"Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat.
"Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara.
"Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"
Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak.
"Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."
Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara.
"Boleh, Pak."
Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce
Kepersiapkan diri untuk mempersembahkan tontonan menarik untuk mantan rekan kerjaku. Kebetulan, Tristan belum kembali, jadi aku bisa melancarkan rencanaku. Suara kertas yang keluar dari printer bagai opera music dengan sopran sebagai intinya. Pada lembaran terakhir, tiba-tiba aku teringat akan insiden di mana aku sekali lagi dipermalukan secara tidak adil di lobi kantor.“Dasar wanita murahan!”Masih kuingat sebereapa panas tamparan Gita saat memakiku di depan banyak orang.“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.Nahasnya, saat itu aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dijadikan kambing hitam oleh dua pezina. Wanita serigala berbulu domba dan Pria arogant berhati iblis.Di tengah lamunanku, mendadak seseorang mengetuk meja kerjaku."Nih!" Orang itu melempar sat
Gita melangkah masuk, dengan emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Rosa yang asyik bermain hp tak menyadari kedatangannya. Beberapa karyawan yang dilewati Gita hanya bisa menoleh tatapan bingung. Ketika sampai di belakang Rosa, wanita itu menyiram tubuh targetnya dengan sayur sop merah. Cairan berwarna merah beserta para sayur melumuri rambut hingga kursi kerja Rosa.Rosa menjerit kaget, tubuhnya kaku di tempat. Semua pasang mata tertuju padanya. Butuh beberapa detik untuknya menyadari apa yang baru saja terjadi. Perlahan, ia menoleh dengan mata membelalak ke arah Gita yang berdiri dengan napas memburu, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah."Apa-apaan ini?!" Rosa melompat dari kursinya, tangannya mengibas-ngibas bajunya yang basah oleh kuah sop merah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, dengan beberapa helai sayuran menempel di sana. Belum sempat mendapat jawaban, Gita sudah melayangkan tamparan pada wanita itu.Suara tamparan itu menggema di seluruh r
Kenzo yang awalnya begitu percaya diri, kini matanya melebar dan mulutnya terkatup rapat saat mendengar suara berat Pak Jacson. Semua karyawan divisi marketing, yang tadinya berbisik-bisik langsung diam, menunggu dengan napas tertahan. Pak Jacson melangkah ke tengah-tengah keributan itu dengan ekspresi serius, matanya menyapu pemandangan yang ada di hadapannya. Rosa masih berdiri dengan pakaian berantakan, sisa kuah sop merah menetes dari rambut dan wajahnya yang terlihat kusut. Kenzo berdiri di sampingnya dengan rahang mengeras, sedangkan Gita berdiri tegak, napasnya memburu, masih diliputi amarah. "Kuulangi pertanyaanku," suara Pak Jacson terdengar dalam dan berwibawa. "Ada apa ini?" Semua orang saling pandang, tak ada yang berani menjawab lebih dulu. Namun, Gita tak mau kehilangan momentum. Ia melangkah maju, menatap Pak Jacson dengan penuh keyakinan. "Pak Jacson," suaranya tegas, meskipun ada getaran emosi di dalamnya. "Saya ingin melaporkan Kenzo atas tindakan tidak profe
Tristan melangkah masuk ke kantor dengan Bibirnya tertarik membentuk garis lurus, tak ada senyum ataupun tanda ketidaknyamanan, sementara aku mengikuti di belakangnya, menggenggam erat tangan Bimo. Putraku tampak gelisah, bahunya merapat, dan jemarinya terus meremas ujung bajuku, pertanda bahwa ia mulai merasa tidak nyaman di lingkungan yang ramai dan penuh suara.Begitu kami tiba di ruang kerja Tristan, aku segera membimbing Bimo duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Aku mengeluarkan mainan sensorik dari dalam tas dan meletakkannya di pangkuannya, berusaha menenangkannya sebelum berbalik menghadap Tristan.“Pak, saya perlu melaporkan sesuatu,” ucapku dengan nada sopan.Tristan melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, lalu menatapku dengan tajam. “Apa yang terjadi?”Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Baru saja terjadi insiden besar di kantor, Pak. Kenzo terlibat pertengkaran dengan Gita dan Rosa. Pak Jacson meminta saya untuk menyaksikan sebagai saksi, mengingat
Aku mengeratkan genggamanku pada tangan Bimo, naluri melindunginya langsung aktif begitu saja. Kenzo berdiri di samping mobilku, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang mungkin akan keluar dari mulutnya.Aku melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang lain di sekitar kami. Parkiran cukup sepi, karena karyawan lain masih di dalam kantor. Suara langkahku sendiri terdengar menggema di antara dinding beton.“Ada apa, Kenzo?” suaraku berusaha terdengar datar, meskipun aku bisa merasakan jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya.Kenzo tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapku, lalu menurunkan pandangannya ke Bimo yang berdiri di sampingku. Mata itu mengamati anakku beberapa saat, sebelum akhirnya kembali menatapku.“Aku hanya ingin bicara, Maya.”
