Alva, nama siswa baru itu. Kehadiran Alva mengubah hari-hari Alena. Tetapi semakin ia terlibat jauh dengan perasaannya, semakin ia mengetahui masa lalu Alva. Sampai tiba saatnya, ia harus mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Keputusan yang akan menjauhkan ia dari orang-orang yang disayanginya, dan mengubah masa depannya.
View MoreSemua orang di puncak bukit itu asyik mengabadikan momen matahari terbit. Alva perlahan melepaskan pelukannya, kemudian mereka berdua juga berfoto, dengan latar pemandangan gunung-gunung berselimutkan awan dan bola emas matahari. Mereka berdua duduk mengagumi pemandangan yang sangat luar biasa dari puncak bukit. Hawa dingin menusuk mulai terasa berkurang, karena kehangatan dari sinar matahari.Setelah kurang lebih satu jam di atas Bukit Sikunir, saatnya untuk melanjutkan perjalanan lagi. Alena menoleh ke tempat Karin duduk tadi. Ia tampak sudah bisa berdiri, dengan dibantu Lucky. Alena dan Alva menghampirinya. Karin tersenyum malu-malu pada mereka."Kakiku udah baikan kok, udah bisa gerak lagi nih...," katanya, sambil menggerak-gerakkan kaki kirinya."Bisa jalan nggak?" tanya Alena."Bisa kok..." Karin berjalan pelan-pelan. "Ayo kita turun..."Lucky membantu Karin berjalan perlahan-lahan ke tan
Hari Kamis pagi, seluruh peserta karya wisata kelas XI IPA berkumpul di halaman depan sekolah. Jumlah peserta sekitar 150 siswa dari tiga kelas. Sudah ada tiga bus wisata besar yang menanti di depan gerbang sekolah. Tentunya mereka tetap didampingi oleh guru-guru mereka, ada empat guru pria dan dua guru wanita yang ikut dalam karya wisata tersebut. Sekolah tidak menggunakan jasa event organizer atau pemandu wisata, para siswa sendirilah yang menjadi panitia. Tujuannya untuk melatih kemandirian dan kedisiplinan siswa.Sekitar jam enam, seluruh peserta sudah lengkap didata. Kemudian mereka dibagi ke dalam tiga bus, Alena dan Alva berada dalam satu bus, sedangkan Karin di bus yang lainnya. Alena merasa senang bisa bersama Alva. Mereka duduk bersebelahan di bangku paling belakang, bersama dengan tiga teman lainnya. Setelah briefing singkat dan doa bersama, bus-bus itu meluncur meninggalkan sekolah.Di dalam bus, paniti
Tiga bulan kemudian.Ujian akhir semester kedua sudah menanti Alena dan Alva. Tugas dan latihan soal, ulangan harian mendadak, jadwal ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan belajar untuk ujian akhir, seperti rutinitas yang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari selama tiga bulan terakhir ini.Alena merasa lama-lama ia menjadi terbiasa dengan kesibukan tersebut, hal yang tadinya terasa begitu berat di awal. Alva tidak pernah mengeluh atau terlihat kesulitan menjalani semuanya. Ia juga selalu mendampingi Alena, sehingga Alena merasa mendapat semangat tambahan untuk bisa menyamai Alva.Alena dan Alva sama-sama berhasil naik ke level berikutnya dalam kursus bahasa Jerman mereka. Mereka berniat untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute setelah Alena menyelesaikan level B1, rencananya dalam waktu enam bulan ke depan.Ujian akhir semester kedua bagi siswa kelas X dan XI SMA Scientia berlangsung se
Alena berjalan tergesa-gesa menuju ruang tunggu pemain. Tadi di lobby, ia melihat sekelompok gadis remaja masih berkerumun, seolah menunggu. Untunglah panitia tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam ruang tunggu, kecuali yang memakai tanda pengenal crew. Apakah mereka menunggu Alva? Alena merasa makin tidak nyaman. Ia bergegas masuk ke dalam ruang tunggu yang tadi ditempati tim Om Bimo.Komunitas musik klasik dari Kampus ISI itu sedang bergembira dan mengobrol satu sama lain, tentunya merayakan keberhasilan penampilan mereka malam ini. Alva berdiri dekat Om Bimo. Om Bimo sedang berbicara sambil memegang pundaknya, seperti sedang memberi selamat atau menyemangatinya.Alva langsung menoleh ke arahnya, ketika Alena berjalan masuk ruang tunggu itu. Alva menatapnya dengan penuh arti. Alena merasa ia mengerti maksud Alva, ia tersenyum dan mengangguk. Lalu ia duduk lagi di kursi yang tadi siang didudukinya, memberi kesempatan Alva dan ti
Alena mengikuti Luis berjalan menuju pintu masuk ruang konser bagi penonton. Di situ, sudah ramai penonton yang mengantri untuk masuk. Alena melihat banyak penonton dari kalangan anak muda dan remaja, mungkin sebagian besar adalah mahasiswa dan pelajar.Setelah menyerahkan tiket ke panitia, Alena dan Luis masuk ke dalam ruang konser. Ruangan itu sangat luas dan megah dengan langit-langit tinggi. Kursi-kursinya tersusun berundak ke atas seperti di bioskop.Alena mengikuti Luis berjalan ke barisan kursi di tengah, tidak terlalu dekat dengan panggung, juga tidak terlalu jauh. Luis sepertinya sudah memilihkan posisi yang nyaman untuk merekam. Di depan kursi mereka, terdapat ruang yang cukup luas untuk menaruh tripod.Alena duduk dan mulai men-setting kamera dan tripodnya. Luis duduk di sebelah kanan Alena. Luis masih berusaha mengajaknya mengobrol, ia berkomentar tentang ramainya penonton dan dekorasi panggung yang megah
