“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.
“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.
“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.
“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.
“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.
Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.
“Mari ikut saya ke kantor polisi.”
“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”
Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.
“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hanya itu yang kupunya untuk berpergian. “Saya tidak mau pergi kalau mobil saya ditinggal di sini.”
“Jangan memberontak!” bentak seseorang yang menyeretku.
”Mobil anda aman Bu. Tim kami akan membawanya, ” jelas wanita yang merampas plastik obatku.
“Oke saya tidak akan memberontak. Tidak bisakah kalian menyeretku lebih halus!?”
Mereka tak menggubris sama sekali. Hari ini benar-benar sial.
Ketika sampai di kantor polisi, aku diminta untuk menghubungi wali. Bu Yati adalah orang pertama, sayangnya tak ada jawaban apapun. Lalu ku mencoba hubungi Sinta, hasilnya nihil. Aku berpikir keras mencari seseorang yang bisa menjadi waliku, Kenzo adalah pilihan selanjutnya. Telepon berdering cukup lama hingga panggilan pun tersambung.
“Hallo Kenzo!” girangku karena ada seseorang yang bisa menjawab. Namun, sedetik kemudian lengkungan di bibir perlahan menjadi datar.
“Hei wanita gatal! Masih saja menghubungi suami orang. Aku peringatkan sekali lagi ya, jangan pernah menghubungi Kenzo! Atau aku akan memberi pelajaran untukmu!” hardik Gita penuh emosi. Tut! Panggilan telepon pun berakhir.
“Bagaimana? Apakah sudah ada wali yang akan datang ke kantor polisi?” tanya salah satu petugas yang sedari tadi duduk di hadapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. Lelaki itu menghela napas, “Coba cari lagi.”
Mataku terasa panas, aku sangat bingung meminta tolong pada siapa. Aku sudah tak memiliki keluarga, temanku pun hanya ada Sinta dan Kenzo.
Ah! Mas David. Segera kucari nomor telepon mantan suamiku. Satu panggilan saja sudah cukup untuk menyambungkan teleponku padanya.
“Hallo May,” sapanya ramah.
Aku sangat senang mendengar suara itu.
“Hallo Mas. Aku mau minta tolong boleh?” tanyaku langsung to the point.
“Minta tolong apa May? Katakan, aku akan membantumu.”
“A-aku...”
“Apa-apaan kamu David! Masih saja menghubungi wanita miskin ini,” teriak seseorang di dalam telepon. “Hei Maya! Aku kan sudah memberimu kompensasi yang sangat besar. Kenapa masih saja mengganggu keluargaku? Apa kompensasi itu masih kurang? Bukankah kemarin David juga memberimu uang yang banyak untuk biaya hidup anak idiot itu?” Mulutku terkatup rapat mendengarnya.
“Dasar wanita matre! Diberi sebanyak apa pun masih saja terasa kurang! Sekali lagi kamu menghubungi David, kan ku pastikan hidupmu hancur!” hardik mantan ibu mertua. Sambungan telepon pun terputus. Secercah harapan yang kunantikan kini menghilang. Bibirku terasa kelu mendengar omelan mantan ibu mertua, kata-katanya tak pernah berubah. Dia selalu memaki tanpa henti. Sesak sekali rasanya. Nasibku hari ini benar-benar malang. Kepala terasa pening memikirkan masalah yang terjadi. Tidak ada yang membantu, selama beberapa menit hanya menyecroll kontak di dalam ponsel, dan jariku langsung berhenti pada sebuah nama, yakni Tristan.
“Apa dia bisa membantuku?”
“Hubungi saja Bu,” jawab polwan yang baru masuk ke ruangan interograsi.
Tutt... tutt... tutt... cukup lama menunggu jawaban dari lelaki itu. Bahkan aku harus menelponnya sampai tiga kali, ini yang keempat. Jika tak kunjung diangkat maka aku pasrah apabila dimasukkan bui, setidaknya beberapa bulan telingaku tak merasakan goncangan fitnah yang bertubi-tubi.