Aku mengatur napas, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. Semua mata tertuju padaku, menunggu jawabanku. Aku bisa merasakan Tristan menatapku lebih lama daripada yang lain, seolah berusaha membaca ekspresiku.Aku menelan ludah sebelum membuka suara. “Saya memang membantu Kenzo dalam beberapa pekerjaannya, tapi itu hanya sebatas membuat laporan.” Suaraku terdengar stabil, meski ada sedikit kegelisahan yang tidak bisa kusembunyikan. Pak Jacson mengangguk kecil, memberi isyarat agar aku melanjutkan. “Semua keputusan besar tetap diambil oleh Kenzo sendiri,” lanjutku. “Saya hanya menjalankan tugas sesuai arahan yang diberikan. Tidak pernah sekalipun saya membuat keputusan atau melakukan hal di luar perintahnya. Jadi, jika ada tuduhan bahwa saya ikut andil dalam penyalahgunaan wewenang, itu tidak benar.”Ruangan kembali hening. Aku melirik Tristan sekilas. Rahangnya mengeras, tetapi tidak mengalihkan pandangan dariku. Aku tak bisa menebak isi pikirannya saat ini.Seseorang di ujung
Kuhela napasku saat memakirkan mobil di rumah. Pekerjaan hari ini cukup banyak, ditambah mood Tristan sedang buruk. Banyak pekerjaanku yang ia komplain, padahal biasanya ia tidak seperti itu. Kepalaku menjadi pusing karena terpikirkan oleh ucapannya. Untungnya Sinta sudah ada di dalam bersama Bu Yati. Jadi aku langsung mengeluh dengan dramatis.Aku melepas sepatu dengan kasar dan menjatuhkan tubuh ke sofa. “Aduh, Sinta. Hari ini capek banget!” keluhku sambil menutup wajah dengan bantal. Sinta, yang sedang duduk di lantai sambil menggambar sesuatu, melirik ke arahku. “Kenapa, May? Bos galak lagi?” Aku mendesah panjang. “Iya! Aku nggak ngerti, biasanya dia nggak seketus ini. Hari ini semua kerjaanku dikomentari. Ada aja yang salah.” Kulipat kedua tanganku di depan dada, hidungku pun mendengkus seperti banteng.Bu Yati datang dari dapur sambil membawa segelas teh hangat. “Mungkin dia lagi banyak pikiran, Mbak. Orang kalau banyak masalah pasti emosinya nggak stabil.” Aku duduk tegak
"Di mana Bimo?" tanya Tristan padaku. Aku yang berjalan di belakangnya terasa kikuk, karena teringat dengan janji yang kuucapkan kemarin."Maaf, Pak. Bimo di rumah." Jantungku berdegup kenjang karena mendadak pria itu berhenti dan berbalik ke arahku."Bukankah kemarin kamu bilang akan membawa anak itu ke kantor hari ini." Dia mengucapkannya dengan dahi sedikit berkerut. Kutenggak salivaku dengan paksa.Aku mengangguk pelan. Ada perasaan bersalah karena mengingkari janji yang kubuat sendiri. "Iya, Pak. Tapi kondisi Bimo kurang baik pagi ini. Dia sulit beradaptasi dengan perubahan mendadak, dan saya tidak ingin memaksanya." Pria itu menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak. Aku bisa melihat rahangnya mengeras sejenak, lalu dia menghela napas panjang. "Aku mengerti," katanya akhirnya. "Tapi aku ingin bertemu dengannya, Maya." Aku terkejut mendengar ucapannya. "Untuk apa, Pak?" tanyaku hati-hati. Tristan menyandarkan tubuhnya ke meja kerjanya, menatapku lekat-lekat. "Ibuku menyu
"Maksudmu?" Aku meliriknya sinis."Enakkan, modal goda CEO bisa melencong ke Eropa," bisik perempuan itu tajam. Aku mendadak menegang. Rasanya ingin menyiram kopi panas ini ke wajah perempuan yang baru saja bicara. Namun, aku masih punya harga diri dan akal sehat.Aku menoleh perlahan, menatapnya dengan tatapan dingin. "Maaf, aku kurang paham maksudmu," kataku datar.Perempuan itu menyeringai, lalu bersandar di meja pantry. "Oh, ayolah, Maya. Kami semua di sini tahu bagaimana kamu bisa sampai ke New York. Bukan karena kerja keras, kan?" Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan emosi. "Jadi menurutmu aku ada di sini karena apa?" Dia terkekeh sinis. "Yah, kamu cukup cantik dan punya pesona sendiri, apalagi kalau sampai bisa dekat dengan CEO. Kami hanya bertanya-tanya, berapa banyak hal lain yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan posisi ini?"Darahku mendidih. Aku ingin membalas, tapi sebuah suara lain tiba-tiba terdengar dari belakang. "Kalau kalian punya waktu untuk gosip muraha
