Tatapan Kenzo yang sangat serius membuatku ingin tertawa. Bagaimana kalau dia tau..."Aku butuh teman untuk datang ke pernikahan mantan suamiku."Mata pria itu terbelalak. "Mantan suamimu?! David?" Dia tampak tidak percaya dengan jawabanku, sampai menegaskan siapa nama mantan suamiku.Kuanggukkan kepala. "Demi apa? Serius, May?" tanyanya."Iya, Zo. Acara pernikahannya besok lusa. Bukankah kantor libur?""Benar, kantor emang libur. Karena lusa adalah hari minggu.""Makanya itu aku mengajak kamu, Zo. Aku bakal malu banget kalau datang sendirian. Apalagi kamu tau sendiri gimana keluarga David sama aku. Aku selalu jadi bahan gunjingan mereka." Aku mengucapkannya sembari menundukkan kepala. Aku ingin mendramatisir semua ucapanku agar sahabatku itu mau.Kenzo menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan, seakan dia masih mencoba mencerna permintaanku. Aku menahan tawa melihat reaksinya yang berlebihan. Tapi di sisi lain, aku juga lega karena dia tidak langsung menolak. “Kamu yakin data
Kenzo mematung di welcome sign dengan pundak naik turun. Membuatku mulai mengambil posisi kuda-kuda. Aku tidak bisa memprediksi apa yang akan dilakukannya. Hingga tangan Kenzo mengepal kuat bersiap menonjok pigora di depannya. Aku yang ada di sampingnya, langsung menahan tangannya yang sudah melayang di udara. "Tahan, Zo! jangan bikin keributan di sini," mohonku karena beberapa orang menyorot ke arah kami."Lepas, May! Aku tidak bisa membiarkan Rosa menikah! Dia-" Aku langsung membekap mulut pria itu. Berapa tamu yang mulai berdatangan memperhatikan kami dengan ekspresi penasara. Bisa gawat kalau Kenzo keceplosan soal Rosa. Aku menatapnya dengan tatapan memperingatkan, sementara tanganku masih menekan kuat mulutnya. Kenzo menggeram di balik telapak tanganku, napasnya memburu. Aku bisa merasakan ototnya menegang, seakan dia masih berusaha melepaskan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa kutebak. "Kenzo," bisikku tegas, berusaha menenangkan. "Ini bukan tempatnya. Kita nggak bi
Kenzo melangkah maju, menatap Azella dengan sorot mata tajam. "Dari mana kamu mendapatkan ini?" suaranya bergetar, bukan hanya karena amarah, tetapi kepedihan terpancar dari wajahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis. "Aku punya sumberku sendiri." Ia melirik ponselnya sejenak sebelum mengangkat dagunya. "Dan kalau kamu masih ragu, aku bisa memberimu bukti lebih lanjut." Aku bisa merasakan tubuh Kenzo semakin menegang. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal kuat.Dia berada di ambang batasnya. "Zo, jangan di sini," bisikku. "Kita harus tenang." "Tenang?" Kenzo menoleh padaku dengan sorot mata penuh luka. "Dia membunuh anakku, May! Aku nggak bisa tinggal diam!" Aku terdiam. Aku tahu ini bukan perkara kecil untuk Kenzo. Aku tahu bagaimana usahanya untuk mendapatkan anak dalam hidupnya, dan saat dia mendapatkan kesempatan itu, semua harapannya hancur begitu saja. Azella menatap kami dengan kedua alis terangkat dan bibir melengkung ke atas, seolah sedang menonton drama yan