Minggu-minggu berikutnya adalah saat yang sibuk bagi Alena dan Alva berdua. Alva terus mempersiapkan diri untuk konser musik klasik, yang akan berlangsung tiga minggu lagi. Selain berlatih di Kampus ISI bersama Om Bimo dan komunitas, ia juga sering berlatih sendiri di gudang alat musik, tentunya ditemani Alena jika sedang tidak ada jadwal ekstrakurikuler.Kesibukan di sekolah juga semakin bertambah, karena ujian tengah semester akan diadakan sekitar dua minggu setelah konser musik klasik. Alena dan Alva harus berusaha membagi waktu untuk belajar, mengerjakan tugas, mengikuti kelas ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan latihan musik.Alena merasa ia seperti sedang berlomba lari, dan nafasnya terengah-engah. Tapi ia merasa mendapatkan kekuatan lagi, setiap kali menatap wajah Alva. Ia teringat janjinya kepada Tante Clara, ia ingat nasihat Papa dan Mama, bahwa ia harus berjuang untuk meraih apa yang menjadi impiannya. Alva selalu berada di
Menjelang jam dua belas, Alena membantu Mama di dapur, menyiapkan makan siang. Papa mengajak Alva untuk belajar menyetir mobil, kebetulan tidak jauh dari rumah, ada lapangan kosong. Alva menyambut ajakan Papa dengan antusias. Katanya, ia memang sudah lama ingin belajar menyetir mobil.Sekitar satu jam kemudian, Papa dan Alva pulang, lalu mereka berempat menikmati makan siang bersama. Papa berkata, Alva bisa belajar menyetir mobil lagi dengannya, kapan pun ada waktu. Alena senang melihat Alva dan Papa sepertinya tambah akrab. Mereka masih membahas tentang pentas drama musikal kemarin."Kayaknya Papa benar deh... Lena jadi tambah pingin ambil jurusan teater...," kata Alena. Ia merasa setiap latihan dan kerja keras yang telah dilaluinya sebelum pentas menjadi sangat manis, setelah melihat keberhasilan pertunjukannya."Tuh benar kan, apa Papa bilang? Kamu punya bakat dan hati di teater," komentar Papa sambil tersenyum.
Alena kembali ke ruang ganti untuk berganti kostum dan menghapus make-up-nya terlebih dulu. Di dalam ruang ganti, masih ramai teman-teman yang saling memuji dan bercerita tentang pentas tadi.Kemudian, Sir Angga mengumpulkan semua pengisi acara di ruang transit, memuji penampilan mereka, dan berterima kasih untuk semua kerja keras mereka. Setelah itu, barulah mereka bubar dan meninggalkan aula.Papa, Mama, dan Alva sudah menunggu Alena di luar aula. Suasana aula sudah tidak ramai lagi, para orang tua dan siswa sudah beranjak pulang. Mereka bersama-sama turun ke lantai satu, dan berjalan menuju tempat parkir di halaman depan sekolah."Ayo, pada mau ke mana nih? Lena? Alva?" tanya Papa, begitu mereka semua sudah berada di dalam mobil.Alena dan Alva duduk berdua di belakang, mereka saling berpandangan."Ke mana ya, Pa? Lena lapar nih, tadi cuma makan sedikit...," jawab Alena."Kalau gitu, kita
Setelah libur akhir pekan berlalu, dan mereka kembali ke sekolah, dimulailah minggu yang terasa sibuk bagi Alena. Ia harus berlatih lebih intensif untuk pentas drama musikal, yang akan berlangsung hari Sabtu ini. Kursus bahasa Jerman juga sudah dimulai dua kali seminggu, dengan tiap pertemuan satu setengah jam. Belum lagi mulai banyak PR dan tugas lain dari guru-guru mereka, juga jadwal ekstrakurikuler Alena yang lainnya.Alena merasa lelah, tapi berusaha tidak mengeluh. Yang membuat dia merasa kuat, adalah karena Alva selalu mendampinginya. Alva selalu mengantar dan menjemputnya di kelas ekstrakurikuler. Mereka mengerjakan tugas dan PR bersama Karin di perpustakaan tiap ada waktu. Mereka juga berangkat dan pulang bersama, tiap kali kursus bahasa Jerman, dengan motor baru Alva yang dihadiahkan oleh Om Hanz.Hari Jumat sore, Alena dan Alva baru saja selesai kursus bahasa Jerman. Alva memutuskan tidak berangkat ke latihan komunitas musik klasi
Suara itu... Alena menghentikan langkahnya. Ia yakin, ini kedua kalinya telinganya mendengar suara bernada tinggi itu. Ya, Alena yakin, itu suara biola yang digesek. Tapi dari mana datangnya? Setahu Alena, di SMA Scientia, tidak ada mata pelajaran atau ekstrakurikuler biola. Para siswa juga dilarang bermain alat musik di dalam ruangan asrama, kecuali di dalam ruang kelas musik.Alena mencoba menajamkan pendengarannya, mencari asal suara yang menarik perhatiannya itu. Tetapi suara itu mendadak tidak terdengar lagi."Ah, jangan bilang kalau aku salah dengar...," katanya pada dirinya sendiri.Ia mempercepat langkah kakinya menuju gedung Asrama Putri SMA Scientia. Walaupun sering ada cerita angker tentang asramanya, tapi selama setahun ia tinggal di asrama ini, ia tidak pernah mengalami yang aneh-aneh. Ia sekarang sudah kelas XI, masa masih percaya dengan cerita seperti itu? Itu hanya cerita para senior kepada junior kelas X
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments