Share

6

Penulis: Dentik
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-20 14:06:07

Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.

“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.

“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.

“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.

“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.

“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.

Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.

“Mari ikut saya ke kantor polisi.”

“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”

Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.

“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hanya itu yang kupunya untuk berpergian. “Saya tidak mau pergi kalau mobil saya ditinggal di sini.”

“Jangan memberontak!” bentak seseorang yang menyeretku.

”Mobil anda aman Bu. Tim kami akan membawanya, ” jelas wanita yang merampas plastik obatku.

“Oke saya tidak akan memberontak. Tidak bisakah kalian menyeretku lebih halus!?”

Mereka tak menggubris sama sekali. Hari ini benar-benar sial.

Ketika sampai di kantor polisi, aku diminta untuk menghubungi wali. Bu Yati adalah orang pertama, sayangnya tak ada jawaban apapun. Lalu ku mencoba hubungi Sinta, hasilnya nihil. Aku berpikir keras mencari seseorang yang bisa menjadi waliku, Kenzo adalah pilihan selanjutnya. Telepon berdering cukup lama hingga panggilan pun tersambung.

“Hallo Kenzo!” girangku karena ada seseorang yang bisa menjawab. Namun, sedetik kemudian lengkungan di bibir perlahan menjadi datar.

“Hei wanita gatal! Masih saja menghubungi suami orang. Aku peringatkan sekali lagi ya, jangan pernah menghubungi Kenzo! Atau aku akan memberi pelajaran untukmu!” hardik Gita penuh emosi. Tut! Panggilan telepon pun berakhir.

“Bagaimana? Apakah sudah ada wali yang akan datang ke kantor polisi?” tanya salah satu petugas yang sedari tadi duduk di hadapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. Lelaki itu menghela napas, “Coba cari lagi.”

Mataku terasa panas, aku sangat bingung meminta tolong pada siapa. Aku sudah tak memiliki keluarga, temanku pun hanya ada Sinta dan Kenzo.

Ah! Mas David. Segera kucari nomor telepon mantan suamiku. Satu panggilan saja sudah cukup untuk menyambungkan teleponku padanya.

“Hallo May,” sapanya ramah.

Aku sangat senang mendengar suara itu.

“Hallo Mas. Aku mau minta tolong boleh?” tanyaku langsung to the point.

“Minta tolong apa May? Katakan, aku akan membantumu.”

“A-aku...”

“Apa-apaan kamu David! Masih saja menghubungi wanita miskin ini,” teriak seseorang di dalam telepon. “Hei Maya! Aku kan sudah memberimu kompensasi yang sangat besar. Kenapa masih saja mengganggu keluargaku? Apa kompensasi itu masih kurang? Bukankah kemarin David juga memberimu uang yang banyak untuk biaya hidup anak idiot itu?”  Mulutku terkatup rapat mendengarnya.

“Dasar wanita matre! Diberi sebanyak apa pun masih saja terasa kurang! Sekali lagi kamu menghubungi David, kan ku pastikan hidupmu hancur!” hardik mantan ibu mertua. Sambungan telepon pun terputus. Secercah harapan yang kunantikan kini menghilang. Bibirku terasa kelu mendengar omelan mantan ibu mertua, kata-katanya tak pernah berubah. Dia selalu memaki tanpa henti. Sesak sekali rasanya. Nasibku hari ini benar-benar malang. Kepala terasa pening memikirkan masalah yang terjadi. Tidak ada yang membantu, selama beberapa menit hanya menyecroll kontak di dalam ponsel, dan jariku langsung berhenti pada sebuah nama, yakni Tristan.

“Apa dia bisa membantuku?”

“Hubungi saja Bu,” jawab polwan yang baru masuk ke ruangan interograsi.

Tutt... tutt... tutt... cukup lama menunggu jawaban dari lelaki itu. Bahkan aku harus menelponnya sampai tiga kali, ini yang keempat. Jika tak kunjung diangkat maka aku pasrah apabila dimasukkan bui, setidaknya beberapa bulan telingaku tak merasakan goncangan fitnah yang bertubi-tubi.

