Share

5

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-01-22 21:34:04

“Maya, kita bicara sebentar.”

“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.

“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.

“Pulang kerja.”

Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.

Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.

“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”

“Kalau aku sih sudah resign.”

“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”

“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”

Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup. 

”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.

“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai empat, tempat divisiku berada.

Lelaki itu melirikku sekilas. “Maya ya.”

“Iya.” Aku terkejut dia mengetahui namaku.

“Yang sabar ya.”

“Hehe... Iya Pak. Saya permisi dulu, terima kasih,” balasku ketik pintu lift terbuka. Entah apa yang dimaksud pria itu, tapi dia cukup menenangkanku karena masih ada orang berhati baik.

Gunjingan tak kunjung berhenti, rekan kerja di divisi pun tak berhenti berbisik membicarakanku.

“Maya laporan!” ucap Kenzo yang baru saja masuk.

“Baik Pak.” Ku ambil beberapa dokumen yang sudah berada di dalam map. Kuharap akan mendapatkan bonus lagi karena ada beberapa tugas Kenzo yang kukerjakan.

“Sssttt! Pasti mereka akan saling menggoda di dalam sana,” bisik Putri pada Tina. Bersikap bodoamat merupakan cara terbaik saat ini.

Ketika masuk ke dalam ruangan, kulihat Kenzo akan menekan remote untuk menutup gorden ruangannya.

“Pak, apa boleh jika gordennya kita buka saja?” pintaku padanya. Dahi lelaki itu mengerut.

“Kenapa?”

Aku hanya memberikan senyuman.

“Oh oke.” Kenzo menaruh remote itu kembali. Di luar terlihat beberapa rekan kerja yang mengintip kegiatan kita. Aku dan Kenzo hanya fokus membicarakan dokumen pekerjaan kami.

“Baik May. Kerjaanmu sudah sangat bagus, bonusnya aku kirim lewat M-Banking ya,” ucap Kenzo mengakhiri pemeriksaan.

“Baik Pak.” Aku pun keluar dari ruangan itu.

“Wih dapat bonus nih!” cibir Tina kepadaku.

“Bagi-bagi dong May! Kan kamu sudah punya banyak bonus dari Pak Kenzo, tanpa kerja lagi,” sahut Putri.

Aku hanya tersenyum mendengar cibiran mereka. Rosa melirikku dengan dingin.

“Gimana nih Rosa. Kan pekerjaan Pak Kenzo yang ngerjain kamu. Eh malah wanita gatal ini yang dapat!” protes Tina. Rosa tak menanggapi hasutan Tina, dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya aku mengira Rosa juga mengerjakan tugas dari Kenzo karena ia sering ke ruangannya ketika pulang kerja, meskipun tak sesering aku. Semua orang menganggap Rosa sedang lembur. Tapi siapa sangka wanita itu selama ini sedang memadu kasih dengan suami orang. Sayangnya yang kena imbasnya adalah aku.

‘Tuhan tidak tidur May. Semua akan mendapatkan balasannya!’

Kling! Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselku. Ternyata pemberitahuan transferan dari Kenzo, dan sebuah pesan dari Tristan. Aku baru menyadari ada pesan Tristan.

Segera kubuka pesan itu.

[Operasiku berjalan lancar. Jika ada masalah jangan lupa menghubungiku.]

Tanpa sadar bibirku tersenyum membaca kalimat itu.

“Dia seperti mengharapkanku mendapat masalah. Naudzubillah min dzalik.”

***

Hari-hari berlalu dengan cepat, aku pun menjalaninya dengan tenang. Seseorang yang memintaku meluangkan waktu pun, tak datang menemuiku sepulang dari kantor. Entah apa yang dilakukannya, tapi kuyakin orang itu sudah tak membutuhkanku lagi.

“Mbak Maya. Obat Bimo sudah habis,” ucap Bu Yati sembari memperlihatkan kotak yang kosong melompong.

“Hahh... kali ini dia terlalu banyak mengonsumsi obat ya Bu. Ini masih 2 bulan loh.”

