Share

Truly In Love 1
Truly In Love 1
Author: Annabella Shizu

1. Biola

last update Last Updated: 2021-03-21 16:08:51

Suara itu... Alena menghentikan langkahnya. Ia yakin, ini kedua kalinya telinganya mendengar suara bernada tinggi itu. Ya, Alena yakin, itu suara biola yang digesek. Tapi dari mana datangnya? Setahu Alena, di SMA Scientia, tidak ada mata pelajaran atau ekstrakurikuler biola. Para siswa juga dilarang bermain alat musik di dalam ruangan asrama, kecuali di dalam ruang kelas musik.

Alena mencoba menajamkan pendengarannya, mencari asal suara yang menarik perhatiannya itu. Tetapi suara itu mendadak tidak terdengar lagi.

"Ah, jangan bilang kalau aku salah dengar...," katanya pada dirinya sendiri.

Ia mempercepat langkah kakinya menuju gedung Asrama Putri SMA Scientia. Walaupun sering ada cerita angker tentang asramanya, tapi selama setahun ia tinggal di asrama ini, ia tidak pernah mengalami yang aneh-aneh. Ia sekarang sudah kelas XI, masa masih percaya dengan cerita seperti itu? Itu hanya cerita para senior kepada junior kelas X untuk menakut-nakuti mereka.

Alena membuka pintu kamarnya. Karin, teman sekamarnya, sedang tiduran di dipan sambil mendengarkan musik dari headset. Karin melambaikan tangan ke Alena. Alena hanya tersenyum, sambil menaruh tasnya di atas meja.

"Len, tadi ekskul apa?" Karin melepaskan headsetnya.

"Teater...," jawab Alena. Ia masih memikirkan suara biola tadi.

"Kamu rajin amat sih, ikut ekskul ini itu. Kalau aku sih, ikut satu aja udah cukup. Itu aja udah keteteran belajarnya," Karin tertawa. "Tapi kalau kamu mah beda, otaknya pentium level tinggi."

Alena menyukai sifat Karin yang suka ceplas-ceplos. Ia senang masih tetap sekelas dengan Karin setelah naik kelas XI.

"Rin, tadi kok aku kayak dengar suara biola ya? Waktu jalan dari kelas ekskul teater ke asrama putri," Alena mengutarakan rasa penasarannya.

"Suara biola? Kita kan nggak ada ekskul biola."

"Makanya itu...," Alena menggumam. "Tapi ini udah kedua kalinya, kemarin aku juga dengar, aku pikir mungkin telingaku yang salah. Hari ini aku yakin, itu emang suara biola... Tapi dari mana asalnya?" Alena seperti bicara pada dirinya sendiri.

Karin memandang teman sekamarnya itu. Alena memang selalu gampang penasaran pada hal-hal yang menarik perhatiannya, mungkin memang sudah 'kutukan' orang pintar. Tapi Karin senang berteman dengan Alena, karena sifatnya yang tulus dan tidak pelit, terutama tidak pelit berbagi ilmu.

"Ya udah, besok kalau kamu dengar lagi, aku temanin kamu cari deh...," Karin menawarkan diri. "Tapi aku pinjam catatan Fisika kamu dong, ada PR nih, susah banget..." Itu cara Karin untuk minta diajari mengerjakan PR secara halus.

Alena tertawa. "Sini..., mana yang susah?"

"Hihihi.... Kamu emang paling baik deh..." Karin terkikik.

*

"Hari ini, kita kedatangan teman baru. Saya harap, kalian dapat menyambutnya dengan ramah, dan membantunya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru," suara Miss Stella, wali kelas XI A IPA, terdengar lantang di depan kelas.

"Silakan memperkenalkan diri." Miss Stella mengangguk pada pemuda yang berdiri di sampingnya.

Alena melihat teman-teman ceweknya mulai berbisik-bisik. Sekolah mereka sering menerima siswa baru di pertengahan semester, itu bukan hal baru lagi. Jadi, kenapa teman-temannya seperti mulai bergosip? Apa karena cowok yang berdiri di depan kelas itu punya rambut bergelombang yang tebal? Atau karena tatapan matanya yang tajam seperti elang, dibingkai oleh alisnya yang tebal melengkung? Atau karena kulit wajah dan tubuhnya yang putih bersih, badannya yang tinggi dan tegap seperti seorang atlet?

Alena memalingkan mukanya, tiba-tiba ia merasa wajahnya jadi hangat. Kenapa dia? Tidak biasanya dia menilai seorang cowok dari penampilannya.