“Hallo,” suara serak tiba-tiba terdengar di telingaku.
“Hallo arwahi, ternyata masih hidup. Ups sorry,” sesalku. Entah kenapa jika berbicara dengan Tristan mulutku loss dol tak bisa dikontrol.
“Ada apa?”
“Uh! Aku memiliki masalah. Bisakah kamu membantuku? Aku berada di kantor polisi.”
“Baiklah. Share locationmu sekarang,” perintahnya dan langsung menutup telepon.
Beberapa menit kemudian, Tristan sudah datang menemuiku dia benar-benar lelaki kilat.
“Jelaskan bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanyanya dingin. Hawa ruangan berubah menjadi suram, dan mulutku tak henti menjelaskan situasi yang tak terduga itu.
“Hm. Aku akan bernegoisasi dengan pihak kepolisian. Aku harap semua perkataanmu benar. Dan untuk anakmu, aku ingin melihatnya. Jika semuanya salah, maka kamu harus mengganti kerugiannya hingga 100 kali lipat.”
“What the hell? Gila kamu! 100 kali lipat itu sangat banyak, tega sekali kamu!” protesku. “Tapi tidak masalah, karena aku mengatakannya dengan jujur tanpa mengada-ada.”
Tak merespon protesanku, Tristan pun pergi dari ruangan tempat ku dikurung. Beberapa menit kemudian, seorang polwan datang sembari memintaku untuk memberikan sampel urine dan darah. Katanya untuk pemeriksaan apakah aku positif narkoba atau negatif. Aku menuruti semua prosedur. Cukup lama menunggu hasil pemeriksaan, tanpa sadar tertidur karena merasa bosan. Ponselku pun disita oleh pihak berwajib.
“Kita pulang sekarang,” ucap Tristan membangunkanku.
“Bagaimana hasilnya?” tanyaku dengan mata yang berat dibuka.
“Negatif, dan bebas.” Aku terlonjak mendengar jawaban Tristan, kini khayalan berada di dalam bui selama berbulan-bulan langsung sirna. Tanpa sadar aku menggenggam tangan lelaki itu dan melompat seperti anak kecil.
“Alhamdulillah ya Allah!”
“Ekhem!” dehamnya sembari mengibaskan tanganku.
“Sorry.”
Kami pun pulang, Tristan mengikuti mobilku dari belakang. Lelaki itu mengikutiku memakai sepeda supra. Dia terlihat sangat santai, sedangkan aku masih girang karena terbebas dari bui. Hari ini sangat melelahkan.
Sesampainya di rumah, aku langsung mempersilahkan Tristan masuk. Mataku terbelalak melihat pemandangan di dalam.
“Astaga!” pekikku. Terlihat Sinta dan Bu Yati yang terduduk lemas di lantai, semua barang berserakan di mana-mana.
“Kenapa bisa seperti ini?”
“Ahh... Maya. Hehe...” Sinta justru terkekeh melihat kedatanganku.
Bu Yati yang lemas memaksa dirinya berdiri. “Bimo tadi ngamuk Mbak, untungnya tidak kejang,” adunya.
“Ya ampun, pasti sangat merepotkan. Sekarang Bimo di mana?”
Bu Yati menunjuk daun pintu di belakangku. Di sana terlihat Bimo yang sedang bermain uang. Tristan hanya mematung melihat keadaan rumahku.
“Hehe... maaf ya berantakan. Silakan masuk.” Kupersilahkan lelaki penyelamat masuk. Sinta dan Bu Yati langsung membereskan ruang tamu.
“Siapa?” bisik Sinta yang kepo.
“Penyelamatku! Jangan pulang dulu, nanti aku ceritakan kejadiannya.”
Sinta memberikan kode oke dengan jarinya. Bu Yati ingin membawa Bimo masuk ke dalam rumah, tapi Tristan mencegahnya.
“Biarkan dia di sini Bu,” pinta lelaki itu.
