Share

11

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-02-22 17:03:16

Kepersiapkan diri untuk mempersembahkan tontonan menarik untuk mantan rekan kerjaku. Kebetulan, Tristan belum kembali, jadi aku bisa melancarkan rencanaku. Suara kertas yang keluar dari printer bagai opera music dengan sopran sebagai intinya. Pada lembaran terakhir, tiba-tiba aku teringat akan insiden di mana aku sekali lagi dipermalukan secara tidak adil di lobi kantor.

“Dasar wanita murahan!”

Masih kuingat sebereapa panas tamparan Gita saat memakiku di depan banyak orang.

“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.

Nahasnya, saat itu aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dijadikan kambing hitam oleh dua pezina. Wanita serigala berbulu domba dan Pria arogant berhati iblis.

Di tengah lamunanku, mendadak seseorang mengetuk meja kerjaku.

"Nih!" Orang itu melempar sat
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   12

    Gita melangkah masuk, dengan emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Rosa yang asyik bermain hp tak menyadari kedatangannya. Beberapa karyawan yang dilewati Gita hanya bisa menoleh tatapan bingung. Ketika sampai di belakang Rosa, wanita itu menyiram tubuh targetnya dengan sayur sop merah. Cairan berwarna merah beserta para sayur melumuri rambut hingga kursi kerja Rosa.Rosa menjerit kaget, tubuhnya kaku di tempat. Semua pasang mata tertuju padanya. Butuh beberapa detik untuknya menyadari apa yang baru saja terjadi. Perlahan, ia menoleh dengan mata membelalak ke arah Gita yang berdiri dengan napas memburu, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah."Apa-apaan ini?!" Rosa melompat dari kursinya, tangannya mengibas-ngibas bajunya yang basah oleh kuah sop merah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, dengan beberapa helai sayuran menempel di sana. Belum sempat mendapat jawaban, Gita sudah melayangkan tamparan pada wanita itu.Suara tamparan itu menggema di seluruh r

    Last Updated : 2025-02-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   13

    Kenzo yang awalnya begitu percaya diri, kini matanya melebar dan mulutnya terkatup rapat saat mendengar suara berat Pak Jacson. Semua karyawan divisi marketing, yang tadinya berbisik-bisik langsung diam, menunggu dengan napas tertahan. Pak Jacson melangkah ke tengah-tengah keributan itu dengan ekspresi serius, matanya menyapu pemandangan yang ada di hadapannya. Rosa masih berdiri dengan pakaian berantakan, sisa kuah sop merah menetes dari rambut dan wajahnya yang terlihat kusut. Kenzo berdiri di sampingnya dengan rahang mengeras, sedangkan Gita berdiri tegak, napasnya memburu, masih diliputi amarah. "Kuulangi pertanyaanku," suara Pak Jacson terdengar dalam dan berwibawa. "Ada apa ini?" Semua orang saling pandang, tak ada yang berani menjawab lebih dulu. Namun, Gita tak mau kehilangan momentum. Ia melangkah maju, menatap Pak Jacson dengan penuh keyakinan. "Pak Jacson," suaranya tegas, meskipun ada getaran emosi di dalamnya. "Saya ingin melaporkan Kenzo atas tindakan tidak profe

    Last Updated : 2025-02-23
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   14

    Tristan melangkah masuk ke kantor dengan Bibirnya tertarik membentuk garis lurus, tak ada senyum ataupun tanda ketidaknyamanan, sementara aku mengikuti di belakangnya, menggenggam erat tangan Bimo. Putraku tampak gelisah, bahunya merapat, dan jemarinya terus meremas ujung bajuku, pertanda bahwa ia mulai merasa tidak nyaman di lingkungan yang ramai dan penuh suara.Begitu kami tiba di ruang kerja Tristan, aku segera membimbing Bimo duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Aku mengeluarkan mainan sensorik dari dalam tas dan meletakkannya di pangkuannya, berusaha menenangkannya sebelum berbalik menghadap Tristan.“Pak, saya perlu melaporkan sesuatu,” ucapku dengan nada sopan.Tristan melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, lalu menatapku dengan tajam. “Apa yang terjadi?”Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Baru saja terjadi insiden besar di kantor, Pak. Kenzo terlibat pertengkaran dengan Gita dan Rosa. Pak Jacson meminta saya untuk menyaksikan sebagai saksi, mengingat