"Hai, aku Alva. Salam kenal." Perkenalan diri yang singkat.

Miss Stella sedikit mengangkat bahunya, mungkin dia berpikir siswa baru itu masih malu.

"Baiklah, Alva. Silakan duduk di bangku yang kosong, mmm.... Itu, di sebelah Alena, di sudut..." Miss Stella mengarahkan dengan jarinya.

Deg! "Kenapa harus di sebelahku?" Alena memprotes dalam hati.

Teman-teman mulai terdengar berisik. Sebagian teman cewek seperti mengikuti langkah kaki Alva dengan mata mereka, sedangkan beberapa yang lain, termasuk Karin, tersenyum-senyum ke arah Alena dan berbisik-bisik. Alena pura-pura memandang ke arah lain.

Saat siswa baru itu lewat di sampingnya, Alena melempar senyum tipis. Tapi... cowok itu bahkan tidak melirik ke arahnya! Alena merasa mukanya memerah lagi, tapi kali ini lebih karena kesal.

"Silent, please...," Miss Stella mengingatkan. "Kita lanjutkan pelajaran."

Alena berusaha agar tidak melirik ke arah kanannya selama pelajaran berlangsung. Tidak biasanya Alena tidak menyapa siswa baru, tapi cowok ini kenapa berbeda ya? Sepertinya dia memang bukan tipe yang ramah.

Bel istirahat berbunyi. Alena memasukkan bukunya ke dalam tas, sambil melirik ke kanan dengan sudut matanya. Ia hanya ingin tahu, apa yang akan dilakukan cowok itu saat istirahat.

"Alena!" suara Karin mengagetkannya. Teman sekamarnya itu berjalan ke arahnya. Karin masih tersenyum-senyum seperti tadi.

"Mau ke kantin nggak?" ternyata Karin bertanya kepada Alva.

Alena menunggu reaksi cowok itu. Tanpa sadar, ia menahan nafas.

"Nggak," jawab Alva dengan cepat sambil menggeleng.

Wajah Karin seperti membeku, ia tampaknya masih mengharapkan kata-kata selanjutnya dari mulut Alva. Alena cepat-cepat menggandeng tangan Karin, dan setengah menariknya untuk keluar dari kelas.

"Kenapa sih, kok kamu narik aku?" Karin baru melepaskan tangannya setelah di luar kelas.

"Kamu ngapain juga berdiri bengong di situ? Pakai ngajak-ngajak cowok itu ke kantin lagi..." Alena setengah mengomel.

"Lho, maksudku kan baik, biar dia ada temannya. Mungkin dia belum tau di mana letak kantin, ya kan?"

"Iya... Tapi kayaknya dia bukan orang yang senang ngobrol. Dari tadi di kelas, dia diam aja."

"Kamu nggak ngajak dia ngomong?" Karin bertanya dengan nada heran. "Ya ampun, Alena..." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, sampai rambut ekor kudanya ikut bergoyang.

"Apa yang aneh sih? Yang lain juga nggak ada yang ngobrol sama dia. Lucky yang duduk di depan dia juga nggak..."

"Mungkin dia cuma malu. Itu kan biasa, di hari pertama sekolah baru."

Mereka sampai di kantin, di depan penjual bakso langganan mereka.

"Tahu nggak, apa kata Farah tadi?" kata Karin sambil mengantri.

Farah adalah cewek yang duduk di sebelah Karin di kelas, ia termasuk cewek yang populer di sekolah karena kecantikannya.

"Katanya si Alva itu...keren..." Karin mengacungkan kedua jempolnya.

Alena hanya menghela nafas. "Keren tapi sombong juga nggak menarik," ujarnya dalam hati.

*

"Kamu masih ada ekskul, Len?" Selesai pelajaran, Karin menghampiri Alena lagi. Ia masih melirik-lirik Alva, tapi tidak mengajak cowok itu bicara lagi.

"Ada, ekskul gamelan. Kamu duluan aja, Rin..." jawab Alena, sambil mengemasi buku-bukunya.

"Ya udah, see you..." Karin setengah berlari keluar kelas.

Alena melihat sekeliling, sudah tidak ada lagi siswa lain di dalam kelas, kecuali dia dan... Alva. Alena menarik nafas dalam-dalam, ia bermaksud untuk berkenalan dengan Alva, yah...sekedar berbasa-basi..., karena dia tidak tahan juga kalau duduk bersebelahan, tapi tidak saling menyapa.