“Ah iya.” Wanita itu melirikku sekilas, dan aku memberikan persetujuan atas permintaan Tristan.
Lelaki itu hanya mengamati Bimo dalam diam, sesekali dia membantu anakku merapikan uang yang berserakan di atas meja.
“Minum tehnya terlebih dulu,” ingatku padanya. Tristan hanya melirikku sekilas, tapi tangannya langsung menyambar segelas teh yang kurasa sudah dingin. Dia meminumnya hingga tandas.
“Aku pamit pulang dulu.”
“Sekarang?” tanyaku.
“Ya. Ini sudah larut,” ucapnya sembari melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh. Perkataannya memang benar, dan kita sampai di rumah pada jam sembilan.
“Baiklah. Hati-hati di jalan, dan terimakasih atas bantuanmu.” Aku mengantarnya hingga depan rumah.
“Kita impas,” ucapnya berlalu pergi bersama motor andalan bapak-bapak.
“Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a
Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku
Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras
"Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce
Kepersiapkan diri untuk mempersembahkan tontonan menarik untuk mantan rekan kerjaku. Kebetulan, Tristan belum kembali, jadi aku bisa melancarkan rencanaku. Suara kertas yang keluar dari printer bagai opera music dengan sopran sebagai intinya. Pada lembaran terakhir, tiba-tiba aku teringat akan insiden di mana aku sekali lagi dipermalukan secara tidak adil di lobi kantor.“Dasar wanita murahan!”Masih kuingat sebereapa panas tamparan Gita saat memakiku di depan banyak orang.“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.Nahasnya, saat itu aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dijadikan kambing hitam oleh dua pezina. Wanita serigala berbulu domba dan Pria arogant berhati iblis.Di tengah lamunanku, mendadak seseorang mengetuk meja kerjaku."Nih!" Orang itu melempar sat
Gita melangkah masuk, dengan emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Rosa yang asyik bermain hp tak menyadari kedatangannya. Beberapa karyawan yang dilewati Gita hanya bisa menoleh tatapan bingung. Ketika sampai di belakang Rosa, wanita itu menyiram tubuh targetnya dengan sayur sop merah. Cairan berwarna merah beserta para sayur melumuri rambut hingga kursi kerja Rosa.Rosa menjerit kaget, tubuhnya kaku di tempat. Semua pasang mata tertuju padanya. Butuh beberapa detik untuknya menyadari apa yang baru saja terjadi. Perlahan, ia menoleh dengan mata membelalak ke arah Gita yang berdiri dengan napas memburu, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah."Apa-apaan ini?!" Rosa melompat dari kursinya, tangannya mengibas-ngibas bajunya yang basah oleh kuah sop merah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, dengan beberapa helai sayuran menempel di sana. Belum sempat mendapat jawaban, Gita sudah melayangkan tamparan pada wanita itu.Suara tamparan itu menggema di seluruh r
Kenzo yang awalnya begitu percaya diri, kini matanya melebar dan mulutnya terkatup rapat saat mendengar suara berat Pak Jacson. Semua karyawan divisi marketing, yang tadinya berbisik-bisik langsung diam, menunggu dengan napas tertahan. Pak Jacson melangkah ke tengah-tengah keributan itu dengan ekspresi serius, matanya menyapu pemandangan yang ada di hadapannya. Rosa masih berdiri dengan pakaian berantakan, sisa kuah sop merah menetes dari rambut dan wajahnya yang terlihat kusut. Kenzo berdiri di sampingnya dengan rahang mengeras, sedangkan Gita berdiri tegak, napasnya memburu, masih diliputi amarah. "Kuulangi pertanyaanku," suara Pak Jacson terdengar dalam dan berwibawa. "Ada apa ini?" Semua orang saling pandang, tak ada yang berani menjawab lebih dulu. Namun, Gita tak mau kehilangan momentum. Ia melangkah maju, menatap Pak Jacson dengan penuh keyakinan. "Pak Jacson," suaranya tegas, meskipun ada getaran emosi di dalamnya. "Saya ingin melaporkan Kenzo atas tindakan tidak profe