Musik pengiring mulai mereda, menandakan akad nikah akan segera dimulai. Semua tamu tampak memperhatikan panggung dengan penuh antusias. Rosa duduk dengan anggun di pelaminan, tangannya bertaut di pangkuannya, senyumnya semakin lebar ketika David duduk di sampingnya. Napasku terasa sesak saat melihat pemandangan itu. Tidak lama lagi, semua kebohongan ini akan terbongkar.Azella, yang berdiri tidak jauh dari meja teknisi, memberikan isyarat halus dengan mengangkat jari telunjuknya. Itu tanda bahwa dia sudah memastikan video siap diputar. Aku mengangguk kecil, lalu menoleh ke Kenzo yang masih menatap Rosa dengan rahang mengeras."Siap-siap," bisikku.Kenzo menghela napas panjang. "Aku lebih dari siap."Saat penghulu bersiap membuka acara, tiba-tiba layar besar di belakang pelaminan berkedip, menampilkan logo awal sebuah video. Beberapa tamu tampak terkejut, beberapa yang lain berbisik-bisik, bingung dengan perubahan yang tidak terduga ini.David mengernyit dan menoleh ke teknisi. "Apa i
"Maya..." panggil mantan suamiku dengan mata yang sendu. Pria yang memakai jas putih menggengam lenganku cukup erat. Aku bisa merasakan tangannya yang tremor, entah karena apa. Aku tak menyangka David sudah berada di belakangku, padahal beberapa waktu lalu aku melihatnya keluar dari ballroom ini."A-aku-""Lepas," ucapku tegas. "Dengarkan aku sebentar." David memohon dengan tatapan penuh harap. Segera kugelengkan kepala. "Lepaskan tanganku. Aku tidak ingin mendengar apapun!" Kali ini aku mengatakannya dengan sorot yang tajam.David menggenggam tanganku lebih erat, seolah takut aku akan pergi sebelum ia selesai bicara. Aku menatapnya dengan tajam, mencoba melepaskan diri, tetapi genggamannya terlalu kuat."Maya, kumohon dengarkan aku sebentar saja," suaranya bergetar dengan akhir yang tercekat.Aku menarik napas panjang, menahan amarah yang hampir meledak. "Dengar apa, David?"David menghela napas panjang, matanya berkabut. "Aku salah, Maya. Aku benar-benar salah."Aku terkekeh sinis
Kubekap wajah putraku dengan sapu tangan yang sudah kuolesi obat bius. Ini adalah cara terakhir yang bisa kulakukan. Namun, belum selesai putraku bereaksi, seseorang keluar dari pintu lift. Sontak aku menoleh dan mendapati atasanku mendekat dengan kedua alis terangkat."Akhirnya kamu membawa Bimo," puas Tristan melihat putra yang kudekap. Kini hanya salah satu alisnya yang terangkat, "Ada apa?"Jantungku berdegup kencang. Apa dia tau apa yang kulakukan pada putraku?"Bimo tantrum, Pak.""Oh ya?" Ia melirik anakku yang sudah lemas.Segera kupamerkan senyum tipis. "Sepertinya dia sudah lelah." Aku berniat merebahkan putraku di tikar, tetapi CEOku mencegah. "Bawa saja ke ruaganku, di sana ada sofa tidur." Tristan mendekat, dan langsung menggendong Bimo penuh perhatian. "Biar aku yang membawanya, kamu cukup siapkan tempat tidurnya."Langkah kakiku sedikit berlari ke dalam. Aku tak ingin atasanku itu menunggu terlalu lama. Sofa yang bisa dijadikan tempat tidur itu segera kutata. Kemudian
"Kalau begitu, sekarang keluar dan selesaikan pekerjaanmu." Tristan kembali ke tempat duduknya. Tak ada ekspresi di wajahnya. Sekarang, aku hanya bisa mengepalkan tangan. Pria itu benar-benar membuatku serba salah. Namun, statusku yang sebagai sekretarisnya, membuatku harus menahan diri.Aku langsung meninggalkan ruangan CEO itu dengan emosi membara. Pak Jacson yang baru saja keluar segera menghampiriku. "Pastikan, Pak Tristan ikut rapat setelah makan siang," ujarnya sebelum pergi. "Yang sabar, May."Lagi-lagi pria itu memberikan ucapan semangat atau sarkas dikala gundahan hatiku. Aku bisa mengingat, dia adalah orang yang menyemangatiku di lift setelah tragedi labrakan Gita di lobi kantor. Perhatiannya kala itu memang menghangatkan hatiku, tapi kali ini aku seakan dipaksa untuk bersabar. Rasanya tidak adil.Dengan sisa kesabaran yang kupunya, aku meraih dokumen yang perlu dipersiapkan untuk rapat siang nanti. Jemariku bergerak cepat di atas keyboard, mengirim beberapa email penting. N
