Share

7

Penulis: Dentik
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-20 14:20:27

“Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.

“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.

“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.

“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.

“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.

Ketika sampai di ruang HRD, aku pun duduk dengan risau. Dada ini berdetak sangat cepat, sulit dikendalikan. Berbagai pikiran negatif berseliweran di otak, entah apa yang akan di bicarakan pihak HRD padaku.

“Baik, saya memiliki beberapa hal yang disampaikan. Bu Ada berita baik dan buruk, Bu Maya memilih berita mana yang disampaikan terlebih dahulu?”

‘Ya Gusti! Ada apa ini!?’ keringat dingin mulai bercucuran di dahi.

“Emm... berita buruk dulu Bu,” jawabku gugup.

“Baiklah. Jadi mulai besok, Bu Maya sudah tidak bekerja di divisi pemrasara.”

Alamak! Berita ini sangat buruk, mataku terasa panas mendengarnya. Kaki yang sebelumnya menekuk kokoh kini lemas tak berdaya.

“Tapi... Karena kinerja Bu Maya yang cekatan, bahkan bisa mengerjakan tugas Manajer Kenzo. Kami pihak perusahaan mengalihkan tugas Bu Maya menjadi sekretaris CEO perusahaan ini,” jelas HRD. Otakku menelaah semua ucapannya, loadingku sangat lama.

“Maksudnya Bu?”

“Mulai besok,Bu Maya menjadi sekretaris CEO.”

“CEO? Bukannya perusahaan ini hanya memiliki direktur utama?”

“Tidak, kami juga memiliki CEO. Dan beliau segera datang ke kantor ini sehingga membutuhkan sekretaris untuk membantunya.”

“Oh begitu.”

“Apa Bu Maya bersedia menerima tawaran ini?” tanya HRD.

“Maaf Bu. Soal gajinya bagaimana?” Ini adalah aspek penting untuk menentukan apakah aku menerima pekerjaan ini atau tidak.

“Em, Pak CEO memberikan 8 juta perbulan. Tapi itu belum termasuk intensif, karena kemungkinan besar Bu Maya akan diminta untuk menemani dinas ke luar kota bahkan luar negeri. Itu semua tergantung CEO, beliau hanya mengatakan gaji pokok saja.”

Tawaran yang sangat bagus, tapi untuk 8 juta rasanya sedikit. Meskipun aku hanya karyawan biasa di divisi marketing dengan gaji pokok 4 juta. Namun, bonus yang diberikan Kenzo bisa mencapai 15 juta. Rata-rata pendapatanku selama setahun lebih adalah 10juta.

“Bolehkah saya meminta waktu untuk berpikir? Ini sangat mendadak untuk saya,” pintaku. Tawaran ini adalah pilihan yang sulit.

“Emm... Baiklah. Saya beri waktu sampai nanti jam 1 siang. Tolong segera beri jawaban secepat mungkin.”

“Baik Bu.”

Semua orang menatap penuh antusias, mereka nampak begitu ingin mendengar hasil dari pertemuanku dengan HRD. Itu bisa dirasakan lewat tatapan setiap rekan kerja di sini. Tina yang duduk di sampingku langsung memberikan senyuman licik.

“Gimana May? Jadi dipecat karena menjadi pelakor?” sinis wanita itu. Putri dan beberapa rekan lainnya sedang menahan tawa mendengar sarkas Tina.

“Makanya jadi perempuan jangan gatal May. Contoh Rosa, si malaikat divisi pemasara. Iya tidak Ros?” sahut Putri yang membandingkanku dengan pelakor sesungguhnya.

Kuputuskan untuk diam dan mengerjakan tugas terakhir di divisi ini. Mendapat olokan dari beberapa orang membuatku sadar, jika menjadi sekretaris CEO adalah pilihan terbaik. Meskipun aku harus menghemat kebutuhan sehari-hari karena gajinya belum tentu sebesar ketika berada di sini, tapi keputusan ini akan membuat mentalku lebih aman.

