Kubekap wajah putraku dengan sapu tangan yang sudah kuolesi obat bius. Ini adalah cara terakhir yang bisa kulakukan. Namun, belum selesai putraku bereaksi, seseorang keluar dari pintu lift. Sontak aku menoleh dan mendapati atasanku mendekat dengan kedua alis terangkat."Akhirnya kamu membawa Bimo," puas Tristan melihat putra yang kudekap. Kini hanya salah satu alisnya yang terangkat, "Ada apa?"Jantungku berdegup kencang. Apa dia tau apa yang kulakukan pada putraku?"Bimo tantrum, Pak.""Oh ya?" Ia melirik anakku yang sudah lemas.Segera kupamerkan senyum tipis. "Sepertinya dia sudah lelah." Aku berniat merebahkan putraku di tikar, tetapi CEOku mencegah. "Bawa saja ke ruaganku, di sana ada sofa tidur." Tristan mendekat, dan langsung menggendong Bimo penuh perhatian. "Biar aku yang membawanya, kamu cukup siapkan tempat tidurnya."Langkah kakiku sedikit berlari ke dalam. Aku tak ingin atasanku itu menunggu terlalu lama. Sofa yang bisa dijadikan tempat tidur itu segera kutata. Kemudian
"Kalau begitu, sekarang keluar dan selesaikan pekerjaanmu." Tristan kembali ke tempat duduknya. Tak ada ekspresi di wajahnya. Sekarang, aku hanya bisa mengepalkan tangan. Pria itu benar-benar membuatku serba salah. Namun, statusku yang sebagai sekretarisnya, membuatku harus menahan diri.Aku langsung meninggalkan ruangan CEO itu dengan emosi membara. Pak Jacson yang baru saja keluar segera menghampiriku. "Pastikan, Pak Tristan ikut rapat setelah makan siang," ujarnya sebelum pergi. "Yang sabar, May."Lagi-lagi pria itu memberikan ucapan semangat atau sarkas dikala gundahan hatiku. Aku bisa mengingat, dia adalah orang yang menyemangatiku di lift setelah tragedi labrakan Gita di lobi kantor. Perhatiannya kala itu memang menghangatkan hatiku, tapi kali ini aku seakan dipaksa untuk bersabar. Rasanya tidak adil.Dengan sisa kesabaran yang kupunya, aku meraih dokumen yang perlu dipersiapkan untuk rapat siang nanti. Jemariku bergerak cepat di atas keyboard, mengirim beberapa email penting. N
Bu Ayu menghela napas pelan, tangannya mengelus punggung Bimo dengan lembut. “Tadi waktu saya ajak turun dari mobil, ada suara klakson yang cukup keras. Dia kaget dan langsung menangis, Maya. Saya coba menenangkan, tapi dia masih sedikit ketakutan.”Aku mengusap kepala putraku dengan lembut. “Sayang, Ibu di sini. Nggak apa-apa, ya? Itu cuma suara mobil, Bimo aman.”Bimo masih menggigit bibirnya, napasnya tersengal. Aku tahu dia butuh waktu untuk memproses ketenangannya. Pelan-pelan, aku mengulurkan tangan dan membiarkannya menyentuh jemariku lebih dulu sebelum menariknya ke dalam pelukan.“Bimo, tarik napas dulu, ayo,” bisikku, membimbingnya dengan suara pelan. “Pelan-pelan aja. Kita hitung, ya? Satu… dua…”Bimo akhirnya mengikuti, meski masih terisak kecil.Aku menghela napas lega ketika napasnya mulai stabil. Tapi kemudian, aku menyadari sesuatu.Tristan berdiri tak jauh dari kami.Aku tidak tahu sejak kapan dia ada di sana, tapi ekspresinya sulit ditebak. Tangannya dimasukkan ke da