“Nak Bimo sering tantrum sampai kejang Mbak. Di tambah Mbak Sinta kan semakin jarang ke rumah. Jadi Ibuk bingung buat nenanginnya,” keluh Bu Yati. Aku jadi merasa tak enak hati karena berkomentar seperti itu.

“Maafin Maya ya Bu. Omongan Maya tak bermaksud menyudutkan Bu Yati,” sesalku.

“Tidak perlu minta maaf Mbak. Ibuk juga pasti mengeluh jika berada di posisi Mbak Maya. Ditambah harga obatnya Nak Bimo kan sangat mahal. Tapi, sekarang Bimo makin lancar berhitungnya Mbak. Kemarin tau sendirikan bagaimana dia mengerjakan soal penambahan dan pengurangan.” Kalimat itu sangat menenangkanku. Dan ya, Bimo sekarang sudah bisa mengerjakan soal matematik dasar. Dia bahkan betah mengerjakan soal-soal yang ada di dalam buku hingga tuntas. Menata lembaran uang yang kuberikan padanya dengan teliti. Satu hal lagi, Bimo bahkan menyadari jika dia kehilangan uang, ini lah yang sering membuatnya tantrum.

“Nanti sore aku belikan ya. Hari ini kalau Bimo tantrum langsung telpon Sinta aja ya Bu.”

Hari ini di kantor terdapat evaluasi untuk kinerja para karyawan. Hampir semua rekan kerjaku merasa gelisah dengan hasil pemeriksaan itu. Aku cukup tenang karena selama kerja aku melakukan tugas sesui dengan SOP. Selama mengumpulkan laporan pun aku jarang diminta revisi.

Posisiku sekarang aman, tapi Putri, Tina, dan Rosa memiliki beberapa pelanggaran yang cukup fatal. Itulah yang membuat mereka bertiga menggerutu sepanjang waktu. Rosa yang biasanya terlihat tenang ikut keteteran mengerjakan tugas yang sempat dia lupakan.

Ketika jam pulang sudah tiba, aku pun langsung melajukan mobil menuju tempat COD obat Bimo. Untuk mendapatkan obat itu sangat sulit, sehingga aku memilih untuk mencarinya dengan cara jasa titip orang yang suka traveling ke Amerika.

Kali ini orang itu memintaku untuk datang ke sebuah rumah makan pinggir kota.

“Kenapa bertemu disini Pak? Tempatnya sangat mencurigakan,” protesku. Warung kecil dengan lampu temaram membuat siapa pun akan berpikiran aneh-aneh melihat kami di sini.

“Sekalian jalan ke Jawa Barat Mbak,” jawab lelaki itu. Namun, raut wajahnya terlihat gelisah. “Mana uangnya Mbak? Saya harus segera pergi. Konsumen lainnya sudah menunggu.”

Aku menghela nafas, tak biasanya dia terburu-buru begini. Lelaki yang kukenal dengan nama Nadlan itu biasanya akan menawari berbagai macam obat lainnya. Hari ini dia terlihat begitu gugup, bahkan ketika menyodorkan sebungkus obat tangannya tremor hebat.

“Saya pamit dulu ya Mbak. Hati-hati di jalan,” ucapnya berlalu pergi meninggalkanku.

Krrttt... suara perut memberontak ini membuatku meringis. Tanpa sadar aku lupa makan sedari siang.

“Bu... rawon sama es teh ya,” pesanku sembari memberikan selembar uang lima puluh ribu. Ibu itu segera memberikan kembalian.

Terpaksa aku menunda waktu untuk pulang, karena lambungku yang kosong memaksa untuk diisi.

Tak lupa juga tak lupa menelpon Bu Yati untuk memberitahunya jika pulang telat.

“Hallo Bu, hari ini aku pulang telat. Aku lagi beli obat tapi tempat COD nya jauh banget. Titip Bimo ya.”

Penjaga warung menyajikan sepiring rawon lengkap dengan es teh, aromanya begitu menggugah selera siapa pun. Harumnya kuah berwarna coklat keruh itu membuat salivaku mengumpul di rongga mulut.