Bu Ayu menghela napas pelan, tangannya mengelus punggung Bimo dengan lembut. “Tadi waktu saya ajak turun dari mobil, ada suara klakson yang cukup keras. Dia kaget dan langsung menangis, Maya. Saya coba menenangkan, tapi dia masih sedikit ketakutan.”Aku mengusap kepala putraku dengan lembut. “Sayang, Ibu di sini. Nggak apa-apa, ya? Itu cuma suara mobil, Bimo aman.”Bimo masih menggigit bibirnya, napasnya tersengal. Aku tahu dia butuh waktu untuk memproses ketenangannya. Pelan-pelan, aku mengulurkan tangan dan membiarkannya menyentuh jemariku lebih dulu sebelum menariknya ke dalam pelukan.“Bimo, tarik napas dulu, ayo,” bisikku, membimbingnya dengan suara pelan. “Pelan-pelan aja. Kita hitung, ya? Satu… dua…”Bimo akhirnya mengikuti, meski masih terisak kecil.Aku menghela napas lega ketika napasnya mulai stabil. Tapi kemudian, aku menyadari sesuatu.Tristan berdiri tak jauh dari kami.Aku tidak tahu sejak kapan dia ada di sana, tapi ekspresinya sulit ditebak. Tangannya dimasukkan ke da
Langkah berat itu semakin mendekat. Aku buru-buru menyibukkan diri dengan mengaduk kopi yang sudah lama tak butuh diaduk. Paulo menyingkir ke samping, memasang wajah nakal seperti biasa.Tristan muncul di ambang pintu pantry, mengenakan setelan abu-abu yang pas badan, rambutnya sedikit berantakan seperti baru tertiup angin luar. Wajahnya datar, seperti biasa, tapi matanya langsung menemukan aku. Sejenak, waktu rasanya melambat.“Selamat pagi,” ucapnya singkat, lalu menoleh ke Paulo. “Bisa minta waktu sebentar, Paulo?”“Wah, sudah kuduga. Saya cuma figuran di drama kalian,” celetuk Paulo sebelum menghilang ke balik pintu dengan senyum menyeringai.Aku nyaris tertawa kalau saja jantungku tak berdebar kencang.Tristan melangkah masuk, lalu berhenti di depanku. Ada jeda sesaat sebelum ia bicara.“Maya.” Suaranya tenang tapi tegas. “Setelah kamu selesai bikin kopi, langsung ke ruanganku. Aku mau kamu laporkan pekerjaan kantor selama aku pergi.”Nada suaranya terdengar profesional. Tak ada
Untuk beberapa saat, tak ada yang bicara. Hanya suara sendok dan garpu, sesekali terdengar obrolan meja lain. Aku bisa merasakan kalau Rosa tidak datang hanya untuk makan.“Kalau kamu butuh teman buat cerita. Ada aku, May. Kita mungkin sempat ada kesalahpahaman, jadi menjauh, tapi aku perempuan juga. Kadang, kita cuma butuh seseorang yang ngerti tanpa harus menghakimi.”Aku terperangah mendengar ucapannya yang mendadak itu. Suaranya terdengar lembut, nyaris tulus, tapi entah kenapa aku merasa ada kata yang tak sepenuhnya bisa kupercaya. Mungkin karena sejarah kami—meskipun Rosa belum pernah benar-benar menyakitiku secara langsung, sikapnya selama ini… terlalu licin. Seperti selalu memakai topeng berbeda untuk setiap orang.Aku tersenyum kecil, tapi tak sampai ke mata. “Terima kasih, Rosa. Aku baik-baik saja, kok.”Dia menyendok saladnya pelan, lalu mengangguk. “Ya, aku ngerti. Kamu memang tipe yang suka menyimpan semuanya sendiri.”Aku hanya menjawab dengan anggukan singkat. Dalam hat
Aku tak bisa menjawab.Ruangan terasa semakin sunyi. Bahkan deru AC pun seperti ikut menahan suara.“Saya tidak lari,” jawabku pelan. “Saya cuma menjaga diri.”Tristan mengangguk, lalu berdiri. Ia berjalan ke arahku, lalu berhenti tepat di depanku. “Kalau kamu terus menjaga diri dari orang yang benar-benar tulus, kamu akan kehilangan mereka. Termasuk aku.”Lalu, ia menoleh ke tiga karyawan itu dan berkata, “Rapat selesai. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing.”Mereka langsung bangkit dan meninggalkan ruangan dengan gesit, seolah lolos dari lubang jarum. Saat pintu tertutup yang tersisa hanya kami berdua.Aku belum sanggup menatapnya langsung.“Kenapa Anda lakukan ini, Pak?” tanyaku resah. Suaraku nyaris seperti bisikan.“Karena aku ingin semua orang tahu, kamu bukan siapa-siapa dalam hidupku.” Ia terdiam sebentar. “Tapi kamu adalah segalanya.”Tubuhku menegang.“Kalau aku masih harus membuktikannya dengan presentasi, testimoni, atau bahkan membuat video drama... aku akan lakuk
