Share

2. Chemistry

last update Last Updated: 2021-03-21 16:09:58

Pelajaran pertama Jumat pagi itu adalah olahraga. Alena mengikat rambutnya tinggi ke atas, supaya tidak berantakan selama berolahraga. Ia dan Karin bersama-sama berjalan keluar dari ruang ganti putri menuju ke lapangan.

Lapangan yang luas itu sudah penuh dengan teman-teman sekelas mereka, ada yang berdiri mengelompok di pinggir, ada yang sudah mulai memainkan bola basket, ada juga yang hanya duduk-duduk.

“Aduh...,” Alena mengaduh, karena Karin tiba-tiba menyikut tulang rusuk sebelah kirinya. “Ada apa sih, Rin?” Alena menegur dengan nada kesal.

“Tuh, si Pangeran Putih lagi lihatin kamu...,” bisik Karin sambil tersenyum, ia mengedikkan kepalanya ke arah kanan Alena.

Alena menoleh ke kanan, ke arah bangku-bangku semen yang berundak seperti anak tangga di pinggir lapangan. Alva duduk sendirian di bangku kedua dari bawah. Matanya seperti biasa menatap tajam...persis ke arah Alena! Wajahnya tetap dingin, tidak tersenyum.

Alena secara refleks menolehkan wajahnya kembali karena malu. Tapi sejurus kemudian, ia balas memandang Alva dan tersenyum tipis. Ya, tidak mungkin ia tidak mengacuhkan cowok itu. Bukankah Alva sudah bersikap baik kepadanya kemarin?

Alva tidak membalas senyumnya, tapi Alena merasa sorot matanya melembut. Atau setidaknya seperti itu harapan Alena.

“Apa maksudnya Pangeran Putih?” tanya Alena setengah berbisik juga kepada Karin. Ia sekarang mengalihkan pandangannya ke tengah lapangan, karena Sir Deni, guru olahraga mereka, sudah berdiri di tengah lapangan dan memberi isyarat supaya para siswa berkumpul.

“Alva itu artinya putih... Cocok kan sama orangnya?” kata Karin, ia tersenyum jenaka.

Alena hanya menghela nafas. Temannya yang satu ini memang punya bakat untuk usil.

Alena sengaja berjalan maju agak ke tengah, berbaur dengan teman-teman yang lain. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Entahlah, apakah Alva ada di belakangnya atau tidak, ia hanya masih merasa gugup kalau berada di dekat cowok itu.

Sir Deni membagi kelompok untuk bermain voli, putra dan putri dipisah. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk mengumpulkan angka. Kelompok yang lebih dulu meraih angka sepuluh dianggap menang, dan akan maju ke babak selanjutnya.

Para siswa mulai gaduh setelah pembagian kelompok. Ada empat kelompok putra dan empat kelompok putri yang akan saling bertanding. Alena dan Karin tidak sekelompok karena absensi mereka berjauhan. Mereka bergabung dengan kelompok masing-masing. Alena tidak terlalu jago bermain voli, tapi setidaknya ia bisa memukul dan menangkis.

Permainan pun dimulai. Lapangan berubah menjadi hiruk-pikuk karena sorakan dan teriakan para siswa. Alena menikmati permainan, ia berlari ke sana kemari. Tim Alena dan Karin harus saling berhadapan. Karin lumayan jago bermain voli. Ia menjadi kapten timnya.

Dari seberang lapangan, Karin masih sempat mengolok Alena dengan menjulurkan lidahnya. Alena tertawa melihat tingkah Karin. Tim Alena akhirnya kalah tipis terhadap tim Karin, 8-10. Tim Karin yang akan maju ke babak berikutnya, melawan tim putri yang satu lagi.

Alena mencari tempat duduk di bangku yang kosong, sambil mengelap keringat dengan handuk kecil yang dibawanya.

“Sini, Len...,” ternyata Farah yang memanggilnya. Mereka tadi satu tim.

Alena mengambil tempat duduk di samping Farah. Nafasnya masih sedikit terengah.

“Kamu dukung siapa?” tanya Farah, sambil matanya tertuju ke lapangan.

Alena melihat tim Karin sedang bersiap-siap untuk pertandingan akhir.

“Karin dong...,” jawab Alena sambil tertawa.

“Bukan... Maksud aku, tim cowok...,” kata Farah sambil menunjuk ke arah lapangan lain, tempat tim putra sedang bertanding. Mereka juga sedang menjalani pertandingan akhir.

Alena mengarahkan pandangannya ke lapangan sebelah. Dari tadi ia tidak tahu hasil pertandingan tim putra, tentu saja karena ia sibuk dengan pertandingannya sendiri.

Ternyata Alva masuk di salah satu tim yang memperebutkan hasil akhir. Sosoknya yang tinggi tampak lumayan menonjol di lapangan. Ia bermain dengan sangat lincah.