Kenzo yang melihat reaksiku langsung terkejut dan refleks menekan tombol lift berulang kali. "Bimo? Bimo ada di dalam?" tanyanya cepat.Aku mengangguk panik. "Iya! Aku tadi keluar tanpa sadar, dan-! Ya Allah, kenapa aku bisa ceroboh begini?" Jantungku berdegup kencang, kuremas kepalaku sendiri karena rasa frustrasi menderai kepalaku. Pikiranku langsung dipenuhi ketakutan. Bimo masih kecil, dan dia bisa panik kalau sendirian, apalagi di dalam lift yang tertutup. Lift yang tadi membawa Bimo naik akhirnya berhenti di lantai atas. Aku menggigit bibir, perasaan cemas semakin menguasai. "Kenzo, aku harus ke atas!" Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arah tangga darurat."Heh, May! Tunggu, jangan lari!" Kenzo mengejarku, tapi aku sudah lebih dulu menaiki anak tangga dua-dua. Nafasku mulai berat, tapi aku tak peduli. Bimo lebih penting.Setibanya di lantai atas, aku mendapati pintu lift terbuka, dan di sana kosong! Tidak ada siapapun. Aku menenangkan diri menggeledah di seluruh ruangan lanta
Tanpa berpikir panjang, aku langsung bangkit dengan tubuh gemetar. "Bimo di rooftop, aku harus ke sana!" Aku berlari menaiki tangga secepat mungkin. Tristan masih di belakangku, langkah kakinya menggema di tangga darurat yang sempit. Aku berusaha secepat mungkin untuk sampai ke atas, tapi tubuhku sudah terlalu lelah setelah panik mencari anakku sejak tadi. "Bertahan, May! Kita harus cepat!" suara Tristan terdengar dari bawah. Aku menguatkan diri, memaksakan langkah meskipun nafasku semakin berat. Setiap anak tangga terasa seperti hukuman karena kecerobohanku sendiri. Begitu sampai di lantai 30, pintu tangga darurat sedikit terbuka. Aku mendorongnya dengan paksa, dan angin kencang langsung menyambut kami. Begitu aku tiba di rooftop, mataku langsung mencari sosok kecil itu. Bimo berdiri di ujung pembatas atap, tangannya mencengkeram pagar besi setinggi pinggangnya. Angin kencang menerpa tubuh kecilnya, membuat bajunya berkibar. Dia tampak kebingungan, matanya menatap kosong ke
Tristan menatapku penuh arti, sedangkan aku menelan saliva dengan paksa. Kenapa dia memberitahuku jika yang menelpon adalah Mas David, mantan suamiku? Lalu, kenapa dia meminta pendapatku untuk mengangkat telepon itu atau tidak? Sekarang, aku dibuat mati kutu olehnya. Aku menjadi serba salah untuk merespon pertanyaannya. Tristan masih menunggu jawaban dariku, tapi aku hanya bisa terdiam. Aku tidak ingin bicara dengan Mas David, tapi aku juga tidak bisa mengabaikannya begitu saja."Saya tidak tahu, Pak," jawabku akhirnya dengan suara pelan. "Terserah Bapak saja, mau diangkat atau tidak."Tristan mendengus kecil, tampaknya tidak puas dengan jawabanku. Ia mengangkat ponselnya dan menatap layar sebentar sebelum akhirnya menekan tombol terima panggilan."David," ucapnya santai, tapi sorot matanya tetap mengarah padaku.Aku menggigit bibir bawahku, menunggu apa yang akan dikatakan Mas David."Ya, dia ada di sini," Tristan melirikku sekilas. "Kenapa?"Aku menahan napas.Beberapa detik kemudi
Aku hampir tersedak air putih yang baru saja kuteguk. "Apa?" Tristan menyandarkan punggungnya di kursi. "Kamu tidak menjawab pertanyaanku." Pipiku terasa hangat. Kenapa dia menanyakan hal seperti itu? Ditambah ekspresinya membuatku tak bisa berkutik. Dingin tapi perhatian! Pesona macam apa ini. Ya Tuhan, rasanya aku ingin berlari sekencang-kencangnya dari sini."Saya... tidak punya," jawabku pelan. Tristan mengangguk, entah puas atau justru semakin penasaran. "Kenapa?" Aku menghela napas. "Saya sudah cukup sibuk mengurus anak saya. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal seperti itu." Tatapan Tristan melembut. Aku tidak pernah melihat ekspresi itu sebelumnya. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Maya." Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Tristan benar-benar aneh hari ini. Kenapa tiba-tiba dia jadi perhatian seperti ini? Aku tidak bisa memahami maksudnya. Apa mungkin... dia menyukaiku? Tidak, tidak mungkin. Aku menggeleng pelan. Tidak boleh berpikir yang aneh-
