Beranda / Young Adult / Truly In Love 1 / 3. Tempat Rahasia

Share

3. Tempat Rahasia

Penulis: Annabella Shizu
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-21 16:11:09

Alena seperti mendapatkan energi ekstra sepanjang sisa jam pelajaran. Ada sesuatu yang ditunggu-tunggunya, dan hanya dia dan Alva yang tahu. Alva tetap tidak banyak bicara di dalam kelas, tapi dia sudah mulai bicara dengan Lucky yang duduk di depannya, atau lebih tepatnya Lucky yang mengajaknya bicara. Sepertinya setelah pertandingan voli tadi, Alva mulai dapat berbaur dengan teman-teman yang lain.

Tapi ada satu hal yang tetap membuat Alena penasaran. Dia belum pernah melihat Alva tersenyum, apalagi tertawa. Wajahnya tetap saja dingin dengan sorot mata tajam. Hanya tatapan matanya yang kadang berubah menjadi lebih lembut, atau setidaknya begitu menurut Alena.

“Setidaknya ada kemajuan. Dia udah mulai ngobrol sama yang lain,” Alena berkata dalam hati.

*

Bel tanda pulang berbunyi. Mendadak, Alena merasa jantungnya mulai berdegup lebih kencang, seperti menantikan sesuatu yang sangat diharapkan. Ia mengemasi bukunya. Seperti biasa, Karin menghampiri mejanya.

“Kamu pulang ke rumah nggak, Len?” tanya Karin.

Ya, hari ini hari Jumat, artinya libur akhir pekan sudah tiba. Tapi...dia masih punya janji...

“Aku besok pagi aja pulangnya,” jawab Alena.

“Kamu nggak takut di kamar sendirian? Soalnya habis ini, aku langsung naik bus.’

“Iya, nggak apa-apa, Rin... Aku udah biasa kok sendirian, apa-apaan kamu?” kata Alena sambil tertawa.

Dalam hati, Alena merasa lega Karin akan pulang ke rumah, artinya dia tidak akan bertanya ke mana Alena pergi setelah ini, karena Karin tahu, tidak ada jadwal ekstrakurikuler lagi di hari Jumat. Alena belum siap bercerita ke Karin.

“Oh, ya udah kalo gitu, aku pulang ya... Jangan kangen sama aku...,” balas Karin sambil bergaya.

Alena tertawa lagi. “Sampai jumpa Minggu sore...”

Alena menoleh ke arah Alva. Cowok itu masih tetap duduk, sambil tangannya memegang pulpen, seperti menulis sesuatu di kertas.

“Ketemu di gudang nanti?” tanya Alena.

Alva mengangkat wajahnya, memberikan tatapan mata magisnya lagi. “Iya, aku tunggu.”

*

Alena merasa seperti melayang, saat ia setengah berlari pulang ke asrama. Ia buru-buru mandi dan berganti pakaian. Alena memakai blouse berwarna putih dan celana denim biru. Seperti biasa, ia hanya memakai bedak tipis. Tidak, ia tidak boleh kelihatan berdandan berlebihan. Ini bukan kencan. Rambutnya dibiarkan tergerai. Bibirnya diolesi lip balm berwarna pink, ya seperti dandanan biasanya kalau ia di kelas. Pokoknya tidak boleh berlebihan, Alena mengingatkan diri sendiri.

Alena berjalan menyusuri lorong menuju gudang alat musik. Kali ini, pintu gudang sedikit terbuka. Alva pasti sudah di dalam gudang. Alena mulai merasa gugup, sekaligus gembira. Ia membuka pintu perlahan.

Alva berdiri di dekat jendela yang menghadap ke belakang gudang. Ia menoleh waktu Alena berjalan masuk. Tatapan matanya... Ah, Alena tidak yakin apa arti tatapan itu, ia tidak mau menebak.

“Hai... Udah lama?”

“Nggak...”

Alva juga sudah berganti pakaian. Alena belum pernah melihat ia memakai pakaian lain, selain seragam sekolah selama ini. Karin ada benarnya juga, Alva memang kelihatan seperti seorang pangeran. Ia pantas memakai pakaian apapun. Padahal, ia hanya memakai T-shirt biasa berwarna biru dan celana training hitam.

“Kamu latihan biola terus... Apa kamu mau tampil di pertunjukan?” Alena bertanya.

Ia mengamati biola yang dipegang Alva. Biola tua yang sulit ditebak umurnya.

“Cuma hobi. Tapi kapan pun ada pertunjukan, aku siap,' jawab Alva singkat. Tapi matanya masih tetap menatap Alena.

