Share

4

Penulis: Dentik
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-22 21:33:57

Ketika sudah memeriksakan diri, aku pun kembali menghampiri Bu Yati.

“Gimana Bu?”

“Tadi dijemput mobil hitam.” Dia memperlihatkan hasil jepretannya padaku.

‘Sudah kuduga, dia menunggu Kenzo.’ Mobil civic berwarna hitam itu adalah milik atasanku. Meskipun wajah lelaki itu tak terekspos dalam foto ini, tapi kode plat mobil itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa itu lelaki jahanam.

“Kirim ke ponselku ya Bu. Aku ingin menjenguk seseorang dulu.”

Kami berjalan beriringan menuju kamar inap Tristan. Dahiku berkerut saat seorang pria baru saja keluar dari sana. Namun, wajah orang itu tak terlihat jelas karena tertutup oleh masker dan topi. Cara jalannya nampak tergesa-gesa seperti mengejar sesuatu.

“Tunggu di sini sebentar ya Bu,” pintaku. Wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kubuka daun pintu, terlihat Tristan yang menatap datar kehadiranku.

“Hai, masih hidup ternyata,” sapaku. Terdengar nyeleneh, tapi aku tipe orang yang kurang beramah-tamah dengan orang lain.

“Sudah memiliki masalah?” Tristan menatapku dengan dingin. Tanpa sadar bibirku mencebik.

“Tidak. Aku hanya ingin tau, apakah kamu masih hidup atau sudah dijemput malaikat maut.”

Salah satu sudut bibir Lelaki itu terangkat. Dia terlihat sangat jengah mendengar ucapanku.

“Apa kau sudah sarapan?” Kucoba untuk basa-basi. Mulut ini memang sulit untuk disaring hingga memunculkan lantunan kalimat yang absurb.

“Aku puasa.”

“Ohh... Ya sudah kalau begitu. Semoga selamat ketika melakukan operasi. Aku pamit dulu,” akhirku. Saat akan menutup daun pintu tersebut tiba-tiba Tristan menghentikan langkahku.

“Tunggu!” Kudongakkan pandangan kepadanya.

“Siapa namamu?” tanyanya tanpa menatapku.

“Maya.”

Seperkian detik tak ada respon, aku pun menutup rapat pintu kamar itu. Tingkah lelaki itu sangat aneh hingga membuatku bergidik. Namun, ketika kulihat sorot matanya, dia kelihatan sedih. Caranya menatap jendela kamar pun sangat sendu.

“Kenapa Mbak?” tanya Bu Yati yang bingung melihatku menggoyangkan pundak.

“Tidak apa-apa Bu. Orang itu benar-benar aneh.”

***

Sesampainya di rumah, aku dikejutkan dengan kehadiran Bimo dan Sinta.

“Sayangku...” Ku berlari menghampiri bocah cowok berumur 5 tahun itu. Meskipun tak ada respon, tapi kehadirannya sudah membuatku begitu bahagia. Rasa kangen menyeruak begitu saja dari dalam diriku.

Kedua pipi gembul itu tak luput dari kecupanku, dia benar-benar sangat menggemaskan. Di tambah rambutnya yang model potongan semangka terbelah membuat Bimo imut.

“Bimo kemarin bisa buat garis ya? Wah... pintar sekali anak Mama,” pujiku. Sayangnya dia hanya fokus pada lembaran uang yang ada di tangannya.

“1... 2... 3... 4....” ucapnya dengan nada yang membeo. Aku merasa takjub mendengar Bimo berhitung.

“Astaga Bimo! Kamu sudah bisa berhitung Nak? Ya ampun Bu Yati!” pekikku histeris. Sinta dan Bu Yati tersenyum melihat perkembangan Bimo.

“Sayangku! Kamu cerdas sekali!” Kupeluk tubuh Bimo, rasanya sangat bangga.

“AAaaa!!!” Dia menolak, dan meronta ingin lepas dari dekapanku.

“Maya... jangan dipaksa,” nasihat Sinta. Aku sedikit kecewa karena Bimo tak mau kupeluk. Namun apa daya, jika putraku merasa tak nyaman biasanya akan tantrum. Itu lebih merepotkan, karena sangat sulit untuk menangkannya.

“Sabar Maya, kamu bisa peluk dia sepuasnya saat tidur.” Sinta mengelus-elus pundakku, aku hanya menghela napas pasrah dan menganggukkan kepala.

“Ya sudah. Masuk yuk,” ajakku pada mereka.

