“Maya, kita bicara sebentar.”
“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.
“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.
“Pulang kerja.”
Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.
Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.
“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”
“Kalau aku sih sudah resign.”
“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”
“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”
Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup.
”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai empat, tempat divisiku berada.
Lelaki itu melirikku sekilas. “Maya ya.”
“Iya.” Aku terkejut dia mengetahui namaku.
“Yang sabar ya.”
“Hehe... Iya Pak. Saya permisi dulu, terima kasih,” balasku ketik pintu lift terbuka. Entah apa yang dimaksud pria itu, tapi dia cukup menenangkanku karena masih ada orang berhati baik.
Gunjingan tak kunjung berhenti, rekan kerja di divisi pun tak berhenti berbisik membicarakanku.
“Maya laporan!” ucap Kenzo yang baru saja masuk.
“Baik Pak.” Ku ambil beberapa dokumen yang sudah berada di dalam map. Kuharap akan mendapatkan bonus lagi karena ada beberapa tugas Kenzo yang kukerjakan.
“Sssttt! Pasti mereka akan saling menggoda di dalam sana,” bisik Putri pada Tina. Bersikap bodoamat merupakan cara terbaik saat ini.
Ketika masuk ke dalam ruangan, kulihat Kenzo akan menekan remote untuk menutup gorden ruangannya.
“Pak, apa boleh jika gordennya kita buka saja?” pintaku padanya. Dahi lelaki itu mengerut.
“Kenapa?”
Aku hanya memberikan senyuman.
“Oh oke.” Kenzo menaruh remote itu kembali. Di luar terlihat beberapa rekan kerja yang mengintip kegiatan kita. Aku dan Kenzo hanya fokus membicarakan dokumen pekerjaan kami.
“Baik May. Kerjaanmu sudah sangat bagus, bonusnya aku kirim lewat M-Banking ya,” ucap Kenzo mengakhiri pemeriksaan.
“Baik Pak.” Aku pun keluar dari ruangan itu.
“Wih dapat bonus nih!” cibir Tina kepadaku.
“Bagi-bagi dong May! Kan kamu sudah punya banyak bonus dari Pak Kenzo, tanpa kerja lagi,” sahut Putri.
Aku hanya tersenyum mendengar cibiran mereka. Rosa melirikku dengan dingin.
“Gimana nih Rosa. Kan pekerjaan Pak Kenzo yang ngerjain kamu. Eh malah wanita gatal ini yang dapat!” protes Tina. Rosa tak menanggapi hasutan Tina, dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya aku mengira Rosa juga mengerjakan tugas dari Kenzo karena ia sering ke ruangannya ketika pulang kerja, meskipun tak sesering aku. Semua orang menganggap Rosa sedang lembur. Tapi siapa sangka wanita itu selama ini sedang memadu kasih dengan suami orang. Sayangnya yang kena imbasnya adalah aku.
‘Tuhan tidak tidur May. Semua akan mendapatkan balasannya!’
Kling! Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselku. Ternyata pemberitahuan transferan dari Kenzo, dan sebuah pesan dari Tristan. Aku baru menyadari ada pesan Tristan.
Segera kubuka pesan itu.
[Operasiku berjalan lancar. Jika ada masalah jangan lupa menghubungiku.]
Tanpa sadar bibirku tersenyum membaca kalimat itu.
“Dia seperti mengharapkanku mendapat masalah. Naudzubillah min dzalik.”
***
Hari-hari berlalu dengan cepat, aku pun menjalaninya dengan tenang. Seseorang yang memintaku meluangkan waktu pun, tak datang menemuiku sepulang dari kantor. Entah apa yang dilakukannya, tapi kuyakin orang itu sudah tak membutuhkanku lagi.
“Mbak Maya. Obat Bimo sudah habis,” ucap Bu Yati sembari memperlihatkan kotak yang kosong melompong.
“Hahh... kali ini dia terlalu banyak mengonsumsi obat ya Bu. Ini masih 2 bulan loh.”
“Nak Bimo sering tantrum sampai kejang Mbak. Di tambah Mbak Sinta kan semakin jarang ke rumah. Jadi Ibuk bingung buat nenanginnya,” keluh Bu Yati. Aku jadi merasa tak enak hati karena berkomentar seperti itu.
“Maafin Maya ya Bu. Omongan Maya tak bermaksud menyudutkan Bu Yati,” sesalku.
