Aku mematung, otakku masih berusaha mencerna kata-kata pria di depanku. Dia tidak mungkin baru saja mengatakan itu, kan? Tidak, pasti aku salah dengar. Tapi ekspresinya begitu serius, matanya tetap menatapku lekat tanpa keraguan sedikit pun. "Pak Tristan..." suaraku nyaris berbisik, masih tak percaya. "Ya?" jawabnya santai. Aku menelan ludah, aku tidak mengerti dengan jalan pikir CEO-ku itu. "Bapak sadar kalau ini bukan sesuatu yang seharusnya dibahas antara atasan dan sekretarisnya, kan?" Tristan menyeringai kecil. "Tapi kita sedang di luar kantor sekarang, Maya. Dan yang sedang makan siang denganku ini bukan sekadar sekretarisku, tapi seorang wanita yang membuatku penasaran." Jantungku berdebar lebih cepat. Aku tak tahu harus merasa tersanjung, tersinggung, atau justru waspada. Tristan selalu bersikap misterius, tapi siang ini dia lebih dari sekadar sulit ditebak. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kewarasan. "Pak, saya tidak tahu apa maksud Bapak, tapi—" "A
Aku mengemudikan mobil pulang ke rumah. Sesampainya di gerbang komplek, Pak Budi memintaku untuk menurunkan kaca mobil. Kuturi permintaan pria itu, kalau bukan hal penting ia tak akan meminta apapun pada penghuni kompleks."Maaf meghambat perjalanan Bu Maya. Saya ingin melapor, 30 menita lalu David dengan plat xxx-xx ingin mengunjungi rumah Bu Maya. Tapi kami tidak mengizinkannya sesuai permintaan Ibu." Pak Budi selaku satpam di komplek ini mengatakannya dengan sangat sopan dan tegas. aku pun mengulas senyum di bibir. "Terima kasih," ucapku padanya. Aku kembali menaikkan kaca mobil dan mengemudikan perlahan melewati gerbang setelah mengangguk kepada Pak Satpam. Hujan rintik-rintik membasahi kaca depan, menciptakan bayangan cahaya lampu jalan yang berpendar samar. Aku menghela napas panjang, merasa lega sekaligus sedikit gelisah.David datang mencariku lagi.Tanganku menggenggam setir lebih erat. Sudah beberapa tahun sejak aku memutuskan untuk benar-benar membatasi hubungan dengannya,
"Saya mohon, Pak. Saya sampai berlutut seperti ini!"Aku menengok sebentar ke arah bawah tempat Kenzo dan Rosa berada. Dan benar saja, rota tengah berlutut di depan sahabatku dengan air mata berderai. Salah satu tangan wanita itu memegang kaki kenzo sangat erat."Apa yang ingin kamu bicarakan? Hanya dua menit," jawab sahabatku dengan wajah memaling. Sepertinya ia tak sanggup melihat wanita yang pernah ia hamili bersimpuh di hadapannya. Meskipun bayinya lenyap karena perbuatan Rosa sendiri, tapi aku bisa mengerti Kenzo masih memiliki rasa iba padanya."Saya ingin kembali seperti dulu, Pak. Maafkan saya karena tiba-tiba menikah dengan pria lain." Kenzo menghela napas panjang, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Aku bisa melihat rahangnya mengeras, pertanda bahwa ia tengah berusaha menahan diri. “Rosa, kamu sendiri yang memilih pergi. Kamu sendiri yang menghancurkan semuanya,” ucapnya datar, tapi suaranya terasa seperti luka yang dalam. Rosa semakin erat memegang kaki Kenzo, air m
