran cukup besar. “Gunakan ini untuk memenuhi kebutuhanmu dengan Bimo. Maafkan aku yang tak pernah menghubungi kalian.”
Kulihat isi tas itu, sekumpulan uang berwarna merah tertata rapi di sana. Kutelan saliva yang memenuhi mulut dengan paksa. Sangat menggiurkan! Mengingat dompetku dalam kondisi kosong melompong membuat paper bag itu seperti harta karun.
Aku cukup lama berpikir ketika akan mengambil benda itu. Namun, David dengan cekatan memberikannya padaku. Dengan terpaksa aku menyampingkan rasa gengsi demi uang itu. Aku pun menerimanya, David tampak senang melihat responku.
“Em... lalu ini.” Ia nampak ragu ketika menyondorkan selembar kertas. Tidak, itu bukan kertas biasa melainkan undangan pernikahan.
“Maafkan aku, kuharap kalian mau datang ke acara ini.”
Aku hanya menerimanya tanpa berniat membaca isi undangan itu.
Tak menggubrisnya lagi, aku pun masuk ke dalam rumah. Meninggalkan pria yang kucintai sendirian di sana. Hatiku terasa di cabik-cabik mendapatkan undangan pernikahan ini. Ditambah, orang yang mengantarkannya adalah David, lelaki yang hingga sekarang masih aku cintai dan belum tergantikan oleh siapapun. Tubuhku tersimpuh di lantai yang dingin, sedingin hatiku yang sedang tersakiti oleh realita.
“Secepat itu kamu mengganti namaku di hatimu Mas.”
Buliran air mata menetes seiring dengan isakan tangis. Hari ini benar-benar terasa melelahkan. Badan dan hatiku terasa remuk. Untungnya putraku sedang berada di rumah Sinta. Jika tidak, entah bagaimana nasibku. Emosi yang tak stabil akan menghadirkan amarah yang besar apabila aku mengasuh Bimo malam ini.
Pancuran shower enggan meredakan eranganku yang kesakitan saat menerima kenyataan. Rasanya seperti dihantam meteor bertubi-tubi. Dunia terasa runtuh kembali, sempat terbesit lelaki itu akan membawaku kembali ke kehidupannya. Siapa sangka dia justru menggantinya dengan perempuan lain.
“AAaarrrrggghhhh!!!!”
***
Keesokan paginya, kepalaku terasa pening. Sepertinya aku demam karena terlalu lama berada di kamar mandi.
“Kenzo, hari ini aku absen. Tiba-tiba badanku demam.” voice note itu kukirimkan pada lelaki biadab. Tak menunggu waktu lama, tiba-tiba telepon dengan nama kontak Kenzo muncul di sana.
“Hallo.”
“Hallo May, sakit apa kamu?”
“Demam.”
“Bodoh! Bagaimana bisa kamu terkena demam? Dasar lemah!” makinya. Benar-benar lelaki jahanam.
“Diamlah berengsek! Aku ingin istirahat sekarang!?” sentakku padanya. Kekesalan ini sangat sulit dikendalikan.
“Okay. Aku kirimkan sarapan untukmu. Makan itu dan minum obatnya. Sinta akan ku kabari untuk membawamu ke rumah sakit,” cerocosnya seperti rel kereta api.
“Tidak usah. Aku akan ke rumah sakit dengan Bu Yati. Dia sudah ada di rumahku sekarang,” ucapku yang mendapati Bu Yati sedang mengambil baju kotor di kamar mandi. Wanita itu hanya memberikan jempol kepadaku.
“Jangan bohong.”
“Aku serius Zo. Ya kan Bu?”
“Iya Mbak,” sahut Bu Yati ketika akan keluar dari kamarku.
“Kamu dengar kan?”
“Oke-oke. Kalau begitu sarapannya jangan lupa dimakan.” Tanpa menunggu jawabanku, Kenzo sudah memutuskan sambungan telepon tersebut.
Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Segera ku pinta Bu Yati untuk memesan Gocar.
“Mbak, mobilnya sudah ada di depan.”
“Oh iya.”
Kami pun menuju rumah sakit, tempat di mana Tristan menginap. Tujuanku ke sini juga ingin menengok keadaan orang itu. Meskipun dia sangat menyebalkan, tapi aku tetap saja kepikiran padanya. Bisa saja pagi ini dia sudah dijemput malaikat maut tanpa sepengetahuanku.
Di lobi saat aku menunggu nomor antrian bersama Bu Yati, tanpa sengaja melihat Rosa yang baru saja keluar dari ruang dokter obgyn. Sayangnya dia tak melihatku karena penampilanku yang tertutup rapat memakai hoodie dan masker.
