“Boleh saya tahu siapa saksi mata itu?” tanyaku. “Atau, setidaknya, apakah bisa dihadirkan sekarang juga agar saya bisa membela diri dengan adil?” Pak Haryo menatapku sangat tajam. "Tidak perlu. Tonton saja rekaman ini."Pria itu menjentikkan jari meminta operator untuk menyalakan proyektor. Di layar terpampang adegan Tristan menggendongku dan memasukkanku ke kamarnya. Jantungku sontak berdegup. Itu adalah hari di mana aku baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani rehabilitasi. Hanya itu yang dipertontonkan padaku. Bu Nanda memijit pelipisnya. "Biarkan saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pak," mohonku.Kepala tim legal itu mengangkat tangannya, kode menolak permohonanku. "Kita lakukan rapat direksi besok siang. Semua bukti sudah kuat, kami tidak ingin mencoreng nama baik Panthelis dengan tindakan tidak senonoh. Sekarang kembali ke posisi masing-masing."Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk kecil tanpa suara. Sia-sia menjelaskan sekarang. Mereka sudah menutup telinga.
"Tidak perlu!" sela seseorang yang baru saja masuk ke ruang rapat. Semua orang tertuju padanya."Kita selesaikan masalah ini sekarang juga!"Mataku terbelalak mengetahui siapa orang itu. Sosok yang tanpa sadar aku rindukan kehadirannya. Paulo tersenyum lega ke arahku. "Maaf, Pak Tristan tapi-" Pak Haryo berusaha mencegah Tristan."Tidak ada tapi-tapian Pak Haryo. Lihat bukti saya terlebih dahulu." Tristan melemparkan flasdisk kepada Paulo. Paulo pun memainkan rekaman cctv di kamar Tristan yang ada di New York dan Paris."Bisa kalian lihat sendiri, aku dan sekretarisku menempati kamar yang berbeda. Meskipun ruangannya sama, rapi ada dua kamar di sana. Kami berdua tidak pernah melewati batas, justru orang lain sudah mengusik privasiku. Sampai mencuri jaketku!" Tristan mengarahkan pandangan dan jari telunjuknya pada Rahma. Perempuan yang beberapa kali mengunjungi kamar kami di New York.Mulut Rahma terngaga berusaha mencuatkan alasan, tetapi ditahan Tristan."Tidak perlu beralasan, aku
Ketiga karyawan tersebut menoleh dengan kikuk. Cengir kuda dengan mata melotot, saling melemparkan lirikan. "He-he Pak..." ucap salah satu karyawan, dia menganggukkan kepalanya.Tristan tersenyum tulus pada mereka. "Ikut ke ruangan saya, sekarang."Saat membalikkan badan ke arahku, dia berucap. "Tolong, delivery makanan untuk kita berlima.""Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku. Ketiga orang yang sebelumnya menggunjing kami, mematung.Tristan yang sudah berjalan beberapa langkah dari kami, segera berhenti dan menoleh. "Ayo.""S-siap, Pak!" Ketiga karyawan tersebut langsung mengikuti CEO masuk ke lift khusus eksekutif.Setelah pintu lift tertutup, aku menghela napas panjang. Dalam hati, aku sedikit merasa puas melihat ekspresi panik mereka yang tadinya sok berani menggunjing di balik punggung orang. Tapi di sisi lain, aku juga kasihan. Semoga mereka sadar dan tidak mengulangi hal yang sama lagi.Aku segera menuju pantry dan menghubungi layanan katering langganan kantor. “Lima pors
“Dasar wanita murahan!”Plak... tangan perempuan itu menampar pipiku dengan keras. Rasanya sangat panas, kulihat beberapa orang yang ada di lobi tekejut sekaligus senang melihat tontonan gratis.“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.Dadaku bergemuruh hebat, rasanya ingin menampar balik perempuan itu. Namun, tak berselang lama security sudah menyeretnya keluar.Kini tinggal diriku yang terpaku merasakan nyerinya pipi bekas tangan istri atasanku.“Maya, bibirmu...” ucap seseorang yang mendekat. Dia adalah Rosa, teman satu devisi. Sebelumnya aku menganggap dia seperti malaikat di neraka jahanam ini. Namun, sekarang sudah tidak. Aku tidak mempercayai perempuan itu lagi.Tak menggubrisnya, aku memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi. Menenangkan diri yang dibuat shock