Kami pun memilih ruang tengah tempat di mana Bimo menghabiskan waktunya. Sudah sejam lebih anak itu bermain dengan gepokan uang.

“Itu uang kamu Sin?” tanyaku. Aku baru kepikiran dari mana Bimo mendapatkan uang sebanyak itu.

“Iya. Dia kemarin sempat tantrum gara-gara aku meminta uang itu.”

“Ya ampun! Aduh maaf ya Sin. Pasti sangat merepotkan.”

“Santai May.” Wanita itu tersenyum manis padaku, tak lupa matanya membentuk bulan sabit yang sangat indah.

“Wait!”

Aku langsung mengambil segepok uang yang kemarin malam diberikan David.

“Ini Sin. Sekalian jatah kamu jagain Bimo.”

Sinta menerima amplop yang kuberikan.

“Ya Tuhan! Ini terlalu banyak May,” protesnya dan hendak mengembalikan sebagian uang itu padaku.

“Tidak Sin. Sudah sepantasnya sebanyak itu. Ditambah Bimo juga mengambil segepok uang milikmu.”

“Ya ampun May. Ini sangat berlebihan.” Wanita itu memaksa untuk mengembalikan lembaran berwana merah.

“Aku punya banyak uang. Kamu jangan khwatirkan dengan keadaanku, memang sebelumnya aku bokek tapi hari ini tidak.”

“Kamu dapat uang dari mana?” Ia melirikku dengan curiga.

“Emm... Sebenarnya.”

Aku pun menceritakan awal mula mendapatkan uang dari Kenzo yang habis karena membayar biaya operasi Tristan. Lalu datangnya David ke rumah sembari memberi undangan pernikahannya. Sinta mendengarkanku dengan sangat antusias tanpa menyela sepatah kata pun. Dia memang pendengar yang baik, sering kali aku mengeluh padanya soal segala hal.

“Ya begitulah. Aku belum menghitung seberapa banyak uang yang diberikan David. Tapi itu sangat banyak.”

Sinta memanggut-manggutkan dagunya.

“Terus, sekarang kamu kenapa tidak kerja? Dipecat?” tanya perempuan itu.

“Aku izin sakit, apakah Kenzo tidak memberitahumu?”

Dia menggelengkan kepalanya beberapa kali.

“Hahh...”

“Tapi May, sampai kapan kamu akan menjadi kambing hitam seperti ini? Inilah yang membuat mental health mu tak kunjung membaik.”

“Secepatnya akan kuselesaikan. Aku juga sudah lelah menjadi orang yang direndahkan seperti ini. Tapi, jika aku membongkar keburukan Kenzo di hadapan Gita, bagaimana dengan pekerjaanku? Cuma ini sumber pendapatanku sekarang,” keluhku. Sinta nampak berpikir, dan berakhir dengan helaan napas yang cukup berat.

“Benar. Sebenarnya kamu memiliki cukup uang untuk memulai bisnis. Tapi, bisnis tidak semudah itu. Ditambah biaya untuk terapi Bimo, kalau aku sih tidak masalah jika tak digaji. Tapi anak itu masih membutuhkan obat penenang. Itu juga tidak murah.”

“Hahhh...” Kami berdua sama-sama menghela napas. Meratapi nasibku yang tak kunjung membaik.

Sinta adalah seorang psikolog yang membuka tempat praktik sendiri di rumahnya. Ini lah yang membuatnya dia begitu fleksibel dan tak di tuntut jam kerja. Dia juga orang yang membantuku merawat Bimo, ketika aku memberinya uang imbalan tak jarang ia menolaknya dengan alasan hutang budi padaku. Hanya karena almarhum mama dan papa yang pernah membiayai biaya pendidikannya beberapa semester Sinta sudah menganggap itu sebagai hutang budi.

***

Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Bimo, kini aku harus berangkat kerja. Rasanya sangat berat meninggalkannya sendiri. Meskipun ada Bu Yati yang menjaganya, tapi bonding antara aku dan Bimo kurang.

“Bimo, Mama berangkat kerja dulu ya. Jadi anak yang baik ya Sayang. Mama sayang kamu,” pamitku dengan mengecup pipi dan kening bocah itu.

“Bu, titip Bimo ya.”

“Iya Mbak.”