“Besok kamu nggak di asrama?” giliran Alva yang bertanya. Ia pasti mendengar percakapan Alena dan Karin lagi sebelum pulang tadi.

Entah mengapa, Alena merasa hatinya berbunga-bunga, karena Alva ingat setiap kata-katanya. "Iya... Besok aku pulang ke rumah. Kalau kamu? Pulang nggak?”

Alva hanya menggelengkan kepala. Matanya mulai menatap keluar jendela lagi. Tiba-tiba Alena jadi penasaran.

“Kalau boleh tahu...kamu tinggal di mana?” tanya Alena.

Sejenak hening.

“Aku tinggal sama Opa Omaku di Magelang.”

“Oh… Magelang... Aku juga punya saudara di Magelang, ada Omku...”

“Rumah kamu di mana?” Alva balik bertanya, sambil memandang Alena.

“Di daerah Sleman. Agak naik ke arah Kaliurang...”

“Masih di Jogja. Kenapa kamu tinggal di asrama?”

“Papa yang mau... Kata Papa, biar aku belajar mandiri dan disiplin.”

Alena merasa senang bisa mengobrol dengan Alva, cowok itu ternyata memang tidak sedingin penampilannya. Alva sepertinya tidak suka basa-basi, bahkan dalam menanyakan hal-hal pribadi. Tapi Alena tidak keberatan.

Hening lagi.

“Kamu mau latihan lagu apa hari ini?” tanya Alena, sambil memandangi biola yang dipegang Alva.

Alva juga menunduk memandangi biolanya. “Nggak ada. Aku cuma pingin ngobrol sama kamu...”

Alena terpaku, ia yakin tidak salah dengar.

Alva mengangkat wajahnya dan menatap Alena lagi, mata mereka beradu. Alena mencoba tersenyum, walaupun jantungnya berdebar tidak karuan.

“Kamu boleh nanya apa aja kok... Kamu masih baru di sini, pasti masih penyesuaian...,” Alena mencoba menanggapi dengan tenang, walaupun kata-kata Alva tadi bisa saja diartikan lain. Apakah Alva bisa melihat wajahnya memerah?

Tiba-tiba, Alva menaruh biolanya ke dalam tas biola, yang diletakkannya di atas meja di samping jendela. Ia menutup tas itu.

“Eh... Kenapa?” Alena kebingungan.

“Ayo, kita pergi ke suatu tempat...,” ajak Alva, sambil berjalan ke arah pintu gudang. Tangannya menenteng tas biolanya.

“Ke mana?” Alena tambah penasaran.

“Ikuti aku.”

“Nggak keluar asrama kan? Kita nggak boleh keluar tanpa izin lho...”

“Tenang aja...” Alva memberikan tatapan mata magisnya lagi, membuat Alena terdiam.

Mereka berjalan ke arah gedung asrama putri. Apa Alva tidak salah, dia kan tidak boleh masuk ke asrama putri? Ternyata mereka berbelok, ke arah gedung tua di belakang kompleks sekolah. Gedung berlantai tiga itu adalah gedung sekolah yang lama, sebelum pindah ke gedung sekolah yang baru sekarang. Gedung tua itu sekarang dijadikan semacam mess untuk para tamu yang menginap: tamu yayasan, para orang tua yang ingin melihat anak-anaknya diwisuda pada saat kelulusan, atau para guru dan staff yang mungkin bekerja lembur. Tapi gedung itu belum pernah didatangi oleh Alena, salah satu alasannya, karena cerita-cerita aneh dari para senior tentang gedung tua itu.

Alva seperti sangat mengenal gedung itu. Ia mengambil jalan menyusuri lorong sepanjang sisi barat gedung itu, lalu tiba di depan tangga besi yang berputar menuju ke atas. Mereka berhenti di bawah tangga. Alena memandangi tangga itu, mencoba melihat ke atas.

Alva menaiki anak tangga pertama. Ia menoleh memandang Alena. Matanya bersinar. “Kamu percaya kan sama aku?” Lalu ia terus menaiki tangga itu.

Alena mengikuti dari belakang. Alena tidak tahu apa yang membuat dia mau mengikuti Alva. Tempat itu benar-benar asing baginya, tapi rasa ingin tahunya lebih besar. Alva terus menoleh ke belakang, membuat Alena merasa seolah-olah Alva ingin memastikan, kalau dia baik-baik saja.

Mereka terus menaiki tangga yang melingkar itu. Akhirnya, mereka tiba di bagian paling atas dari gedung itu. Rooftop itu luas dan kosong, kecuali di salah satu sudut, tampak beberapa pot tanaman besar, pertanda tempat itu masih ada yang merawat.