“Tidak perlu minta maaf Mbak. Ibuk juga pasti mengeluh jika berada di posisi Mbak Maya. Ditambah harga obatnya Nak Bimo kan sangat mahal. Tapi, sekarang Bimo makin lancar berhitungnya Mbak. Kemarin tau sendirikan bagaimana dia mengerjakan soal penambahan dan pengurangan.” Kalimat itu sangat menenangkanku. Dan ya, Bimo sekarang sudah bisa mengerjakan soal matematik dasar. Dia bahkan betah mengerjakan soal-soal yang ada di dalam buku hingga tuntas. Menata lembaran uang yang kuberikan padanya dengan teliti. Satu hal lagi, Bimo bahkan menyadari jika dia kehilangan uang, ini lah yang sering membuatnya tantrum.
“Nanti sore aku belikan ya. Hari ini kalau Bimo tantrum langsung telpon Sinta aja ya Bu.”
Hari ini di kantor terdapat evaluasi untuk kinerja para karyawan. Hampir semua rekan kerjaku merasa gelisah dengan hasil pemeriksaan itu. Aku cukup tenang karena selama kerja aku melakukan tugas sesui dengan SOP. Selama mengumpulkan laporan pun aku jarang diminta revisi.
Posisiku sekarang aman, tapi Putri, Tina, dan Rosa memiliki beberapa pelanggaran yang cukup fatal. Itulah yang membuat mereka bertiga menggerutu sepanjang waktu. Rosa yang biasanya terlihat tenang ikut keteteran mengerjakan tugas yang sempat dia lupakan.
Ketika jam pulang sudah tiba, aku pun langsung melajukan mobil menuju tempat COD obat Bimo. Untuk mendapatkan obat itu sangat sulit, sehingga aku memilih untuk mencarinya dengan cara jasa titip orang yang suka traveling ke Amerika.
Kali ini orang itu memintaku untuk datang ke sebuah rumah makan pinggir kota.
“Kenapa bertemu disini Pak? Tempatnya sangat mencurigakan,” protesku. Warung kecil dengan lampu temaram membuat siapa pun akan berpikiran aneh-aneh melihat kami di sini.
“Sekalian jalan ke Jawa Barat Mbak,” jawab lelaki itu. Namun, raut wajahnya terlihat gelisah. “Mana uangnya Mbak? Saya harus segera pergi. Konsumen lainnya sudah menunggu.”
Aku menghela nafas, tak biasanya dia terburu-buru begini. Lelaki yang kukenal dengan nama Nadlan itu biasanya akan menawari berbagai macam obat lainnya. Hari ini dia terlihat begitu gugup, bahkan ketika menyodorkan sebungkus obat tangannya tremor hebat.
“Saya pamit dulu ya Mbak. Hati-hati di jalan,” ucapnya berlalu pergi meninggalkanku.
Krrttt... suara perut memberontak ini membuatku meringis. Tanpa sadar aku lupa makan sedari siang.
“Bu... rawon sama es teh ya,” pesanku sembari memberikan selembar uang lima puluh ribu. Ibu itu segera memberikan kembalian.
Terpaksa aku menunda waktu untuk pulang, karena lambungku yang kosong memaksa untuk diisi.
Tak lupa juga tak lupa menelpon Bu Yati untuk memberitahunya jika pulang telat.
“Hallo Bu, hari ini aku pulang telat. Aku lagi beli obat tapi tempat COD nya jauh banget. Titip Bimo ya.”
Penjaga warung menyajikan sepiring rawon lengkap dengan es teh, aromanya begitu menggugah selera siapa pun. Harumnya kuah berwarna coklat keruh itu membuat salivaku mengumpul di rongga mulut.
“Iya Bu. Maya tutup teleponnya ya. Assalamualaikum,” tukasku yang tak sanggup menahan gejolak nafsu menyantap makanan di atas meja kayu itu.
“Hmm... rasanya lezat sekali,” pujiku sambil menikmati campuran rempah-rempah yang membalut lidah. Penjaga warung tersenyum, ia bahkan memberiku kerupuk urang tambahan.
“Ini Mbak, saya kasih bonus.”
“Makasih Bu.”
Ketika akan menyendokkan nasi terakhir. Tiba-tiba segerombol orang berlari ke arah warung.
“Angkat tangan!”
Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.“Mari ikut saya ke kantor polisi.”“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hany
“Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a
Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku
Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras
"Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce
Kepersiapkan diri untuk mempersembahkan tontonan menarik untuk mantan rekan kerjaku. Kebetulan, Tristan belum kembali, jadi aku bisa melancarkan rencanaku. Suara kertas yang keluar dari printer bagai opera music dengan sopran sebagai intinya. Pada lembaran terakhir, tiba-tiba aku teringat akan insiden di mana aku sekali lagi dipermalukan secara tidak adil di lobi kantor.“Dasar wanita murahan!”Masih kuingat sebereapa panas tamparan Gita saat memakiku di depan banyak orang.“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.Nahasnya, saat itu aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dijadikan kambing hitam oleh dua pezina. Wanita serigala berbulu domba dan Pria arogant berhati iblis.Di tengah lamunanku, mendadak seseorang mengetuk meja kerjaku."Nih!" Orang itu melempar sat
Gita melangkah masuk, dengan emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Rosa yang asyik bermain hp tak menyadari kedatangannya. Beberapa karyawan yang dilewati Gita hanya bisa menoleh tatapan bingung. Ketika sampai di belakang Rosa, wanita itu menyiram tubuh targetnya dengan sayur sop merah. Cairan berwarna merah beserta para sayur melumuri rambut hingga kursi kerja Rosa.Rosa menjerit kaget, tubuhnya kaku di tempat. Semua pasang mata tertuju padanya. Butuh beberapa detik untuknya menyadari apa yang baru saja terjadi. Perlahan, ia menoleh dengan mata membelalak ke arah Gita yang berdiri dengan napas memburu, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah."Apa-apaan ini?!" Rosa melompat dari kursinya, tangannya mengibas-ngibas bajunya yang basah oleh kuah sop merah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, dengan beberapa helai sayuran menempel di sana. Belum sempat mendapat jawaban, Gita sudah melayangkan tamparan pada wanita itu.Suara tamparan itu menggema di seluruh r
Kenzo yang awalnya begitu percaya diri, kini matanya melebar dan mulutnya terkatup rapat saat mendengar suara berat Pak Jacson. Semua karyawan divisi marketing, yang tadinya berbisik-bisik langsung diam, menunggu dengan napas tertahan. Pak Jacson melangkah ke tengah-tengah keributan itu dengan ekspresi serius, matanya menyapu pemandangan yang ada di hadapannya. Rosa masih berdiri dengan pakaian berantakan, sisa kuah sop merah menetes dari rambut dan wajahnya yang terlihat kusut. Kenzo berdiri di sampingnya dengan rahang mengeras, sedangkan Gita berdiri tegak, napasnya memburu, masih diliputi amarah. "Kuulangi pertanyaanku," suara Pak Jacson terdengar dalam dan berwibawa. "Ada apa ini?" Semua orang saling pandang, tak ada yang berani menjawab lebih dulu. Namun, Gita tak mau kehilangan momentum. Ia melangkah maju, menatap Pak Jacson dengan penuh keyakinan. "Pak Jacson," suaranya tegas, meskipun ada getaran emosi di dalamnya. "Saya ingin melaporkan Kenzo atas tindakan tidak profe
"Maksudmu?" Aku meliriknya sinis."Enakkan, modal goda CEO bisa melencong ke Eropa," bisik perempuan itu tajam. Aku mendadak menegang. Rasanya ingin menyiram kopi panas ini ke wajah perempuan yang baru saja bicara. Namun, aku masih punya harga diri dan akal sehat.Aku menoleh perlahan, menatapnya dengan tatapan dingin. "Maaf, aku kurang paham maksudmu," kataku datar.Perempuan itu menyeringai, lalu bersandar di meja pantry. "Oh, ayolah, Maya. Kami semua di sini tahu bagaimana kamu bisa sampai ke New York. Bukan karena kerja keras, kan?" Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan emosi. "Jadi menurutmu aku ada di sini karena apa?" Dia terkekeh sinis. "Yah, kamu cukup cantik dan punya pesona sendiri, apalagi kalau sampai bisa dekat dengan CEO. Kami hanya bertanya-tanya, berapa banyak hal lain yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan posisi ini?"Darahku mendidih. Aku ingin membalas, tapi sebuah suara lain tiba-tiba terdengar dari belakang. "Kalau kalian punya waktu untuk gosip muraha