“Kenapa dia?” gumamku penasaran.
“Kenapa Mbak?” tanya Bu Yati yang ikut penasaran karena aku berbicara sendiri.
“Eh tidak Bu. Aku hanya penasaran dengan wanita itu,” aku menunjuk Rosa yang sedang berdiri di depan.
“Nomor antrian 55!” panggil suster.
“Mbak giliran kita.”
“Eh Bu, aku masuk sendiri saja. Ibu pantau perempuan itu ya,” pintaku.
“Iya Mbak.”
Aku langsung menghampiri suster yang menungguku di sana. Aku sempat menoleh melihat Rosa, dia masih berdiri di depan rumah sakit sembari sibuk memainkan ponselnya.
Ketika sudah memeriksakan diri, aku pun kembali menghampiri Bu Yati.“Gimana Bu?”“Tadi dijemput mobil hitam.” Dia memperlihatkan hasil jepretannya padaku.‘Sudah kuduga, dia menunggu Kenzo.’ Mobil civic berwarna hitam itu adalah milik atasanku. Meskipun wajah lelaki itu tak terekspos dalam foto ini, tapi kode plat mobil itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa itu lelaki jahanam.“Kirim ke ponselku ya Bu. Aku ingin menjenguk seseorang dulu.”Kami berjalan beriringan menuju kamar inap Tristan. Dahiku berkerut saat seorang pria baru saja keluar dari sana. Namun, wajah orang itu tak terlihat jelas karena tertutup oleh masker dan topi. Cara jalannya nampak tergesa-gesa seperti mengejar sesuatu.“Tunggu di sini sebentar ya Bu,” pintaku. Wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kubuka daun pintu, terlihat Tristan yang menatap datar kehadiranku.“Hai, masih hidup ternyata,” sapaku. Terdengar nyeleneh, tapi aku tipe orang yang kurang beramah-tamah dengan orang lain.“Sud
“Maya, kita bicara sebentar.”“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.“Pulang kerja.”Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”“Kalau aku sih sudah resign.”“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup. ”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai e
Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.“Mari ikut saya ke kantor polisi.”“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hany
“Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a
Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku
Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras
"Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce
Kepersiapkan diri untuk mempersembahkan tontonan menarik untuk mantan rekan kerjaku. Kebetulan, Tristan belum kembali, jadi aku bisa melancarkan rencanaku. Suara kertas yang keluar dari printer bagai opera music dengan sopran sebagai intinya. Pada lembaran terakhir, tiba-tiba aku teringat akan insiden di mana aku sekali lagi dipermalukan secara tidak adil di lobi kantor.“Dasar wanita murahan!”Masih kuingat sebereapa panas tamparan Gita saat memakiku di depan banyak orang.“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.Nahasnya, saat itu aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dijadikan kambing hitam oleh dua pezina. Wanita serigala berbulu domba dan Pria arogant berhati iblis.Di tengah lamunanku, mendadak seseorang mengetuk meja kerjaku."Nih!" Orang itu melempar sat
Ketiga karyawan tersebut menoleh dengan kikuk. Cengir kuda dengan mata melotot, saling melemparkan lirikan. "He-he Pak..." ucap salah satu karyawan, dia menganggukkan kepalanya.Tristan tersenyum tulus pada mereka. "Ikut ke ruangan saya, sekarang."Saat membalikkan badan ke arahku, dia berucap. "Tolong, delivery makanan untuk kita berlima.""Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku. Ketiga orang yang sebelumnya menggunjing kami, mematung.Tristan yang sudah berjalan beberapa langkah dari kami, segera berhenti dan menoleh. "Ayo.""S-siap, Pak!" Ketiga karyawan tersebut langsung mengikuti CEO masuk ke lift khusus eksekutif.Setelah pintu lift tertutup, aku menghela napas panjang. Dalam hati, aku sedikit merasa puas melihat ekspresi panik mereka yang tadinya sok berani menggunjing di balik punggung orang. Tapi di sisi lain, aku juga kasihan. Semoga mereka sadar dan tidak mengulangi hal yang sama lagi.Aku segera menuju pantry dan menghubungi layanan katering langganan kantor. “Lima pors