    Last Updated : 2025-02-23
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   15

    Aku mengeratkan genggamanku pada tangan Bimo, naluri melindunginya langsung aktif begitu saja. Kenzo berdiri di samping mobilku, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang mungkin akan keluar dari mulutnya.Aku melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang lain di sekitar kami. Parkiran cukup sepi, karena karyawan lain masih di dalam kantor. Suara langkahku sendiri terdengar menggema di antara dinding beton.“Ada apa, Kenzo?” suaraku berusaha terdengar datar, meskipun aku bisa merasakan jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya.Kenzo tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapku, lalu menurunkan pandangannya ke Bimo yang berdiri di sampingku. Mata itu mengamati anakku beberapa saat, sebelum akhirnya kembali menatapku.“Aku hanya ingin bicara, Maya.”

    Last Updated : 2025-02-24
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   16

    Aku mengatur napas, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. Semua mata tertuju padaku, menunggu jawabanku. Aku bisa merasakan Tristan menatapku lebih lama daripada yang lain, seolah berusaha membaca ekspresiku.Aku menelan ludah sebelum membuka suara. “Saya memang membantu Kenzo dalam beberapa pekerjaannya, tapi itu hanya sebatas membuat laporan.” Suaraku terdengar stabil, meski ada sedikit kegelisahan yang tidak bisa kusembunyikan. Pak Jacson mengangguk kecil, memberi isyarat agar aku melanjutkan. “Semua keputusan besar tetap diambil oleh Kenzo sendiri,” lanjutku. “Saya hanya menjalankan tugas sesuai arahan yang diberikan. Tidak pernah sekalipun saya membuat keputusan atau melakukan hal di luar perintahnya. Jadi, jika ada tuduhan bahwa saya ikut andil dalam penyalahgunaan wewenang, itu tidak benar.”Ruangan kembali hening. Aku melirik Tristan sekilas. Rahangnya mengeras, tetapi tidak mengalihkan pandangan dariku. Aku tak bisa menebak isi pikirannya saat ini.Seseorang di ujung

    Last Updated : 2025-02-24
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   17

    Kuhela napasku saat memakirkan mobil di rumah. Pekerjaan hari ini cukup banyak, ditambah mood Tristan sedang buruk. Banyak pekerjaanku yang ia komplain, padahal biasanya ia tidak seperti itu. Kepalaku menjadi pusing karena terpikirkan oleh ucapannya. Untungnya Sinta sudah ada di dalam bersama Bu Yati. Jadi aku langsung mengeluh dengan dramatis.Aku melepas sepatu dengan kasar dan menjatuhkan tubuh ke sofa. “Aduh, Sinta. Hari ini capek banget!” keluhku sambil menutup wajah dengan bantal. Sinta, yang sedang duduk di lantai sambil menggambar sesuatu, melirik ke arahku. “Kenapa, May? Bos galak lagi?” Aku mendesah panjang. “Iya! Aku nggak ngerti, biasanya dia nggak seketus ini. Hari ini semua kerjaanku dikomentari. Ada aja yang salah.” Kulipat kedua tanganku di depan dada, hidungku pun mendengkus seperti banteng.Bu Yati datang dari dapur sambil membawa segelas teh hangat. “Mungkin dia lagi banyak pikiran, Mbak. Orang kalau banyak masalah pasti emosinya nggak stabil.” Aku duduk tegak

    Last Updated : 2025-02-25
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   18

    "Di mana Bimo?" tanya Tristan padaku. Aku yang berjalan di belakangnya terasa kikuk, karena teringat dengan janji yang kuucapkan kemarin."Maaf, Pak. Bimo di rumah." Jantungku berdegup kenjang karena mendadak pria itu berhenti dan berbalik ke arahku."Bukankah kemarin kamu bilang akan membawa anak itu ke kantor hari ini." Dia mengucapkannya dengan dahi sedikit berkerut. Kutenggak salivaku dengan paksa.Aku mengangguk pelan. Ada perasaan bersalah karena mengingkari janji yang kubuat sendiri. "Iya, Pak. Tapi kondisi Bimo kurang baik pagi ini. Dia sulit beradaptasi dengan perubahan mendadak, dan saya tidak ingin memaksanya." Pria itu menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak. Aku bisa melihat rahangnya mengeras sejenak, lalu dia menghela napas panjang. "Aku mengerti," katanya akhirnya. "Tapi aku ingin bertemu dengannya, Maya." Aku terkejut mendengar ucapannya. "Untuk apa, Pak?" tanyaku hati-hati. Tristan menyandarkan tubuhnya ke meja kerjanya, menatapku lekat-lekat. "Ibuku menyu

