Tubuh manusia itu terlihat sangat pucat, dadaku berdesir hebat. Bulu kudukku meremang melihatnya. Aku ingin berteriak dengan keras, tapi tenggorokanku tercekat kuat. Dengan tangan bergetar, kucoba untuk berdiri.
“Emh!” desah manusia itu.
“Apakah kamu masih hidup?” tanyaku, mencoba memastikan keadaan orang itu. Dengan pelan kaki ini melangkah mendekatinya. Lelaki berbibir tipis itu enggan menyahut pertanyaanku. Keadaannya sangat mengenaskan.
“Are you okay?” kali ini aku benar-benar khawatir melihatnya. Dia terlihat ingin menjawab pertanyaanku, tapi mulutnya sulit digerakkan. Kupindai keadaan sekitar, tak ada seorangpun di sini.
“Okay. Permisi, aku akan membawamu ke rumah sakit. Kau terlihat sangat mengkhawatirkan, sebelum ajal menjemput tak ada salahnya jika aku berusaha membawamu ke tempat berobat. Setidaknya jika nanti benar-benar meninggal, aku tidak memiliki penyesalan telah menelantarkanmu di sini,” cerocosku padanya.
Entah lelaki itu mendengar perkataanku atau tidak, setidaknya aku sudah memberitahunya kan kubawa kemana tubuh lemas itu. Badan itu sangat berat hingga aku kesulitan memasukkannya ke dalam mobil. Namun, karena tekat dan semangatku yang besar pada akhirnya lelaki itu sudah bisa tergeletak di kursi penumpang.
Kulajukan kendaraan roda empat ini ke rumah sakit terdekat. Sesekali kulirik keadaan orang itu lewat spion dalam. Ketika sampai aku langsung meminta seseorang untuk membantuku mengeluarkan pasien itu. Perawat dan dokter di sana dengan cekatan merawat lelaki yang baru saja kutemui itu.
“Apakah ibu keluarganya?” tanya seorang dokter padaku.
“Oh, bukan Dok. Saya hanya temannya.”
“Apa tidak ada keluarga dari pasien?”
Aku hanya menggelengkan kepala sembari memamerkan senyum lebar pada Pak Dokter.
“Kalau begitu mari ikut ke ruangan saya,” ucapnya. Dokter itu memberitahukan riwayat penyakit yang diderita lelaki itu.
“Jadi pasien harus melakukan operasi secepatnya agar segera sembuh.”
Aku termenung mendengar penuturan dokter. Biayanya cukup besar. Rasanya sangat bimbang, mengingat tak ada keluarga dari lelaki itu, otomatis aku yang bertanggung jawab padanya.
“Emm... lakukan saja Dok. Saya segera mengurus administrasinya sekarang.”
“Baik Bu.”
“Kalau begitu saya izin undur diri Dok. Terima kasih.”
Kakiku langsung berjalan ke administrai untuk menebus biaya operasi lelaki antah berantah itu. Karena tak ada satupun data yang kuketahui mengenainya, aku pun kembali ke ruangannya. Terlihat dia yang belum sadarkan diri.
Tiba-tiba ponselku berdering cukup hebat di saku blazer. Ternyata ada sebuah video call.
“Hallo...”
“Hallo May, ini sudah larut kenapa belum pulang?” tanya Santi sahabatku.
“Aduh maaf San. Aku lupa mengabarimu, tiba-tiba kejadian tak terduga. Aku titip Bimo dulu ya, boleh kan?” tanyaku risau.
“Huh, dasar! Iya, lain kali kabarin dong! Bikin khawatir saja kamu ini.” Wajah wanita itu terlihat kesal. Aku hanya bisa nyengir kuda. Dia adalah salah satu orang terbaik yang ada di sisiku ketika berada di keadaan menyedihkan.
“Liat Bimo sebentar dong,” pintaku padanya, rasa kangenku tiba-tiba menyeruak begitu saja. Sinta segera memperlihatkan putra tercintaku.