Aku mematung, otakku masih berusaha mencerna kata-kata pria di depanku. Dia tidak mungkin baru saja mengatakan itu, kan? Tidak, pasti aku salah dengar. Tapi ekspresinya begitu serius, matanya tetap menatapku lekat tanpa keraguan sedikit pun. "Pak Tristan..." suaraku nyaris berbisik, masih tak percaya. "Ya?" jawabnya santai. Aku menelan ludah, aku tidak mengerti dengan jalan pikir CEO-ku itu. "Bapak sadar kalau ini bukan sesuatu yang seharusnya dibahas antara atasan dan sekretarisnya, kan?" Tristan menyeringai kecil. "Tapi kita sedang di luar kantor sekarang, Maya. Dan yang sedang makan siang denganku ini bukan sekadar sekretarisku, tapi seorang wanita yang membuatku penasaran." Jantungku berdebar lebih cepat. Aku tak tahu harus merasa tersanjung, tersinggung, atau justru waspada. Tristan selalu bersikap misterius, tapi siang ini dia lebih dari sekadar sulit ditebak. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kewarasan. "Pak, saya tidak tahu apa maksud Bapak, tapi—" "A
"Apa?" suaraku nyaris tak terdengar. Tristan mendekat, lalu berlutut di hadapanku, mengabaikan segala batasan yang selama ini kutegakkan. "Aku mencintaimu, Maya," ulangnya, kali ini dengan lebih tegas. "Aku sudah terlalu lama menahannya. Aku tidak bisa lagi berpura-pura." Aku menggeleng cepat, lalu berdiri, membuat Tristan harus ikut bangkit. "Anda pasti sedang kelelahan. Atau anda hanya terpengaruh situasi yang tegang." Tristan mendengus frustrasi. "Ini bukan soal situasi, Maya. Aku sudah menyadarinya sejak lama." "Tidak!" Aku menolak mentah-mentah ucapannya. Aku tidak ingin mendengar ini. Aku tidak boleh mendengar ini. Tristan mengepalkan tangan. "Jangan menolak perasaanku, Maya. Aku tahu kamu juga merasakannya!" Aku mendongak, menatapnya dengan marah. "Anda salah, Pak. Saya tidak merasakan apa-apa." Tristan tersentak, jelas tak menduga kata-kataku sekejam itu. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat dadaku terasa sesak. Pria itu lantas berdiri. Menatapku dengan
"Kamu fokus pada perawatanmu. Aku akan menyelesaikan masalah ini. Jangan kemana-mana." Tristan segera keluar."Perketat penjagaan di sini! Aku tidak mau masalah semakin besar." Dia berkata pada salah satu orang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Penampilannya yang sangat macho membuat bulu kudukku berdiri."Yes, Sir!"Pria itu masuk, dan diikuti beberapa orang yang lain. Kemudian seorang perempuan masuk dan berkata, "Saya yang akan merawat Nona, selama rehabilitasi.""B-baik. Mohon bantuannya."Saat ini hanya ini lah yang bisa kulakukan. Kuharap dengan menerima semua keputusan CEO-ku dan berdiam diri di rumah sakit sampai detoksifikasi selesai, bisa meringankan beban Tristan.Hari-hari berlalu dengan perlahan di rumah sakit. Tubuhku masih terasa lemah, tetapi setidaknya aku sudah bisa duduk tanpa merasa pusing. Perawat yang ditugaskan untuk menjagaku, seorang wanita bernama Agnes, cukup perhatian dan cekatan dalam merawatku.
