Share

5

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-01-22 21:34:04

“Maya, kita bicara sebentar.”

“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.

“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.

“Pulang kerja.”

Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.

Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.

“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”

“Kalau aku sih sudah resign.”

“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”

“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”

Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup. 

”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.

“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai empat, tempat divisiku berada.

Lelaki itu melirikku sekilas. “Maya ya.”

“Iya.” Aku terkejut dia mengetahui namaku.

“Yang sabar ya.”

“Hehe... Iya Pak. Saya permisi dulu, terima kasih,” balasku ketik pintu lift terbuka. Entah apa yang dimaksud pria itu, tapi dia cukup menenangkanku karena masih ada orang berhati baik.

Gunjingan tak kunjung berhenti, rekan kerja di divisi pun tak berhenti berbisik membicarakanku.

“Maya laporan!” ucap Kenzo yang baru saja masuk.

“Baik Pak.” Ku ambil beberapa dokumen yang sudah berada di dalam map. Kuharap akan mendapatkan bonus lagi karena ada beberapa tugas Kenzo yang kukerjakan.

“Sssttt! Pasti mereka akan saling menggoda di dalam sana,” bisik Putri pada Tina. Bersikap bodoamat merupakan cara terbaik saat ini.

Ketika masuk ke dalam ruangan, kulihat Kenzo akan menekan remote untuk menutup gorden ruangannya.

“Pak, apa boleh jika gordennya kita buka saja?” pintaku padanya. Dahi lelaki itu mengerut.

“Kenapa?”

Aku hanya memberikan senyuman.

“Oh oke.” Kenzo menaruh remote itu kembali. Di luar terlihat beberapa rekan kerja yang mengintip kegiatan kita. Aku dan Kenzo hanya fokus membicarakan dokumen pekerjaan kami.

“Baik May. Kerjaanmu sudah sangat bagus, bonusnya aku kirim lewat M-Banking ya,” ucap Kenzo mengakhiri pemeriksaan.

“Baik Pak.” Aku pun keluar dari ruangan itu.

“Wih dapat bonus nih!” cibir Tina kepadaku.

“Bagi-bagi dong May! Kan kamu sudah punya banyak bonus dari Pak Kenzo, tanpa kerja lagi,” sahut Putri.

Aku hanya tersenyum mendengar cibiran mereka. Rosa melirikku dengan dingin.

“Gimana nih Rosa. Kan pekerjaan Pak Kenzo yang ngerjain kamu. Eh malah wanita gatal ini yang dapat!” protes Tina. Rosa tak menanggapi hasutan Tina, dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya aku mengira Rosa juga mengerjakan tugas dari Kenzo karena ia sering ke ruangannya ketika pulang kerja, meskipun tak sesering aku. Semua orang menganggap Rosa sedang lembur. Tapi siapa sangka wanita itu selama ini sedang memadu kasih dengan suami orang. Sayangnya yang kena imbasnya adalah aku.

‘Tuhan tidak tidur May. Semua akan mendapatkan balasannya!’

Kling! Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselku. Ternyata pemberitahuan transferan dari Kenzo, dan sebuah pesan dari Tristan. Aku baru menyadari ada pesan Tristan.

Segera kubuka pesan itu.

[Operasiku berjalan lancar. Jika ada masalah jangan lupa menghubungiku.]

Tanpa sadar bibirku tersenyum membaca kalimat itu.

“Dia seperti mengharapkanku mendapat masalah. Naudzubillah min dzalik.”

***

Hari-hari berlalu dengan cepat, aku pun menjalaninya dengan tenang. Seseorang yang memintaku meluangkan waktu pun, tak datang menemuiku sepulang dari kantor. Entah apa yang dilakukannya, tapi kuyakin orang itu sudah tak membutuhkanku lagi.

“Mbak Maya. Obat Bimo sudah habis,” ucap Bu Yati sembari memperlihatkan kotak yang kosong melompong.

“Hahh... kali ini dia terlalu banyak mengonsumsi obat ya Bu. Ini masih 2 bulan loh.”

“Nak Bimo sering tantrum sampai kejang Mbak. Di tambah Mbak Sinta kan semakin jarang ke rumah. Jadi Ibuk bingung buat nenanginnya,” keluh Bu Yati. Aku jadi merasa tak enak hati karena berkomentar seperti itu.

“Maafin Maya ya Bu. Omongan Maya tak bermaksud menyudutkan Bu Yati,” sesalku.