"Bimo habis tantrum hebat, Mbak. Bu ayu sampai kewalahan."Astaga, hatiku benar-benar terenyuh mendengarnya. Perasaan bersalah mulai menggerogoti hatiku. Apalagi, orang yang tak memiliki hubungan apapun denganku sampai merawat putraku dan kewalahan saat aku di luar negeri."Terus gimana, Bu?""I-itu, Mbak..." Suara wanita itu terbata-bata. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan?"Gimana, Bu?" tanyaku lagi. Aku tak sabar jika diulur-ulur seperti ini."T-tadi saya terpaksa pakai obatnya. Terus Bu Ayu marah besar."Aku langsung mendekat mulutku. Astaga! "Aku terpaksa pakainya, Mbak. Tadi Bimo benar-benar sulit dikendalikan. Sekarang gimana, Mbak? Saya takut banget," sesal Bu Yati di seberang telepon.Kugigit bibir bawahku. akhirnya rahasia yang berusaha aku sembunyikan terbongkar. Namun, aku tidak bisa menyalahkan, terkadang keadaan Bimo memang tak bisa di kontrol. Alasan kenapa aku memakai obat pun, karena saat ini, itulah jalan terbaik agar Bimo aman. Sayangnya cara ini belum legal di I
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya tiba di Montmartre, sebuah distrik artistik di Paris yang dipenuhi kafe-kafe kecil, seniman jalanan, dan jalanan berbatu yang penuh sejarah."Montmartre ini punya suasana yang berbeda dengan tempat lain di Paris," kataku sambil memandang sekeliling.Tristan, yang berjalan di sampingku, mengangguk kecil. "Kamu tahu? Dulu, tempat ini adalah rumah bagi banyak pelukis terkenal. Picasso, Van Gogh, mereka pernah tinggal dan berkarya di sini."Aku tersenyum. "Pak Tristan terdengar seperti pemandu wisata profesional."Tristan tertawa kecil. "Kalau di Prancir, Aku memang sering ke sini setiap kali punya waktu luang. Ada Banyak hal menenangkan di tempat ini."Kami berjalan perlahan, menikmati atmosfer yang tenang. Beberapa seniman sedang melukis di sudut-sudut jalan, dan turis-turis berkerumun di depan toko-toko seni kecil."Mau masuk ke galeri itu?" Tristan menunjuk sebuah toko kecil dengan lukisan warna-warni di jendela.Aku mengangguk antu
"Menarik," ucapnya lirih. Pria itu segera berbalik dan menlanjutkan langkahnya. Aku menarik napas dalam, karena selama Tristan bicara, tanpa sadar aku menahan napas!Begitu aku melangkah masuk ke dalam château, aroma khas kayu tua dan anggur yang difermentasi memenuhi udara. Interiornya klasik dan elegan, dengan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit tinggi dan perabotan antik yang tertata rapi. Rasanya seperti memasuki dunia lain, dunia yang jauh dari hiruk-pikuk Paris dan kantor.Tristan berjalan di depanku, sesekali menoleh seakan memastikan aku mengikutinya. Kami dibawa ke ruang duduk yang nyaman, dengan jendela besar yang langsung menghadap kebun anggur yang membentang luas. Pierre menawari kami segelas anggur putih, tapi aku dengan sopan menolak dan memilih air mineral."Tidak minum alkohol?" tanya Tritan sebelum menyesap anggurnya dengan santai.Aku menggeleng. "Aku tidak terbiasa. Lagipula, aku lebih suka jus atau teh."Tristan mengangguk pelan, lalu menyandar
Mobil melaju dengan tenang melewati jalanan Paris yang mulai lengang, tapi suasana di dalam mobil justru terasa menegang. Aku duduk di sebelah Tristan di kursi penumpang, sementara Paulo duduk di belakang, memilih diam sejak tadi.Aku melirik Tristan yang masih fokus menyetir, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam menatap ke depan.Aku tahu dia marah.Sebenarnya, aku ingin berbicara, tapi entah kenapa rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokanku.Hening beberapa menit, lalu Tristan akhirnya buka suara."Maya, apa yang kamu pikirkan?" suaranya terdengar dalam dan tajam.Aku menggigit bibir. "Saya hanya… Paulo ingin menunjukkan butik bagus. Saya tidak berpikir itu akan menjadi masalah besar."Tristan menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk setir dengan ritme yang menunjukkan kekesalannya. "Tidak berpikir? Maya, ini Paris, bukan rumahmu. Kota ini punya banyak sisi gelap. Kamu bisa saja dalam bahaya, dan aku tidak tahu apa-apa soal itu. Padahal aku sudah mem