"Bimo habis tantrum hebat, Mbak. Bu ayu sampai kewalahan."Astaga, hatiku benar-benar terenyuh mendengarnya. Perasaan bersalah mulai menggerogoti hatiku. Apalagi, orang yang tak memiliki hubungan apapun denganku sampai merawat putraku dan kewalahan saat aku di luar negeri."Terus gimana, Bu?""I-itu, Mbak..." Suara wanita itu terbata-bata. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan?"Gimana, Bu?" tanyaku lagi. Aku tak sabar jika diulur-ulur seperti ini."T-tadi saya terpaksa pakai obatnya. Terus Bu Ayu marah besar."Aku langsung mendekat mulutku. Astaga! "Aku terpaksa pakainya, Mbak. Tadi Bimo benar-benar sulit dikendalikan. Sekarang gimana, Mbak? Saya takut banget," sesal Bu Yati di seberang telepon.Kugigit bibir bawahku. akhirnya rahasia yang berusaha aku sembunyikan terbongkar. Namun, aku tidak bisa menyalahkan, terkadang keadaan Bimo memang tak bisa di kontrol. Alasan kenapa aku memakai obat pun, karena saat ini, itulah jalan terbaik agar Bimo aman. Sayangnya cara ini belum legal di I
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya tiba di Montmartre, sebuah distrik artistik di Paris yang dipenuhi kafe-kafe kecil, seniman jalanan, dan jalanan berbatu yang penuh sejarah."Montmartre ini punya suasana yang berbeda dengan tempat lain di Paris," kataku sambil memandang sekeliling.Tristan, yang berjalan di sampingku, mengangguk kecil. "Kamu tahu? Dulu, tempat ini adalah rumah bagi banyak pelukis terkenal. Picasso, Van Gogh, mereka pernah tinggal dan berkarya di sini."Aku tersenyum. "Pak Tristan terdengar seperti pemandu wisata profesional."Tristan tertawa kecil. "Kalau di Prancir, Aku memang sering ke sini setiap kali punya waktu luang. Ada Banyak hal menenangkan di tempat ini."Kami berjalan perlahan, menikmati atmosfer yang tenang. Beberapa seniman sedang melukis di sudut-sudut jalan, dan turis-turis berkerumun di depan toko-toko seni kecil."Mau masuk ke galeri itu?" Tristan menunjuk sebuah toko kecil dengan lukisan warna-warni di jendela.Aku mengangguk antu
"Menarik," ucapnya lirih. Pria itu segera berbalik dan menlanjutkan langkahnya. Aku menarik napas dalam, karena selama Tristan bicara, tanpa sadar aku menahan napas!Begitu aku melangkah masuk ke dalam château, aroma khas kayu tua dan anggur yang difermentasi memenuhi udara. Interiornya klasik dan elegan, dengan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit tinggi dan perabotan antik yang tertata rapi. Rasanya seperti memasuki dunia lain, dunia yang jauh dari hiruk-pikuk Paris dan kantor.Tristan berjalan di depanku, sesekali menoleh seakan memastikan aku mengikutinya. Kami dibawa ke ruang duduk yang nyaman, dengan jendela besar yang langsung menghadap kebun anggur yang membentang luas. Pierre menawari kami segelas anggur putih, tapi aku dengan sopan menolak dan memilih air mineral."Tidak minum alkohol?" tanya Tritan sebelum menyesap anggurnya dengan santai.Aku menggeleng. "Aku tidak terbiasa. Lagipula, aku lebih suka jus atau teh."Tristan mengangguk pelan, lalu menyandar
Mobil melaju dengan tenang melewati jalanan Paris yang mulai lengang, tapi suasana di dalam mobil justru terasa menegang. Aku duduk di sebelah Tristan di kursi penumpang, sementara Paulo duduk di belakang, memilih diam sejak tadi.Aku melirik Tristan yang masih fokus menyetir, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam menatap ke depan.Aku tahu dia marah.Sebenarnya, aku ingin berbicara, tapi entah kenapa rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokanku.Hening beberapa menit, lalu Tristan akhirnya buka suara."Maya, apa yang kamu pikirkan?" suaranya terdengar dalam dan tajam.Aku menggigit bibir. "Saya hanya… Paulo ingin menunjukkan butik bagus. Saya tidak berpikir itu akan menjadi masalah besar."Tristan menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk setir dengan ritme yang menunjukkan kekesalannya. "Tidak berpikir? Maya, ini Paris, bukan rumahmu. Kota ini punya banyak sisi gelap. Kamu bisa saja dalam bahaya, dan aku tidak tahu apa-apa soal itu. Padahal aku sudah mem