***

Keesokan harinya, aku membereskan barang-barang di meja kantor. Kardus berukuran besar ku angkat dengan susah payah.

“Akhirnya pergi juga si biangkerok! Kesucian tempat ini tak akan tercemar lagi,” seloroh Putri.

“Khihihi... janda gatal cepat-cepat keluar! Hus hus...” usir Tina dengan mengibas-ngibaskan tangannya. Rosa nampak semringah.

Hatiku teriris melihatnya, semua orang di sini persis iblis duniawi. Tak ada belas kasihan sama sekali. Bahkan seseorang yang sebelumnya kuanggap dewi berani menusuk dari belakang.

Kaki yang sebelumnya terasa berat meninggalkan ruang divisi pemrasara, kini melangkah dengan ringan tanpa beban. Pundak terasa terangkat tinggi, kehormatan perlahan kupulihkan, dan kebenaran gosip yang beredar segera terbuktikan.

“Bu Maya, silakan tempati meja ini,” ucap HRD. Aku menganggukkan kepala. Kemarin sempat ada kendala masalah gaji, tapi pada akhirnya HRD mau menambah jumlah gaji pokokku menjadi 9 juta. Tanpa pikir panjang aku pun menandatangi kontrak kerja.

“Untuk beberapa hari ini, Pak CEO tidak bisa datang ke kantor karena masih di Singapura. Jadi Bu Maya bisa bersantai terlebih dahulu.”

“Baik Bu, terima kasih,” jawabku dengan penuh semangat. Informasi itu terasa liburan setelah terjadinya bencana. Ini adalah waktu yang pas untuk mencuatkan kebenaran fitnah terhadapku di kantor.

Sayangnya setelah seminggu berada di kursi sekretaris, CEO yang kutunggu tak kunjung datang. Karena rasa bosanku, akhirnya kuputuskan datang ke ruang HRD.

“Selamat siang Bu.”

“Siang, silakan masuk Bu Maya.” Wanita itu mempersilakan aku duduk di kursi. Dia langsung mencondongkan tubuhnya akan lebih dekat denganku.

“Ada apa?” tanyanya penasaran. Aku tersenyum kikuk.

“Sudah seminggu ini saya hanya duduk di meja sekretaris. Apakah saya boleh tau kapan CEO akan datang ke kantor?”

“Saya sendiri pun tidak tau.”

“Huhhh...” aku hanya bisa menghela napas. Perempuan yang kuharap bisa memberikan jawaban pasti pun tak bisa memuaskanku.

“Em kalau begitu, apa saya boleh meminta satu hal?”

“Katakan dulu apa permintaanmu.”

“Saya ingin membawa anak saya, Bimo.”

HRD itu mengerutkan dahi mendengar kalimatku. “Tapi dia anak yang baik kok Bu. Tidak akan menimbulkan keributan di kantor.” Ku gigit bibir bawahku saat kedua manik wanita itu melihatku dengan seksama. “Dia anak yang pendiam. Sangat pendiam, karena... Bimo mengidap autis, jadi ketika saya memberikan sesuatu dia hanya fokus pada hal tersebut.”

“Boleh.”

Aku terbelalak mendengar jawaban itu.

~

Keesokan harinya, aku sangat senang. Kugendong buah hatiku dengan semangat. Hari ini aku bisa menghabiskan waktu seharian bersama Bimo.

“Nanti waktu di atas, Bimo jadi anak yang pintar ya Sayang. Soalnya ini di kantor, jadi Bimo jangan berisik. Okey!” ucapku penuh semangat.

Seperti biasa aku langsung mengeluarkan beberapa mainan yang sudah ku bawa. Sayangnya Bimo rewel dan melempar mainan itu. Aku sangat kebingungan karena anak itu tak ingin bermain dengan mainan kesukaannya.

“Ini mainannya Sayang...” kucoba sodorkan lagi mainan itu padanya. Lagi-lagi Bimo melemparnya bahkan sampai terdengar bunyi... PRAKKK!!!