Kuketuk pintu ruangan CEO-ku dengan lembut. Pria yang sebelumnya sedikit memunggungiku itu menatapku sekilas dan memutuskan teleponnya."Nanti kuhubungi lagi, ada banyak urusan yang harus kuselesaikan hari ini juga," akhir pria itu.Kuulas sedikit senyum padanya. "Maaf, Pak. Ada dokumen tambahan dari Pak Jacson." Kulangkahkan kakiku mendekati meja kerja Tristan. Aku menaruh dokumen dari Pak Jacson di atas meja Tristan dengan hati-hati. Pria itu mengambilnya sekilas, lalu kembali menatap layar laptopnya dengan ekspresi tajam. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, menandakan bahwa pikirannya sedang bekerja keras.Dia kembali bekerja dengan gesit, sedangkan aku tetap duduk di depannya sembari menyiapkan notes untuk point-point penting.Ucapannya kembali terngiang di kepalaku.'Kartu David sudah ada di genggamanku. Dia pasti akan sangat berguna untukku.'Itu sangat mengusik diriku, ini pasti soal aku bukan? Namun, segera kugelengkan kepala guna fokus pada pekerjaan kami."Maya."Ak
Aku membaca pesan tersebut dengan degup jantung yang sulit dikontrol. Kutatap dokumen kerjasama antara Garnett Holdings dan Panthelis Corps dengan nanar. Perlahan aku bisa merasakan suhu tubuhku meningkat. Tanganku tremor tak sanggup membawa ponsel dalam genggamanku. Apakah pekerjaan ini sungguh mendatangkan celaka dalam hidupku? Aku tidak bisa terus-terusan berprasangka tanpa adanya bukti. Jadi kubaca dokumen tersebut dengan lebih teliti.Halaman demi halaman kutelusuri dengan cermat. Semakin lama, semakin banyak kejanggalan yang kutemukan.Kontrak kerja sama ini terlihat sah di permukaan, dengan tanda tangan dari kedua belah pihak serta materai resmi. Namun, ketika aku menelusuri bagian keuangan, ada sesuatu yang tidak beres.Garnett Holdings mengajukan sejumlah besar dana untuk proyek ekspansi, tetapi laporan keuangan dari pihak Panthelis Corps tidak menampilkan rincian penggunaan dana yang jelas. Ada bagian yang sengaja dikaburkan, beberapa angka yang tidak sesuai dengan laporan
Tristan menatapku dalam. “Kau tidak pernah bertanya kenapa Kenzo begitu tertarik dengan kasus ini, Maya?”Dadaku terasa sesak. Kenzo sahabatku? Apa hubungannya dengan semua ini? “Apa maksud Anda?” suaraku terdengar lebih tajam dari yang kumaksudkan. Sikap waspadaku mendadak aktif karena situasi yang mengejutkan. Aku tidak menyangka akan terlibat kasus sebesar dan serumit ini.Tristan menghela napas. “Kenzo bukan sekadar sahabat baikmu, Maya. Dia punya koneksi dengan Garnett Holdings. Dan dia mungkin terlibat lebih dalam dari yang kamu kira.”Aku menggeleng, mencoba menyangkal. Tidak mungkin. Kenzo selalu ada untukku. Dia selalu membantuku. Dia tidak mungkin… Tapi kalau Leonard Garnett meninggal 5 bulan lalu, itu adalah masa-masa di mana Kenzo masih suka absen tak beralasan. Kalau memang begitu, bagaimana Tristan bisa mendapatkan foto-foto ini?“Aku ingin kamu berhati-hati,” Tristan melanjutkan. “Kalau kamu percaya padaku, aku akan melindungimu. Tapi kalau kau masih ingin percaya pad
Tristan tersenyum kecil. "Bukan umpan, tapi kartu as." Badanku merinding mendengar kata-katanya. "Jadi, apa rencana Anda?" tanyaku lugas. Tristan mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. "Kita akan cari tahu siapa dalangnya. Tapi kita harus bermain hati-hati. Jangan sampai mereka tahu kita sedang menyelidiki mereka." Aku mengangguk pelan. "Jadi, apa langkah pertama kita?" Tristan menyeringai tipis. "Kita akan menguji seseorang." Aku menajamkan pandangan. "Siapa?" Dia menatapku lekat-lekat sebelum menjawab. "Kenzo." Hatiku mencelos. "Apa maksud Anda? Kenzo—" "Dia mencurigakan," Tristan memotong. "Aku ingin kamu mengujinya. Lihat bagaimana reaksinya saat kamu memberitahunya sesuatu yang tidak benar." Aku menggigit bibir. Kenzo adalah orang yang selama ini kupercayai. Tapi bagaimana kalau Tristan benar? Bagaimana kalau Kenzo adalah bagian dari ini? Aku mengangguk pelan. "Baik. Saya akan mencobanya." Tristan menatapku sejenak sebelum akhirnya berkata, "Bagus. J