Alva berdiri di pinggir rooftop yang dibatasi oleh tembok setinggi pinggangnya. Alena berdiri di sampingnya. Pemandangan dari atas gedung itu menyuguhkan sawah dan pepohonan yang menghijau di kejauhan. Ada gedung dan pertokoan juga di sisi yang lain.

“Kok kamu bisa tahu tempat ini?” tanya Alena sambil tersenyum ke arah Alva. Wajahnya terasa segar karena terpaan angin di puncak gedung itu.

“Sebelum masuk asrama, aku sempat nginap satu malam di mess ini.”

“Oya? Sendiri?”

Alva mengangguk. “Karena bosan, malamnya aku jalan-jalan keliling gedung, ketemu tempat ini.”

“Kamu berani banget malam-malam jalan sendirian di sini...”

“Emangnya ada apa? Kamu takut?” Alva menolehkan wajahnya.

Alena tertawa. “Itu gara-gara cerita para senior, nakut-nakutin kami, waktu orientasi kelas sepuluh dulu...”

“Aku nggak percaya yang kayak gitu.”

“Iya, aku juga nggak percaya... Tapi tetap aja, aku nggak berani kalau sendirian ke sini.”

“Ini tempat rahasia kita. Janji ya, nggak cerita ke siapa-siapa...,” kata Alva sambil menatap Alena.

Alena tersenyum, hatinya merasa bergemuruh, mendengar cara Alva menyebut 'tempat rahasia kita'.

“Aku janji...”

Mereka terdiam, menikmati hembusan angin dan pemandangan dari atas gedung itu.

“Besok kamu di asrama aja?” tanya Alena.

“Iya.”

“Ngomong-ngomong, kamu sekamar sama siapa di asrama?”

“Theo, kelas Sebelas B…”

Alena tahu yang namanya Theo, cowok berwajah bulat, berkacamata, dan sepertinya pendiam juga.

Alva meletakkan tas biolanya di lantai semen, dan mengeluarkan biola lagi. Sekilas, Alena melihat ada beberapa lembar kertas bergambarkan notasi balok di dalam tas itu.

“Kamu nulis lagu?” tanya Alena ingin tahu.

Alva cepat-cepat menutup tasnya. “Nggak kok... Cuma coret-coret.” Alva memalingkan wajahnya, apa mungkin dia merasa malu?

“Kamu main alat musik apa? Maksud aku, selain gamelan,” giliran Alva yang bertanya. Ia mulai memegang biola pada posisi siap bermain.

“Aku punya keyboard di rumah. Kalau ikut ekskul gamelan, itu karena aku pingin belajar alat musik yang beda aja...” jawab Alena, sambil memandangi bagaimana Alva dan biolanya terlihat sangat serasi.

“Sini aku ajarin kamu biola.”

Perkataan Alva membuat Alena tertegun. Alva balas memandanginya.

“Beneran?” tanya Alena dengan suara pelan.

“Kalau kamu mau, aku ajarin.”

Alena setengah melompat karena kegirangan. Ia langsung memegang biola Alva tanpa sadar. Alva memberikan biola itu ke Alena. Alena meletakkan biola di bahu kirinya dan menjepit dengan rahangnya, sepertinya agak susah. Ia tertawa gugup.

Alva membenarkan letak biolanya, lalu memegang tangan kanan Alena yang menggenggam busur (alat penggesek biola), untuk mengarahkan posisi tangannya. Alena merasa jantungnya berdetak kencang. Posisi mereka berdekatan, dan Alva masih tetap memegang tangannya. Apakah Alva tidak sadar, kalau wajah Alena sudah mulai memerah? Alena tidak berani menatap mata Alva.

Alva mulai memberitahu Alena bagaimana cara menggesek biola, menggesek panjang dan pendek, lembut atau penuh tekanan. Kemudian ia mengajari kunci-kunci dasar. Alva jelas sangat menguasai alat musik itu. Sesekali ia memberikan contoh dengan memainkannya sendiri. Mereka berdua menikmati sore itu di atas rooftop.

Matahari mulai terbenam. Mereka harus segera turun, karena jam makan malam di asrama sudah dimulai, dan para penghuni asrama diharapkan sudah kembali ke asrama sebelum jam enam sore. Alva menemani Alena berjalan, sampai ke dekat gerbang samping gedung asrama putri.

“Makasih ya buat hari ini... Udah ngajarin aku biola tadi...,” kata Alena dengan nada riang.