Dinosaurus yang utuh kini terbelah menjadi beberapa bagian. Saat memungut beberapa bagian mainan tersebut, tiba-tiba mataku menyadari ada sesuatu yang menarik perhatian. Yakni sepasang sepatu berwarna hitam.

Aku langsung mendongakkan kepala melihat siapa gerangan orang yang berada di depanku.

“K-kamu!?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   8

    Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   9

    Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   10

    "Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   11

    Kepersiapkan diri untuk mempersembahkan tontonan menarik untuk mantan rekan kerjaku. Kebetulan, Tristan belum kembali, jadi aku bisa melancarkan rencanaku. Suara kertas yang keluar dari printer bagai opera music dengan sopran sebagai intinya. Pada lembaran terakhir, tiba-tiba aku teringat akan insiden di mana aku sekali lagi dipermalukan secara tidak adil di lobi kantor.“Dasar wanita murahan!”Masih kuingat sebereapa panas tamparan Gita saat memakiku di depan banyak orang.“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.Nahasnya, saat itu aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dijadikan kambing hitam oleh dua pezina. Wanita serigala berbulu domba dan Pria arogant berhati iblis.Di tengah lamunanku, mendadak seseorang mengetuk meja kerjaku."Nih!" Orang itu melempar sat

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   12

    Gita melangkah masuk, dengan emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Rosa yang asyik bermain hp tak menyadari kedatangannya. Beberapa karyawan yang dilewati Gita hanya bisa menoleh tatapan bingung. Ketika sampai di belakang Rosa, wanita itu menyiram tubuh targetnya dengan sayur sop merah. Cairan berwarna merah beserta para sayur melumuri rambut hingga kursi kerja Rosa.Rosa menjerit kaget, tubuhnya kaku di tempat. Semua pasang mata tertuju padanya. Butuh beberapa detik untuknya menyadari apa yang baru saja terjadi. Perlahan, ia menoleh dengan mata membelalak ke arah Gita yang berdiri dengan napas memburu, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah."Apa-apaan ini?!" Rosa melompat dari kursinya, tangannya mengibas-ngibas bajunya yang basah oleh kuah sop merah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, dengan beberapa helai sayuran menempel di sana. Belum sempat mendapat jawaban, Gita sudah melayangkan tamparan pada wanita itu.Suara tamparan itu menggema di seluruh r

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   13

    Kenzo yang awalnya begitu percaya diri, kini matanya melebar dan mulutnya terkatup rapat saat mendengar suara berat Pak Jacson. Semua karyawan divisi marketing, yang tadinya berbisik-bisik langsung diam, menunggu dengan napas tertahan. Pak Jacson melangkah ke tengah-tengah keributan itu dengan ekspresi serius, matanya menyapu pemandangan yang ada di hadapannya. Rosa masih berdiri dengan pakaian berantakan, sisa kuah sop merah menetes dari rambut dan wajahnya yang terlihat kusut. Kenzo berdiri di sampingnya dengan rahang mengeras, sedangkan Gita berdiri tegak, napasnya memburu, masih diliputi amarah. "Kuulangi pertanyaanku," suara Pak Jacson terdengar dalam dan berwibawa. "Ada apa ini?" Semua orang saling pandang, tak ada yang berani menjawab lebih dulu. Namun, Gita tak mau kehilangan momentum. Ia melangkah maju, menatap Pak Jacson dengan penuh keyakinan. "Pak Jacson," suaranya tegas, meskipun ada getaran emosi di dalamnya. "Saya ingin melaporkan Kenzo atas tindakan tidak profe