Tubuh manusia itu terlihat sangat pucat, dadaku berdesir hebat. Bulu kudukku meremang melihatnya. Aku ingin berteriak dengan keras, tapi tenggorokanku tercekat kuat. Dengan tangan bergetar, kucoba untuk berdiri.“Emh!” desah manusia itu.“Apakah kamu masih hidup?” tanyaku, mencoba memastikan keadaan orang itu. Dengan pelan kaki ini melangkah mendekatinya. Lelaki berbibir tipis itu enggan menyahut pertanyaanku. Keadaannya sangat mengenaskan.“Are you okay?” kali ini aku benar-benar khawatir melihatnya. Dia terlihat ingin menjawab pertanyaanku, tapi mulutnya sulit digerakkan. Kupindai keadaan sekitar, tak ada seorangpun di sini.“Okay. Permisi, aku akan membawamu ke rumah sakit. Kau terlihat sangat mengkhawatirkan, sebelum ajal menjemput tak ada salahnya jika aku berusaha membawamu ke tempat berobat. Setidaknya jika nanti benar-benar meninggal, aku tidak memiliki penyesalan telah menelantarkanmu di sini,” cerocosku padanya.Entah lelaki itu mendengar perkataanku atau tidak, setidaknya a
Lelaki yang membuangku demi kehormatan keluarganya kini berani menunjukkan batang hidungnya. Dua tahun lalu dimana aku yang menyandang sebagai istri direktur di salah satu perusahaan pangan terbesar negara ini, tapi semua runtuh ketika aku bercerai dengan suamiku. Dari awal memang aku tak direstui menikah dengan David, mantan suamiku. Namun, karena kegigihan lelaki itu membuat keluarganya tunduk dan menerimaku dengan terpaksa. Sangat disayangkan, saat pernikahan berjalan di tahun ketiga tiba-tiba aku dipermalukan dengan keji. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan hal itu karena kehadiran Bimo. Buah hati hasil hubungan cintaku dengan David mengidap autism, dan keluarganya menganggap itu sebagai aib. Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka mencaciku dengan kasar bahkan David tak berkutik dan memilih keluarganya.“Maya, detik ini juga aku menceraikanmu!” seru David menggelegar di ruangan pertemuan keluarga. Aku hanya terpaku mendengar perkataan itu.“Astaghfirullahaladzim! Ada apa Nak
Ketika sudah memeriksakan diri, aku pun kembali menghampiri Bu Yati.“Gimana Bu?”“Tadi dijemput mobil hitam.” Dia memperlihatkan hasil jepretannya padaku.‘Sudah kuduga, dia menunggu Kenzo.’ Mobil civic berwarna hitam itu adalah milik atasanku. Meskipun wajah lelaki itu tak terekspos dalam foto ini, tapi kode plat mobil itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa itu lelaki jahanam.“Kirim ke ponselku ya Bu. Aku ingin menjenguk seseorang dulu.”Kami berjalan beriringan menuju kamar inap Tristan. Dahiku berkerut saat seorang pria baru saja keluar dari sana. Namun, wajah orang itu tak terlihat jelas karena tertutup oleh masker dan topi. Cara jalannya nampak tergesa-gesa seperti mengejar sesuatu.“Tunggu di sini sebentar ya Bu,” pintaku. Wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kubuka daun pintu, terlihat Tristan yang menatap datar kehadiranku.“Hai, masih hidup ternyata,” sapaku. Terdengar nyeleneh, tapi aku tipe orang yang kurang beramah-tamah dengan orang lain.“Sud
“Maya, kita bicara sebentar.”“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.“Pulang kerja.”Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”“Kalau aku sih sudah resign.”“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup. ”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai e
Ketiga karyawan tersebut menoleh dengan kikuk. Cengir kuda dengan mata melotot, saling melemparkan lirikan. "He-he Pak..." ucap salah satu karyawan, dia menganggukkan kepalanya.Tristan tersenyum tulus pada mereka. "Ikut ke ruangan saya, sekarang."Saat membalikkan badan ke arahku, dia berucap. "Tolong, delivery makanan untuk kita berlima.""Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku. Ketiga orang yang sebelumnya menggunjing kami, mematung.Tristan yang sudah berjalan beberapa langkah dari kami, segera berhenti dan menoleh. "Ayo.""S-siap, Pak!" Ketiga karyawan tersebut langsung mengikuti CEO masuk ke lift khusus eksekutif.Setelah pintu lift tertutup, aku menghela napas panjang. Dalam hati, aku sedikit merasa puas melihat ekspresi panik mereka yang tadinya sok berani menggunjing di balik punggung orang. Tapi di sisi lain, aku juga kasihan. Semoga mereka sadar dan tidak mengulangi hal yang sama lagi.Aku segera menuju pantry dan menghubungi layanan katering langganan kantor. “Lima pors