Kami semakin menjauh dari hiruk pikuk keramaian. aku ingin sekali berteriak, tetapi Gabriel langsung membekap mulutku."Diam! Aku hanya akan bicara baik-baik denganmu. Jangan bikin masalah," hardiknya dengan ekspresi bengis.Aku ingin sekali menangis, karena mendapatkan perlakuan kasar dari orang yang pertama kali aku temui. Gabriel yang mengaku sebagai perwakiran Aurum Global Inc menatapku dengan gahar.Aku berusaha meronta, tetapi cengkeramannya terlalu kuat. Napasku memburu, dadaku sesak oleh ketakutan. Gabriel menarikku ke lorong sempit di belakang gedung pesta, jauh dari pandangan orang lain."Jangan buat ini lebih sulit," desisnya. Matanya menyiratkan bahaya.Aku menggigit bibirku, menelan ketakutan yang melilit. "Apa maumu?" tanyaku dengan suara bergetar. Gabriel mengendurkan cengkeramannya sedikit, tetapi tetap waspada. "Aku perlu bicara. Tanpa gangguan, tanpa drama." Aku menatapnya tajam.
"Maksudmu?" Aku meliriknya sinis."Enakkan, modal goda CEO bisa melencong ke Eropa," bisik perempuan itu tajam. Aku mendadak menegang. Rasanya ingin menyiram kopi panas ini ke wajah perempuan yang baru saja bicara. Namun, aku masih punya harga diri dan akal sehat.Aku menoleh perlahan, menatapnya dengan tatapan dingin. "Maaf, aku kurang paham maksudmu," kataku datar.Perempuan itu menyeringai, lalu bersandar di meja pantry. "Oh, ayolah, Maya. Kami semua di sini tahu bagaimana kamu bisa sampai ke New York. Bukan karena kerja keras, kan?" Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan emosi. "Jadi menurutmu aku ada di sini karena apa?" Dia terkekeh sinis. "Yah, kamu cukup cantik dan punya pesona sendiri, apalagi kalau sampai bisa dekat dengan CEO. Kami hanya bertanya-tanya, berapa banyak hal lain yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan posisi ini?"Darahku mendidih. Aku ingin membalas, tapi sebuah suara lain tiba-tiba terdengar dari belakang. "Kalau kalian punya waktu untuk gosip muraha
"Bimo habis tantrum hebat, Mbak. Bu ayu sampai kewalahan."Astaga, hatiku benar-benar terenyuh mendengarnya. Perasaan bersalah mulai menggerogoti hatiku. Apalagi, orang yang tak memiliki hubungan apapun denganku sampai merawat putraku dan kewalahan saat aku di luar negeri."Terus gimana, Bu?""I-itu, Mbak..." Suara wanita itu terbata-bata. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan?"Gimana, Bu?" tanyaku lagi. Aku tak sabar jika diulur-ulur seperti ini."T-tadi saya terpaksa pakai obatnya. Terus Bu Ayu marah besar."Aku langsung mendekat mulutku. Astaga! "Aku terpaksa pakainya, Mbak. Tadi Bimo benar-benar sulit dikendalikan. Sekarang gimana, Mbak? Saya takut banget," sesal Bu Yati di seberang telepon.Kugigit bibir bawahku. akhirnya rahasia yang berusaha aku sembunyikan terbongkar. Namun, aku tidak bisa menyalahkan, terkadang keadaan Bimo memang tak bisa di kontrol. Alasan kenapa aku memakai obat pun, karena saat ini, itulah jalan terbaik agar Bimo aman. Sayangnya cara ini belum legal di I
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya tiba di Montmartre, sebuah distrik artistik di Paris yang dipenuhi kafe-kafe kecil, seniman jalanan, dan jalanan berbatu yang penuh sejarah."Montmartre ini punya suasana yang berbeda dengan tempat lain di Paris," kataku sambil memandang sekeliling.Tristan, yang berjalan di sampingku, mengangguk kecil. "Kamu tahu? Dulu, tempat ini adalah rumah bagi banyak pelukis terkenal. Picasso, Van Gogh, mereka pernah tinggal dan berkarya di sini."Aku tersenyum. "Pak Tristan terdengar seperti pemandu wisata profesional."Tristan tertawa kecil. "Kalau di Prancir, Aku memang sering ke sini setiap kali punya waktu luang. Ada Banyak hal menenangkan di tempat ini."Kami berjalan perlahan, menikmati atmosfer yang tenang. Beberapa seniman sedang melukis di sudut-sudut jalan, dan turis-turis berkerumun di depan toko-toko seni kecil."Mau masuk ke galeri itu?" Tristan menunjuk sebuah toko kecil dengan lukisan warna-warni di jendela.Aku mengangguk antu