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   14

    Tristan melangkah masuk ke kantor dengan Bibirnya tertarik membentuk garis lurus, tak ada senyum ataupun tanda ketidaknyamanan, sementara aku mengikuti di belakangnya, menggenggam erat tangan Bimo. Putraku tampak gelisah, bahunya merapat, dan jemarinya terus meremas ujung bajuku, pertanda bahwa ia mulai merasa tidak nyaman di lingkungan yang ramai dan penuh suara.Begitu kami tiba di ruang kerja Tristan, aku segera membimbing Bimo duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Aku mengeluarkan mainan sensorik dari dalam tas dan meletakkannya di pangkuannya, berusaha menenangkannya sebelum berbalik menghadap Tristan.“Pak, saya perlu melaporkan sesuatu,” ucapku dengan nada sopan.Tristan melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, lalu menatapku dengan tajam. “Apa yang terjadi?”Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Baru saja terjadi insiden besar di kantor, Pak. Kenzo terlibat pertengkaran dengan Gita dan Rosa. Pak Jacson meminta saya untuk menyaksikan sebagai saksi, mengingat

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   15

    Aku mengeratkan genggamanku pada tangan Bimo, naluri melindunginya langsung aktif begitu saja. Kenzo berdiri di samping mobilku, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang mungkin akan keluar dari mulutnya.Aku melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang lain di sekitar kami. Parkiran cukup sepi, karena karyawan lain masih di dalam kantor. Suara langkahku sendiri terdengar menggema di antara dinding beton.“Ada apa, Kenzo?” suaraku berusaha terdengar datar, meskipun aku bisa merasakan jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya.Kenzo tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapku, lalu menurunkan pandangannya ke Bimo yang berdiri di sampingku. Mata itu mengamati anakku beberapa saat, sebelum akhirnya kembali menatapku.“Aku hanya ingin bicara, Maya.”

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-24

Bab terbaru

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   61

    "Maksudmu?" Aku meliriknya sinis."Enakkan, modal goda CEO bisa melencong ke Eropa," bisik perempuan itu tajam. Aku mendadak menegang. Rasanya ingin menyiram kopi panas ini ke wajah perempuan yang baru saja bicara. Namun, aku masih punya harga diri dan akal sehat.Aku menoleh perlahan, menatapnya dengan tatapan dingin. "Maaf, aku kurang paham maksudmu," kataku datar.Perempuan itu menyeringai, lalu bersandar di meja pantry. "Oh, ayolah, Maya. Kami semua di sini tahu bagaimana kamu bisa sampai ke New York. Bukan karena kerja keras, kan?" Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan emosi. "Jadi menurutmu aku ada di sini karena apa?" Dia terkekeh sinis. "Yah, kamu cukup cantik dan punya pesona sendiri, apalagi kalau sampai bisa dekat dengan CEO. Kami hanya bertanya-tanya, berapa banyak hal lain yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan posisi ini?"Darahku mendidih. Aku ingin membalas, tapi sebuah suara lain tiba-tiba terdengar dari belakang. "Kalau kalian punya waktu untuk gosip muraha

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   60

    "Bimo habis tantrum hebat, Mbak. Bu ayu sampai kewalahan."Astaga, hatiku benar-benar terenyuh mendengarnya. Perasaan bersalah mulai menggerogoti hatiku. Apalagi, orang yang tak memiliki hubungan apapun denganku sampai merawat putraku dan kewalahan saat aku di luar negeri."Terus gimana, Bu?""I-itu, Mbak..." Suara wanita itu terbata-bata. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan?"Gimana, Bu?" tanyaku lagi. Aku tak sabar jika diulur-ulur seperti ini."T-tadi saya terpaksa pakai obatnya. Terus Bu Ayu marah besar."Aku langsung mendekat mulutku. Astaga! "Aku terpaksa pakainya, Mbak. Tadi Bimo benar-benar sulit dikendalikan. Sekarang gimana, Mbak? Saya takut banget," sesal Bu Yati di seberang telepon.Kugigit bibir bawahku. akhirnya rahasia yang berusaha aku sembunyikan terbongkar. Namun, aku tidak bisa menyalahkan, terkadang keadaan Bimo memang tak bisa di kontrol. Alasan kenapa aku memakai obat pun, karena saat ini, itulah jalan terbaik agar Bimo aman. Sayangnya cara ini belum legal di I