“Hebat lho, anak baru itu...,” kata Farah memuji.

Alena tahu yang dimaksud Farah adalah Alva. Kebetulan tim Alva berhadapan dengan tim Norman, ketua kelas mereka, sekaligus cowok yang paling atletis di kelas mereka, karena Norman juga tergabung dalam tim inti bola voli putra di sekolah mereka.

Alena bisa melihat Alva sangat menikmati permainan. Ia meloncat, memukul bola, tapi hampir tidak berteriak atau berseru seperti yang lainnya. Sejenak, kesan dingin yang dimilikinya seperti hilang di atas lapangan.

Kedua tim sama-sama tangguh, dari tadi saling kejar-mengejar angka. Norman terus berteriak memberi instruksi pada anggota timnya. Tentu saja dia tidak mau kalah, karena mempertaruhkan nama baiknya di tim bola voli putra. Angkanya sudah 9-9, tinggal satu angka penentuan.

Tiba-tiba ada yang memberi umpan bola tinggi ke depan net. Alva meloncat tinggi, dan...smash! Bola menukik tajam, menghujam area permainan lawan dengan cepat, tanpa ada yang sanggup menangkisnya lagi. Norman tertunduk lesu. Timnya kalah.

“Yeeesss...!!!” Farah berteriak kegirangan.

Beberapa teman cewek yang lain juga tampak bersorak-sorak. Sepertinya, lebih banyak yang tertarik menonton pertandingan tim putra daripada tim putri.

Alena hanya memperhatikan sambil tersenyum. Ia baru sadar, kalau dari tadi, ia juga tidak menonton permainan tim Karin.

Karin dan teman-teman masih bertanding. Akhirnya permainan dimenangkan tim Karin. Tim putri yang menang sedang berkumpul di tengah lapangan, sambil tertawa dan mengobrol.

Alena cepat-cepat turun menemui Karin. "Cie... Kaptenku menang...,” ledek Alena.

Karin tertawa. “Pangeran Putih juga menang tuh...” Karin menunjuk ke arah Alva, yang tampaknya masih mengobrol dengan teman cowok yang lain.

Alena tidak menanggapi gurauan Karin, walaupun dalam hati, ia ingin mengucapkan selamat juga kepada Alva.

Sir Deni menutup pelajaran olahraga hari itu dengan informasi, bahwa Jumat depan adalah jadwal olahraga bebas, artinya mereka boleh membawa alat olahraga sendiri dan bermain bebas. Setelah itu, mereka dibubarkan untuk beristirahat.

“Ke kantin nggak?” tanya Karin. Ia masih bermandi keringat, mukanya merah.

“Ayo... Aku mau beli minum yang dingin, haus banget,” Alena mengajak.

Kantin penuh dengan teman-teman sekelas mereka. Banyak yang tampaknya masih membahas pertandingan voli tadi dengan seru. Alena dan Karin duduk di bangku panjang, berbaur dengan teman cewek yang lain.

“Habis ini, masuk lab kimia lagi, aduh....,” Karin tiba-tiba mengeluh.

“Kenapa emangnya?” Alena memandang Karin yang tampak gelisah.

“Kamu nggak tahu? Kemarin, Lala yang kelas Sebelas C cerita. Nanti kita dibagi kelompok berdua-dua, terus disuruh praktek langsung. Kamu kan tahu, aku kimianya gimana...” Wajah Karin tampak lucu kalau memberengut. “Semoga aku satu kelompok sama kamu ya, Len...”

“Tergantung pembagian kelompok berdasarkan apa. Absen kita jauh sih...,” kata Alena, sambil menyedot minumannya.

Tuntutan pelajaran di SMA Scientia memang sangat tinggi, para siswa dituntut untuk selalu siap menghadapi ujian tulis atau praktek kapan pun. Hal inilah yang menjadi salah satu keunggulan sekolah tersebut, dan ini juga yang membuat orang tua Alena memilih menyekolahkannya di sekolah ini. Papa yang menghendaki Alena tinggal di asrama sekolah juga, walaupun sebenarnya, siswa yang bersekolah di SMA Scientia tidak diharuskan tinggal di asrama.

“Supaya kamu belajar mandiri, disiplin, dan lebih tahan banting. Papa tahu kamu pasti bisa, karena kamu udah terbiasa mandiri.” Alena teringat perkataan Papa, waktu mendaftarkan dirinya ke asrama.

Terlahir sebagai anak bungsu tidak membuat Alena jadi manja, karena Papa selalu mendidik dia dan Kak Evan, kakak laki-lakinya, dengan disiplin. Ini mungkin pengaruh dari Opa yang dulu adalah seorang tentara. Mendadak, Alena jadi rindu keluarganya. Besok adalah akhir pekan. Alena tidak sabar menunggu dijemput Papa.