“Iya Bu. Maya tutup teleponnya ya. Assalamualaikum,” tukasku yang tak sanggup menahan gejolak nafsu menyantap makanan di atas meja kayu itu.

“Hmm... rasanya lezat sekali,” pujiku sambil menikmati campuran rempah-rempah yang membalut lidah. Penjaga warung tersenyum, ia bahkan memberiku kerupuk urang tambahan.

“Ini Mbak, saya kasih bonus.”

“Makasih Bu.”

Ketika akan menyendokkan nasi terakhir. Tiba-tiba segerombol orang berlari ke arah warung.

“Angkat tangan!”

Related chapters

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   6

    Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.“Mari ikut saya ke kantor polisi.”“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hany

    Last Updated : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   7

    “Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a

    Last Updated : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   8

    Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku

    Last Updated : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   9

    Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras

    Last Updated : 2025-02-21
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   10

    "Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce

    Last Updated : 2025-02-21
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   1

    “Dasar wanita murahan!”Plak... tangan perempuan itu menampar pipiku dengan keras. Rasanya sangat panas, kulihat beberapa orang yang ada di lobi tekejut sekaligus senang melihat tontonan gratis.“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.Dadaku bergemuruh hebat, rasanya ingin menampar balik perempuan itu. Namun, tak berselang lama security sudah menyeretnya keluar.Kini tinggal diriku yang terpaku merasakan nyerinya pipi bekas tangan istri atasanku.“Maya, bibirmu...” ucap seseorang yang mendekat. Dia adalah Rosa, teman satu devisi. Sebelumnya aku menganggap dia seperti malaikat di neraka jahanam ini. Namun, sekarang sudah tidak. Aku tidak mempercayai perempuan itu lagi.Tak menggubrisnya, aku memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi. Menenangkan diri yang dibuat shock

    Last Updated : 2025-01-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   2

    Tubuh manusia itu terlihat sangat pucat, dadaku berdesir hebat. Bulu kudukku meremang melihatnya. Aku ingin berteriak dengan keras, tapi tenggorokanku tercekat kuat. Dengan tangan bergetar, kucoba untuk berdiri.“Emh!” desah manusia itu.“Apakah kamu masih hidup?” tanyaku, mencoba memastikan keadaan orang itu. Dengan pelan kaki ini melangkah mendekatinya. Lelaki berbibir tipis itu enggan menyahut pertanyaanku. Keadaannya sangat mengenaskan.“Are you okay?” kali ini aku benar-benar khawatir melihatnya. Dia terlihat ingin menjawab pertanyaanku, tapi mulutnya sulit digerakkan. Kupindai keadaan sekitar, tak ada seorangpun di sini.“Okay. Permisi, aku akan membawamu ke rumah sakit. Kau terlihat sangat mengkhawatirkan, sebelum ajal menjemput tak ada salahnya jika aku berusaha membawamu ke tempat berobat. Setidaknya jika nanti benar-benar meninggal, aku tidak memiliki penyesalan telah menelantarkanmu di sini,” cerocosku padanya.Entah lelaki itu mendengar perkataanku atau tidak, setidaknya a

    Last Updated : 2025-01-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   3

    Lelaki yang membuangku demi kehormatan keluarganya kini berani menunjukkan batang hidungnya. Dua tahun lalu dimana aku yang menyandang sebagai istri direktur di salah satu perusahaan pangan terbesar negara ini, tapi semua runtuh ketika aku bercerai dengan suamiku. Dari awal memang aku tak direstui menikah dengan David, mantan suamiku. Namun, karena kegigihan lelaki itu membuat keluarganya tunduk dan menerimaku dengan terpaksa. Sangat disayangkan, saat pernikahan berjalan di tahun ketiga tiba-tiba aku dipermalukan dengan keji. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan hal itu karena kehadiran Bimo. Buah hati hasil hubungan cintaku dengan David mengidap autism, dan keluarganya menganggap itu sebagai aib. Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka mencaciku dengan kasar bahkan David tak berkutik dan memilih keluarganya.“Maya, detik ini juga aku menceraikanmu!” seru David menggelegar di ruangan pertemuan keluarga. Aku hanya terpaku mendengar perkataan itu.“Astaghfirullahaladzim! Ada apa Nak