Keesokan harinya, presentasi Tristan berjalan dengan sangat baik. Selama presentasi, aku ada di sampingnya, memastikan dokumen dan data yang dibutuhkan tersedia. Aku juga sempat menjelaskan beberapa detail mengenai strategi operasional perusahaan dengan lancar, membuat Jacques Moreau dan timnya terkesan.Setelah pertemuan selesai, Jacques Moreau menjabat tanganku dan berkata dengan senyum kecil, "Mademoiselle Maya, Anda sangat cekatan dan profesional. Monsieur Tristan beruntung memiliki sekretaris seperti Anda."Aku tersenyum sopan, sedikit terkejut dengan pujiannya. "Terima kasih, Monsieur Moreau. Saya hanya melakukan tugas saya sebaik mungkin."Tristan yang berdiri di sampingku melirik sekilas, lalu menimpali dengan nada santai, "Saya juga berpikir begitu."Kupikir ia bercanda, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Saat kami kembali ke hotel, ia tiba-tiba menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua kepadaku. "Ini untukmu," katanya singkat.Aku mengerutkan kening, bingun
Tristan melangkah lebih dekat dan menatapku dengan serius. “Boleh?” tanyanya, menunjuk ujung hijabku.Rasanya sangat gugup, tetapi aku mengangguk pelan. Tristan dengan lembut menyentuh kain satin itu, merapikannya sedikit di sisi kanan. Jemarinya hanya menyentuh kain, tapi entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat.Bagaimana bisa seorang Bos mendandani sekretarisnya? Biasanya sekretarislah yang merapikan pakaian bosnya agar sempurna! Astaga, apa ini sebuah kesalahan?“Begini lebih bagus,” katanya setelah beberapa saat. “Jangan terlalu dipikirkan. Kau sudah terlihat menawan.”Aku menatap pantulan diriku di cermin. Dengan sedikit perubahan yang Tristan buat, hijabku memang terlihat lebih natural dan pas dengan bentuk wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak. Kalau begitu. Kita berangkat sekarang?”Tristan mengangguk, mundur selangkah, dan memberi isyarat agar aku berjalan lebih dulu. “Ayo.”~Pesta ini jauh lebih mewah dari yang kubayangkan. Begi
Ruangan menjadi hening setelah ucapan Tristan. Alain tampak berusaha mempertahankan ekspresi percaya diri, tetapi jelas ada keresahan yang mulai terlihat dari cara dia menggenggam pena di tangannya.Aku melirik karyawan lain yang ada di ruangan. Beberapa dari mereka tampak gelisah, ada yang menundukkan kepala, ada pula yang menatap Alain seolah menunggu bagaimana dia akan menangani situasi ini."Penyesuaian seperti apa tepatnya?" Tristan mengulang pertanyaannya, nada suaranya tetap dingin dan tajam.Alain akhirnya berdeham pelan. "Tuan Tristan, seperti yang Anda tahu, pasar di Prancis memiliki dinamika yang berbeda dibandingkan dengan cabang utama. Kami harus melakukan beberapa perubahan untuk tetap kompetitif."Tristan menyipitkan matanya. "Itu tidak menjelaskan mengapa ada transaksi yang tidak tercatat di sistem pusat. Atau lebih tepatnya... ada transaksi yang sengaja tidak dimasukkan?"Suasana di ruangan semakin tegang. Beberapa orang mulai saling berbisik, tetapi Alain tetap berus
Tristan kembali berbicara, "Aku baru saja mengetahui kalau beberapa kontrak yang dibuat perusahaan kita dalam beberapa tahun terakhir tidak sepenuhnya bersih. Ada indikasi suap, mark-up harga, dan yang lebih parah… beberapa proyek itu melibatkan perusahaan yang punya rekam jejak buruk."Aku terkejut. Apa sindikat Bu Ratna sebegitu berbahayanya sampai menjadi rumit begini?"Tapi… perusahaan kita seharusnya punya tim legal yang memastikan semuanya berjalan sesuai aturan, bukan?" tanyaku hati-hati.Ekspresi Tristan mengeras. "Bu Ratna selama ini punya akses besar ke banyak dokumen penting. Banyak dokumen yang kutinjau menunjukkan kejanggalan."Aku mencoba mencerna informasi itu. "Jadi, maksud Bapak, kemungkinan skandal ini lebih besar dari yang kita kira?""Bukan kemungkinan, Maya." Tristan menatapku dalam-dalam. "Aku hampir yakin ini lebih besar. Dan karena kamu adalah sekretarisku, aku ingin kamu berhati-hati. Jangan mudah percaya pada siapa pun, termasuk orang-orang yang mungkin terli