Keesokan harinya, presentasi Tristan berjalan dengan sangat baik. Selama presentasi, aku ada di sampingnya, memastikan dokumen dan data yang dibutuhkan tersedia. Aku juga sempat menjelaskan beberapa detail mengenai strategi operasional perusahaan dengan lancar, membuat Jacques Moreau dan timnya terkesan.Setelah pertemuan selesai, Jacques Moreau menjabat tanganku dan berkata dengan senyum kecil, "Mademoiselle Maya, Anda sangat cekatan dan profesional. Monsieur Tristan beruntung memiliki sekretaris seperti Anda."Aku tersenyum sopan, sedikit terkejut dengan pujiannya. "Terima kasih, Monsieur Moreau. Saya hanya melakukan tugas saya sebaik mungkin."Tristan yang berdiri di sampingku melirik sekilas, lalu menimpali dengan nada santai, "Saya juga berpikir begitu."Kupikir ia bercanda, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Saat kami kembali ke hotel, ia tiba-tiba menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua kepadaku. "Ini untukmu," katanya singkat.Aku mengerutkan kening, bingun
Tristan melangkah lebih dekat dan menatapku dengan serius. “Boleh?” tanyanya, menunjuk ujung hijabku.Rasanya sangat gugup, tetapi aku mengangguk pelan. Tristan dengan lembut menyentuh kain satin itu, merapikannya sedikit di sisi kanan. Jemarinya hanya menyentuh kain, tapi entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat.Bagaimana bisa seorang Bos mendandani sekretarisnya? Biasanya sekretarislah yang merapikan pakaian bosnya agar sempurna! Astaga, apa ini sebuah kesalahan?“Begini lebih bagus,” katanya setelah beberapa saat. “Jangan terlalu dipikirkan. Kau sudah terlihat menawan.”Aku menatap pantulan diriku di cermin. Dengan sedikit perubahan yang Tristan buat, hijabku memang terlihat lebih natural dan pas dengan bentuk wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak. Kalau begitu. Kita berangkat sekarang?”Tristan mengangguk, mundur selangkah, dan memberi isyarat agar aku berjalan lebih dulu. “Ayo.”~Pesta ini jauh lebih mewah dari yang kubayangkan. Begi
Ruangan menjadi hening setelah ucapan Tristan. Alain tampak berusaha mempertahankan ekspresi percaya diri, tetapi jelas ada keresahan yang mulai terlihat dari cara dia menggenggam pena di tangannya.Aku melirik karyawan lain yang ada di ruangan. Beberapa dari mereka tampak gelisah, ada yang menundukkan kepala, ada pula yang menatap Alain seolah menunggu bagaimana dia akan menangani situasi ini."Penyesuaian seperti apa tepatnya?" Tristan mengulang pertanyaannya, nada suaranya tetap dingin dan tajam.Alain akhirnya berdeham pelan. "Tuan Tristan, seperti yang Anda tahu, pasar di Prancis memiliki dinamika yang berbeda dibandingkan dengan cabang utama. Kami harus melakukan beberapa perubahan untuk tetap kompetitif."Tristan menyipitkan matanya. "Itu tidak menjelaskan mengapa ada transaksi yang tidak tercatat di sistem pusat. Atau lebih tepatnya... ada transaksi yang sengaja tidak dimasukkan?"Suasana di ruangan semakin tegang. Beberapa orang mulai saling berbisik, tetapi Alain tetap berus
Tristan kembali berbicara, "Aku baru saja mengetahui kalau beberapa kontrak yang dibuat perusahaan kita dalam beberapa tahun terakhir tidak sepenuhnya bersih. Ada indikasi suap, mark-up harga, dan yang lebih parah… beberapa proyek itu melibatkan perusahaan yang punya rekam jejak buruk."Aku terkejut. Apa sindikat Bu Ratna sebegitu berbahayanya sampai menjadi rumit begini?"Tapi… perusahaan kita seharusnya punya tim legal yang memastikan semuanya berjalan sesuai aturan, bukan?" tanyaku hati-hati.Ekspresi Tristan mengeras. "Bu Ratna selama ini punya akses besar ke banyak dokumen penting. Banyak dokumen yang kutinjau menunjukkan kejanggalan."Aku mencoba mencerna informasi itu. "Jadi, maksud Bapak, kemungkinan skandal ini lebih besar dari yang kita kira?""Bukan kemungkinan, Maya." Tristan menatapku dalam-dalam. "Aku hampir yakin ini lebih besar. Dan karena kamu adalah sekretarisku, aku ingin kamu berhati-hati. Jangan mudah percaya pada siapa pun, termasuk orang-orang yang mungkin terli