“Hallo,” suara serak tiba-tiba terdengar di telingaku.

“Hallo arwahi, ternyata masih hidup. Ups sorry,” sesalku. Entah kenapa jika berbicara dengan Tristan mulutku loss dol tak bisa dikontrol.

“Ada apa?”

“Uh! Aku memiliki masalah. Bisakah kamu membantuku? Aku berada di kantor polisi.”

“Baiklah. Share locationmu sekarang,” perintahnya dan langsung menutup telepon.

Beberapa menit kemudian, Tristan sudah datang menemuiku dia benar-benar lelaki kilat.

“Jelaskan bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanyanya dingin. Hawa ruangan berubah menjadi suram, dan mulutku tak henti menjelaskan situasi yang tak terduga itu.

“Hm. Aku akan bernegoisasi dengan pihak kepolisian. Aku harap semua perkataanmu benar. Dan untuk anakmu, aku ingin melihatnya. Jika semuanya salah, maka kamu harus mengganti kerugiannya hingga 100 kali lipat.”

“What the hell? Gila kamu! 100 kali lipat itu sangat banyak, tega sekali kamu!” protesku. “Tapi tidak masalah, karena aku mengatakannya dengan jujur tanpa mengada-ada.”

Tak merespon protesanku, Tristan pun pergi dari ruangan tempat ku dikurung. Beberapa menit kemudian, seorang polwan datang sembari memintaku untuk memberikan sampel urine dan darah. Katanya untuk pemeriksaan apakah aku positif narkoba atau negatif. Aku menuruti semua prosedur. Cukup lama menunggu hasil pemeriksaan, tanpa sadar tertidur karena merasa bosan. Ponselku pun disita oleh pihak berwajib.

“Kita pulang sekarang,” ucap Tristan membangunkanku.

“Bagaimana hasilnya?” tanyaku dengan mata yang berat dibuka.

“Negatif, dan bebas.” Aku terlonjak mendengar jawaban Tristan, kini khayalan berada di dalam bui selama berbulan-bulan langsung sirna. Tanpa sadar aku menggenggam tangan lelaki itu dan melompat seperti anak kecil.

“Alhamdulillah ya Allah!”

“Ekhem!” dehamnya sembari mengibaskan tanganku.

“Sorry.”

Kami pun pulang, Tristan mengikuti mobilku dari belakang. Lelaki itu mengikutiku memakai sepeda supra. Dia terlihat sangat santai, sedangkan aku masih girang karena terbebas dari bui. Hari ini sangat melelahkan.

Sesampainya di rumah, aku langsung mempersilahkan Tristan masuk. Mataku terbelalak melihat pemandangan di dalam.

“Astaga!” pekikku. Terlihat Sinta dan Bu Yati yang terduduk lemas di lantai, semua barang berserakan di mana-mana.

“Kenapa bisa seperti ini?”

“Ahh... Maya. Hehe...” Sinta justru terkekeh melihat kedatanganku.

Bu Yati yang lemas memaksa dirinya berdiri. “Bimo tadi ngamuk Mbak, untungnya tidak kejang,” adunya.

“Ya ampun, pasti sangat merepotkan. Sekarang Bimo di mana?”

Bu Yati menunjuk daun pintu di belakangku. Di sana terlihat Bimo yang sedang bermain uang. Tristan hanya mematung melihat keadaan rumahku.

“Hehe... maaf ya berantakan. Silakan masuk.” Kupersilahkan lelaki penyelamat masuk. Sinta dan Bu Yati langsung membereskan ruang tamu.

“Siapa?” bisik Sinta yang kepo.

“Penyelamatku! Jangan pulang dulu, nanti aku ceritakan kejadiannya.”

Sinta memberikan kode oke dengan jarinya. Bu Yati ingin membawa Bimo masuk ke dalam rumah, tapi Tristan mencegahnya.

“Biarkan dia di sini Bu,” pinta lelaki itu.