“Kajian internal tentang beberapa proyek yang didanai Garnett Holdings selama lima tahun terakhir,” jawabnya sambil bersandar ke meja, lengannya terlipat di dada. “Aku sudah lama curiga kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka. Tapi aku butuh seseorang untuk memastikan sebelum aku mengambil tindakan.”Aku menatap amplop itu ragu-ragu. “Kenapa saya?”Dia tersenyum miring, tapi tatapannya tetap serius. “Karena kamu orang yang teliti, cerdas, dan yang paling penting kamu bukan bagian dari mereka.”Jantungku berdegup kencang. Sekarang aku seperti di batas medan perang, ucapan atasanku terlalu berat untuk kuterima.Aku menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik, saya akan menelitinya.”Malam itu, aku menatap amplop cokelat yang terbuka di depanku. Dokumen-dokumen di dalamnya berisi laporan keuangan, catatan transaksi, dan beberapa surat perjanjian yang sudah ditandatangani.Semakin aku membacanya, semakin aku menyadari bahwa ini lebih besar dari yang kuduga.Ada proyek-proyek fi
Hari ini suasana terasa tenang. Aku sedang menyisir rambut Bimo setelah mandi, mencoba membiasakan diri dengan rutinitas baru tanpa pekerjaan kantoran. Meski hati masih sesak, aku mulai belajar untuk mencintai kesunyian ini, sunyi yang tak lagi dipenuhi tekanan dan penghakiman.Namun, suara mobil berhenti di halaman depan membuat langkahku terhenti. Dari balik jendela, kulihat Kenzo turun dari mobilnya sambil membawa map cokelat di tangan. Wajahnya terlihat serius. Ada sesuatu yang tidak biasa dari raut wajahnya hari ini.Aku segera membuka pintu sebelum Bu Yati sempat bergerak dari dapur."Zo?" tanyaku pelan.Kenzo mengangguk, menyerahkan map itu ke tanganku. “Ini dari kantor. Akhirnya, HRD sudah ACC surat resign kamu, May. Ternyata sebelumnya CEO menganggapmu cuti.”Tanganku gemetar saat menerima map itu. Segalanya mendadak terasa nyata. Aku benar-benar sudah bukan siapa-siapa lagi di tempat itu. “Cepet banget, ya…” gumamku pelan.Kenzo diam sejenak, lalu menatapku dalam. “Ada satu
Keesokan paginya, cahaya matahari mengintip pelan lewat celah tirai. Namun, aku tetap bergeming di ranjang, meringkuk membelakangi dunia. Selimut tebal menutupi tubuhku, tapi tak mampu menghangatkan luka di hati yang masih terasa segar, seperti baru saja dicabik.Aku tak keluar kamar sejak semalam. Hanya Sinta yang sesekali masuk membawakan makanan atau sekadar menyisir rambutku yang mulai kusut. Bu Yati juga tak pernah jauh dari pintu kamarku, menunggu kalau-kalau aku butuh sesuatu. Akan tetapi aku tetap diam. Aku belum sanggup.Di luar kamar, kudengar suara Bimo bermain dengan Bu Yati. Tawa kecilnya sesekali menyusup ke dalam, dan setiap kali itu terjadi, hatiku kembali teriris.Aku ibu kandungnya, tapi malah dipertanyakan kelayakanku. Dianggap tak mampu, dianggap tak waras. Bu Ayu tak hanya menginjak harga diriku sebagai perempuan, tapi juga sebagai seorang ibu.Sinta masuk dengan langkah pelan, membawa nampan kecil berisi bubur dan segelas susu hangat.“May… kamu belum makan dari