Ketiga karyawan tersebut menoleh dengan kikuk. Cengir kuda dengan mata melotot, saling melemparkan lirikan. "He-he Pak..." ucap salah satu karyawan, dia menganggukkan kepalanya.Tristan tersenyum tulus pada mereka. "Ikut ke ruangan saya, sekarang."Saat membalikkan badan ke arahku, dia berucap. "Tolong, delivery makanan untuk kita berlima.""Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku. Ketiga orang yang sebelumnya menggunjing kami, mematung.Tristan yang sudah berjalan beberapa langkah dari kami, segera berhenti dan menoleh. "Ayo.""S-siap, Pak!" Ketiga karyawan tersebut langsung mengikuti CEO masuk ke lift khusus eksekutif.Setelah pintu lift tertutup, aku menghela napas panjang. Dalam hati, aku sedikit merasa puas melihat ekspresi panik mereka yang tadinya sok berani menggunjing di balik punggung orang. Tapi di sisi lain, aku juga kasihan. Semoga mereka sadar dan tidak mengulangi hal yang sama lagi.Aku segera menuju pantry dan menghubungi layanan katering langganan kantor. “Lima pors
"Tidak perlu!" sela seseorang yang baru saja masuk ke ruang rapat. Semua orang tertuju padanya."Kita selesaikan masalah ini sekarang juga!"Mataku terbelalak mengetahui siapa orang itu. Sosok yang tanpa sadar aku rindukan kehadirannya. Paulo tersenyum lega ke arahku. "Maaf, Pak Tristan tapi-" Pak Haryo berusaha mencegah Tristan."Tidak ada tapi-tapian Pak Haryo. Lihat bukti saya terlebih dahulu." Tristan melemparkan flasdisk kepada Paulo. Paulo pun memainkan rekaman cctv di kamar Tristan yang ada di New York dan Paris."Bisa kalian lihat sendiri, aku dan sekretarisku menempati kamar yang berbeda. Meskipun ruangannya sama, rapi ada dua kamar di sana. Kami berdua tidak pernah melewati batas, justru orang lain sudah mengusik privasiku. Sampai mencuri jaketku!" Tristan mengarahkan pandangan dan jari telunjuknya pada Rahma. Perempuan yang beberapa kali mengunjungi kamar kami di New York.Mulut Rahma terngaga berusaha mencuatkan alasan, tetapi ditahan Tristan."Tidak perlu beralasan, aku
“Boleh saya tahu siapa saksi mata itu?” tanyaku. “Atau, setidaknya, apakah bisa dihadirkan sekarang juga agar saya bisa membela diri dengan adil?” Pak Haryo menatapku sangat tajam. "Tidak perlu. Tonton saja rekaman ini."Pria itu menjentikkan jari meminta operator untuk menyalakan proyektor. Di layar terpampang adegan Tristan menggendongku dan memasukkanku ke kamarnya. Jantungku sontak berdegup. Itu adalah hari di mana aku baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani rehabilitasi. Hanya itu yang dipertontonkan padaku. Bu Nanda memijit pelipisnya. "Biarkan saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pak," mohonku.Kepala tim legal itu mengangkat tangannya, kode menolak permohonanku. "Kita lakukan rapat direksi besok siang. Semua bukti sudah kuat, kami tidak ingin mencoreng nama baik Panthelis dengan tindakan tidak senonoh. Sekarang kembali ke posisi masing-masing."Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk kecil tanpa suara. Sia-sia menjelaskan sekarang. Mereka sudah menutup telinga.