“Ah iya.” Wanita itu melirikku sekilas, dan aku memberikan persetujuan atas permintaan Tristan.

Lelaki itu hanya mengamati Bimo dalam diam, sesekali dia membantu anakku merapikan uang yang berserakan di atas meja.

“Minum tehnya terlebih dulu,” ingatku padanya. Tristan hanya melirikku sekilas, tapi tangannya langsung menyambar segelas teh yang kurasa sudah dingin. Dia meminumnya hingga tandas.

“Aku pamit pulang dulu.”

“Sekarang?” tanyaku.

“Ya. Ini sudah larut,” ucapnya sembari melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh. Perkataannya memang benar, dan kita sampai di rumah pada jam sembilan.

“Baiklah. Hati-hati di jalan, dan terimakasih atas bantuanmu.” Aku mengantarnya hingga depan rumah.

“Kita impas,” ucapnya berlalu pergi bersama motor andalan bapak-bapak. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   7

    “Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   8

    Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   9

    Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   10

    "Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   11

    Kepersiapkan diri untuk mempersembahkan tontonan menarik untuk mantan rekan kerjaku. Kebetulan, Tristan belum kembali, jadi aku bisa melancarkan rencanaku. Suara kertas yang keluar dari printer bagai opera music dengan sopran sebagai intinya. Pada lembaran terakhir, tiba-tiba aku teringat akan insiden di mana aku sekali lagi dipermalukan secara tidak adil di lobi kantor.“Dasar wanita murahan!”Masih kuingat sebereapa panas tamparan Gita saat memakiku di depan banyak orang.“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.Nahasnya, saat itu aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dijadikan kambing hitam oleh dua pezina. Wanita serigala berbulu domba dan Pria arogant berhati iblis.Di tengah lamunanku, mendadak seseorang mengetuk meja kerjaku."Nih!" Orang itu melempar sat

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   12

    Gita melangkah masuk, dengan emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Rosa yang asyik bermain hp tak menyadari kedatangannya. Beberapa karyawan yang dilewati Gita hanya bisa menoleh tatapan bingung. Ketika sampai di belakang Rosa, wanita itu menyiram tubuh targetnya dengan sayur sop merah. Cairan berwarna merah beserta para sayur melumuri rambut hingga kursi kerja Rosa.Rosa menjerit kaget, tubuhnya kaku di tempat. Semua pasang mata tertuju padanya. Butuh beberapa detik untuknya menyadari apa yang baru saja terjadi. Perlahan, ia menoleh dengan mata membelalak ke arah Gita yang berdiri dengan napas memburu, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah."Apa-apaan ini?!" Rosa melompat dari kursinya, tangannya mengibas-ngibas bajunya yang basah oleh kuah sop merah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, dengan beberapa helai sayuran menempel di sana. Belum sempat mendapat jawaban, Gita sudah melayangkan tamparan pada wanita itu.Suara tamparan itu menggema di seluruh r

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   13

    Kenzo yang awalnya begitu percaya diri, kini matanya melebar dan mulutnya terkatup rapat saat mendengar suara berat Pak Jacson. Semua karyawan divisi marketing, yang tadinya berbisik-bisik langsung diam, menunggu dengan napas tertahan. Pak Jacson melangkah ke tengah-tengah keributan itu dengan ekspresi serius, matanya menyapu pemandangan yang ada di hadapannya. Rosa masih berdiri dengan pakaian berantakan, sisa kuah sop merah menetes dari rambut dan wajahnya yang terlihat kusut. Kenzo berdiri di sampingnya dengan rahang mengeras, sedangkan Gita berdiri tegak, napasnya memburu, masih diliputi amarah. "Kuulangi pertanyaanku," suara Pak Jacson terdengar dalam dan berwibawa. "Ada apa ini?" Semua orang saling pandang, tak ada yang berani menjawab lebih dulu. Namun, Gita tak mau kehilangan momentum. Ia melangkah maju, menatap Pak Jacson dengan penuh keyakinan. "Pak Jacson," suaranya tegas, meskipun ada getaran emosi di dalamnya. "Saya ingin melaporkan Kenzo atas tindakan tidak profe

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   14

    Tristan melangkah masuk ke kantor dengan Bibirnya tertarik membentuk garis lurus, tak ada senyum ataupun tanda ketidaknyamanan, sementara aku mengikuti di belakangnya, menggenggam erat tangan Bimo. Putraku tampak gelisah, bahunya merapat, dan jemarinya terus meremas ujung bajuku, pertanda bahwa ia mulai merasa tidak nyaman di lingkungan yang ramai dan penuh suara.Begitu kami tiba di ruang kerja Tristan, aku segera membimbing Bimo duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Aku mengeluarkan mainan sensorik dari dalam tas dan meletakkannya di pangkuannya, berusaha menenangkannya sebelum berbalik menghadap Tristan.“Pak, saya perlu melaporkan sesuatu,” ucapku dengan nada sopan.Tristan melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, lalu menatapku dengan tajam. “Apa yang terjadi?”Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Baru saja terjadi insiden besar di kantor, Pak. Kenzo terlibat pertengkaran dengan Gita dan Rosa. Pak Jacson meminta saya untuk menyaksikan sebagai saksi, mengingat

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23

Bab terbaru

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   61

    "Maksudmu?" Aku meliriknya sinis."Enakkan, modal goda CEO bisa melencong ke Eropa," bisik perempuan itu tajam. Aku mendadak menegang. Rasanya ingin menyiram kopi panas ini ke wajah perempuan yang baru saja bicara. Namun, aku masih punya harga diri dan akal sehat.Aku menoleh perlahan, menatapnya dengan tatapan dingin. "Maaf, aku kurang paham maksudmu," kataku datar.Perempuan itu menyeringai, lalu bersandar di meja pantry. "Oh, ayolah, Maya. Kami semua di sini tahu bagaimana kamu bisa sampai ke New York. Bukan karena kerja keras, kan?" Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan emosi. "Jadi menurutmu aku ada di sini karena apa?" Dia terkekeh sinis. "Yah, kamu cukup cantik dan punya pesona sendiri, apalagi kalau sampai bisa dekat dengan CEO. Kami hanya bertanya-tanya, berapa banyak hal lain yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan posisi ini?"Darahku mendidih. Aku ingin membalas, tapi sebuah suara lain tiba-tiba terdengar dari belakang. "Kalau kalian punya waktu untuk gosip muraha

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   60

    "Bimo habis tantrum hebat, Mbak. Bu ayu sampai kewalahan."Astaga, hatiku benar-benar terenyuh mendengarnya. Perasaan bersalah mulai menggerogoti hatiku. Apalagi, orang yang tak memiliki hubungan apapun denganku sampai merawat putraku dan kewalahan saat aku di luar negeri."Terus gimana, Bu?""I-itu, Mbak..." Suara wanita itu terbata-bata. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan?"Gimana, Bu?" tanyaku lagi. Aku tak sabar jika diulur-ulur seperti ini."T-tadi saya terpaksa pakai obatnya. Terus Bu Ayu marah besar."Aku langsung mendekat mulutku. Astaga! "Aku terpaksa pakainya, Mbak. Tadi Bimo benar-benar sulit dikendalikan. Sekarang gimana, Mbak? Saya takut banget," sesal Bu Yati di seberang telepon.Kugigit bibir bawahku. akhirnya rahasia yang berusaha aku sembunyikan terbongkar. Namun, aku tidak bisa menyalahkan, terkadang keadaan Bimo memang tak bisa di kontrol. Alasan kenapa aku memakai obat pun, karena saat ini, itulah jalan terbaik agar Bimo aman. Sayangnya cara ini belum legal di I

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   59

    Setelah perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya tiba di Montmartre, sebuah distrik artistik di Paris yang dipenuhi kafe-kafe kecil, seniman jalanan, dan jalanan berbatu yang penuh sejarah."Montmartre ini punya suasana yang berbeda dengan tempat lain di Paris," kataku sambil memandang sekeliling.Tristan, yang berjalan di sampingku, mengangguk kecil. "Kamu tahu? Dulu, tempat ini adalah rumah bagi banyak pelukis terkenal. Picasso, Van Gogh, mereka pernah tinggal dan berkarya di sini."Aku tersenyum. "Pak Tristan terdengar seperti pemandu wisata profesional."Tristan tertawa kecil. "Kalau di Prancir, Aku memang sering ke sini setiap kali punya waktu luang. Ada Banyak hal menenangkan di tempat ini."Kami berjalan perlahan, menikmati atmosfer yang tenang. Beberapa seniman sedang melukis di sudut-sudut jalan, dan turis-turis berkerumun di depan toko-toko seni kecil."Mau masuk ke galeri itu?" Tristan menunjuk sebuah toko kecil dengan lukisan warna-warni di jendela.Aku mengangguk antu

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   58

    "Menarik," ucapnya lirih. Pria itu segera berbalik dan menlanjutkan langkahnya. Aku menarik napas dalam, karena selama Tristan bicara, tanpa sadar aku menahan napas!Begitu aku melangkah masuk ke dalam château, aroma khas kayu tua dan anggur yang difermentasi memenuhi udara. Interiornya klasik dan elegan, dengan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit tinggi dan perabotan antik yang tertata rapi. Rasanya seperti memasuki dunia lain, dunia yang jauh dari hiruk-pikuk Paris dan kantor.Tristan berjalan di depanku, sesekali menoleh seakan memastikan aku mengikutinya. Kami dibawa ke ruang duduk yang nyaman, dengan jendela besar yang langsung menghadap kebun anggur yang membentang luas. Pierre menawari kami segelas anggur putih, tapi aku dengan sopan menolak dan memilih air mineral."Tidak minum alkohol?" tanya Tritan sebelum menyesap anggurnya dengan santai.Aku menggeleng. "Aku tidak terbiasa. Lagipula, aku lebih suka jus atau teh."Tristan mengangguk pelan, lalu menyandar

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   57

    Mobil melaju dengan tenang melewati jalanan Paris yang mulai lengang, tapi suasana di dalam mobil justru terasa menegang. Aku duduk di sebelah Tristan di kursi penumpang, sementara Paulo duduk di belakang, memilih diam sejak tadi.Aku melirik Tristan yang masih fokus menyetir, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam menatap ke depan.Aku tahu dia marah.Sebenarnya, aku ingin berbicara, tapi entah kenapa rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokanku.Hening beberapa menit, lalu Tristan akhirnya buka suara."Maya, apa yang kamu pikirkan?" suaranya terdengar dalam dan tajam.Aku menggigit bibir. "Saya hanya… Paulo ingin menunjukkan butik bagus. Saya tidak berpikir itu akan menjadi masalah besar."Tristan menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk setir dengan ritme yang menunjukkan kekesalannya. "Tidak berpikir? Maya, ini Paris, bukan rumahmu. Kota ini punya banyak sisi gelap. Kamu bisa saja dalam bahaya, dan aku tidak tahu apa-apa soal itu. Padahal aku sudah mem

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   56

    Keesokan harinya, presentasi Tristan berjalan dengan sangat baik. Selama presentasi, aku ada di sampingnya, memastikan dokumen dan data yang dibutuhkan tersedia. Aku juga sempat menjelaskan beberapa detail mengenai strategi operasional perusahaan dengan lancar, membuat Jacques Moreau dan timnya terkesan.Setelah pertemuan selesai, Jacques Moreau menjabat tanganku dan berkata dengan senyum kecil, "Mademoiselle Maya, Anda sangat cekatan dan profesional. Monsieur Tristan beruntung memiliki sekretaris seperti Anda."Aku tersenyum sopan, sedikit terkejut dengan pujiannya. "Terima kasih, Monsieur Moreau. Saya hanya melakukan tugas saya sebaik mungkin."Tristan yang berdiri di sampingku melirik sekilas, lalu menimpali dengan nada santai, "Saya juga berpikir begitu."Kupikir ia bercanda, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Saat kami kembali ke hotel, ia tiba-tiba menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua kepadaku. "Ini untukmu," katanya singkat.Aku mengerutkan kening, bingun