    Last Updated : 2025-02-26
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   19

    Tatapan Kenzo yang sangat serius membuatku ingin tertawa. Bagaimana kalau dia tau..."Aku butuh teman untuk datang ke pernikahan mantan suamiku."Mata pria itu terbelalak. "Mantan suamimu?! David?" Dia tampak tidak percaya dengan jawabanku, sampai menegaskan siapa nama mantan suamiku.Kuanggukkan kepala. "Demi apa? Serius, May?" tanyanya."Iya, Zo. Acara pernikahannya besok lusa. Bukankah kantor libur?""Benar, kantor emang libur. Karena lusa adalah hari minggu.""Makanya itu aku mengajak kamu, Zo. Aku bakal malu banget kalau datang sendirian. Apalagi kamu tau sendiri gimana keluarga David sama aku. Aku selalu jadi bahan gunjingan mereka." Aku mengucapkannya sembari menundukkan kepala. Aku ingin mendramatisir semua ucapanku agar sahabatku itu mau.Kenzo menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan, seakan dia masih mencoba mencerna permintaanku. Aku menahan tawa melihat reaksinya yang berlebihan. Tapi di sisi lain, aku juga lega karena dia tidak langsung menolak. “Kamu yakin data

    Last Updated : 2025-02-27

Latest chapter

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   76

    Langkah berat itu semakin mendekat. Aku buru-buru menyibukkan diri dengan mengaduk kopi yang sudah lama tak butuh diaduk. Paulo menyingkir ke samping, memasang wajah nakal seperti biasa.Tristan muncul di ambang pintu pantry, mengenakan setelan abu-abu yang pas badan, rambutnya sedikit berantakan seperti baru tertiup angin luar. Wajahnya datar, seperti biasa, tapi matanya langsung menemukan aku. Sejenak, waktu rasanya melambat.“Selamat pagi,” ucapnya singkat, lalu menoleh ke Paulo. “Bisa minta waktu sebentar, Paulo?”“Wah, sudah kuduga. Saya cuma figuran di drama kalian,” celetuk Paulo sebelum menghilang ke balik pintu dengan senyum menyeringai.Aku nyaris tertawa kalau saja jantungku tak berdebar kencang.Tristan melangkah masuk, lalu berhenti di depanku. Ada jeda sesaat sebelum ia bicara.“Maya.” Suaranya tenang tapi tegas. “Setelah kamu selesai bikin kopi, langsung ke ruanganku. Aku mau kamu laporkan pekerjaan kantor selama aku pergi.”Nada suaranya terdengar profesional. Tak ada

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   75

    Untuk beberapa saat, tak ada yang bicara. Hanya suara sendok dan garpu, sesekali terdengar obrolan meja lain. Aku bisa merasakan kalau Rosa tidak datang hanya untuk makan.“Kalau kamu butuh teman buat cerita. Ada aku, May. Kita mungkin sempat ada kesalahpahaman, jadi menjauh, tapi aku perempuan juga. Kadang, kita cuma butuh seseorang yang ngerti tanpa harus menghakimi.”Aku terperangah mendengar ucapannya yang mendadak itu. Suaranya terdengar lembut, nyaris tulus, tapi entah kenapa aku merasa ada kata yang tak sepenuhnya bisa kupercaya. Mungkin karena sejarah kami—meskipun Rosa belum pernah benar-benar menyakitiku secara langsung, sikapnya selama ini… terlalu licin. Seperti selalu memakai topeng berbeda untuk setiap orang.Aku tersenyum kecil, tapi tak sampai ke mata. “Terima kasih, Rosa. Aku baik-baik saja, kok.”Dia menyendok saladnya pelan, lalu mengangguk. “Ya, aku ngerti. Kamu memang tipe yang suka menyimpan semuanya sendiri.”Aku hanya menjawab dengan anggukan singkat. Dalam hat