Tristan melangkah masuk ke kantor dengan Bibirnya tertarik membentuk garis lurus, tak ada senyum ataupun tanda ketidaknyamanan, sementara aku mengikuti di belakangnya, menggenggam erat tangan Bimo. Putraku tampak gelisah, bahunya merapat, dan jemarinya terus meremas ujung bajuku, pertanda bahwa ia mulai merasa tidak nyaman di lingkungan yang ramai dan penuh suara.Begitu kami tiba di ruang kerja Tristan, aku segera membimbing Bimo duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Aku mengeluarkan mainan sensorik dari dalam tas dan meletakkannya di pangkuannya, berusaha menenangkannya sebelum berbalik menghadap Tristan.“Pak, saya perlu melaporkan sesuatu,” ucapku dengan nada sopan.Tristan melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, lalu menatapku dengan tajam. “Apa yang terjadi?”Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Baru saja terjadi insiden besar di kantor, Pak. Kenzo terlibat pertengkaran dengan Gita dan Rosa. Pak Jacson meminta saya untuk menyaksikan sebagai saksi, mengingat
Ketiga karyawan tersebut menoleh dengan kikuk. Cengir kuda dengan mata melotot, saling melemparkan lirikan. "He-he Pak..." ucap salah satu karyawan, dia menganggukkan kepalanya.Tristan tersenyum tulus pada mereka. "Ikut ke ruangan saya, sekarang."Saat membalikkan badan ke arahku, dia berucap. "Tolong, delivery makanan untuk kita berlima.""Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku. Ketiga orang yang sebelumnya menggunjing kami, mematung.Tristan yang sudah berjalan beberapa langkah dari kami, segera berhenti dan menoleh. "Ayo.""S-siap, Pak!" Ketiga karyawan tersebut langsung mengikuti CEO masuk ke lift khusus eksekutif.Setelah pintu lift tertutup, aku menghela napas panjang. Dalam hati, aku sedikit merasa puas melihat ekspresi panik mereka yang tadinya sok berani menggunjing di balik punggung orang. Tapi di sisi lain, aku juga kasihan. Semoga mereka sadar dan tidak mengulangi hal yang sama lagi.Aku segera menuju pantry dan menghubungi layanan katering langganan kantor. “Lima pors
"Tidak perlu!" sela seseorang yang baru saja masuk ke ruang rapat. Semua orang tertuju padanya."Kita selesaikan masalah ini sekarang juga!"Mataku terbelalak mengetahui siapa orang itu. Sosok yang tanpa sadar aku rindukan kehadirannya. Paulo tersenyum lega ke arahku. "Maaf, Pak Tristan tapi-" Pak Haryo berusaha mencegah Tristan."Tidak ada tapi-tapian Pak Haryo. Lihat bukti saya terlebih dahulu." Tristan melemparkan flasdisk kepada Paulo. Paulo pun memainkan rekaman cctv di kamar Tristan yang ada di New York dan Paris."Bisa kalian lihat sendiri, aku dan sekretarisku menempati kamar yang berbeda. Meskipun ruangannya sama, rapi ada dua kamar di sana. Kami berdua tidak pernah melewati batas, justru orang lain sudah mengusik privasiku. Sampai mencuri jaketku!" Tristan mengarahkan pandangan dan jari telunjuknya pada Rahma. Perempuan yang beberapa kali mengunjungi kamar kami di New York.Mulut Rahma terngaga berusaha mencuatkan alasan, tetapi ditahan Tristan."Tidak perlu beralasan, aku
“Boleh saya tahu siapa saksi mata itu?” tanyaku. “Atau, setidaknya, apakah bisa dihadirkan sekarang juga agar saya bisa membela diri dengan adil?” Pak Haryo menatapku sangat tajam. "Tidak perlu. Tonton saja rekaman ini."Pria itu menjentikkan jari meminta operator untuk menyalakan proyektor. Di layar terpampang adegan Tristan menggendongku dan memasukkanku ke kamarnya. Jantungku sontak berdegup. Itu adalah hari di mana aku baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani rehabilitasi. Hanya itu yang dipertontonkan padaku. Bu Nanda memijit pelipisnya. "Biarkan saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pak," mohonku.Kepala tim legal itu mengangkat tangannya, kode menolak permohonanku. "Kita lakukan rapat direksi besok siang. Semua bukti sudah kuat, kami tidak ingin mencoreng nama baik Panthelis dengan tindakan tidak senonoh. Sekarang kembali ke posisi masing-masing."Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk kecil tanpa suara. Sia-sia menjelaskan sekarang. Mereka sudah menutup telinga.