"Menarik," ucapnya lirih. Pria itu segera berbalik dan menlanjutkan langkahnya. Aku menarik napas dalam, karena selama Tristan bicara, tanpa sadar aku menahan napas!Begitu aku melangkah masuk ke dalam château, aroma khas kayu tua dan anggur yang difermentasi memenuhi udara. Interiornya klasik dan elegan, dengan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit tinggi dan perabotan antik yang tertata rapi. Rasanya seperti memasuki dunia lain, dunia yang jauh dari hiruk-pikuk Paris dan kantor.Tristan berjalan di depanku, sesekali menoleh seakan memastikan aku mengikutinya. Kami dibawa ke ruang duduk yang nyaman, dengan jendela besar yang langsung menghadap kebun anggur yang membentang luas. Pierre menawari kami segelas anggur putih, tapi aku dengan sopan menolak dan memilih air mineral."Tidak minum alkohol?" tanya Tritan sebelum menyesap anggurnya dengan santai.Aku menggeleng. "Aku tidak terbiasa. Lagipula, aku lebih suka jus atau teh."Tristan mengangguk pelan, lalu menyandar
Mobil melaju dengan tenang melewati jalanan Paris yang mulai lengang, tapi suasana di dalam mobil justru terasa menegang. Aku duduk di sebelah Tristan di kursi penumpang, sementara Paulo duduk di belakang, memilih diam sejak tadi.Aku melirik Tristan yang masih fokus menyetir, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam menatap ke depan.Aku tahu dia marah.Sebenarnya, aku ingin berbicara, tapi entah kenapa rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokanku.Hening beberapa menit, lalu Tristan akhirnya buka suara."Maya, apa yang kamu pikirkan?" suaranya terdengar dalam dan tajam.Aku menggigit bibir. "Saya hanya… Paulo ingin menunjukkan butik bagus. Saya tidak berpikir itu akan menjadi masalah besar."Tristan menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk setir dengan ritme yang menunjukkan kekesalannya. "Tidak berpikir? Maya, ini Paris, bukan rumahmu. Kota ini punya banyak sisi gelap. Kamu bisa saja dalam bahaya, dan aku tidak tahu apa-apa soal itu. Padahal aku sudah mem
Keesokan harinya, presentasi Tristan berjalan dengan sangat baik. Selama presentasi, aku ada di sampingnya, memastikan dokumen dan data yang dibutuhkan tersedia. Aku juga sempat menjelaskan beberapa detail mengenai strategi operasional perusahaan dengan lancar, membuat Jacques Moreau dan timnya terkesan.Setelah pertemuan selesai, Jacques Moreau menjabat tanganku dan berkata dengan senyum kecil, "Mademoiselle Maya, Anda sangat cekatan dan profesional. Monsieur Tristan beruntung memiliki sekretaris seperti Anda."Aku tersenyum sopan, sedikit terkejut dengan pujiannya. "Terima kasih, Monsieur Moreau. Saya hanya melakukan tugas saya sebaik mungkin."Tristan yang berdiri di sampingku melirik sekilas, lalu menimpali dengan nada santai, "Saya juga berpikir begitu."Kupikir ia bercanda, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Saat kami kembali ke hotel, ia tiba-tiba menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua kepadaku. "Ini untukmu," katanya singkat.Aku mengerutkan kening, bingun