"Halo... Aku Alena." Ia berdiri di sebelah bangku Alva. Tadinya ia mau mengulurkan tangan, tapi diurungkannya.

Cowok itu sepertinya sedang mencoret-coret di selembar kertas.

"Salam kenal ya..." Alena sudah siap-siap berjalan pergi, kalau cowok itu tidak merespon.

Di luar dugaan, Alva berdiri dan menatapnya. "Halo Alena..."

Alva tidak tersenyum, tapi tatapan matanya yang tajam itu seperti melembut. Mereka berdiri berhadapan. Alena baru sadar, kalau ia hanya lebih tinggi sedikit dari bahu Alva.

Alena tersenyum gugup. "Aku...masih ada ekskul... Aku duluan ya...," katanya. Ia melangkah dengan cepat dan keluar dari kelas, tidak menoleh ke belakang lagi.

*

Ekstrakurikuler gamelan siang itu terasa berjalan sangat cepat. Mungkin karena Alena hampir tidak bisa fokus pada apa yang disampaikan Sir Danar.

Ia berjalan menyusuri ruangan kelas yang kosong, ke arah gedung asrama putri, yang terletak di belakang kompleks sekolah. Dan... Suara itu lagi...

"Kali ini, aku akan cari sampai dapat," katanya dalam hati.

Suara biola itu sudah tiga kali mengusiknya. Alena mendekatkan telinganya ke tembok, berharap bisa melacak asal suara itu. Datangnya seperti dari arah belakang ruang kelas musik. Ia terus berjalan, entah kenapa jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Di sekitar situ tidak ada siapapun. Seharusnya tadi ia mengajak Karin dulu.

Di belakang ruang kelas musik, ada lorong yang menuju ke gudang tempat penyimpanan alat musik. Alena pernah lewat situ, tapi kenapa ia mulai merasa gugup sekarang? Lorong itu sedikit gelap, karena tanaman perdu yang merambat di tembok menghalangi masuknya cahaya matahari.

Suara biola itu terdengar semakin jelas, nadanya tinggi dan sendu, seperti menceritakan suatu kesedihan. Alena berdiri di depan gudang alat musik. Tidak salah lagi, siapapun yang memainkan biola itu, dia ada di dalam gudang. Tangannya meraih gagang pintu, jantungnya berdetak semakin cepat. Klek...

Alena terpaku di muka pintu. Kakinya terasa lemas. Si pemain biola menghentikan permainannya. Mata mereka bertatapan.

"Kamu...?" hanya itu yang keluar dari mulut Alena.

Sosok Alva yang tinggi berdiri di tengah gudang, ia memegang biola tua di tangannya. Ia sepertinya juga sama kagetnya dengan Alena.

"Kenapa kamu bisa ke sini?" tanyanya pada Alena.

"Eh... Aku... Cuma ikutin suara biola..."

Alva mengernyitkan dahinya. Apa ia merasa terganggu?

"Masuklah..." Itu sambutan yang di luar dugaan Alena.

Alena melangkah perlahan. Gudang alat musik itu cukup luas, tapi bagian tengahnya kosong. Ada cahaya yang masuk melalui skylight di bagian tengah langit-langit, sehingga ruang itu tidak perlu lampu di siang hari. Sosok Alva yang berdiri persis di bawah skylight itu seperti bermandi cahaya matahari sore.

"Kok kamu bisa main biola di sini?" tanya Alena untuk menutupi kegugupannya. Tanpa sadar, ia meremas tangannya.

Alva balik menatapnya. Tatapan mata yang tajam itu... Tapi, mengapa Alena sekilas seperti melihat ada kesedihan di matanya?

"Sir Johan izinin aku main biola di sini selesai pelajaran. Karena belum ada kelas ekskul biola."

Sir Johan adalah guru seni musik kelas XI. Alva masih terus memandangnya. Alena berusaha menemukan kata-kata. Kenapa sih dia? Belum pernah dia segugup ini di depan seorang cowok.

"Oh.... Ya udah kalau gitu... Kamu lanjutin aja main biolanya. Aku...."

"Kamu juga bisa main biola?" tiba-tiba Alva memotong perkataannya.

"Eh.... Nggak... Aku nggak bisa..." Alena menggeleng.

"Terus kenapa kamu ikuti suara biola?"

Kenapa Alva sekarang jadi banyak bertanya ya? Padahal tadi di kelas, dia diam saja. Alena tersenyum gugup.

"Aku suka aja... Maksud aku, aku suka dengar suara biola. Opaku dulu juga main biola." Jawaban itu tiba-tiba membuat Alena jadi terkenang sosok Opa.

"Kalau gitu, harusnya kamu juga bisa main biola."

"Aku nggak pernah belajar. Opa udah meninggal waktu aku masih tujuh tahun... Aku cuma ingat, waktu kecil Opa sering mainin biola buat aku..."

Sejenak, mereka berdua sama-sama terdiam.

"Kamu mau dengar lagu apa?"

Alena tidak menduga Alva akan bertanya seperti itu. Alva mulai menggesek biolanya lagi. Matanya setengah terpejam, ia tampak sangat menikmati. Alena tidak tahu harus menjawab apa.

Mendadak suara biola berhenti. Alva memandang Alena lagi. "Ayo...lagu apa?" Ternyata Alva masih menunggu jawabannya.

"Mmm...lagu apa...? Terserah kamu aja deh, aku dengerin aja..." Alena masih tidak percaya Alva bisa bertanya seperti itu.

Alva masih tetap menatapnya. "Kamu suka main gamelan. Berarti kamu suka lagu tradisional ya?"

"Kok kamu tau aku main gamelan?"

Alva tidak menjawab. Ia malah mulai memainkan musik Gundul Gundul Pacul dengan biolanya, sebuah lagu tradisional Jawa. Tangannya begitu lincah, dan ia bermain dengan mata setengah terpejam.

Alena rasanya ingin membingkai momen itu di dalam hati dan pikirannya, walaupun seandainya momen itu tidak akan pernah terulang lagi.

*

Malam itu, Alena termenung di atas tempat tidur. Karin sudah terlelap dari tadi. Setelah kembali ke asrama putri, Alena tidak menceritakan pertemuannya dengan Alva di gudang alat musik ke Karin. Ia juga tidak cerita, bahwa ternyata Alva juga tinggal di asrama putra SMA Scientia.

Alena memiringkan badannya ke kiri. Dari tadi, rasanya ia hanya berguling-guling di atas tempat tidur. Kenapa sih pikirannya terus saja kembali ke kejadian tadi sore? Tentang Alva yang memainkan sebuah lagu dengan biola untuknya. Tentang Alva yang ternyata ingat perkataannya di kelas, bahwa ia ikut ekstrakurikuler gamelan. Tentang sikap Alva yang tidak seperti dugaannya, tentang Alva, semuanya tentang Alva, siswa baru itu!

"Ada apa sih dengan aku?" Alena memarahi dirinya sendiri. Tapi ia tidak bisa memaksa dirinya, untuk menghilangkan bayangan Alva dari benaknya. Kalau sampai Karin tahu, ia pasti akan meledek Alena

Comments (1)
goodnovel comment avatar
kurniamamang
This is one of the best story I've read so far, but I can't seem to find any social media of you, so I can't show you how much I love your work
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Truly In Love 1   2. Chemistry

    Pelajaran pertama Jumat pagi itu adalah olahraga. Alena mengikat rambutnya tinggi ke atas, supaya tidak berantakan selama berolahraga. Ia dan Karin bersama-sama berjalan keluar dari ruang ganti putri menuju ke lapangan.Lapangan yang luas itu sudah penuh dengan teman-teman sekelas mereka, ada yang berdiri mengelompok di pinggir, ada yang sudah mulai memainkan bola basket, ada juga yang hanya duduk-duduk.“Aduh...,” Alena mengaduh, karena Karin tiba-tiba menyikut tulang rusuk sebelah kirinya. “Ada apa sih, Rin?” Alena menegur dengan nada kesal.“Tuh, si Pangeran Putih lagi lihatin kamu...,” bisik Karin sambil tersenyum, ia mengedikkan kepalanya ke arah kanan Alena.Alena menoleh ke kanan, ke arah bangku-bangku semen yang berundak seperti anak tangga di pinggir lapangan. Alva duduk sendirian di bangku kedua dari bawah. Matanya seperti biasa menatap tajam...persis ke arah Alena! Wajahnya tetap dingin, tidak terse