"Tidak perlu!" sela seseorang yang baru saja masuk ke ruang rapat. Semua orang tertuju padanya."Kita selesaikan masalah ini sekarang juga!"Mataku terbelalak mengetahui siapa orang itu. Sosok yang tanpa sadar aku rindukan kehadirannya. Paulo tersenyum lega ke arahku. "Maaf, Pak Tristan tapi-" Pak Haryo berusaha mencegah Tristan."Tidak ada tapi-tapian Pak Haryo. Lihat bukti saya terlebih dahulu." Tristan melemparkan flasdisk kepada Paulo. Paulo pun memainkan rekaman cctv di kamar Tristan yang ada di New York dan Paris."Bisa kalian lihat sendiri, aku dan sekretarisku menempati kamar yang berbeda. Meskipun ruangannya sama, rapi ada dua kamar di sana. Kami berdua tidak pernah melewati batas, justru orang lain sudah mengusik privasiku. Sampai mencuri jaketku!" Tristan mengarahkan pandangan dan jari telunjuknya pada Rahma. Perempuan yang beberapa kali mengunjungi kamar kami di New York.Mulut Rahma terngaga berusaha mencuatkan alasan, tetapi ditahan Tristan."Tidak perlu beralasan, aku
“Boleh saya tahu siapa saksi mata itu?” tanyaku. “Atau, setidaknya, apakah bisa dihadirkan sekarang juga agar saya bisa membela diri dengan adil?” Pak Haryo menatapku sangat tajam. "Tidak perlu. Tonton saja rekaman ini."Pria itu menjentikkan jari meminta operator untuk menyalakan proyektor. Di layar terpampang adegan Tristan menggendongku dan memasukkanku ke kamarnya. Jantungku sontak berdegup. Itu adalah hari di mana aku baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani rehabilitasi. Hanya itu yang dipertontonkan padaku. Bu Nanda memijit pelipisnya. "Biarkan saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pak," mohonku.Kepala tim legal itu mengangkat tangannya, kode menolak permohonanku. "Kita lakukan rapat direksi besok siang. Semua bukti sudah kuat, kami tidak ingin mencoreng nama baik Panthelis dengan tindakan tidak senonoh. Sekarang kembali ke posisi masing-masing."Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk kecil tanpa suara. Sia-sia menjelaskan sekarang. Mereka sudah menutup telinga.
Paulo hanya tersenyum, berdiri sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Bisikannya nyaris seperti racun yang disusupkan langsung ke pikiranku."Ada seseorang yang sengaja menjatuhkan kamu, Maya. Dan dia nggak main-main."Seketika udara di ruangan seolah membeku."Pasang flashdisk ini, tapi pastikan kita sendirian. Ini bukan sekadar soal gosip. Ini sudah personal."Aku menatapnya tajam. "Siapa, Paulo?"Ia hanya mengangkat alis, lalu berbisik,"Rahma bukan satu-satunya."Tanganku gemetar saat menerima flashdisk itu. Tubuhku mendadak dingin, meski AC kantorku sudah lama mati sejak siang. Pikiran tentang Bimo, pekerjaanku, dan reputasi yang kujaga selama ini mendadak seperti benang kusut yang siap putus kapan saja."Kalau ini jebakan," ucapku pelan.Dia mengangkat tangan, "Relax, darling. Aku di tim kamu. Selalu di tim kamu."Aku menarik napas dalam, lalu bangkit dari kursi dan menuju ke pintu. Kupastikan ruangan terkunci, bahkan kucek ulang gorden agar tak ada celah untuk orang luar meng
Benar saja, keesokan harinya Tristan terbang ke New York.Aku dikepung tumpukan dokumen dari beberapa divisi. Panthelis, perusahaan tempatku bekerja, memang tengah menggeliat agresif di pasar global. Fokus utama kami adalah produksi rokok, dan sejak Tristan menjabat sebagai CEO, ekspansi bisnis menjadi gila-gilaan. Tak hanya Asia, kini kami mulai menancapkan kuku di Eropa. Bahkan, kami sedang mengembangkan lini produk baru: rokok elektrik atau vape, dengan sentuhan desain dari Paris dan riset dari New York.Tumpukan file di mejaku tak hanya soal distribusi, tapi juga konsep visual, kemasan, rasa, hingga strategi branding. Di depan mataku, ada blueprint elegan untuk rokok elektrik bernuansa retro-futuristik. Aromanya? Cherry-vanilla bourbon. Fancy. Logo-nya terukir Taffer Phantelis, entah bagaimana aku menduga itu berarti sesuatu seperti “Kerjaan Phantelis” dalam bahasa Prancis. Seolah menunjukkan bahwa ini bukan sekadar produk, tapi simbol baru dari eksistensi kami.Pintu ruanganku ti