Mereka sudah sampai di depan gerbang. Alena menoleh memandang Alva. Bibir Alva terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu.

“Aku ke dalam dulu ya... Daa...” Alena memberikan senyum manisnya.

Tiba-tiba Alva memanggilnya.

“Alena... Boleh aku minta nomor hape kamu?”

*

Alena menikmati makan malam dengan lahap. Ia baru sadar, tadi siang ia belum makan, karena terburu-buru ingin bertemu Alva. Ruang makan asrama agak kosong, karena di akhir pekan, pasti banyak penghuni asrama yang pulang ke rumah atau berkunjung ke keluarga yang terdekat. Biasanya Jumat malam sampai Minggu siang adalah waktu liburan bagi penghuni asrama.

Alena teringat Alva, yang akan menghabiskan akhir pekan di asrama saja. Kenapa Alva tidak pulang ke Magelang? Apakah karena jauh? Alena tidak berani bertanya tadi. Ia merasa ada beberapa hal yang Alva belum cukup terbuka, terutama tentang keluarganya. Lagipula mereka baru kenal beberapa hari.

Selesai makan, Alena naik ke kamarnya yang terletak di lantai tiga. Ada dua teman cewek yang sedang menonton TV di ruang rekreasi. Ia hanya menyapa mereka, tapi tidak bergabung. Ia langsung pergi ke arah kamar mandi. Alena mandi sambil bersenandung. Ia tahu benar apa yang membuatnya begitu gembira, walaupun masih malu mengakuinya.

Sehabis mandi dan memakai piyama, Alena naik ke tempat tidur, masih dengan rambut basah karena keramas. Rasanya ia tidak sabar mau membuka ponselnya. Tadi Alva meminta nomornya, apakah cowok itu akan mengirim chat malam ini?

Alena mengecek, ada beberapa chat yang masuk, tapi tidak ada nomor baru. Papa mengirim pesan, bahwa besok ia akan dijemput sekitar jam tujuh pagi. Alena menjawab chat dari Papa. Ada juga chat dari Karin, mengabarkan kalau ia sudah sampai di rumahnya di daerah Wonosari. Tapi belum ada pesan dari Alva.

Alena merebahkan badannya. Ia menatap langit-langit kamar. Kenapa sih, beberapa hari ini, selalu Alva yang memenuhi pikirannya? Alena punya teman-teman cowok yang lain, tapi tidak seperti ini rasanya. Ada sesuatu yang unik sekaligus menarik dari Alva. Alena mulai merasa mengantuk. Hari ini hari yang melelahkan, tapi sangat menyenangkan.

Tepat jam delapan malam, sebuah chat masuk di ponselnya. Nomor baru, foto profilnya juga tidak menunjukkan wajah, hanya foto pemandangan.  Jantung Alena mulai berdebar, apakah...

Alena membuka chat itu. Ternyata sebuah foto yang dikirim, foto bulan separuh. Alena buru-buru bangun dan membuka gorden kamarnya. Memang malam ini, bulan hanya tampak separuh di langit.

Ada tulisan yang menyusul. “Good night. Alva.”

Ingin rasanya Alena memekik saking senangnya. Ia buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Sambil tersenyum lebar, ia membalas chat itu.

“Good night, Alva... Thanks for today.”

Alena terlelap dalam mimpi indah malam itu.

Bab terkait

  • Truly In Love 1   4. Foto

    Pagi itu, Alena terbangun sekitar jam setengah enam. Ia mandi dengan santai dan berganti pakaian. Ia mengemas beberapa barang ke dalam tas ransel kecil untuk dibawa pulang. Sambil menyisir rambut panjangnya, Alena membuka chat di ponselnya. Jam enam. Ada chat dari Alva lagi!Sebuah foto, kali ini foto matahari yang baru terbit di kejauhan. Alena tersenyum. Cara yang unik untuk mengucapkan selamat pagi.Mendadak, Alena tersentak. Dia menyambar ranselnya dan buru-buru berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan setengah berlari juga. Dia tahu, dari mana Alva mengambil foto itu.Alena sampai di atas rooftop dengan sedikit terengah-engah. Ia masih mengatur nafasnya. Di ujung, ia melihat Alva memegang kamera DSLR, sedang membidik sesuatu di kejauhan."Kamu juga hobi motret?" Alena sengaja mengagetkan Alva.Usahanya berhasil, Alva tampaknya tidak menduga Alena sudah berada di situ. Alva menoleh. Rau