Sesampainya di rumah, Bu Yati membukakan pintu utama dengan semringah. Namun, saat melihat keadaanku yang menggendong Bimo, lengkungan di bibirnya langsung musnah. Matanya melebar."Ya allah, Mbak," pekiknya mengambil alih Bimo. Sedangkan aku masuk ke rumah dan langsung ambruk di tengah ruangan. Air mataku tak bisa tertahan. Hatiku masih tertusuk seribu pisau. Bu yati segera membaringkan Bimo ke kamar, dan mendekatiku."Mbak..." panggilnya pelan sembari mengusap sedikit lenganku. Aku mendongak, tanpa banyak bicara ia mendekapku."Bu Ayu nggak restuin aku, Bu. Dia hanya mau Bimo." Aku terisak tak karuan. "Bu Ayu mau ngerampas Bimo darii aku Bu. Katanya aku ibu yang egois!"Tangisku meledak di pelukan Bu Yati. Tubuhku bergetar hebat, seperti baru saja dihantam badai yang tak kasat mata. Suara isakanku memenuhi ruang tamu kecil yang biasanya hangat dan penuh tawa Bimo. Kini, semua terasa hampa.Bu Yati mengelus kepalaku lembut, seakan mencoba meredakan gemuruh dalam dadaku. “Astaghfirul
"Ya! Aku ingin mengadopsi Bimo, Maya! Aku hanya membutuhkan Bimo, bukan kamu!” suara Bu Ayu menggema di ruang makan yang mewah tapi terasa sempit seketika.Dunia seakan berhenti. Mataku terbelalak, tak percaya kata-kata itu benar-benar keluar dari mulut seorang ibu yang tadinya tampak lembut saat menyambut kami. Tanganku refleks memeluk Bimo yang masih duduk di sampingku, tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya melirik ke arahku dengan ekspresi datar, lalu kembali menunduk memainkan ujung sendok.“Ma, cukup!” Tristan berdiri, suaranya keras. “Mama nggak bisa ngomong gitu sama Maya!”Tapi Bu Ayu tetap berdiri dengan tegak, tatapannya menusuk ke arahku. “Aku bicara berdasarkan kenyataan. Maya, kamu ibu tunggal. Hidupmu berat. Kamu harus kerja, harus menghadapi dunia yang nggak pernah adil, dan di saat yang sama kamu mengurus anak autis sendirian. Kamu pikir kamu akan kuat terus sampai Bimo dewasa nanti?”Tubuhku gemetar. Ujung jariku mencengkeram kuat lengan Bimo, seolah aku haru
Sesampainya di rumah Tristan yang sudah sering kukunjungi. Beberapa pelayan sudah berjaga di depan. Seperti biasa, mereka menyambut tuan rumah dengan sangat hangat."Selamat datang, Tuan Muda. Nyonya dan Tuan sudah menunggu di meja makan," ucap salah satu pelayan, saat kami berdua sudah menapakkan kaki ke lantai.Tristan menoleh ke arahku, sembari tersenyum manis. "Ayo." Dia melirik lengannya yang siap menjadi penompangku. Tengan gemetar, aku menuruti kodenya. Kekasihku ini sangat manis. Dia bahkan rela menyejajarkan langkahnya, agar aku tidak tergesa-gesa saat melangkah."Relaks, Sayang. Percaya sama aku. Semua akan baik-baik saja. Oke?"Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman.Kami melangkah masuk ke ruang makan, dan aroma sedap dari hidangan rumahan segera menyambut. Meja makan panjang itu sudah tertata rapi dengan beberapa lauk khas yang tampaknya dimasak sendiri oleh juru masak pribadi keluarga Kusuma. Di ujung meja, Bu Ayu duduk dengan anggun, mengenakan kebaya modern warna
Dia menghela napas panjang, lalu berjalan ke meja kerjanya dan duduk tepat di depanku. “Aku baru mau menyampaikan pada Mama kalau aku serius sama seseorang. Tapi Mama mau mengundangmu makan malam. Jadi kupikir kita ngomong berdua saja malam ini. Bagaimana?"Tanganku lemas mendengar ucapannya. Aku hanya bisa menatapnya tanpa kata-kata, jantungku berdegup tidak karuan.Tristan menatapku, menunggu. Sorot matanya serius, tapi juga penuh harap. “Kalau kamu belum siap, kita bisa tunggu waktu lain, May. Tapi menurutku... ini saat yang tepat.”Aku menunduk, mencoba mengatur napas yang terasa sesak. Jemariku mengepal di atas lutut. Tiba-tiba seluruh keberanian yang tadi kurasakan menguap begitu saja. Bayangan wajah Bu Ayu yang hangat tapi tegas, komentar-komentar orang tentang statusku, dan kekhawatiran soal Bimo, semua menari-nari dalam pikiranku.“Kalau nanti beliau kecewa? Kalau... beliau merasa aku nggak pantas untuk kamu?” suaraku nyaris tak terdengar. “Aku bukan siapa-siapa, Tris. Aku c