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   59

    Setelah perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya tiba di Montmartre, sebuah distrik artistik di Paris yang dipenuhi kafe-kafe kecil, seniman jalanan, dan jalanan berbatu yang penuh sejarah."Montmartre ini punya suasana yang berbeda dengan tempat lain di Paris," kataku sambil memandang sekeliling.Tristan, yang berjalan di sampingku, mengangguk kecil. "Kamu tahu? Dulu, tempat ini adalah rumah bagi banyak pelukis terkenal. Picasso, Van Gogh, mereka pernah tinggal dan berkarya di sini."Aku tersenyum. "Pak Tristan terdengar seperti pemandu wisata profesional."Tristan tertawa kecil. "Kalau di Prancir, Aku memang sering ke sini setiap kali punya waktu luang. Ada Banyak hal menenangkan di tempat ini."Kami berjalan perlahan, menikmati atmosfer yang tenang. Beberapa seniman sedang melukis di sudut-sudut jalan, dan turis-turis berkerumun di depan toko-toko seni kecil."Mau masuk ke galeri itu?" Tristan menunjuk sebuah toko kecil dengan lukisan warna-warni di jendela.Aku mengangguk antu

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   58

    "Menarik," ucapnya lirih. Pria itu segera berbalik dan menlanjutkan langkahnya. Aku menarik napas dalam, karena selama Tristan bicara, tanpa sadar aku menahan napas!Begitu aku melangkah masuk ke dalam château, aroma khas kayu tua dan anggur yang difermentasi memenuhi udara. Interiornya klasik dan elegan, dengan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit tinggi dan perabotan antik yang tertata rapi. Rasanya seperti memasuki dunia lain, dunia yang jauh dari hiruk-pikuk Paris dan kantor.Tristan berjalan di depanku, sesekali menoleh seakan memastikan aku mengikutinya. Kami dibawa ke ruang duduk yang nyaman, dengan jendela besar yang langsung menghadap kebun anggur yang membentang luas. Pierre menawari kami segelas anggur putih, tapi aku dengan sopan menolak dan memilih air mineral."Tidak minum alkohol?" tanya Tritan sebelum menyesap anggurnya dengan santai.Aku menggeleng. "Aku tidak terbiasa. Lagipula, aku lebih suka jus atau teh."Tristan mengangguk pelan, lalu menyandar

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   57

    Mobil melaju dengan tenang melewati jalanan Paris yang mulai lengang, tapi suasana di dalam mobil justru terasa menegang. Aku duduk di sebelah Tristan di kursi penumpang, sementara Paulo duduk di belakang, memilih diam sejak tadi.Aku melirik Tristan yang masih fokus menyetir, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam menatap ke depan.Aku tahu dia marah.Sebenarnya, aku ingin berbicara, tapi entah kenapa rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokanku.Hening beberapa menit, lalu Tristan akhirnya buka suara."Maya, apa yang kamu pikirkan?" suaranya terdengar dalam dan tajam.Aku menggigit bibir. "Saya hanya… Paulo ingin menunjukkan butik bagus. Saya tidak berpikir itu akan menjadi masalah besar."Tristan menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk setir dengan ritme yang menunjukkan kekesalannya. "Tidak berpikir? Maya, ini Paris, bukan rumahmu. Kota ini punya banyak sisi gelap. Kamu bisa saja dalam bahaya, dan aku tidak tahu apa-apa soal itu. Padahal aku sudah mem

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   56

    Keesokan harinya, presentasi Tristan berjalan dengan sangat baik. Selama presentasi, aku ada di sampingnya, memastikan dokumen dan data yang dibutuhkan tersedia. Aku juga sempat menjelaskan beberapa detail mengenai strategi operasional perusahaan dengan lancar, membuat Jacques Moreau dan timnya terkesan.Setelah pertemuan selesai, Jacques Moreau menjabat tanganku dan berkata dengan senyum kecil, "Mademoiselle Maya, Anda sangat cekatan dan profesional. Monsieur Tristan beruntung memiliki sekretaris seperti Anda."Aku tersenyum sopan, sedikit terkejut dengan pujiannya. "Terima kasih, Monsieur Moreau. Saya hanya melakukan tugas saya sebaik mungkin."Tristan yang berdiri di sampingku melirik sekilas, lalu menimpali dengan nada santai, "Saya juga berpikir begitu."Kupikir ia bercanda, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Saat kami kembali ke hotel, ia tiba-tiba menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua kepadaku. "Ini untukmu," katanya singkat.Aku mengerutkan kening, bingun