Paulo hanya tersenyum, berdiri sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Bisikannya nyaris seperti racun yang disusupkan langsung ke pikiranku."Ada seseorang yang sengaja menjatuhkan kamu, Maya. Dan dia nggak main-main."Seketika udara di ruangan seolah membeku."Pasang flashdisk ini, tapi pastikan kita sendirian. Ini bukan sekadar soal gosip. Ini sudah personal."Aku menatapnya tajam. "Siapa, Paulo?"Ia hanya mengangkat alis, lalu berbisik,"Rahma bukan satu-satunya."Tanganku gemetar saat menerima flashdisk itu. Tubuhku mendadak dingin, meski AC kantorku sudah lama mati sejak siang. Pikiran tentang Bimo, pekerjaanku, dan reputasi yang kujaga selama ini mendadak seperti benang kusut yang siap putus kapan saja."Kalau ini jebakan," ucapku pelan.Dia mengangkat tangan, "Relax, darling. Aku di tim kamu. Selalu di tim kamu."Aku menarik napas dalam, lalu bangkit dari kursi dan menuju ke pintu. Kupastikan ruangan terkunci, bahkan kucek ulang gorden agar tak ada celah untuk orang luar meng
Benar saja, keesokan harinya Tristan terbang ke New York.Aku dikepung tumpukan dokumen dari beberapa divisi. Panthelis, perusahaan tempatku bekerja, memang tengah menggeliat agresif di pasar global. Fokus utama kami adalah produksi rokok, dan sejak Tristan menjabat sebagai CEO, ekspansi bisnis menjadi gila-gilaan. Tak hanya Asia, kini kami mulai menancapkan kuku di Eropa. Bahkan, kami sedang mengembangkan lini produk baru: rokok elektrik atau vape, dengan sentuhan desain dari Paris dan riset dari New York.Tumpukan file di mejaku tak hanya soal distribusi, tapi juga konsep visual, kemasan, rasa, hingga strategi branding. Di depan mataku, ada blueprint elegan untuk rokok elektrik bernuansa retro-futuristik. Aromanya? Cherry-vanilla bourbon. Fancy. Logo-nya terukir Taffer Phantelis, entah bagaimana aku menduga itu berarti sesuatu seperti “Kerjaan Phantelis” dalam bahasa Prancis. Seolah menunjukkan bahwa ini bukan sekadar produk, tapi simbol baru dari eksistensi kami.Pintu ruanganku ti
"Ma..."Suara yang sangat familiar tertangkap di daun telingaku. Aku segera menoleh, dan tebakanku benar. Itu Tristan, berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celananya. Kancing kemejanya terbuka, memamerkan sedikit dada bidangnya yang eksotis. Entah kenapa pipiku terasa panas. Segera kutundukkan kepalaku."I-iya, Nak?" Bu Ayu menyahutinya dengan sedikit tergagap."Papa di mana?"Tristan menggeret salah satu kursi dan duduk bersama kami."Bar saja kembali ke kamar. Ada apa?""Ya sudah kalau gitu. Cuma tanya saja. Bimo di mana?""Sedang istirahat di kamarnya."Keadaan menjadi hening beberapa saat. Aku mengeratkan cengkeraman tanganku. Namun, Bu Ayu kembali mengajakku bicara. "Makanlah, Maya.""I-iya, Bu." Kuanggukkan kepalaku dengan sopan. Saat melihat ke arah atasan yang duduk di depanku. Aku bisa melihat seringaian kecil darinya. Dia membuatku semakin tidak nyaman!"Bagaimana pekerjaanku hari ini?" tanyanya datar."S-sudah selesai, Pak."Ada lengkungan kecil di bibirnya. "Bagus. T