“Tidak perlu minta maaf Mbak. Ibuk juga pasti mengeluh jika berada di posisi Mbak Maya. Ditambah harga obatnya Nak Bimo kan sangat mahal. Tapi, sekarang Bimo makin lancar berhitungnya Mbak. Kemarin tau sendirikan bagaimana dia mengerjakan soal penambahan dan pengurangan.” Kalimat itu sangat menenangkanku. Dan ya, Bimo sekarang sudah bisa mengerjakan soal matematik dasar. Dia bahkan betah mengerjakan soal-soal yang ada di dalam buku hingga tuntas. Menata lembaran uang yang kuberikan padanya dengan teliti. Satu hal lagi, Bimo bahkan menyadari jika dia kehilangan uang, ini lah yang sering membuatnya tantrum.

“Nanti sore aku belikan ya. Hari ini kalau Bimo tantrum langsung telpon Sinta aja ya Bu.”

Hari ini di kantor terdapat evaluasi untuk kinerja para karyawan. Hampir semua rekan kerjaku merasa gelisah dengan hasil pemeriksaan itu. Aku cukup tenang karena selama kerja aku melakukan tugas sesui dengan SOP. Selama mengumpulkan laporan pun aku jarang diminta revisi.

Posisiku sekarang aman, tapi Putri, Tina, dan Rosa memiliki beberapa pelanggaran yang cukup fatal. Itulah yang membuat mereka bertiga menggerutu sepanjang waktu. Rosa yang biasanya terlihat tenang ikut keteteran mengerjakan tugas yang sempat dia lupakan.

Ketika jam pulang sudah tiba, aku pun langsung melajukan mobil menuju tempat COD obat Bimo. Untuk mendapatkan obat itu sangat sulit, sehingga aku memilih untuk mencarinya dengan cara jasa titip orang yang suka traveling ke Amerika.

Kali ini orang itu memintaku untuk datang ke sebuah rumah makan pinggir kota.

“Kenapa bertemu disini Pak? Tempatnya sangat mencurigakan,” protesku. Warung kecil dengan lampu temaram membuat siapa pun akan berpikiran aneh-aneh melihat kami di sini.

“Sekalian jalan ke Jawa Barat Mbak,” jawab lelaki itu. Namun, raut wajahnya terlihat gelisah. “Mana uangnya Mbak? Saya harus segera pergi. Konsumen lainnya sudah menunggu.”

Aku menghela nafas, tak biasanya dia terburu-buru begini. Lelaki yang kukenal dengan nama Nadlan itu biasanya akan menawari berbagai macam obat lainnya. Hari ini dia terlihat begitu gugup, bahkan ketika menyodorkan sebungkus obat tangannya tremor hebat.

“Saya pamit dulu ya Mbak. Hati-hati di jalan,” ucapnya berlalu pergi meninggalkanku.

Krrttt... suara perut memberontak ini membuatku meringis. Tanpa sadar aku lupa makan sedari siang.

“Bu... rawon sama es teh ya,” pesanku sembari memberikan selembar uang lima puluh ribu. Ibu itu segera memberikan kembalian.

Terpaksa aku menunda waktu untuk pulang, karena lambungku yang kosong memaksa untuk diisi.

Tak lupa juga tak lupa menelpon Bu Yati untuk memberitahunya jika pulang telat.

“Hallo Bu, hari ini aku pulang telat. Aku lagi beli obat tapi tempat COD nya jauh banget. Titip Bimo ya.”

Penjaga warung menyajikan sepiring rawon lengkap dengan es teh, aromanya begitu menggugah selera siapa pun. Harumnya kuah berwarna coklat keruh itu membuat salivaku mengumpul di rongga mulut.

“Iya Bu. Maya tutup teleponnya ya. Assalamualaikum,” tukasku yang tak sanggup menahan gejolak nafsu menyantap makanan di atas meja kayu itu.

“Hmm... rasanya lezat sekali,” pujiku sambil menikmati campuran rempah-rempah yang membalut lidah. Penjaga warung tersenyum, ia bahkan memberiku kerupuk urang tambahan.

“Ini Mbak, saya kasih bonus.”

“Makasih Bu.”

Ketika akan menyendokkan nasi terakhir. Tiba-tiba segerombol orang berlari ke arah warung.