"Tidak perlu!" sela seseorang yang baru saja masuk ke ruang rapat. Semua orang tertuju padanya."Kita selesaikan masalah ini sekarang juga!"Mataku terbelalak mengetahui siapa orang itu. Sosok yang tanpa sadar aku rindukan kehadirannya. Paulo tersenyum lega ke arahku. "Maaf, Pak Tristan tapi-" Pak Haryo berusaha mencegah Tristan."Tidak ada tapi-tapian Pak Haryo. Lihat bukti saya terlebih dahulu." Tristan melemparkan flasdisk kepada Paulo. Paulo pun memainkan rekaman cctv di kamar Tristan yang ada di New York dan Paris."Bisa kalian lihat sendiri, aku dan sekretarisku menempati kamar yang berbeda. Meskipun ruangannya sama, rapi ada dua kamar di sana. Kami berdua tidak pernah melewati batas, justru orang lain sudah mengusik privasiku. Sampai mencuri jaketku!" Tristan mengarahkan pandangan dan jari telunjuknya pada Rahma. Perempuan yang beberapa kali mengunjungi kamar kami di New York.Mulut Rahma terngaga berusaha mencuatkan alasan, tetapi ditahan Tristan."Tidak perlu beralasan, aku
“Boleh saya tahu siapa saksi mata itu?” tanyaku. “Atau, setidaknya, apakah bisa dihadirkan sekarang juga agar saya bisa membela diri dengan adil?” Pak Haryo menatapku sangat tajam. "Tidak perlu. Tonton saja rekaman ini."Pria itu menjentikkan jari meminta operator untuk menyalakan proyektor. Di layar terpampang adegan Tristan menggendongku dan memasukkanku ke kamarnya. Jantungku sontak berdegup. Itu adalah hari di mana aku baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani rehabilitasi. Hanya itu yang dipertontonkan padaku. Bu Nanda memijit pelipisnya. "Biarkan saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pak," mohonku.Kepala tim legal itu mengangkat tangannya, kode menolak permohonanku. "Kita lakukan rapat direksi besok siang. Semua bukti sudah kuat, kami tidak ingin mencoreng nama baik Panthelis dengan tindakan tidak senonoh. Sekarang kembali ke posisi masing-masing."Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk kecil tanpa suara. Sia-sia menjelaskan sekarang. Mereka sudah menutup telinga.
Paulo hanya tersenyum, berdiri sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Bisikannya nyaris seperti racun yang disusupkan langsung ke pikiranku."Ada seseorang yang sengaja menjatuhkan kamu, Maya. Dan dia nggak main-main."Seketika udara di ruangan seolah membeku."Pasang flashdisk ini, tapi pastikan kita sendirian. Ini bukan sekadar soal gosip. Ini sudah personal."Aku menatapnya tajam. "Siapa, Paulo?"Ia hanya mengangkat alis, lalu berbisik,"Rahma bukan satu-satunya."Tanganku gemetar saat menerima flashdisk itu. Tubuhku mendadak dingin, meski AC kantorku sudah lama mati sejak siang. Pikiran tentang Bimo, pekerjaanku, dan reputasi yang kujaga selama ini mendadak seperti benang kusut yang siap putus kapan saja."Kalau ini jebakan," ucapku pelan.Dia mengangkat tangan, "Relax, darling. Aku di tim kamu. Selalu di tim kamu."Aku menarik napas dalam, lalu bangkit dari kursi dan menuju ke pintu. Kupastikan ruangan terkunci, bahkan kucek ulang gorden agar tak ada celah untuk orang luar meng
Benar saja, keesokan harinya Tristan terbang ke New York.Aku dikepung tumpukan dokumen dari beberapa divisi. Panthelis, perusahaan tempatku bekerja, memang tengah menggeliat agresif di pasar global. Fokus utama kami adalah produksi rokok, dan sejak Tristan menjabat sebagai CEO, ekspansi bisnis menjadi gila-gilaan. Tak hanya Asia, kini kami mulai menancapkan kuku di Eropa. Bahkan, kami sedang mengembangkan lini produk baru: rokok elektrik atau vape, dengan sentuhan desain dari Paris dan riset dari New York.Tumpukan file di mejaku tak hanya soal distribusi, tapi juga konsep visual, kemasan, rasa, hingga strategi branding. Di depan mataku, ada blueprint elegan untuk rokok elektrik bernuansa retro-futuristik. Aromanya? Cherry-vanilla bourbon. Fancy. Logo-nya terukir Taffer Phantelis, entah bagaimana aku menduga itu berarti sesuatu seperti “Kerjaan Phantelis” dalam bahasa Prancis. Seolah menunjukkan bahwa ini bukan sekadar produk, tapi simbol baru dari eksistensi kami.Pintu ruanganku ti