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   5. Prom Night

    Senin pagi, Alena dan Karin berjalan berdua ke ruang kelas XI A. Karin masih asyik bercerita tentang liburannya ke Air Terjun Sri Gethuk. Mereka sampai di bangku Alena. Alva sudah duduk di bangkunya. Seperti biasa, ia kelihatan asyik mencoret-coret di kertas.Karin langsung duduk di bangku di depan Alena, dan meneruskan ceritanya. "Padahal jaraknya nggak jauh. Masa kamu belum pernah sih, ke Sri Gethuk?" tanya Karin dengan nada tidak percaya."Ya kalau dari rumah kamu dekat, kalau aku kan agak jauh. Lagian, kamu bukannya ngajak-ngajak... Udah tahu kalau aku paling suka air terjun," Alena menjawab."Siapa suruh kamu nggak mau ikut pulang ke rumahku?" ledek Karin.Alena tertawa. Tiba-tiba, Sania, pemilik bangku di depan Alena, sudah ada di samping Karin. Ia pun bergabung dalam obrolan. Sekilas, Alena menoleh ke arah Alva, cowok itu tetap asyik dengan kesibukannya sendiri.Bel tanda pelajaran perta

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   6. Perhatian

    Pagi itu, hujan lebat sudah turun dari subuh. Alena dan Karin masing-masing membawa payung ke sekolah. Tapi angin kencang dan hujan yang sangat deras membuat pakaian mereka tetap basah. Sampai di sekolah, Alena dan Karin mampir dulu ke toilet wanita untuk mengeringkan diri. Di dalam toilet sudah ada beberapa teman yang lain.Alena menunggu di depan salah satu pintu toilet. Pintu terbuka, dan... Farah keluar dari toilet. Sepertinya mereka sama-sama kaget berpapasan seperti itu."Hai...Farah..." Alena cepat-cepat menguasai diri. Ia mencoba tersenyum.Farah hanya tersenyum tipis, dan berlalu tanpa bicara. Alena berusaha bersikap sewajar mungkin.Beberapa menit kemudian, Alena dan Karin masuk ke kelas. Entah mengapa, pandangan Alena langsung tertuju lagi ke Farah. Ia merasa, Farah juga sedang memandangnya dengan tatapan mata yang aneh. Alena buru-buru berjalan ke bangkunya. Alva mengangkat wajahnya dan menatap Ale

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   7. Salah

    Alena selalu suka hari Rabu. Mungkin karena hari ini ada pelajaran seni musik dan ekstrakurikuler teater. Setelah beristirahat tadi malam, dia sudah tidak merasa pusing, dan badannya juga tidak hangat lagi.Sampai di kelas, Alva tidak kelihatan. Mungkin dia agak telat, pikir Alena.Sekitar satu menit sebelum bel masuk berbunyi, Alva melangkah masuk kelas, dan menyusul tepat di belakangnya... Farah. Alena merasa jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia berpura-pura tidak melihat, dan mengajak Sania yang duduk di depannya mengobrol. Ia juga tidak menoleh waktu Alva duduk di sampingnya.Pelajaran terasa berjalan sangat lambat, bahkan pelajaran seni musik pun tidak bisa menghiburnya. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri. Sebaiknya tidak usah menduga macam-macam, ia berusaha menghibur dirinya sendiri.Jam pelajaran terakhir sudah usai. Alena mengemasi tasnya. Ia masih belum berbicara dengan Alva sepanjang hari ini

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   8. Keluarga

    Jumat pagi adalah saatnya olahraga bagi kelas Alena. Hari ini jadwal olahraga bebas. Alena dan Karin sudah membawa raket badminton mereka masing-masing. Mata Alena dari tadi mencari-cari Alva.Itu dia! Ternyata Alva sedang duduk di bangku taman, dekat lapangan voli. Sepertinya dia sedang asyik dengan pikirannya sendiri. Alena berjalan mendekatinya. Karin sudah asyik bermain badminton dengan teman-teman yang lain. Alva sudah menoleh lebih dulu sebelum Alena menyapa."Ayo, ikut main badminton...," ajak Alena. Ia duduk di samping Alva di bangku."Aku nggak punya raket..." Suara Alva terdengar pelan."Kenapa? Kamu kayaknya kurang semangat hari ini..."Alva memandangnya. "Karena ini hari Jumat. Besok kamu pulang ke rumah. Aku sendirian lagi."Alena tidak menyangka Alva akan berkata seperti itu. Sepertinya ini saat yang tepat."Kamu nggak perlu sendirian... Kamu mau ng