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   74

    Aku tak bisa menjawab.Ruangan terasa semakin sunyi. Bahkan deru AC pun seperti ikut menahan suara.“Saya tidak lari,” jawabku pelan. “Saya cuma menjaga diri.”Tristan mengangguk, lalu berdiri. Ia berjalan ke arahku, lalu berhenti tepat di depanku. “Kalau kamu terus menjaga diri dari orang yang benar-benar tulus, kamu akan kehilangan mereka. Termasuk aku.”Lalu, ia menoleh ke tiga karyawan itu dan berkata, “Rapat selesai. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing.”Mereka langsung bangkit dan meninggalkan ruangan dengan gesit, seolah lolos dari lubang jarum. Saat pintu tertutup yang tersisa hanya kami berdua.Aku belum sanggup menatapnya langsung.“Kenapa Anda lakukan ini, Pak?” tanyaku resah. Suaraku nyaris seperti bisikan.“Karena aku ingin semua orang tahu, kamu bukan siapa-siapa dalam hidupku.” Ia terdiam sebentar. “Tapi kamu adalah segalanya.”Tubuhku menegang.“Kalau aku masih harus membuktikannya dengan presentasi, testimoni, atau bahkan membuat video drama... aku akan lakuk

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   73

    Ketiga karyawan tersebut menoleh dengan kikuk. Cengir kuda dengan mata melotot, saling melemparkan lirikan. "He-he Pak..." ucap salah satu karyawan, dia menganggukkan kepalanya.Tristan tersenyum tulus pada mereka. "Ikut ke ruangan saya, sekarang."Saat membalikkan badan ke arahku, dia berucap. "Tolong, delivery makanan untuk kita berlima.""Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku. Ketiga orang yang sebelumnya menggunjing kami, mematung.Tristan yang sudah berjalan beberapa langkah dari kami, segera berhenti dan menoleh. "Ayo.""S-siap, Pak!" Ketiga karyawan tersebut langsung mengikuti CEO masuk ke lift khusus eksekutif.Setelah pintu lift tertutup, aku menghela napas panjang. Dalam hati, aku sedikit merasa puas melihat ekspresi panik mereka yang tadinya sok berani menggunjing di balik punggung orang. Tapi di sisi lain, aku juga kasihan. Semoga mereka sadar dan tidak mengulangi hal yang sama lagi.Aku segera menuju pantry dan menghubungi layanan katering langganan kantor. “Lima pors

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   72

    "Tidak perlu!" sela seseorang yang baru saja masuk ke ruang rapat. Semua orang tertuju padanya."Kita selesaikan masalah ini sekarang juga!"Mataku terbelalak mengetahui siapa orang itu. Sosok yang tanpa sadar aku rindukan kehadirannya. Paulo tersenyum lega ke arahku. "Maaf, Pak Tristan tapi-" Pak Haryo berusaha mencegah Tristan."Tidak ada tapi-tapian Pak Haryo. Lihat bukti saya terlebih dahulu." Tristan melemparkan flasdisk kepada Paulo. Paulo pun memainkan rekaman cctv di kamar Tristan yang ada di New York dan Paris."Bisa kalian lihat sendiri, aku dan sekretarisku menempati kamar yang berbeda. Meskipun ruangannya sama, rapi ada dua kamar di sana. Kami berdua tidak pernah melewati batas, justru orang lain sudah mengusik privasiku. Sampai mencuri jaketku!" Tristan mengarahkan pandangan dan jari telunjuknya pada Rahma. Perempuan yang beberapa kali mengunjungi kamar kami di New York.Mulut Rahma terngaga berusaha mencuatkan alasan, tetapi ditahan Tristan."Tidak perlu beralasan, aku

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   71

    “Boleh saya tahu siapa saksi mata itu?” tanyaku. “Atau, setidaknya, apakah bisa dihadirkan sekarang juga agar saya bisa membela diri dengan adil?” Pak Haryo menatapku sangat tajam. "Tidak perlu. Tonton saja rekaman ini."Pria itu menjentikkan jari meminta operator untuk menyalakan proyektor. Di layar terpampang adegan Tristan menggendongku dan memasukkanku ke kamarnya. Jantungku sontak berdegup. Itu adalah hari di mana aku baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani rehabilitasi. Hanya itu yang dipertontonkan padaku. Bu Nanda memijit pelipisnya. "Biarkan saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pak," mohonku.Kepala tim legal itu mengangkat tangannya, kode menolak permohonanku. "Kita lakukan rapat direksi besok siang. Semua bukti sudah kuat, kami tidak ingin mencoreng nama baik Panthelis dengan tindakan tidak senonoh. Sekarang kembali ke posisi masing-masing."Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk kecil tanpa suara. Sia-sia menjelaskan sekarang. Mereka sudah menutup telinga.