"Ma..."Suara yang sangat familiar tertangkap di daun telingaku. Aku segera menoleh, dan tebakanku benar. Itu Tristan, berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celananya. Kancing kemejanya terbuka, memamerkan sedikit dada bidangnya yang eksotis. Entah kenapa pipiku terasa panas. Segera kutundukkan kepalaku."I-iya, Nak?" Bu Ayu menyahutinya dengan sedikit tergagap."Papa di mana?"Tristan menggeret salah satu kursi dan duduk bersama kami."Bar saja kembali ke kamar. Ada apa?""Ya sudah kalau gitu. Cuma tanya saja. Bimo di mana?""Sedang istirahat di kamarnya."Keadaan menjadi hening beberapa saat. Aku mengeratkan cengkeraman tanganku. Namun, Bu Ayu kembali mengajakku bicara. "Makanlah, Maya.""I-iya, Bu." Kuanggukkan kepalaku dengan sopan. Saat melihat ke arah atasan yang duduk di depanku. Aku bisa melihat seringaian kecil darinya. Dia membuatku semakin tidak nyaman!"Bagaimana pekerjaanku hari ini?" tanyanya datar."S-sudah selesai, Pak."Ada lengkungan kecil di bibirnya. "Bagus. T
"Lepas, Zo," mohonku pada Kenzo. Dia hanya menggeleng dan menarikku duduk. Tubuhku yang sudah lelah bekerja seharian, limbung seakan menuruti permintaannya."Sebentar saja." Kenzo melepaskan cengkeramannya saat aku sudah terlekat di kursi."Tenanglah, Maya. Aku tidak akan menyakitimu. Aku bisa menjamin dia juga tidak akan menyakitimu. Jadi atur emosimu," ucap Kenzo penuh perhatian.Aku menghela napas, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergejolak.David menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya tajam, tapi ada sorot keraguan di dalamnya. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi menahannya. Sementara itu, Kenzo bersandar di kursinya, tangannya terlipat di depan dada dengan wajah tidak sabar."Ada apa sebenarnya?" tanyaku akhirnya, menatap David dengan waspada. Kenzo diam dan memberikan ruang untukku berbicara. David meremas gelas kopinya. Tatapan kami yang sempat bertemu, langsung ia putus begitu saja. Ia tertunduk sejenak, lalu mengembuskan napas panjang. "Aku
Aku menghela napas panjang, berusaha menahan emosi saat lift terus bergerak naik. Rahma memang selalu punya cara untuk menyulut konflik. Sekarang, Rosa sukarela terseret dalam perseteruan yang tidak penting. Aku bisa menangkap niat Rosa, dia pasti ingin membersihkan namanya dengan membelaku."Rahma, cukup," ucapku datar. Aku berusaha tenang meski dadaku bergemuruh.Rahma mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Kenapa? Nggak suka denger kenyataan? Lo pikir semua orang di kantor ini nggak lihat gimana lo nebeng terus sama Bu Ayu? Anaknya lo dijilat, lo dapat perhatian khusus. Emang enak ya jadi lo?"Aku menatapnya tajam. "Kamu ngomong gitu kayak tahu semuanya aja. Apa kamu tahu gimana aku berjuang sendirian? Apa kamu tahu gimana sungkannya aku melihat anakku dijaga Bu Ayu setiap hari?"Rosa menelan ludah. Dia tampak tidak nyaman, tapi tetap berdiri di tempatnya, seakan mempertimbangkan apakah harus ikut bicara atau tidak. Rahma justru tertawa kecil, sinis."Lo pikir gue nggak tahu?
Bu Yati mengusap air matanya yang mulai jatuh dengan tangan gemetar. Aku semakin khawatir melihatnya seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku, mencoba menenangkan.Bu Yati menelan ludahnya, lalu menatapku dengan pandangan takut. "Saya... saya takut, Mbak Maya."Jantungku mencelos. Aku segera mendekatinya, menggenggam tangannya yang dingin. "Takut kenapa, Bu? Ada yang terjadi? Masalah yang kemarin kan sudah selesai. Tristan yang bilang.""B-benar, Mbak. Masalah itu memang sudah selesai."Wanita itu menatap ke arah pintu seolah memastikan bahwa Bu Ayu benar-benar sudah pergi. Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata, "T-tapi Bu Ayu... Bu Ayu berubah, Mbak. Setelah saya ketahuan tentang obat yang Bimo konsumsi, sikapnya langsung lain. Beberapa hari ini sikapnya makin aneh, Mbak."Aku mengerutkan kening. "Maksud Ibu, makin aneh bagaimana?"Bu Yati menarik napas panjang. "Saya tahu ini bukan urusan saya, Mbak, tapi tadi siang saya sempat merapikan kamar Bimo. Saya menemukan botol obat yang biasa