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   55

    Tristan melangkah lebih dekat dan menatapku dengan serius. “Boleh?” tanyanya, menunjuk ujung hijabku.Rasanya sangat gugup, tetapi aku mengangguk pelan. Tristan dengan lembut menyentuh kain satin itu, merapikannya sedikit di sisi kanan. Jemarinya hanya menyentuh kain, tapi entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat.Bagaimana bisa seorang Bos mendandani sekretarisnya? Biasanya sekretarislah yang merapikan pakaian bosnya agar sempurna! Astaga, apa ini sebuah kesalahan?“Begini lebih bagus,” katanya setelah beberapa saat. “Jangan terlalu dipikirkan. Kau sudah terlihat menawan.”Aku menatap pantulan diriku di cermin. Dengan sedikit perubahan yang Tristan buat, hijabku memang terlihat lebih natural dan pas dengan bentuk wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak. Kalau begitu. Kita berangkat sekarang?”Tristan mengangguk, mundur selangkah, dan memberi isyarat agar aku berjalan lebih dulu. “Ayo.”~Pesta ini jauh lebih mewah dari yang kubayangkan. Begi

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   54

    Ruangan menjadi hening setelah ucapan Tristan. Alain tampak berusaha mempertahankan ekspresi percaya diri, tetapi jelas ada keresahan yang mulai terlihat dari cara dia menggenggam pena di tangannya.Aku melirik karyawan lain yang ada di ruangan. Beberapa dari mereka tampak gelisah, ada yang menundukkan kepala, ada pula yang menatap Alain seolah menunggu bagaimana dia akan menangani situasi ini."Penyesuaian seperti apa tepatnya?" Tristan mengulang pertanyaannya, nada suaranya tetap dingin dan tajam.Alain akhirnya berdeham pelan. "Tuan Tristan, seperti yang Anda tahu, pasar di Prancis memiliki dinamika yang berbeda dibandingkan dengan cabang utama. Kami harus melakukan beberapa perubahan untuk tetap kompetitif."Tristan menyipitkan matanya. "Itu tidak menjelaskan mengapa ada transaksi yang tidak tercatat di sistem pusat. Atau lebih tepatnya... ada transaksi yang sengaja tidak dimasukkan?"Suasana di ruangan semakin tegang. Beberapa orang mulai saling berbisik, tetapi Alain tetap berus

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   53

    Tristan kembali berbicara, "Aku baru saja mengetahui kalau beberapa kontrak yang dibuat perusahaan kita dalam beberapa tahun terakhir tidak sepenuhnya bersih. Ada indikasi suap, mark-up harga, dan yang lebih parah… beberapa proyek itu melibatkan perusahaan yang punya rekam jejak buruk."Aku terkejut. Apa sindikat Bu Ratna sebegitu berbahayanya sampai menjadi rumit begini?"Tapi… perusahaan kita seharusnya punya tim legal yang memastikan semuanya berjalan sesuai aturan, bukan?" tanyaku hati-hati.Ekspresi Tristan mengeras. "Bu Ratna selama ini punya akses besar ke banyak dokumen penting. Banyak dokumen yang kutinjau menunjukkan kejanggalan."Aku mencoba mencerna informasi itu. "Jadi, maksud Bapak, kemungkinan skandal ini lebih besar dari yang kita kira?""Bukan kemungkinan, Maya." Tristan menatapku dalam-dalam. "Aku hampir yakin ini lebih besar. Dan karena kamu adalah sekretarisku, aku ingin kamu berhati-hati. Jangan mudah percaya pada siapa pun, termasuk orang-orang yang mungkin terli

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status