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   3. Tempat Rahasia

    Alena seperti mendapatkan energi ekstra sepanjang sisa jam pelajaran. Ada sesuatu yang ditunggu-tunggunya, dan hanya dia dan Alva yang tahu. Alva tetap tidak banyak bicara di dalam kelas, tapi dia sudah mulai bicara dengan Lucky yang duduk di depannya, atau lebih tepatnya Lucky yang mengajaknya bicara. Sepertinya setelah pertandingan voli tadi, Alva mulai dapat berbaur dengan teman-teman yang lain.Tapi ada satu hal yang tetap membuat Alena penasaran. Dia belum pernah melihat Alva tersenyum, apalagi tertawa. Wajahnya tetap saja dingin dengan sorot mata tajam. Hanya tatapan matanya yang kadang berubah menjadi lebih lembut, atau setidaknya begitu menurut Alena.“Setidaknya ada kemajuan. Dia udah mulai ngobrol sama yang lain,” Alena berkata dalam hati.*Bel tanda pulang berbunyi. Mendadak, Alena merasa jantungnya mulai berdegup lebih kencang, seperti menantikan sesuatu yang sang

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   4. Foto

    Pagi itu, Alena terbangun sekitar jam setengah enam. Ia mandi dengan santai dan berganti pakaian. Ia mengemas beberapa barang ke dalam tas ransel kecil untuk dibawa pulang. Sambil menyisir rambut panjangnya, Alena membuka chat di ponselnya. Jam enam. Ada chat dari Alva lagi!Sebuah foto, kali ini foto matahari yang baru terbit di kejauhan. Alena tersenyum. Cara yang unik untuk mengucapkan selamat pagi.Mendadak, Alena tersentak. Dia menyambar ranselnya dan buru-buru berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan setengah berlari juga. Dia tahu, dari mana Alva mengambil foto itu.Alena sampai di atas rooftop dengan sedikit terengah-engah. Ia masih mengatur nafasnya. Di ujung, ia melihat Alva memegang kamera DSLR, sedang membidik sesuatu di kejauhan."Kamu juga hobi motret?" Alena sengaja mengagetkan Alva.Usahanya berhasil, Alva tampaknya tidak menduga Alena sudah berada di situ. Alva menoleh. Rau

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   5. Prom Night

    Senin pagi, Alena dan Karin berjalan berdua ke ruang kelas XI A. Karin masih asyik bercerita tentang liburannya ke Air Terjun Sri Gethuk. Mereka sampai di bangku Alena. Alva sudah duduk di bangkunya. Seperti biasa, ia kelihatan asyik mencoret-coret di kertas.Karin langsung duduk di bangku di depan Alena, dan meneruskan ceritanya. "Padahal jaraknya nggak jauh. Masa kamu belum pernah sih, ke Sri Gethuk?" tanya Karin dengan nada tidak percaya."Ya kalau dari rumah kamu dekat, kalau aku kan agak jauh. Lagian, kamu bukannya ngajak-ngajak... Udah tahu kalau aku paling suka air terjun," Alena menjawab."Siapa suruh kamu nggak mau ikut pulang ke rumahku?" ledek Karin.Alena tertawa. Tiba-tiba, Sania, pemilik bangku di depan Alena, sudah ada di samping Karin. Ia pun bergabung dalam obrolan. Sekilas, Alena menoleh ke arah Alva, cowok itu tetap asyik dengan kesibukannya sendiri.Bel tanda pelajaran perta

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   6. Perhatian

    Pagi itu, hujan lebat sudah turun dari subuh. Alena dan Karin masing-masing membawa payung ke sekolah. Tapi angin kencang dan hujan yang sangat deras membuat pakaian mereka tetap basah. Sampai di sekolah, Alena dan Karin mampir dulu ke toilet wanita untuk mengeringkan diri. Di dalam toilet sudah ada beberapa teman yang lain.Alena menunggu di depan salah satu pintu toilet. Pintu terbuka, dan... Farah keluar dari toilet. Sepertinya mereka sama-sama kaget berpapasan seperti itu."Hai...Farah..." Alena cepat-cepat menguasai diri. Ia mencoba tersenyum.Farah hanya tersenyum tipis, dan berlalu tanpa bicara. Alena berusaha bersikap sewajar mungkin.Beberapa menit kemudian, Alena dan Karin masuk ke kelas. Entah mengapa, pandangan Alena langsung tertuju lagi ke Farah. Ia merasa, Farah juga sedang memandangnya dengan tatapan mata yang aneh. Alena buru-buru berjalan ke bangkunya. Alva mengangkat wajahnya dan menatap Ale