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   55

    Tristan melangkah lebih dekat dan menatapku dengan serius. “Boleh?” tanyanya, menunjuk ujung hijabku.Rasanya sangat gugup, tetapi aku mengangguk pelan. Tristan dengan lembut menyentuh kain satin itu, merapikannya sedikit di sisi kanan. Jemarinya hanya menyentuh kain, tapi entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat.Bagaimana bisa seorang Bos mendandani sekretarisnya? Biasanya sekretarislah yang merapikan pakaian bosnya agar sempurna! Astaga, apa ini sebuah kesalahan?“Begini lebih bagus,” katanya setelah beberapa saat. “Jangan terlalu dipikirkan. Kau sudah terlihat menawan.”Aku menatap pantulan diriku di cermin. Dengan sedikit perubahan yang Tristan buat, hijabku memang terlihat lebih natural dan pas dengan bentuk wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak. Kalau begitu. Kita berangkat sekarang?”Tristan mengangguk, mundur selangkah, dan memberi isyarat agar aku berjalan lebih dulu. “Ayo.”~Pesta ini jauh lebih mewah dari yang kubayangkan. Begi

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   54

    Ruangan menjadi hening setelah ucapan Tristan. Alain tampak berusaha mempertahankan ekspresi percaya diri, tetapi jelas ada keresahan yang mulai terlihat dari cara dia menggenggam pena di tangannya.Aku melirik karyawan lain yang ada di ruangan. Beberapa dari mereka tampak gelisah, ada yang menundukkan kepala, ada pula yang menatap Alain seolah menunggu bagaimana dia akan menangani situasi ini."Penyesuaian seperti apa tepatnya?" Tristan mengulang pertanyaannya, nada suaranya tetap dingin dan tajam.Alain akhirnya berdeham pelan. "Tuan Tristan, seperti yang Anda tahu, pasar di Prancis memiliki dinamika yang berbeda dibandingkan dengan cabang utama. Kami harus melakukan beberapa perubahan untuk tetap kompetitif."Tristan menyipitkan matanya. "Itu tidak menjelaskan mengapa ada transaksi yang tidak tercatat di sistem pusat. Atau lebih tepatnya... ada transaksi yang sengaja tidak dimasukkan?"Suasana di ruangan semakin tegang. Beberapa orang mulai saling berbisik, tetapi Alain tetap berus

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   53

    Tristan kembali berbicara, "Aku baru saja mengetahui kalau beberapa kontrak yang dibuat perusahaan kita dalam beberapa tahun terakhir tidak sepenuhnya bersih. Ada indikasi suap, mark-up harga, dan yang lebih parah… beberapa proyek itu melibatkan perusahaan yang punya rekam jejak buruk."Aku terkejut. Apa sindikat Bu Ratna sebegitu berbahayanya sampai menjadi rumit begini?"Tapi… perusahaan kita seharusnya punya tim legal yang memastikan semuanya berjalan sesuai aturan, bukan?" tanyaku hati-hati.Ekspresi Tristan mengeras. "Bu Ratna selama ini punya akses besar ke banyak dokumen penting. Banyak dokumen yang kutinjau menunjukkan kejanggalan."Aku mencoba mencerna informasi itu. "Jadi, maksud Bapak, kemungkinan skandal ini lebih besar dari yang kita kira?""Bukan kemungkinan, Maya." Tristan menatapku dalam-dalam. "Aku hampir yakin ini lebih besar. Dan karena kamu adalah sekretarisku, aku ingin kamu berhati-hati. Jangan mudah percaya pada siapa pun, termasuk orang-orang yang mungkin terli

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status