Paulo hanya tersenyum, berdiri sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Bisikannya nyaris seperti racun yang disusupkan langsung ke pikiranku."Ada seseorang yang sengaja menjatuhkan kamu, Maya. Dan dia nggak main-main."Seketika udara di ruangan seolah membeku."Pasang flashdisk ini, tapi pastikan kita sendirian. Ini bukan sekadar soal gosip. Ini sudah personal."Aku menatapnya tajam. "Siapa, Paulo?"Ia hanya mengangkat alis, lalu berbisik,"Rahma bukan satu-satunya."Tanganku gemetar saat menerima flashdisk itu. Tubuhku mendadak dingin, meski AC kantorku sudah lama mati sejak siang. Pikiran tentang Bimo, pekerjaanku, dan reputasi yang kujaga selama ini mendadak seperti benang kusut yang siap putus kapan saja."Kalau ini jebakan," ucapku pelan.Dia mengangkat tangan, "Relax, darling. Aku di tim kamu. Selalu di tim kamu."Aku menarik napas dalam, lalu bangkit dari kursi dan menuju ke pintu. Kupastikan ruangan terkunci, bahkan kucek ulang gorden agar tak ada celah untuk orang luar meng
Benar saja, keesokan harinya Tristan terbang ke New York.Aku dikepung tumpukan dokumen dari beberapa divisi. Panthelis, perusahaan tempatku bekerja, memang tengah menggeliat agresif di pasar global. Fokus utama kami adalah produksi rokok, dan sejak Tristan menjabat sebagai CEO, ekspansi bisnis menjadi gila-gilaan. Tak hanya Asia, kini kami mulai menancapkan kuku di Eropa. Bahkan, kami sedang mengembangkan lini produk baru: rokok elektrik atau vape, dengan sentuhan desain dari Paris dan riset dari New York.Tumpukan file di mejaku tak hanya soal distribusi, tapi juga konsep visual, kemasan, rasa, hingga strategi branding. Di depan mataku, ada blueprint elegan untuk rokok elektrik bernuansa retro-futuristik. Aromanya? Cherry-vanilla bourbon. Fancy. Logo-nya terukir Taffer Phantelis, entah bagaimana aku menduga itu berarti sesuatu seperti “Kerjaan Phantelis” dalam bahasa Prancis. Seolah menunjukkan bahwa ini bukan sekadar produk, tapi simbol baru dari eksistensi kami.Pintu ruanganku ti
"Ma..."Suara yang sangat familiar tertangkap di daun telingaku. Aku segera menoleh, dan tebakanku benar. Itu Tristan, berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celananya. Kancing kemejanya terbuka, memamerkan sedikit dada bidangnya yang eksotis. Entah kenapa pipiku terasa panas. Segera kutundukkan kepalaku."I-iya, Nak?" Bu Ayu menyahutinya dengan sedikit tergagap."Papa di mana?"Tristan menggeret salah satu kursi dan duduk bersama kami."Bar saja kembali ke kamar. Ada apa?""Ya sudah kalau gitu. Cuma tanya saja. Bimo di mana?""Sedang istirahat di kamarnya."Keadaan menjadi hening beberapa saat. Aku mengeratkan cengkeraman tanganku. Namun, Bu Ayu kembali mengajakku bicara. "Makanlah, Maya.""I-iya, Bu." Kuanggukkan kepalaku dengan sopan. Saat melihat ke arah atasan yang duduk di depanku. Aku bisa melihat seringaian kecil darinya. Dia membuatku semakin tidak nyaman!"Bagaimana pekerjaanku hari ini?" tanyanya datar."S-sudah selesai, Pak."Ada lengkungan kecil di bibirnya. "Bagus. T