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   7. Salah

    Alena selalu suka hari Rabu. Mungkin karena hari ini ada pelajaran seni musik dan ekstrakurikuler teater. Setelah beristirahat tadi malam, dia sudah tidak merasa pusing, dan badannya juga tidak hangat lagi.Sampai di kelas, Alva tidak kelihatan. Mungkin dia agak telat, pikir Alena.Sekitar satu menit sebelum bel masuk berbunyi, Alva melangkah masuk kelas, dan menyusul tepat di belakangnya... Farah. Alena merasa jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia berpura-pura tidak melihat, dan mengajak Sania yang duduk di depannya mengobrol. Ia juga tidak menoleh waktu Alva duduk di sampingnya.Pelajaran terasa berjalan sangat lambat, bahkan pelajaran seni musik pun tidak bisa menghiburnya. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri. Sebaiknya tidak usah menduga macam-macam, ia berusaha menghibur dirinya sendiri.Jam pelajaran terakhir sudah usai. Alena mengemasi tasnya. Ia masih belum berbicara dengan Alva sepanjang hari ini

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   8. Keluarga

    Jumat pagi adalah saatnya olahraga bagi kelas Alena. Hari ini jadwal olahraga bebas. Alena dan Karin sudah membawa raket badminton mereka masing-masing. Mata Alena dari tadi mencari-cari Alva.Itu dia! Ternyata Alva sedang duduk di bangku taman, dekat lapangan voli. Sepertinya dia sedang asyik dengan pikirannya sendiri. Alena berjalan mendekatinya. Karin sudah asyik bermain badminton dengan teman-teman yang lain. Alva sudah menoleh lebih dulu sebelum Alena menyapa."Ayo, ikut main badminton...," ajak Alena. Ia duduk di samping Alva di bangku."Aku nggak punya raket..." Suara Alva terdengar pelan."Kenapa? Kamu kayaknya kurang semangat hari ini..."Alva memandangnya. "Karena ini hari Jumat. Besok kamu pulang ke rumah. Aku sendirian lagi."Alena tidak menyangka Alva akan berkata seperti itu. Sepertinya ini saat yang tepat."Kamu nggak perlu sendirian... Kamu mau ng

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   9. Janji

    Om Andre tinggal sendiri di sebuah rumah, yang menurut Alena sangat unik. Om Andre seorang arsitek, jadi dia sendiri yang mendesain rumahnya. Rumahnya berbentuk seperti joglo, rumah adat Jawa, dengan bahan sebagian besar dari kayu. Halaman depannya luas dan terdapat pendopo, di sinilah ia biasanya menerima tamu. Rumahnya sendiri memanjang ke belakang, dan terdapat banyak kamar.Om Andre menyambut mereka dengan ceria. Om Andre adalah adik Papa yang bungsu. Alena selalu tidak mengerti kenapa Om Andre belum menikah, padahal ia sudah mapan, dan menurut Alena, Om Andre juga sangat baik dan menarik.Om Andre mengajak mereka duduk-duduk di taman belakang rumah, di situ ada kolam ikan yang cukup besar. Alena dan Alva asyik memberi makan ikan."Opa dan Oma kamu baik banget ya... Masakan Oma juga enak, aku tadi sampai makan banyak banget, semuanya enak sih...," komentar Alena sambil tertawa.Alva kelihatan ceria, matany

    Last Updated : 2021-03-21

Latest chapter

  • Truly In Love 1   28. Kunci Hati

    Semua orang di puncak bukit itu asyik mengabadikan momen matahari terbit. Alva perlahan melepaskan pelukannya, kemudian mereka berdua juga berfoto, dengan latar pemandangan gunung-gunung berselimutkan awan dan bola emas matahari. Mereka berdua duduk mengagumi pemandangan yang sangat luar biasa dari puncak bukit. Hawa dingin menusuk mulai terasa berkurang, karena kehangatan dari sinar matahari.Setelah kurang lebih satu jam di atas Bukit Sikunir, saatnya untuk melanjutkan perjalanan lagi. Alena menoleh ke tempat Karin duduk tadi. Ia tampak sudah bisa berdiri, dengan dibantu Lucky. Alena dan Alva menghampirinya. Karin tersenyum malu-malu pada mereka."Kakiku udah baikan kok, udah bisa gerak lagi nih...," katanya, sambil menggerak-gerakkan kaki kirinya."Bisa jalan nggak?" tanya Alena."Bisa kok..." Karin berjalan pelan-pelan. "Ayo kita turun..."Lucky membantu Karin berjalan perlahan-lahan ke tan