“Hallo Mama... Hari ini Bimo bisa menggambar garis loh,” ucap Sinta. Terlihat Bimo yang beringsak ingin lepas dari pelukan sahabatku.
“Wahhh... anak Mama pintar banget.” Senyum merekah tiba-tiba tercetak di wajahku, mata ini pun terasa sangat panas melihatnya. Sebagai orangtua dari anak yang menyandang autisme, ada kebanggaan tersendiri mendengar Bimo mengalami kemajuan. Mungkin ini terdengar seperti kemampuan kecil, tapi untuk buah hatiku itu terasa menakjubkan.
“Iya dong Ma... Bimo kan anak yang cerdas,” jawab Sinta membalas ucapanku. Aku hanya menganggukkan kepala, menyetujui perkataan Sinta.
“May... Are you okay?”
“I’m okay. Hanya terharu saja, hehe...” kekehku. Mengingat hari yang sangat berat, kini menghilang begitu saja mendengar kabar baik mengenai anakku.
“Kalau ada apa-apa cerita ya May. Kamu tidak usah khawatir tentang Bimo. Dia aman sama aku, ditambah hari ini suamiku juga tidak bisa pulang. Jadi aku bisa menjaga Bimo, dan kamu jangan sungkan ya,” tutur Sinta dengan lembut. Aku hanya mampu menganggukan kepala.
“Okay, kalau begitu aku tutup dulu video call nya ya. Sudah waktunya Bimo tidur, jangan lupa makan May.”
“Iya. Makasih Sin,” jawabku. Sambungan telepon pun terputus. Kini keheningan menyelimuti ruang inap ini. Air mataku enggan berhenti menetes, rasa terharu sekaligus sedih bercampur aduk menjadi satu.
Menjadi ibu dari seorang anak autis tidak semudah itu. Apalagi keluarga menolak atas kehadiran Bimo. Siapa yang tak sakit hati menerima buah hatinya dipandang sebagai aib. Rasanya memang sangat berat, tapi seiring berjalannya waktu aku bisa melaluinya. Berkat bantuan beberapa orang hingga kini aku bisa bertahan hidup.
“Emh...” erangan lelaki itu membuyarkan lamunanku. Aku segera menghampirinya.
“Ini dimana?” tanyanya lemas.
“Di rumah sakit.”
“Siapa kamu?” tanyanya kaget.
“Malaikat maut!”
Mata lelaki itu melebar. Aku terkekeh melihatnya, sangat lucu.
“Apa kau percaya dengan perkataanku barusan? Konyol sekali.”
Dia mendengkus kesal.
“Kenapa kamu membawaku ke rumah sakit?” Alis lelaki itu berkerut. Kurapatkan mataku, pertanyaan itu terdengar seperti lelucon.
“Tidak usah banyak tanya. Isi formulir ini sekarang.” Kusodorkan formulir padanya. Dia terlihat kebingungan.
“Kamu terkena usus buntu atau apendektomi sedang. Jadi dokter menyarankan untuk segera dioperasi. Aku akan membayarnya, kamu tinggal mengisi formulir itu.”
“Biayanya cukup banyak, apa kamu punya uang sebanyak itu?” tanyanya tanpa berkedip.
“Kalau aku bilang akan membayarnya berarti aku memiliki uang sebanyak itu. Cepat isi! Jangan banyak bicara.”
Dengan hati-hati pria itu langsung menorehkan sederet huruf memenuhi ruang kosong dalam kertas.
“Tristan Bolgamara, bagus juga namamu.” Tristan hanya melirikku sekilas tanpa menyahuti apapun. Sangat dingin! Lelaki itu mengisi semua data yang diperlukan. Dan ketika selesai, ia segera memberikannya padaku.