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   70

    Paulo hanya tersenyum, berdiri sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Bisikannya nyaris seperti racun yang disusupkan langsung ke pikiranku."Ada seseorang yang sengaja menjatuhkan kamu, Maya. Dan dia nggak main-main."Seketika udara di ruangan seolah membeku."Pasang flashdisk ini, tapi pastikan kita sendirian. Ini bukan sekadar soal gosip. Ini sudah personal."Aku menatapnya tajam. "Siapa, Paulo?"Ia hanya mengangkat alis, lalu berbisik,"Rahma bukan satu-satunya."Tanganku gemetar saat menerima flashdisk itu. Tubuhku mendadak dingin, meski AC kantorku sudah lama mati sejak siang. Pikiran tentang Bimo, pekerjaanku, dan reputasi yang kujaga selama ini mendadak seperti benang kusut yang siap putus kapan saja."Kalau ini jebakan," ucapku pelan.Dia mengangkat tangan, "Relax, darling. Aku di tim kamu. Selalu di tim kamu."Aku menarik napas dalam, lalu bangkit dari kursi dan menuju ke pintu. Kupastikan ruangan terkunci, bahkan kucek ulang gorden agar tak ada celah untuk orang luar meng

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   69

    Benar saja, keesokan harinya Tristan terbang ke New York.Aku dikepung tumpukan dokumen dari beberapa divisi. Panthelis, perusahaan tempatku bekerja, memang tengah menggeliat agresif di pasar global. Fokus utama kami adalah produksi rokok, dan sejak Tristan menjabat sebagai CEO, ekspansi bisnis menjadi gila-gilaan. Tak hanya Asia, kini kami mulai menancapkan kuku di Eropa. Bahkan, kami sedang mengembangkan lini produk baru: rokok elektrik atau vape, dengan sentuhan desain dari Paris dan riset dari New York.Tumpukan file di mejaku tak hanya soal distribusi, tapi juga konsep visual, kemasan, rasa, hingga strategi branding. Di depan mataku, ada blueprint elegan untuk rokok elektrik bernuansa retro-futuristik. Aromanya? Cherry-vanilla bourbon. Fancy. Logo-nya terukir Taffer Phantelis, entah bagaimana aku menduga itu berarti sesuatu seperti “Kerjaan Phantelis” dalam bahasa Prancis. Seolah menunjukkan bahwa ini bukan sekadar produk, tapi simbol baru dari eksistensi kami.Pintu ruanganku ti

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   68

    "Ma..."Suara yang sangat familiar tertangkap di daun telingaku. Aku segera menoleh, dan tebakanku benar. Itu Tristan, berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celananya. Kancing kemejanya terbuka, memamerkan sedikit dada bidangnya yang eksotis. Entah kenapa pipiku terasa panas. Segera kutundukkan kepalaku."I-iya, Nak?" Bu Ayu menyahutinya dengan sedikit tergagap."Papa di mana?"Tristan menggeret salah satu kursi dan duduk bersama kami."Bar saja kembali ke kamar. Ada apa?""Ya sudah kalau gitu. Cuma tanya saja. Bimo di mana?""Sedang istirahat di kamarnya."Keadaan menjadi hening beberapa saat. Aku mengeratkan cengkeraman tanganku. Namun, Bu Ayu kembali mengajakku bicara. "Makanlah, Maya.""I-iya, Bu." Kuanggukkan kepalaku dengan sopan. Saat melihat ke arah atasan yang duduk di depanku. Aku bisa melihat seringaian kecil darinya. Dia membuatku semakin tidak nyaman!"Bagaimana pekerjaanku hari ini?" tanyanya datar."S-sudah selesai, Pak."Ada lengkungan kecil di bibirnya. "Bagus. T

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status