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   9. Janji

    Om Andre tinggal sendiri di sebuah rumah, yang menurut Alena sangat unik. Om Andre seorang arsitek, jadi dia sendiri yang mendesain rumahnya. Rumahnya berbentuk seperti joglo, rumah adat Jawa, dengan bahan sebagian besar dari kayu. Halaman depannya luas dan terdapat pendopo, di sinilah ia biasanya menerima tamu. Rumahnya sendiri memanjang ke belakang, dan terdapat banyak kamar.Om Andre menyambut mereka dengan ceria. Om Andre adalah adik Papa yang bungsu. Alena selalu tidak mengerti kenapa Om Andre belum menikah, padahal ia sudah mapan, dan menurut Alena, Om Andre juga sangat baik dan menarik.Om Andre mengajak mereka duduk-duduk di taman belakang rumah, di situ ada kolam ikan yang cukup besar. Alena dan Alva asyik memberi makan ikan."Opa dan Oma kamu baik banget ya... Masakan Oma juga enak, aku tadi sampai makan banyak banget, semuanya enak sih...," komentar Alena sambil tertawa.Alva kelihatan ceria, matany

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   10. Hati ke Hati

    Semua siswa kelas XI SMA Scientia semakin bertambah sibuk di minggu-minggu menjelang pentas seni. Ada yang sibuk berlatih untuk tampil saat pentas seni nanti, ada yang ribut memikirkan kostum, ada pula yang masih bingung mencari pasangan seperti Karin. Lucky, yang diincar Karin untuk jadi pasangan, sepertinya tidak menyadari, walaupun Karin sudah berkali-kali memberi isyarat.Alena sibuk dengan latihan gamelan, yang akan tampil di hari pertama pentas seni. Begitu juga Alva, yang terus berlatih dengan permainan biolanya. Beberapa kali, Alva berlatih dengan Sir Johan, guru seni musik mereka, setelah jam pulang sekolah.Sementara itu, ujian akhir semester pertama juga sudah dekat. Mereka akan menjalani ujian satu minggu sebelum pentas seni. Dan itu berarti lebih banyak latihan soal, ulangan harian mendadak, belajar, dan belajar bagi semua siswa.Alena merasa jadwal sekolah semakin padat. Dia lebih jarang bisa menghabiskan sore b

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   11. Red Rose

    Hari Jumat, hari pertama pentas seni. Kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Pentas seni adalah acara tahunan bagi seluruh siswa di SMA Scientia, sedangkan Prom Night hanya khusus untuk siswa kelas XI.Acara pentas seni diselenggarakan di aula utama sekolah, yang terletak di lantai lima, lantai paling atas. Seluruh lantai lima khusus dibangun untuk aula dan ruangan penunjangnya, seperti ruang ganti, ruang latihan, ruang transit, gudang peralatan, ruang sound system, dan sebagainya.Hari ini, Alena dan Karin akan tampil. Acara dimulai jam delapan pagi, tapi dari jam lima pagi, mereka sudah bersiap-siap. Bersama teman-teman yang lain, mereka berganti kostum dan berdandan di ruang ganti.Alena memakai pakaian kebaya berwarna merah dan rok kain yang sudah disiapkan dari sekolah, sedangkan Karin memakai pakaian penari berwarna-warni. Ada guru pembimbing yang membantu mereka, tapi karena jumlah siswa yang banyak, tetap saja

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21

Bab terbaru

  • Truly In Love 1   28. Kunci Hati

    Semua orang di puncak bukit itu asyik mengabadikan momen matahari terbit. Alva perlahan melepaskan pelukannya, kemudian mereka berdua juga berfoto, dengan latar pemandangan gunung-gunung berselimutkan awan dan bola emas matahari. Mereka berdua duduk mengagumi pemandangan yang sangat luar biasa dari puncak bukit. Hawa dingin menusuk mulai terasa berkurang, karena kehangatan dari sinar matahari.Setelah kurang lebih satu jam di atas Bukit Sikunir, saatnya untuk melanjutkan perjalanan lagi. Alena menoleh ke tempat Karin duduk tadi. Ia tampak sudah bisa berdiri, dengan dibantu Lucky. Alena dan Alva menghampirinya. Karin tersenyum malu-malu pada mereka."Kakiku udah baikan kok, udah bisa gerak lagi nih...," katanya, sambil menggerak-gerakkan kaki kirinya."Bisa jalan nggak?" tanya Alena."Bisa kok..." Karin berjalan pelan-pelan. "Ayo kita turun..."Lucky membantu Karin berjalan perlahan-lahan ke tan