“Aku langsung pulang ya. Semua biaya bakal aku bayar kok. Tenang aja,” ucapku sembari mengambil tas yang tegeletak di sofa.
“Boleh aku pinjam ponselmu?”
“Buat apa?” Aku sangat curiga pada lelaki itu.
“Aku harus menelpon keluargaku terlebih dahulu,” jawabnya. Dengan penuh pertimbangan akhirnya kuberikan ponsel itu padanya. Terlihat Tristan yang sibuk menekan sederet nomor di sana.
“Ini nomorku, aku akan mengganti biaya operasiku. Kamu kirim nomor rekeningmu lewat nomor ini,” ucapnya.
“Tidak usah, anggap saja ini rejekimu yang hampir bertemu ajal.”
“Kamu sangat sombong Nona,” cetusnya. Aku tersenyum tipis menanggapi perkataan itu.
“Aku hanya membantumu, bukannya berterimakasih kamu justru menyindirku seperti ini. Tidak sopan!” Tanpa pikir panjang langsung melangkahkan kakiku keluar dari ruangan pria antah berantah tersebut. Dia benar-benar orang yang tidak tau diri.
“Kalau tidak mau diganti uang, biarkan aku membalas budi dengan hal lain. Hubungi aku jika kamu memiliki masalah,” lanjut Tristan. Aku tak menjawab apapun. Ingin segera menyelesaikan administrasi dan pulang bertemu dengan Bimo. Kugenggam tiga amplop coklat yang sebelumnya berisi lembaran uang, kini telah kosong tak tersisa. Rp9 juta melayang begitu saja.
“Hahh... Ya Allah jika ini hanya rejeki lewat, engkau pasti menggantinya secepat mungkin bukan?” kutengadahkan pandangan menatap langit yang bertabur bintang.
Ketika sampai di depan rumah, aku terkejut dengan kehadiran David, mantan suamiku.
“Maya,” panggilnya yang baru saja keluar dari mobil.
Lelaki yang membuangku demi kehormatan keluarganya kini berani menunjukkan batang hidungnya. Dua tahun lalu dimana aku yang menyandang sebagai istri direktur di salah satu perusahaan pangan terbesar negara ini, tapi semua runtuh ketika aku bercerai dengan suamiku. Dari awal memang aku tak direstui menikah dengan David, mantan suamiku. Namun, karena kegigihan lelaki itu membuat keluarganya tunduk dan menerimaku dengan terpaksa. Sangat disayangkan, saat pernikahan berjalan di tahun ketiga tiba-tiba aku dipermalukan dengan keji. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan hal itu karena kehadiran Bimo. Buah hati hasil hubungan cintaku dengan David mengidap autism, dan keluarganya menganggap itu sebagai aib. Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka mencaciku dengan kasar bahkan David tak berkutik dan memilih keluarganya.“Maya, detik ini juga aku menceraikanmu!” seru David menggelegar di ruangan pertemuan keluarga. Aku hanya terpaku mendengar perkataan itu.“Astaghfirullahaladzim! Ada apa Nak
Ketika sudah memeriksakan diri, aku pun kembali menghampiri Bu Yati.“Gimana Bu?”“Tadi dijemput mobil hitam.” Dia memperlihatkan hasil jepretannya padaku.‘Sudah kuduga, dia menunggu Kenzo.’ Mobil civic berwarna hitam itu adalah milik atasanku. Meskipun wajah lelaki itu tak terekspos dalam foto ini, tapi kode plat mobil itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa itu lelaki jahanam.“Kirim ke ponselku ya Bu. Aku ingin menjenguk seseorang dulu.”Kami berjalan beriringan menuju kamar inap Tristan. Dahiku berkerut saat seorang pria baru saja keluar dari sana. Namun, wajah orang itu tak terlihat jelas karena tertutup oleh masker dan topi. Cara jalannya nampak tergesa-gesa seperti mengejar sesuatu.“Tunggu di sini sebentar ya Bu,” pintaku. Wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kubuka daun pintu, terlihat Tristan yang menatap datar kehadiranku.“Hai, masih hidup ternyata,” sapaku. Terdengar nyeleneh, tapi aku tipe orang yang kurang beramah-tamah dengan orang lain.“Sud