“Angkat tangan!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   6

    Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.“Mari ikut saya ke kantor polisi.”“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hany

    Last Updated : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   7

    “Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a

    Last Updated : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   8

    Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku

    Last Updated : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   9

    Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras

    Last Updated : 2025-02-21
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   10

    "Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce

    Last Updated : 2025-02-21
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   11

    Kepersiapkan diri untuk mempersembahkan tontonan menarik untuk mantan rekan kerjaku. Kebetulan, Tristan belum kembali, jadi aku bisa melancarkan rencanaku. Suara kertas yang keluar dari printer bagai opera music dengan sopran sebagai intinya. Pada lembaran terakhir, tiba-tiba aku teringat akan insiden di mana aku sekali lagi dipermalukan secara tidak adil di lobi kantor.“Dasar wanita murahan!”Masih kuingat sebereapa panas tamparan Gita saat memakiku di depan banyak orang.“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.Nahasnya, saat itu aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dijadikan kambing hitam oleh dua pezina. Wanita serigala berbulu domba dan Pria arogant berhati iblis.Di tengah lamunanku, mendadak seseorang mengetuk meja kerjaku."Nih!" Orang itu melempar sat

    Last Updated : 2025-02-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   12

    Gita melangkah masuk, dengan emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Rosa yang asyik bermain hp tak menyadari kedatangannya. Beberapa karyawan yang dilewati Gita hanya bisa menoleh tatapan bingung. Ketika sampai di belakang Rosa, wanita itu menyiram tubuh targetnya dengan sayur sop merah. Cairan berwarna merah beserta para sayur melumuri rambut hingga kursi kerja Rosa.Rosa menjerit kaget, tubuhnya kaku di tempat. Semua pasang mata tertuju padanya. Butuh beberapa detik untuknya menyadari apa yang baru saja terjadi. Perlahan, ia menoleh dengan mata membelalak ke arah Gita yang berdiri dengan napas memburu, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah."Apa-apaan ini?!" Rosa melompat dari kursinya, tangannya mengibas-ngibas bajunya yang basah oleh kuah sop merah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, dengan beberapa helai sayuran menempel di sana. Belum sempat mendapat jawaban, Gita sudah melayangkan tamparan pada wanita itu.Suara tamparan itu menggema di seluruh r

    Last Updated : 2025-02-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   13

    Kenzo yang awalnya begitu percaya diri, kini matanya melebar dan mulutnya terkatup rapat saat mendengar suara berat Pak Jacson. Semua karyawan divisi marketing, yang tadinya berbisik-bisik langsung diam, menunggu dengan napas tertahan. Pak Jacson melangkah ke tengah-tengah keributan itu dengan ekspresi serius, matanya menyapu pemandangan yang ada di hadapannya. Rosa masih berdiri dengan pakaian berantakan, sisa kuah sop merah menetes dari rambut dan wajahnya yang terlihat kusut. Kenzo berdiri di sampingnya dengan rahang mengeras, sedangkan Gita berdiri tegak, napasnya memburu, masih diliputi amarah. "Kuulangi pertanyaanku," suara Pak Jacson terdengar dalam dan berwibawa. "Ada apa ini?" Semua orang saling pandang, tak ada yang berani menjawab lebih dulu. Namun, Gita tak mau kehilangan momentum. Ia melangkah maju, menatap Pak Jacson dengan penuh keyakinan. "Pak Jacson," suaranya tegas, meskipun ada getaran emosi di dalamnya. "Saya ingin melaporkan Kenzo atas tindakan tidak profe

    Last Updated : 2025-02-23

Latest chapter

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   73

    Ketiga karyawan tersebut menoleh dengan kikuk. Cengir kuda dengan mata melotot, saling melemparkan lirikan. "He-he Pak..." ucap salah satu karyawan, dia menganggukkan kepalanya.Tristan tersenyum tulus pada mereka. "Ikut ke ruangan saya, sekarang."Saat membalikkan badan ke arahku, dia berucap. "Tolong, delivery makanan untuk kita berlima.""Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku. Ketiga orang yang sebelumnya menggunjing kami, mematung.Tristan yang sudah berjalan beberapa langkah dari kami, segera berhenti dan menoleh. "Ayo.""S-siap, Pak!" Ketiga karyawan tersebut langsung mengikuti CEO masuk ke lift khusus eksekutif.Setelah pintu lift tertutup, aku menghela napas panjang. Dalam hati, aku sedikit merasa puas melihat ekspresi panik mereka yang tadinya sok berani menggunjing di balik punggung orang. Tapi di sisi lain, aku juga kasihan. Semoga mereka sadar dan tidak mengulangi hal yang sama lagi.Aku segera menuju pantry dan menghubungi layanan katering langganan kantor. “Lima pors