  • Truly In Love 1   27. Sunrise

    Hari Kamis pagi, seluruh peserta karya wisata kelas XI IPA berkumpul di halaman depan sekolah. Jumlah peserta sekitar 150 siswa dari tiga kelas. Sudah ada tiga bus wisata besar yang menanti di depan gerbang sekolah. Tentunya mereka tetap didampingi oleh guru-guru mereka, ada empat guru pria dan dua guru wanita yang ikut dalam karya wisata tersebut. Sekolah tidak menggunakan jasa event organizer atau pemandu wisata, para siswa sendirilah yang menjadi panitia. Tujuannya untuk melatih kemandirian dan kedisiplinan siswa.Sekitar jam enam, seluruh peserta sudah lengkap didata. Kemudian mereka dibagi ke dalam tiga bus, Alena dan Alva berada dalam satu bus, sedangkan Karin di bus yang lainnya. Alena merasa senang bisa bersama Alva. Mereka duduk bersebelahan di bangku paling belakang, bersama dengan tiga teman lainnya. Setelah briefing singkat dan doa bersama, bus-bus itu meluncur meninggalkan sekolah.Di dalam bus, paniti

  • Truly In Love 1   26. Air Terjun

    Tiga bulan kemudian.Ujian akhir semester kedua sudah menanti Alena dan Alva. Tugas dan latihan soal, ulangan harian mendadak, jadwal ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan belajar untuk ujian akhir, seperti rutinitas yang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari selama tiga bulan terakhir ini.Alena merasa lama-lama ia menjadi terbiasa dengan kesibukan tersebut, hal yang tadinya terasa begitu berat di awal. Alva tidak pernah mengeluh atau terlihat kesulitan menjalani semuanya. Ia juga selalu mendampingi Alena, sehingga Alena merasa mendapat semangat tambahan untuk bisa menyamai Alva.Alena dan Alva sama-sama berhasil naik ke level berikutnya dalam kursus bahasa Jerman mereka. Mereka berniat untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute setelah Alena menyelesaikan level B1, rencananya dalam waktu enam bulan ke depan.Ujian akhir semester kedua bagi siswa kelas X dan XI SMA Scientia berlangsung se

  • Truly In Love 1   25. Cemburu

    Alena berjalan tergesa-gesa menuju ruang tunggu pemain. Tadi di lobby, ia melihat sekelompok gadis remaja masih berkerumun, seolah menunggu. Untunglah panitia tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam ruang tunggu, kecuali yang memakai tanda pengenal crew. Apakah mereka menunggu Alva? Alena merasa makin tidak nyaman. Ia bergegas masuk ke dalam ruang tunggu yang tadi ditempati tim Om Bimo.Komunitas musik klasik dari Kampus ISI itu sedang bergembira dan mengobrol satu sama lain, tentunya merayakan keberhasilan penampilan mereka malam ini. Alva berdiri dekat Om Bimo. Om Bimo sedang berbicara sambil memegang pundaknya, seperti sedang memberi selamat atau menyemangatinya.Alva langsung menoleh ke arahnya, ketika Alena berjalan masuk ruang tunggu itu. Alva menatapnya dengan penuh arti. Alena merasa ia mengerti maksud Alva, ia tersenyum dan mengangguk. Lalu ia duduk lagi di kursi yang tadi siang didudukinya, memberi kesempatan Alva dan ti

  • Truly In Love 1   24. Duet

    Alena mengikuti Luis berjalan menuju pintu masuk ruang konser bagi penonton. Di situ, sudah ramai penonton yang mengantri untuk masuk. Alena melihat banyak penonton dari kalangan anak muda dan remaja, mungkin sebagian besar adalah mahasiswa dan pelajar.Setelah menyerahkan tiket ke panitia, Alena dan Luis masuk ke dalam ruang konser. Ruangan itu sangat luas dan megah dengan langit-langit tinggi. Kursi-kursinya tersusun berundak ke atas seperti di bioskop.Alena mengikuti Luis berjalan ke barisan kursi di tengah, tidak terlalu dekat dengan panggung, juga tidak terlalu jauh. Luis sepertinya sudah memilihkan posisi yang nyaman untuk merekam. Di depan kursi mereka, terdapat ruang yang cukup luas untuk menaruh tripod.Alena duduk dan mulai men-setting kamera dan tripodnya. Luis duduk di sebelah kanan Alena. Luis masih berusaha mengajaknya mengobrol, ia berkomentar tentang ramainya penonton dan dekorasi panggung yang megah