  • Truly In Love 1   27. Sunrise

    Hari Kamis pagi, seluruh peserta karya wisata kelas XI IPA berkumpul di halaman depan sekolah. Jumlah peserta sekitar 150 siswa dari tiga kelas. Sudah ada tiga bus wisata besar yang menanti di depan gerbang sekolah. Tentunya mereka tetap didampingi oleh guru-guru mereka, ada empat guru pria dan dua guru wanita yang ikut dalam karya wisata tersebut. Sekolah tidak menggunakan jasa event organizer atau pemandu wisata, para siswa sendirilah yang menjadi panitia. Tujuannya untuk melatih kemandirian dan kedisiplinan siswa.Sekitar jam enam, seluruh peserta sudah lengkap didata. Kemudian mereka dibagi ke dalam tiga bus, Alena dan Alva berada dalam satu bus, sedangkan Karin di bus yang lainnya. Alena merasa senang bisa bersama Alva. Mereka duduk bersebelahan di bangku paling belakang, bersama dengan tiga teman lainnya. Setelah briefing singkat dan doa bersama, bus-bus itu meluncur meninggalkan sekolah.Di dalam bus, paniti

  • Truly In Love 1   26. Air Terjun

    Tiga bulan kemudian.Ujian akhir semester kedua sudah menanti Alena dan Alva. Tugas dan latihan soal, ulangan harian mendadak, jadwal ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan belajar untuk ujian akhir, seperti rutinitas yang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari selama tiga bulan terakhir ini.Alena merasa lama-lama ia menjadi terbiasa dengan kesibukan tersebut, hal yang tadinya terasa begitu berat di awal. Alva tidak pernah mengeluh atau terlihat kesulitan menjalani semuanya. Ia juga selalu mendampingi Alena, sehingga Alena merasa mendapat semangat tambahan untuk bisa menyamai Alva.Alena dan Alva sama-sama berhasil naik ke level berikutnya dalam kursus bahasa Jerman mereka. Mereka berniat untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute setelah Alena menyelesaikan level B1, rencananya dalam waktu enam bulan ke depan.Ujian akhir semester kedua bagi siswa kelas X dan XI SMA Scientia berlangsung se

  • Truly In Love 1   25. Cemburu

    Alena berjalan tergesa-gesa menuju ruang tunggu pemain. Tadi di lobby, ia melihat sekelompok gadis remaja masih berkerumun, seolah menunggu. Untunglah panitia tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam ruang tunggu, kecuali yang memakai tanda pengenal crew. Apakah mereka menunggu Alva? Alena merasa makin tidak nyaman. Ia bergegas masuk ke dalam ruang tunggu yang tadi ditempati tim Om Bimo.Komunitas musik klasik dari Kampus ISI itu sedang bergembira dan mengobrol satu sama lain, tentunya merayakan keberhasilan penampilan mereka malam ini. Alva berdiri dekat Om Bimo. Om Bimo sedang berbicara sambil memegang pundaknya, seperti sedang memberi selamat atau menyemangatinya.Alva langsung menoleh ke arahnya, ketika Alena berjalan masuk ruang tunggu itu. Alva menatapnya dengan penuh arti. Alena merasa ia mengerti maksud Alva, ia tersenyum dan mengangguk. Lalu ia duduk lagi di kursi yang tadi siang didudukinya, memberi kesempatan Alva dan ti

  • Truly In Love 1   24. Duet

    Alena mengikuti Luis berjalan menuju pintu masuk ruang konser bagi penonton. Di situ, sudah ramai penonton yang mengantri untuk masuk. Alena melihat banyak penonton dari kalangan anak muda dan remaja, mungkin sebagian besar adalah mahasiswa dan pelajar.Setelah menyerahkan tiket ke panitia, Alena dan Luis masuk ke dalam ruang konser. Ruangan itu sangat luas dan megah dengan langit-langit tinggi. Kursi-kursinya tersusun berundak ke atas seperti di bioskop.Alena mengikuti Luis berjalan ke barisan kursi di tengah, tidak terlalu dekat dengan panggung, juga tidak terlalu jauh. Luis sepertinya sudah memilihkan posisi yang nyaman untuk merekam. Di depan kursi mereka, terdapat ruang yang cukup luas untuk menaruh tripod.Alena duduk dan mulai men-setting kamera dan tripodnya. Luis duduk di sebelah kanan Alena. Luis masih berusaha mengajaknya mengobrol, ia berkomentar tentang ramainya penonton dan dekorasi panggung yang megah