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   72

    "Tidak perlu!" sela seseorang yang baru saja masuk ke ruang rapat. Semua orang tertuju padanya."Kita selesaikan masalah ini sekarang juga!"Mataku terbelalak mengetahui siapa orang itu. Sosok yang tanpa sadar aku rindukan kehadirannya. Paulo tersenyum lega ke arahku. "Maaf, Pak Tristan tapi-" Pak Haryo berusaha mencegah Tristan."Tidak ada tapi-tapian Pak Haryo. Lihat bukti saya terlebih dahulu." Tristan melemparkan flasdisk kepada Paulo. Paulo pun memainkan rekaman cctv di kamar Tristan yang ada di New York dan Paris."Bisa kalian lihat sendiri, aku dan sekretarisku menempati kamar yang berbeda. Meskipun ruangannya sama, rapi ada dua kamar di sana. Kami berdua tidak pernah melewati batas, justru orang lain sudah mengusik privasiku. Sampai mencuri jaketku!" Tristan mengarahkan pandangan dan jari telunjuknya pada Rahma. Perempuan yang beberapa kali mengunjungi kamar kami di New York.Mulut Rahma terngaga berusaha mencuatkan alasan, tetapi ditahan Tristan."Tidak perlu beralasan, aku

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   71

    “Boleh saya tahu siapa saksi mata itu?” tanyaku. “Atau, setidaknya, apakah bisa dihadirkan sekarang juga agar saya bisa membela diri dengan adil?” Pak Haryo menatapku sangat tajam. "Tidak perlu. Tonton saja rekaman ini."Pria itu menjentikkan jari meminta operator untuk menyalakan proyektor. Di layar terpampang adegan Tristan menggendongku dan memasukkanku ke kamarnya. Jantungku sontak berdegup. Itu adalah hari di mana aku baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani rehabilitasi. Hanya itu yang dipertontonkan padaku. Bu Nanda memijit pelipisnya. "Biarkan saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pak," mohonku.Kepala tim legal itu mengangkat tangannya, kode menolak permohonanku. "Kita lakukan rapat direksi besok siang. Semua bukti sudah kuat, kami tidak ingin mencoreng nama baik Panthelis dengan tindakan tidak senonoh. Sekarang kembali ke posisi masing-masing."Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk kecil tanpa suara. Sia-sia menjelaskan sekarang. Mereka sudah menutup telinga.

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   70

    Paulo hanya tersenyum, berdiri sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Bisikannya nyaris seperti racun yang disusupkan langsung ke pikiranku."Ada seseorang yang sengaja menjatuhkan kamu, Maya. Dan dia nggak main-main."Seketika udara di ruangan seolah membeku."Pasang flashdisk ini, tapi pastikan kita sendirian. Ini bukan sekadar soal gosip. Ini sudah personal."Aku menatapnya tajam. "Siapa, Paulo?"Ia hanya mengangkat alis, lalu berbisik,"Rahma bukan satu-satunya."Tanganku gemetar saat menerima flashdisk itu. Tubuhku mendadak dingin, meski AC kantorku sudah lama mati sejak siang. Pikiran tentang Bimo, pekerjaanku, dan reputasi yang kujaga selama ini mendadak seperti benang kusut yang siap putus kapan saja."Kalau ini jebakan," ucapku pelan.Dia mengangkat tangan, "Relax, darling. Aku di tim kamu. Selalu di tim kamu."Aku menarik napas dalam, lalu bangkit dari kursi dan menuju ke pintu. Kupastikan ruangan terkunci, bahkan kucek ulang gorden agar tak ada celah untuk orang luar meng

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   69

    Benar saja, keesokan harinya Tristan terbang ke New York.Aku dikepung tumpukan dokumen dari beberapa divisi. Panthelis, perusahaan tempatku bekerja, memang tengah menggeliat agresif di pasar global. Fokus utama kami adalah produksi rokok, dan sejak Tristan menjabat sebagai CEO, ekspansi bisnis menjadi gila-gilaan. Tak hanya Asia, kini kami mulai menancapkan kuku di Eropa. Bahkan, kami sedang mengembangkan lini produk baru: rokok elektrik atau vape, dengan sentuhan desain dari Paris dan riset dari New York.Tumpukan file di mejaku tak hanya soal distribusi, tapi juga konsep visual, kemasan, rasa, hingga strategi branding. Di depan mataku, ada blueprint elegan untuk rokok elektrik bernuansa retro-futuristik. Aromanya? Cherry-vanilla bourbon. Fancy. Logo-nya terukir Taffer Phantelis, entah bagaimana aku menduga itu berarti sesuatu seperti “Kerjaan Phantelis” dalam bahasa Prancis. Seolah menunjukkan bahwa ini bukan sekadar produk, tapi simbol baru dari eksistensi kami.Pintu ruanganku ti