“Maya, kita bicara sebentar.”“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.“Pulang kerja.”Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”“Kalau aku sih sudah resign.”“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup. ”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai e
Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.“Mari ikut saya ke kantor polisi.”“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hany
“Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a
Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku
Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras
"Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce
"Kirim print semua laporan yang aku kirim. Sekarang," ucap Tristan sangat tegas. Pagi ini aku langsung menghadap kepadanya, dan ini adalah perintah ke lima yang harus kukerjakan. Untungnya, Bimo sangat tenang berada di ruang kerja CEO-ku ini, jadi aku bisa bekerja dengan gesit agar cepat istirahat."Baik, Pak." Kutundukkan sedikit kepalaku sebelum pergi. Namun, belum rapat kututup pintu. Pria yang mendadak adalah CEO-ku itu kembali bersuara."Apa aku boleh membawa Bimo jalan-jalan sebentar?"Aku terdiam beberapa saat, menimang apakah melepaskan putraku pada pria ini akan aman atau tidak."Hanya sebentar. Aku pasti akan kembali sebelum jam kerja berakhir."Aku tersenyum simpul, karena dipahami oleh pria itu. Tristan menatapku cukup hangat kali ini. Biasanya ia tampak dingin dan irit bicara."Boleh, Pak."Tristan kembali menatap Bimo yang masih asyik dengan mainannya. Aku sedikit ce
Tanpa menjawab pertanyaannya aku memilih melengos meninggalkannya sendiri. Wanita itu tampak geram jika didengar dari langkah suaranya. Sepatu berhak tinggi itu mengetuk lantai dengan nyaring dan memantul di sepanjang lorong menuju parkiran. Beberapa orang yang sedang berjalan ke arah yang sama langsung memerhatikan kami. Tatapan aneh dengan salah satu alis yang terangkat, hal yang sudah terlalu sering kulihat. Sepertinya aku mulai kebal dengan segala momentum menyebalkan di hidup ini."Hati-hati, Ros. Kamu bisa jatuh kalau jalan cepat seperti itu," cegah Putri dengan nada cemas."Benar. Ngapain kamu dekat-dekat sama pelakor itu?" Kali ini suara Tina yang menyusul, ketus dan penuh sindiran.Beberapa orang lain terdengar berbisik mendengar kata pelakor yang diucapkan Tina. "Oh... jadi itu pelakor yang lagi ramai dibicarakan."Orang lain berdesis memperingati temannya, " Jangan keras
Seorang laki-laki berjas abu-abu rapi sedang menatapku dengan dingin. Mataku terpaku melihat penampilannya yang sangat berbeda ketika beberapa minggu lalu.“K-kok....”“Ssssttt... Maya! Ini Pak CEO!” bisik Bu HRD. “Ehehe... Maaf Pak. Ini sekretaris yang bapak maksud bukan?” Bu Nanda menggaet tanganku agar segera berdiri. Aku masih kikuk karena shock melihat CEO yang ada di depanku. Dia adalah Tristan. Seorang laki-laki yang kutemukan di parkiran kantor dalam keadaan tak sadarkan diri sekaligus penyelamatku ketika diringkus ke kantor polisi.“Iya Benar,” jawabnya singkat. Perhatian lelaki itu langsung beralih ke anakku Bimo karena suara barang jatuh di balik meja. Ia mendekatinya perlahan dan berdiri mematung saat melihat putraku menghamburkan uang yang ada di dalam dompet.“Astaga Bimo!” pekikku kaget karena semua alat tukar itu keluar dari tempatnya. Segera ku bereskan barang yang berserakan di atas meja. Sebelum itu, tak lupa aku menduduk minta maaf pada atasanku.“Maaf Pak,” ucapku
“Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.Ketika sampai di ruang HRD, a
Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.“Mari ikut saya ke kantor polisi.”“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hany
“Maya, kita bicara sebentar.”“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.“Pulang kerja.”Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”“Kalau aku sih sudah resign.”“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup. ”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai e
Ketika sudah memeriksakan diri, aku pun kembali menghampiri Bu Yati.“Gimana Bu?”“Tadi dijemput mobil hitam.” Dia memperlihatkan hasil jepretannya padaku.‘Sudah kuduga, dia menunggu Kenzo.’ Mobil civic berwarna hitam itu adalah milik atasanku. Meskipun wajah lelaki itu tak terekspos dalam foto ini, tapi kode plat mobil itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa itu lelaki jahanam.“Kirim ke ponselku ya Bu. Aku ingin menjenguk seseorang dulu.”Kami berjalan beriringan menuju kamar inap Tristan. Dahiku berkerut saat seorang pria baru saja keluar dari sana. Namun, wajah orang itu tak terlihat jelas karena tertutup oleh masker dan topi. Cara jalannya nampak tergesa-gesa seperti mengejar sesuatu.“Tunggu di sini sebentar ya Bu,” pintaku. Wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kubuka daun pintu, terlihat Tristan yang menatap datar kehadiranku.“Hai, masih hidup ternyata,” sapaku. Terdengar nyeleneh, tapi aku tipe orang yang kurang beramah-tamah dengan orang lain.“Sud
Lelaki yang membuangku demi kehormatan keluarganya kini berani menunjukkan batang hidungnya. Dua tahun lalu dimana aku yang menyandang sebagai istri direktur di salah satu perusahaan pangan terbesar negara ini, tapi semua runtuh ketika aku bercerai dengan suamiku. Dari awal memang aku tak direstui menikah dengan David, mantan suamiku. Namun, karena kegigihan lelaki itu membuat keluarganya tunduk dan menerimaku dengan terpaksa. Sangat disayangkan, saat pernikahan berjalan di tahun ketiga tiba-tiba aku dipermalukan dengan keji. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan hal itu karena kehadiran Bimo. Buah hati hasil hubungan cintaku dengan David mengidap autism, dan keluarganya menganggap itu sebagai aib. Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka mencaciku dengan kasar bahkan David tak berkutik dan memilih keluarganya.“Maya, detik ini juga aku menceraikanmu!” seru David menggelegar di ruangan pertemuan keluarga. Aku hanya terpaku mendengar perkataan itu.“Astaghfirullahaladzim! Ada apa Nak
Tubuh manusia itu terlihat sangat pucat, dadaku berdesir hebat. Bulu kudukku meremang melihatnya. Aku ingin berteriak dengan keras, tapi tenggorokanku tercekat kuat. Dengan tangan bergetar, kucoba untuk berdiri.“Emh!” desah manusia itu.“Apakah kamu masih hidup?” tanyaku, mencoba memastikan keadaan orang itu. Dengan pelan kaki ini melangkah mendekatinya. Lelaki berbibir tipis itu enggan menyahut pertanyaanku. Keadaannya sangat mengenaskan.“Are you okay?” kali ini aku benar-benar khawatir melihatnya. Dia terlihat ingin menjawab pertanyaanku, tapi mulutnya sulit digerakkan. Kupindai keadaan sekitar, tak ada seorangpun di sini.“Okay. Permisi, aku akan membawamu ke rumah sakit. Kau terlihat sangat mengkhawatirkan, sebelum ajal menjemput tak ada salahnya jika aku berusaha membawamu ke tempat berobat. Setidaknya jika nanti benar-benar meninggal, aku tidak memiliki penyesalan telah menelantarkanmu di sini,” cerocosku padanya.Entah lelaki itu mendengar perkataanku atau tidak, setidaknya a