  • Truly In Love 1   23. Konser

    Minggu-minggu berikutnya adalah saat yang sibuk bagi Alena dan Alva berdua. Alva terus mempersiapkan diri untuk konser musik klasik, yang akan berlangsung tiga minggu lagi. Selain berlatih di Kampus ISI bersama Om Bimo dan komunitas, ia juga sering berlatih sendiri di gudang alat musik, tentunya ditemani Alena jika sedang tidak ada jadwal ekstrakurikuler.Kesibukan di sekolah juga semakin bertambah, karena ujian tengah semester akan diadakan sekitar dua minggu setelah konser musik klasik. Alena dan Alva harus berusaha membagi waktu untuk belajar, mengerjakan tugas, mengikuti kelas ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan latihan musik.Alena merasa ia seperti sedang berlomba lari, dan nafasnya terengah-engah. Tapi ia merasa mendapatkan kekuatan lagi, setiap kali menatap wajah Alva. Ia teringat janjinya kepada Tante Clara, ia ingat nasihat Papa dan Mama, bahwa ia harus berjuang untuk meraih apa yang menjadi impiannya. Alva selalu berada di

  • Truly In Love 1   22. Malioboro

    Menjelang jam dua belas, Alena membantu Mama di dapur, menyiapkan makan siang. Papa mengajak Alva untuk belajar menyetir mobil, kebetulan tidak jauh dari rumah, ada lapangan kosong. Alva menyambut ajakan Papa dengan antusias. Katanya, ia memang sudah lama ingin belajar menyetir mobil.Sekitar satu jam kemudian, Papa dan Alva pulang, lalu mereka berempat menikmati makan siang bersama. Papa berkata, Alva bisa belajar menyetir mobil lagi dengannya, kapan pun ada waktu. Alena senang melihat Alva dan Papa sepertinya tambah akrab. Mereka masih membahas tentang pentas drama musikal kemarin."Kayaknya Papa benar deh... Lena jadi tambah pingin ambil jurusan teater...," kata Alena. Ia merasa setiap latihan dan kerja keras yang telah dilaluinya sebelum pentas menjadi sangat manis, setelah melihat keberhasilan pertunjukannya."Tuh benar kan, apa Papa bilang? Kamu punya bakat dan hati di teater," komentar Papa sambil tersenyum.

  • Truly In Love 1   21. Romance

    Alena kembali ke ruang ganti untuk berganti kostum dan menghapus make-up-nya terlebih dulu. Di dalam ruang ganti, masih ramai teman-teman yang saling memuji dan bercerita tentang pentas tadi.Kemudian, Sir Angga mengumpulkan semua pengisi acara di ruang transit, memuji penampilan mereka, dan berterima kasih untuk semua kerja keras mereka. Setelah itu, barulah mereka bubar dan meninggalkan aula.Papa, Mama, dan Alva sudah menunggu Alena di luar aula. Suasana aula sudah tidak ramai lagi, para orang tua dan siswa sudah beranjak pulang. Mereka bersama-sama turun ke lantai satu, dan berjalan menuju tempat parkir di halaman depan sekolah."Ayo, pada mau ke mana nih? Lena? Alva?" tanya Papa, begitu mereka semua sudah berada di dalam mobil.Alena dan Alva duduk berdua di belakang, mereka saling berpandangan."Ke mana ya, Pa? Lena lapar nih, tadi cuma makan sedikit...," jawab Alena."Kalau gitu, kita

  • Truly In Love 1   20. Drama

    Setelah libur akhir pekan berlalu, dan mereka kembali ke sekolah, dimulailah minggu yang terasa sibuk bagi Alena. Ia harus berlatih lebih intensif untuk pentas drama musikal, yang akan berlangsung hari Sabtu ini. Kursus bahasa Jerman juga sudah dimulai dua kali seminggu, dengan tiap pertemuan satu setengah jam. Belum lagi mulai banyak PR dan tugas lain dari guru-guru mereka, juga jadwal ekstrakurikuler Alena yang lainnya.Alena merasa lelah, tapi berusaha tidak mengeluh. Yang membuat dia merasa kuat, adalah karena Alva selalu mendampinginya. Alva selalu mengantar dan menjemputnya di kelas ekstrakurikuler. Mereka mengerjakan tugas dan PR bersama Karin di perpustakaan tiap ada waktu. Mereka juga berangkat dan pulang bersama, tiap kali kursus bahasa Jerman, dengan motor baru Alva yang dihadiahkan oleh Om Hanz.Hari Jumat sore, Alena dan Alva baru saja selesai kursus bahasa Jerman. Alva memutuskan tidak berangkat ke latihan komunitas musik klasi

DMCA.com Protection Status