"Ma..."Suara yang sangat familiar tertangkap di daun telingaku. Aku segera menoleh, dan tebakanku benar. Itu Tristan, berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celananya. Kancing kemejanya terbuka, memamerkan sedikit dada bidangnya yang eksotis. Entah kenapa pipiku terasa panas. Segera kutundukkan kepalaku."I-iya, Nak?" Bu Ayu menyahutinya dengan sedikit tergagap."Papa di mana?"Tristan menggeret salah satu kursi dan duduk bersama kami."Bar saja kembali ke kamar. Ada apa?""Ya sudah kalau gitu. Cuma tanya saja. Bimo di mana?""Sedang istirahat di kamarnya."Keadaan menjadi hening beberapa saat. Aku mengeratkan cengkeraman tanganku. Namun, Bu Ayu kembali mengajakku bicara. "Makanlah, Maya.""I-iya, Bu." Kuanggukkan kepalaku dengan sopan. Saat melihat ke arah atasan yang duduk di depanku. Aku bisa melihat seringaian kecil darinya. Dia membuatku semakin tidak nyaman!"Bagaimana pekerjaanku hari ini?" tanyanya datar."S-sudah selesai, Pak."Ada lengkungan kecil di bibirnya. "Bagus. T
"Lepas, Zo," mohonku pada Kenzo. Dia hanya menggeleng dan menarikku duduk. Tubuhku yang sudah lelah bekerja seharian, limbung seakan menuruti permintaannya."Sebentar saja." Kenzo melepaskan cengkeramannya saat aku sudah terlekat di kursi."Tenanglah, Maya. Aku tidak akan menyakitimu. Aku bisa menjamin dia juga tidak akan menyakitimu. Jadi atur emosimu," ucap Kenzo penuh perhatian.Aku menghela napas, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergejolak.David menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya tajam, tapi ada sorot keraguan di dalamnya. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi menahannya. Sementara itu, Kenzo bersandar di kursinya, tangannya terlipat di depan dada dengan wajah tidak sabar."Ada apa sebenarnya?" tanyaku akhirnya, menatap David dengan waspada. Kenzo diam dan memberikan ruang untukku berbicara. David meremas gelas kopinya. Tatapan kami yang sempat bertemu, langsung ia putus begitu saja. Ia tertunduk sejenak, lalu mengembuskan napas panjang. "Aku
Aku menghela napas panjang, berusaha menahan emosi saat lift terus bergerak naik. Rahma memang selalu punya cara untuk menyulut konflik. Sekarang, Rosa sukarela terseret dalam perseteruan yang tidak penting. Aku bisa menangkap niat Rosa, dia pasti ingin membersihkan namanya dengan membelaku."Rahma, cukup," ucapku datar. Aku berusaha tenang meski dadaku bergemuruh.Rahma mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Kenapa? Nggak suka denger kenyataan? Lo pikir semua orang di kantor ini nggak lihat gimana lo nebeng terus sama Bu Ayu? Anaknya lo dijilat, lo dapat perhatian khusus. Emang enak ya jadi lo?"Aku menatapnya tajam. "Kamu ngomong gitu kayak tahu semuanya aja. Apa kamu tahu gimana aku berjuang sendirian? Apa kamu tahu gimana sungkannya aku melihat anakku dijaga Bu Ayu setiap hari?"Rosa menelan ludah. Dia tampak tidak nyaman, tapi tetap berdiri di tempatnya, seakan mempertimbangkan apakah harus ikut bicara atau tidak. Rahma justru tertawa kecil, sinis."Lo pikir gue nggak tahu?
Bu Yati mengusap air matanya yang mulai jatuh dengan tangan gemetar. Aku semakin khawatir melihatnya seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku, mencoba menenangkan.Bu Yati menelan ludahnya, lalu menatapku dengan pandangan takut. "Saya... saya takut, Mbak Maya."Jantungku mencelos. Aku segera mendekatinya, menggenggam tangannya yang dingin. "Takut kenapa, Bu? Ada yang terjadi? Masalah yang kemarin kan sudah selesai. Tristan yang bilang.""B-benar, Mbak. Masalah itu memang sudah selesai."Wanita itu menatap ke arah pintu seolah memastikan bahwa Bu Ayu benar-benar sudah pergi. Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata, "T-tapi Bu Ayu... Bu Ayu berubah, Mbak. Setelah saya ketahuan tentang obat yang Bimo konsumsi, sikapnya langsung lain. Beberapa hari ini sikapnya makin aneh, Mbak."Aku mengerutkan kening. "Maksud Ibu, makin aneh bagaimana?"Bu Yati menarik napas panjang. "Saya tahu ini bukan urusan saya, Mbak, tapi tadi siang saya sempat merapikan kamar Bimo. Saya menemukan botol obat yang biasa