Ketika sampai di kantor, aku pun mengemasi beberapa barang berserakan di dalam mobil. Itu dokumen penting yang hari ini harus ku setorkan pada Kenzo. Menjadi karyawan terasa melelahkan, tak jarang aku harus lembur demi bonus. Dengan mengerjakan pekerjaan Kenzo, aku mendapatkan separuh bahkan lebih besar dari gaji pokok perusahaan. Inilah yang membuatku merasa dia adalah malaikat di neraka.

Ketika keluar dari mobil, tiba-tiba ada yang menghadangku. Orang itu nampak emosi melihat kehadiranku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   5

    “Maya, kita bicara sebentar.”“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.“Pulang kerja.”Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”“Kalau aku sih sudah resign.”“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup. ”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai e

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   6

    Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.“Mari ikut saya ke kantor polisi.”“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hany

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   7

    “Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   8

    Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-20
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   9

    Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   10

    "Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   11

    Kepersiapkan diri untuk mempersembahkan tontonan menarik untuk mantan rekan kerjaku. Kebetulan, Tristan belum kembali, jadi aku bisa melancarkan rencanaku. Suara kertas yang keluar dari printer bagai opera music dengan sopran sebagai intinya. Pada lembaran terakhir, tiba-tiba aku teringat akan insiden di mana aku sekali lagi dipermalukan secara tidak adil di lobi kantor.“Dasar wanita murahan!”Masih kuingat sebereapa panas tamparan Gita saat memakiku di depan banyak orang.“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.Nahasnya, saat itu aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dijadikan kambing hitam oleh dua pezina. Wanita serigala berbulu domba dan Pria arogant berhati iblis.Di tengah lamunanku, mendadak seseorang mengetuk meja kerjaku."Nih!" Orang itu melempar sat

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-22
  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   12

    Gita melangkah masuk, dengan emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Rosa yang asyik bermain hp tak menyadari kedatangannya. Beberapa karyawan yang dilewati Gita hanya bisa menoleh tatapan bingung. Ketika sampai di belakang Rosa, wanita itu menyiram tubuh targetnya dengan sayur sop merah. Cairan berwarna merah beserta para sayur melumuri rambut hingga kursi kerja Rosa.Rosa menjerit kaget, tubuhnya kaku di tempat. Semua pasang mata tertuju padanya. Butuh beberapa detik untuknya menyadari apa yang baru saja terjadi. Perlahan, ia menoleh dengan mata membelalak ke arah Gita yang berdiri dengan napas memburu, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah."Apa-apaan ini?!" Rosa melompat dari kursinya, tangannya mengibas-ngibas bajunya yang basah oleh kuah sop merah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, dengan beberapa helai sayuran menempel di sana. Belum sempat mendapat jawaban, Gita sudah melayangkan tamparan pada wanita itu.Suara tamparan itu menggema di seluruh r

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-22

Bab terbaru

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   61

    "Maksudmu?" Aku meliriknya sinis."Enakkan, modal goda CEO bisa melencong ke Eropa," bisik perempuan itu tajam. Aku mendadak menegang. Rasanya ingin menyiram kopi panas ini ke wajah perempuan yang baru saja bicara. Namun, aku masih punya harga diri dan akal sehat.Aku menoleh perlahan, menatapnya dengan tatapan dingin. "Maaf, aku kurang paham maksudmu," kataku datar.Perempuan itu menyeringai, lalu bersandar di meja pantry. "Oh, ayolah, Maya. Kami semua di sini tahu bagaimana kamu bisa sampai ke New York. Bukan karena kerja keras, kan?" Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan emosi. "Jadi menurutmu aku ada di sini karena apa?" Dia terkekeh sinis. "Yah, kamu cukup cantik dan punya pesona sendiri, apalagi kalau sampai bisa dekat dengan CEO. Kami hanya bertanya-tanya, berapa banyak hal lain yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan posisi ini?"Darahku mendidih. Aku ingin membalas, tapi sebuah suara lain tiba-tiba terdengar dari belakang. "Kalau kalian punya waktu untuk gosip muraha

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   60

    "Bimo habis tantrum hebat, Mbak. Bu ayu sampai kewalahan."Astaga, hatiku benar-benar terenyuh mendengarnya. Perasaan bersalah mulai menggerogoti hatiku. Apalagi, orang yang tak memiliki hubungan apapun denganku sampai merawat putraku dan kewalahan saat aku di luar negeri."Terus gimana, Bu?""I-itu, Mbak..." Suara wanita itu terbata-bata. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan?"Gimana, Bu?" tanyaku lagi. Aku tak sabar jika diulur-ulur seperti ini."T-tadi saya terpaksa pakai obatnya. Terus Bu Ayu marah besar."Aku langsung mendekat mulutku. Astaga! "Aku terpaksa pakainya, Mbak. Tadi Bimo benar-benar sulit dikendalikan. Sekarang gimana, Mbak? Saya takut banget," sesal Bu Yati di seberang telepon.Kugigit bibir bawahku. akhirnya rahasia yang berusaha aku sembunyikan terbongkar. Namun, aku tidak bisa menyalahkan, terkadang keadaan Bimo memang tak bisa di kontrol. Alasan kenapa aku memakai obat pun, karena saat ini, itulah jalan terbaik agar Bimo aman. Sayangnya cara ini belum legal di I

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   59

    Setelah perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya tiba di Montmartre, sebuah distrik artistik di Paris yang dipenuhi kafe-kafe kecil, seniman jalanan, dan jalanan berbatu yang penuh sejarah."Montmartre ini punya suasana yang berbeda dengan tempat lain di Paris," kataku sambil memandang sekeliling.Tristan, yang berjalan di sampingku, mengangguk kecil. "Kamu tahu? Dulu, tempat ini adalah rumah bagi banyak pelukis terkenal. Picasso, Van Gogh, mereka pernah tinggal dan berkarya di sini."Aku tersenyum. "Pak Tristan terdengar seperti pemandu wisata profesional."Tristan tertawa kecil. "Kalau di Prancir, Aku memang sering ke sini setiap kali punya waktu luang. Ada Banyak hal menenangkan di tempat ini."Kami berjalan perlahan, menikmati atmosfer yang tenang. Beberapa seniman sedang melukis di sudut-sudut jalan, dan turis-turis berkerumun di depan toko-toko seni kecil."Mau masuk ke galeri itu?" Tristan menunjuk sebuah toko kecil dengan lukisan warna-warni di jendela.Aku mengangguk antu

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   58

    "Menarik," ucapnya lirih. Pria itu segera berbalik dan menlanjutkan langkahnya. Aku menarik napas dalam, karena selama Tristan bicara, tanpa sadar aku menahan napas!Begitu aku melangkah masuk ke dalam château, aroma khas kayu tua dan anggur yang difermentasi memenuhi udara. Interiornya klasik dan elegan, dengan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit tinggi dan perabotan antik yang tertata rapi. Rasanya seperti memasuki dunia lain, dunia yang jauh dari hiruk-pikuk Paris dan kantor.Tristan berjalan di depanku, sesekali menoleh seakan memastikan aku mengikutinya. Kami dibawa ke ruang duduk yang nyaman, dengan jendela besar yang langsung menghadap kebun anggur yang membentang luas. Pierre menawari kami segelas anggur putih, tapi aku dengan sopan menolak dan memilih air mineral."Tidak minum alkohol?" tanya Tritan sebelum menyesap anggurnya dengan santai.Aku menggeleng. "Aku tidak terbiasa. Lagipula, aku lebih suka jus atau teh."Tristan mengangguk pelan, lalu menyandar

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   57

    Mobil melaju dengan tenang melewati jalanan Paris yang mulai lengang, tapi suasana di dalam mobil justru terasa menegang. Aku duduk di sebelah Tristan di kursi penumpang, sementara Paulo duduk di belakang, memilih diam sejak tadi.Aku melirik Tristan yang masih fokus menyetir, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam menatap ke depan.Aku tahu dia marah.Sebenarnya, aku ingin berbicara, tapi entah kenapa rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di tenggorokanku.Hening beberapa menit, lalu Tristan akhirnya buka suara."Maya, apa yang kamu pikirkan?" suaranya terdengar dalam dan tajam.Aku menggigit bibir. "Saya hanya… Paulo ingin menunjukkan butik bagus. Saya tidak berpikir itu akan menjadi masalah besar."Tristan menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk setir dengan ritme yang menunjukkan kekesalannya. "Tidak berpikir? Maya, ini Paris, bukan rumahmu. Kota ini punya banyak sisi gelap. Kamu bisa saja dalam bahaya, dan aku tidak tahu apa-apa soal itu. Padahal aku sudah mem