    Last Updated : 2025-01-22

Latest chapter

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   10

    "Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   9

    Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   8

    Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   7

    “Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   6

    Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.“Mari ikut saya ke kantor polisi.”“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hany

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   5

    “Maya, kita bicara sebentar.”“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.“Pulang kerja.”Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”“Kalau aku sih sudah resign.”“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup. ”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai e

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   4

    Ketika sudah memeriksakan diri, aku pun kembali menghampiri Bu Yati.“Gimana Bu?”“Tadi dijemput mobil hitam.” Dia memperlihatkan hasil jepretannya padaku.‘Sudah kuduga, dia menunggu Kenzo.’ Mobil civic berwarna hitam itu adalah milik atasanku. Meskipun wajah lelaki itu tak terekspos dalam foto ini, tapi kode plat mobil itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa itu lelaki jahanam.“Kirim ke ponselku ya Bu. Aku ingin menjenguk seseorang dulu.”Kami berjalan beriringan menuju kamar inap Tristan. Dahiku berkerut saat seorang pria baru saja keluar dari sana. Namun, wajah orang itu tak terlihat jelas karena tertutup oleh masker dan topi. Cara jalannya nampak tergesa-gesa seperti mengejar sesuatu.“Tunggu di sini sebentar ya Bu,” pintaku. Wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kubuka daun pintu, terlihat Tristan yang menatap datar kehadiranku.“Hai, masih hidup ternyata,” sapaku. Terdengar nyeleneh, tapi aku tipe orang yang kurang beramah-tamah dengan orang lain.“Sud

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   3

    Lelaki yang membuangku demi kehormatan keluarganya kini berani menunjukkan batang hidungnya. Dua tahun lalu dimana aku yang menyandang sebagai istri direktur di salah satu perusahaan pangan terbesar negara ini, tapi semua runtuh ketika aku bercerai dengan suamiku. Dari awal memang aku tak direstui menikah dengan David, mantan suamiku. Namun, karena kegigihan lelaki itu membuat keluarganya tunduk dan menerimaku dengan terpaksa. Sangat disayangkan, saat pernikahan berjalan di tahun ketiga tiba-tiba aku dipermalukan dengan keji. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan hal itu karena kehadiran Bimo. Buah hati hasil hubungan cintaku dengan David mengidap autism, dan keluarganya menganggap itu sebagai aib. Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka mencaciku dengan kasar bahkan David tak berkutik dan memilih keluarganya.“Maya, detik ini juga aku menceraikanmu!” seru David menggelegar di ruangan pertemuan keluarga. Aku hanya terpaku mendengar perkataan itu.“Astaghfirullahaladzim! Ada apa Nak

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   2

    Tubuh manusia itu terlihat sangat pucat, dadaku berdesir hebat. Bulu kudukku meremang melihatnya. Aku ingin berteriak dengan keras, tapi tenggorokanku tercekat kuat. Dengan tangan bergetar, kucoba untuk berdiri.“Emh!” desah manusia itu.“Apakah kamu masih hidup?” tanyaku, mencoba memastikan keadaan orang itu. Dengan pelan kaki ini melangkah mendekatinya. Lelaki berbibir tipis itu enggan menyahut pertanyaanku. Keadaannya sangat mengenaskan.“Are you okay?” kali ini aku benar-benar khawatir melihatnya. Dia terlihat ingin menjawab pertanyaanku, tapi mulutnya sulit digerakkan. Kupindai keadaan sekitar, tak ada seorangpun di sini.“Okay. Permisi, aku akan membawamu ke rumah sakit. Kau terlihat sangat mengkhawatirkan, sebelum ajal menjemput tak ada salahnya jika aku berusaha membawamu ke tempat berobat. Setidaknya jika nanti benar-benar meninggal, aku tidak memiliki penyesalan telah menelantarkanmu di sini,” cerocosku padanya.Entah lelaki itu mendengar perkataanku atau tidak, setidaknya a

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status