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   68

    "Ma..."Suara yang sangat familiar tertangkap di daun telingaku. Aku segera menoleh, dan tebakanku benar. Itu Tristan, berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celananya. Kancing kemejanya terbuka, memamerkan sedikit dada bidangnya yang eksotis. Entah kenapa pipiku terasa panas. Segera kutundukkan kepalaku."I-iya, Nak?" Bu Ayu menyahutinya dengan sedikit tergagap."Papa di mana?"Tristan menggeret salah satu kursi dan duduk bersama kami."Bar saja kembali ke kamar. Ada apa?""Ya sudah kalau gitu. Cuma tanya saja. Bimo di mana?""Sedang istirahat di kamarnya."Keadaan menjadi hening beberapa saat. Aku mengeratkan cengkeraman tanganku. Namun, Bu Ayu kembali mengajakku bicara. "Makanlah, Maya.""I-iya, Bu." Kuanggukkan kepalaku dengan sopan. Saat melihat ke arah atasan yang duduk di depanku. Aku bisa melihat seringaian kecil darinya. Dia membuatku semakin tidak nyaman!"Bagaimana pekerjaanku hari ini?" tanyanya datar."S-sudah selesai, Pak."Ada lengkungan kecil di bibirnya. "Bagus. T

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   67

    "Lepas, Zo," mohonku pada Kenzo. Dia hanya menggeleng dan menarikku duduk. Tubuhku yang sudah lelah bekerja seharian, limbung seakan menuruti permintaannya."Sebentar saja." Kenzo melepaskan cengkeramannya saat aku sudah terlekat di kursi."Tenanglah, Maya. Aku tidak akan menyakitimu. Aku bisa menjamin dia juga tidak akan menyakitimu. Jadi atur emosimu," ucap Kenzo penuh perhatian.Aku menghela napas, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergejolak.David menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya tajam, tapi ada sorot keraguan di dalamnya. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi menahannya. Sementara itu, Kenzo bersandar di kursinya, tangannya terlipat di depan dada dengan wajah tidak sabar."Ada apa sebenarnya?" tanyaku akhirnya, menatap David dengan waspada. Kenzo diam dan memberikan ruang untukku berbicara. David meremas gelas kopinya. Tatapan kami yang sempat bertemu, langsung ia putus begitu saja. Ia tertunduk sejenak, lalu mengembuskan napas panjang. "Aku

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   66

    Aku menghela napas panjang, berusaha menahan emosi saat lift terus bergerak naik. Rahma memang selalu punya cara untuk menyulut konflik. Sekarang, Rosa sukarela terseret dalam perseteruan yang tidak penting. Aku bisa menangkap niat Rosa, dia pasti ingin membersihkan namanya dengan membelaku."Rahma, cukup," ucapku datar. Aku berusaha tenang meski dadaku bergemuruh.Rahma mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Kenapa? Nggak suka denger kenyataan? Lo pikir semua orang di kantor ini nggak lihat gimana lo nebeng terus sama Bu Ayu? Anaknya lo dijilat, lo dapat perhatian khusus. Emang enak ya jadi lo?"Aku menatapnya tajam. "Kamu ngomong gitu kayak tahu semuanya aja. Apa kamu tahu gimana aku berjuang sendirian? Apa kamu tahu gimana sungkannya aku melihat anakku dijaga Bu Ayu setiap hari?"Rosa menelan ludah. Dia tampak tidak nyaman, tapi tetap berdiri di tempatnya, seakan mempertimbangkan apakah harus ikut bicara atau tidak. Rahma justru tertawa kecil, sinis."Lo pikir gue nggak tahu?

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   65

    Bu Yati mengusap air matanya yang mulai jatuh dengan tangan gemetar. Aku semakin khawatir melihatnya seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku, mencoba menenangkan.Bu Yati menelan ludahnya, lalu menatapku dengan pandangan takut. "Saya... saya takut, Mbak Maya."Jantungku mencelos. Aku segera mendekatinya, menggenggam tangannya yang dingin. "Takut kenapa, Bu? Ada yang terjadi? Masalah yang kemarin kan sudah selesai. Tristan yang bilang.""B-benar, Mbak. Masalah itu memang sudah selesai."Wanita itu menatap ke arah pintu seolah memastikan bahwa Bu Ayu benar-benar sudah pergi. Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata, "T-tapi Bu Ayu... Bu Ayu berubah, Mbak. Setelah saya ketahuan tentang obat yang Bimo konsumsi, sikapnya langsung lain. Beberapa hari ini sikapnya makin aneh, Mbak."Aku mengerutkan kening. "Maksud Ibu, makin aneh bagaimana?"Bu Yati menarik napas panjang. "Saya tahu ini bukan urusan saya, Mbak, tapi tadi siang saya sempat merapikan kamar Bimo. Saya menemukan botol obat yang biasa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status