"Lepas, Zo," mohonku pada Kenzo. Dia hanya menggeleng dan menarikku duduk. Tubuhku yang sudah lelah bekerja seharian, limbung seakan menuruti permintaannya."Sebentar saja." Kenzo melepaskan cengkeramannya saat aku sudah terlekat di kursi."Tenanglah, Maya. Aku tidak akan menyakitimu. Aku bisa menjamin dia juga tidak akan menyakitimu. Jadi atur emosimu," ucap Kenzo penuh perhatian.Aku menghela napas, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergejolak.David menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya tajam, tapi ada sorot keraguan di dalamnya. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi menahannya. Sementara itu, Kenzo bersandar di kursinya, tangannya terlipat di depan dada dengan wajah tidak sabar."Ada apa sebenarnya?" tanyaku akhirnya, menatap David dengan waspada. Kenzo diam dan memberikan ruang untukku berbicara. David meremas gelas kopinya. Tatapan kami yang sempat bertemu, langsung ia putus begitu saja. Ia tertunduk sejenak, lalu mengembuskan napas panjang. "Aku
Aku menghela napas panjang, berusaha menahan emosi saat lift terus bergerak naik. Rahma memang selalu punya cara untuk menyulut konflik. Sekarang, Rosa sukarela terseret dalam perseteruan yang tidak penting. Aku bisa menangkap niat Rosa, dia pasti ingin membersihkan namanya dengan membelaku."Rahma, cukup," ucapku datar. Aku berusaha tenang meski dadaku bergemuruh.Rahma mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Kenapa? Nggak suka denger kenyataan? Lo pikir semua orang di kantor ini nggak lihat gimana lo nebeng terus sama Bu Ayu? Anaknya lo dijilat, lo dapat perhatian khusus. Emang enak ya jadi lo?"Aku menatapnya tajam. "Kamu ngomong gitu kayak tahu semuanya aja. Apa kamu tahu gimana aku berjuang sendirian? Apa kamu tahu gimana sungkannya aku melihat anakku dijaga Bu Ayu setiap hari?"Rosa menelan ludah. Dia tampak tidak nyaman, tapi tetap berdiri di tempatnya, seakan mempertimbangkan apakah harus ikut bicara atau tidak. Rahma justru tertawa kecil, sinis."Lo pikir gue nggak tahu?
Bu Yati mengusap air matanya yang mulai jatuh dengan tangan gemetar. Aku semakin khawatir melihatnya seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku, mencoba menenangkan.Bu Yati menelan ludahnya, lalu menatapku dengan pandangan takut. "Saya... saya takut, Mbak Maya."Jantungku mencelos. Aku segera mendekatinya, menggenggam tangannya yang dingin. "Takut kenapa, Bu? Ada yang terjadi? Masalah yang kemarin kan sudah selesai. Tristan yang bilang.""B-benar, Mbak. Masalah itu memang sudah selesai."Wanita itu menatap ke arah pintu seolah memastikan bahwa Bu Ayu benar-benar sudah pergi. Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata, "T-tapi Bu Ayu... Bu Ayu berubah, Mbak. Setelah saya ketahuan tentang obat yang Bimo konsumsi, sikapnya langsung lain. Beberapa hari ini sikapnya makin aneh, Mbak."Aku mengerutkan kening. "Maksud Ibu, makin aneh bagaimana?"Bu Yati menarik napas panjang. "Saya tahu ini bukan urusan saya, Mbak, tapi tadi siang saya sempat merapikan kamar Bimo. Saya menemukan botol obat yang biasa