Setiap waktu aku menatap cincin berlian yang tersemat di jari maniku. Ini seperti mimpi, dan tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Bahkan aku tidak menyadari seseorang memperhatikan setiap perubahan ekspresi."Mbak, hati-hati giginya kering, lho," celetuk Bu Yati yang menghidangkan susu hangat untukku. "Eh!" Aku sontak menutup mulutku dengan salah satu tangan.Wanita paruh baya itu duduk di sampingku, dan menatapku dengan mata berair. "Ibuk nggak nyangka bisa nemenin Mbak Maya sampai mau dipinang pria." Linangan air mata keluar darinya. Ia berkali-kali mengusap lelehan itu, tetapi matanya tak berhenti mengucur.Aku tersentuh. Segera kutaruh cangkir susuku di meja kecil di depan kami, lalu menggenggam tangan Bu Yati. “Bu, jangan nangis dong. Nanti aku ikut nangis.”Bu Yati tersenyum sambil mengendus pelan. “Dari dulu Ibuk cuma pengen lihat Mbak bahagia lagi. Setelah semua yang Mbak lewati, Ibuk cuma bisa doakan semoga ada laki-laki baik yang bisa terima Mbak dan Bimo tanpa syarat. Dan te
Hari-hari berikutnya tetap sama, setidaknya secara profesional. Kami tetap menjalankan tugas seperti biasa, menyusun strategi, meeting dengan klien, dan membalas email-email tak ada habisnya. Ada yang berbeda pada perasaanku, saat aku menoleh dan mendapati tatapan Tristan menelusuri wajahku diam-diam. Atau saat kami saling bertukar pesan singkat yang manis tanpa seorang pun tahu.Yang istimewa? Dia semakin sering mengajakku makan siang dan makan malam bersama. Dan tentu saja, selalu di restoran mewah yang suasananya hangat dan temaram, tempat yang membuatku merasa seperti tokoh utama di film romansa. Gunjingan para karyawan sudah mereda, akhir-akhir ini digantikan oleh pertanyaan."Kapan kamu akan menerima perasaan Pak Tristan?""Enak banget ya jadi kamu, dikejar CEO perusahaan bonafit seperti Panthelis.""Sejujurnya aku pernah benci sama kamu, May. Hidupmu enak banget.""Ternyata kamu tidak seperti yang digosipkan ya? Aku suka deh, ternyata masih ada perempuan bener di tengah viralny
Langkah berat itu semakin mendekat. Aku buru-buru menyibukkan diri dengan mengaduk kopi yang sudah lama tak butuh diaduk. Paulo menyingkir ke samping, memasang wajah nakal seperti biasa.Tristan muncul di ambang pintu pantry, mengenakan setelan abu-abu yang pas badan, rambutnya sedikit berantakan seperti baru tertiup angin luar. Wajahnya datar, seperti biasa, tapi matanya langsung menemukan aku. Sejenak, waktu rasanya melambat.“Selamat pagi,” ucapnya singkat, lalu menoleh ke Paulo. “Bisa minta waktu sebentar, Paulo?”“Wah, sudah kuduga. Saya cuma figuran di drama kalian,” celetuk Paulo sebelum menghilang ke balik pintu dengan senyum menyeringai.Aku nyaris tertawa kalau saja jantungku tak berdebar kencang.Tristan melangkah masuk, lalu berhenti di depanku. Ada jeda sesaat sebelum ia bicara.“Maya.” Suaranya tenang tapi tegas. “Setelah kamu selesai bikin kopi, langsung ke ruanganku. Aku mau kamu laporkan pekerjaan kantor selama aku pergi.”Nada suaranya terdengar profesional. Tak ada