  • Truly In Love 1   23. Konser

    Minggu-minggu berikutnya adalah saat yang sibuk bagi Alena dan Alva berdua. Alva terus mempersiapkan diri untuk konser musik klasik, yang akan berlangsung tiga minggu lagi. Selain berlatih di Kampus ISI bersama Om Bimo dan komunitas, ia juga sering berlatih sendiri di gudang alat musik, tentunya ditemani Alena jika sedang tidak ada jadwal ekstrakurikuler.Kesibukan di sekolah juga semakin bertambah, karena ujian tengah semester akan diadakan sekitar dua minggu setelah konser musik klasik. Alena dan Alva harus berusaha membagi waktu untuk belajar, mengerjakan tugas, mengikuti kelas ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan latihan musik.Alena merasa ia seperti sedang berlomba lari, dan nafasnya terengah-engah. Tapi ia merasa mendapatkan kekuatan lagi, setiap kali menatap wajah Alva. Ia teringat janjinya kepada Tante Clara, ia ingat nasihat Papa dan Mama, bahwa ia harus berjuang untuk meraih apa yang menjadi impiannya. Alva selalu berada di

  • Truly In Love 1   22. Malioboro

    Menjelang jam dua belas, Alena membantu Mama di dapur, menyiapkan makan siang. Papa mengajak Alva untuk belajar menyetir mobil, kebetulan tidak jauh dari rumah, ada lapangan kosong. Alva menyambut ajakan Papa dengan antusias. Katanya, ia memang sudah lama ingin belajar menyetir mobil.Sekitar satu jam kemudian, Papa dan Alva pulang, lalu mereka berempat menikmati makan siang bersama. Papa berkata, Alva bisa belajar menyetir mobil lagi dengannya, kapan pun ada waktu. Alena senang melihat Alva dan Papa sepertinya tambah akrab. Mereka masih membahas tentang pentas drama musikal kemarin."Kayaknya Papa benar deh... Lena jadi tambah pingin ambil jurusan teater...," kata Alena. Ia merasa setiap latihan dan kerja keras yang telah dilaluinya sebelum pentas menjadi sangat manis, setelah melihat keberhasilan pertunjukannya."Tuh benar kan, apa Papa bilang? Kamu punya bakat dan hati di teater," komentar Papa sambil tersenyum.

  • Truly In Love 1   21. Romance

    Alena kembali ke ruang ganti untuk berganti kostum dan menghapus make-up-nya terlebih dulu. Di dalam ruang ganti, masih ramai teman-teman yang saling memuji dan bercerita tentang pentas tadi.Kemudian, Sir Angga mengumpulkan semua pengisi acara di ruang transit, memuji penampilan mereka, dan berterima kasih untuk semua kerja keras mereka. Setelah itu, barulah mereka bubar dan meninggalkan aula.Papa, Mama, dan Alva sudah menunggu Alena di luar aula. Suasana aula sudah tidak ramai lagi, para orang tua dan siswa sudah beranjak pulang. Mereka bersama-sama turun ke lantai satu, dan berjalan menuju tempat parkir di halaman depan sekolah."Ayo, pada mau ke mana nih? Lena? Alva?" tanya Papa, begitu mereka semua sudah berada di dalam mobil.Alena dan Alva duduk berdua di belakang, mereka saling berpandangan."Ke mana ya, Pa? Lena lapar nih, tadi cuma makan sedikit...," jawab Alena."Kalau gitu, kita

  • Truly In Love 1   20. Drama

    Setelah libur akhir pekan berlalu, dan mereka kembali ke sekolah, dimulailah minggu yang terasa sibuk bagi Alena. Ia harus berlatih lebih intensif untuk pentas drama musikal, yang akan berlangsung hari Sabtu ini. Kursus bahasa Jerman juga sudah dimulai dua kali seminggu, dengan tiap pertemuan satu setengah jam. Belum lagi mulai banyak PR dan tugas lain dari guru-guru mereka, juga jadwal ekstrakurikuler Alena yang lainnya.Alena merasa lelah, tapi berusaha tidak mengeluh. Yang membuat dia merasa kuat, adalah karena Alva selalu mendampinginya. Alva selalu mengantar dan menjemputnya di kelas ekstrakurikuler. Mereka mengerjakan tugas dan PR bersama Karin di perpustakaan tiap ada waktu. Mereka juga berangkat dan pulang bersama, tiap kali kursus bahasa Jerman, dengan motor baru Alva yang dihadiahkan oleh Om Hanz.Hari Jumat sore, Alena dan Alva baru saja selesai kursus bahasa Jerman. Alva memutuskan tidak berangkat ke latihan komunitas musik klasi

DMCA.com Protection Status