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   56

    Keesokan harinya, presentasi Tristan berjalan dengan sangat baik. Selama presentasi, aku ada di sampingnya, memastikan dokumen dan data yang dibutuhkan tersedia. Aku juga sempat menjelaskan beberapa detail mengenai strategi operasional perusahaan dengan lancar, membuat Jacques Moreau dan timnya terkesan.Setelah pertemuan selesai, Jacques Moreau menjabat tanganku dan berkata dengan senyum kecil, "Mademoiselle Maya, Anda sangat cekatan dan profesional. Monsieur Tristan beruntung memiliki sekretaris seperti Anda."Aku tersenyum sopan, sedikit terkejut dengan pujiannya. "Terima kasih, Monsieur Moreau. Saya hanya melakukan tugas saya sebaik mungkin."Tristan yang berdiri di sampingku melirik sekilas, lalu menimpali dengan nada santai, "Saya juga berpikir begitu."Kupikir ia bercanda, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. Saat kami kembali ke hotel, ia tiba-tiba menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua kepadaku. "Ini untukmu," katanya singkat.Aku mengerutkan kening, bingun

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   55

    Tristan melangkah lebih dekat dan menatapku dengan serius. “Boleh?” tanyanya, menunjuk ujung hijabku.Rasanya sangat gugup, tetapi aku mengangguk pelan. Tristan dengan lembut menyentuh kain satin itu, merapikannya sedikit di sisi kanan. Jemarinya hanya menyentuh kain, tapi entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat.Bagaimana bisa seorang Bos mendandani sekretarisnya? Biasanya sekretarislah yang merapikan pakaian bosnya agar sempurna! Astaga, apa ini sebuah kesalahan?“Begini lebih bagus,” katanya setelah beberapa saat. “Jangan terlalu dipikirkan. Kau sudah terlihat menawan.”Aku menatap pantulan diriku di cermin. Dengan sedikit perubahan yang Tristan buat, hijabku memang terlihat lebih natural dan pas dengan bentuk wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak. Kalau begitu. Kita berangkat sekarang?”Tristan mengangguk, mundur selangkah, dan memberi isyarat agar aku berjalan lebih dulu. “Ayo.”~Pesta ini jauh lebih mewah dari yang kubayangkan. Begi

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   54

    Ruangan menjadi hening setelah ucapan Tristan. Alain tampak berusaha mempertahankan ekspresi percaya diri, tetapi jelas ada keresahan yang mulai terlihat dari cara dia menggenggam pena di tangannya.Aku melirik karyawan lain yang ada di ruangan. Beberapa dari mereka tampak gelisah, ada yang menundukkan kepala, ada pula yang menatap Alain seolah menunggu bagaimana dia akan menangani situasi ini."Penyesuaian seperti apa tepatnya?" Tristan mengulang pertanyaannya, nada suaranya tetap dingin dan tajam.Alain akhirnya berdeham pelan. "Tuan Tristan, seperti yang Anda tahu, pasar di Prancis memiliki dinamika yang berbeda dibandingkan dengan cabang utama. Kami harus melakukan beberapa perubahan untuk tetap kompetitif."Tristan menyipitkan matanya. "Itu tidak menjelaskan mengapa ada transaksi yang tidak tercatat di sistem pusat. Atau lebih tepatnya... ada transaksi yang sengaja tidak dimasukkan?"Suasana di ruangan semakin tegang. Beberapa orang mulai saling berbisik, tetapi Alain tetap berus

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   53

    Tristan kembali berbicara, "Aku baru saja mengetahui kalau beberapa kontrak yang dibuat perusahaan kita dalam beberapa tahun terakhir tidak sepenuhnya bersih. Ada indikasi suap, mark-up harga, dan yang lebih parah… beberapa proyek itu melibatkan perusahaan yang punya rekam jejak buruk."Aku terkejut. Apa sindikat Bu Ratna sebegitu berbahayanya sampai menjadi rumit begini?"Tapi… perusahaan kita seharusnya punya tim legal yang memastikan semuanya berjalan sesuai aturan, bukan?" tanyaku hati-hati.Ekspresi Tristan mengeras. "Bu Ratna selama ini punya akses besar ke banyak dokumen penting. Banyak dokumen yang kutinjau menunjukkan kejanggalan."Aku mencoba mencerna informasi itu. "Jadi, maksud Bapak, kemungkinan skandal ini lebih besar dari yang kita kira?""Bukan kemungkinan, Maya." Tristan menatapku dalam-dalam. "Aku hampir yakin ini lebih besar. Dan karena kamu adalah sekretarisku, aku ingin kamu berhati-hati. Jangan mudah percaya pada siapa pun, termasuk orang-orang yang mungkin terli

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status