Setelah setengah jam waktu istirahat berlalu, para siswa memulai lagi pelajaran, kali ini mereka masuk ke laboratorium Kimia. Karin memang benar, mereka akan dibagi kelompok berdua-dua.

Miss Francis, guru Kimia mereka yang blasteran Perancis, sudah berdiri di depan ruang laboratorium, dengan daftar nama di tangannya. Wajahnya yang selalu serius membuatnya ditakuti sebagian besar siswa, dan dijuluki guru 'killer'. Semuanya hening menunggu pembagian kelompok.

“Kelompok satu. Alena, Alva, di depan sini,” suara Miss Francis mengagetkan Alena. Dia satu kelompok dengan Alva?

Alva berjalan dengan cepat ke tempat duduk yang ditunjukkan Miss Francis. Alena bisa merasakan cubitan Karin di tangannya, sebelum dia berjalan ke depan juga. Ia harus duduk berhadap-hadapan dengan Alva.

“Mimpi apa sih aku hari ini?” Alena mengeluh dalam hati, walaupun dia sebenarnya tahu, Alva tidaklah sedingin penampilannya.

Alena duduk di depan Alva. Tapi, ia tidak berani menatap mata Alva secara langsung. Ia malah menyibukkan diri dengan menyiapkan tabung reaksi dan peralatan yang dibutuhkan. Miss Francis terus membagi kelompok sampai selesai. Setelah itu, sang guru memberi instruksi apa yang harus dikerjakan.

Sekilas, Alena melihat Alva membalik-balik halaman buku, membaca sesuatu. "Alva baru masuk hari kedua, pastilah dia belum tahu apa yang harus dilakukan,” pikir Alena.

Alena membuka buku catatannya, dan perlahan menyodorkannya ke depan Alva." Ini...,” kata Alena dengan suara pelan.

Alva mencermati catatan Alena. Ia mengangguk-angguk, lalu mengangkat wajahnya. Alena mencoba bersikap tenang, walaupun jantungnya berdebar-debar. Tatapan mata Alva memang punya daya magis.

Setelah Miss Francis selesai memberi instruksi, semua siswa mulai sibuk. Alena dan Alva bekerja sama dalam diam. Alva menyiapkan alat dan bahan, sedangkan Alena yang mencampur larutan zat kimia. Alena juga diam-diam heran, bagaimana mereka berdua seperti saling mengetahui apa yang dibutuhkan.

Setelah sekian menit berlalu, titrasi mereka berhasil, cairan yang dihasilkan berwarna merah muda seperti yang diharuskan. Alena tersenyum puas melihat hasil pekerjaan mereka. Tetapi, Alva tetap saja tidak tersenyum, ia hanya memandang Alena.

“Udah selesai...,” kata Alena setengah berbisik. Alva masih tidak bergeming.

Akhirnya, Alena mengangkat tangannya sebagai tanda kelompok mereka sudah selesai. Ada beberapa kelompok lain yang juga sudah selesai. Miss Francis berkeliling memeriksa. Kelompok yang sudah selesai diperbolehkan kembali ke ruang kelas terlebih dulu, walaupun jam praktek Kimia masih menyisakan sekitar 20 menit.

Alena dan Alva berjalan berdampingan menuju kelas.

“Nanti kamu ada ekskul?” tiba-tiba Alva membuka pembicaraan.

“Mmm... Nggak ada...,” jawab Alena. Ia mendekap bukunya semakin erat ke dada.

“Kamu...mau temanin aku latihan biola?”

Pertanyaan itu benar-benar membuat Alena tertegun, langkahnya terhenti. Alva juga menghentikan langkahnya.

“Eh... Kamu masih latihan biola?” Respon yang bodoh menurut Alena.

Alena melanjutkan berjalan untuk menutupi kegugupannya. “Boleh... Jam berapa?” sambungnya lagi.

“Habis pelajaran terakhir.”

Alva agak menundukkan kepalanya memandangi lantai. Sekilas, Alena seperti menangkap kesan gugup juga pada dirinya. Tapi... Masa iya? Kenapa Alva gugup?

“Oke... Tapi, nanti aku pulang bentar ke asrama buat mandi ya... Tadi olahraga benar-benar bikin keringatan, nggak enak rasanya...,” Alena beralasan.

“Oke. Aku juga mau mandi kalau gitu.”

Alena tertawa mendengar jawaban Alva. Entah kenapa dia tertawa, tapi jawaban Alva terdengar begitu polos.

“Kamu juga jago main voli ternyata...” Alena teringat pertandingan tadi pagi. “Baru kali ini Norman kalah.”

Alva menggelengkan kepalanya. “Bukan aku yang kalahkan dia. Voli itu permainan tim, bukan satu orang." Jawaban yang sangat bijak menurut Alena.

“Iya... Kamu benar. Tapi, permainan kamu emang bagus kok...”

Mereka terus berjalan menuju ruang kelas.

Related chapters

  • Truly In Love 1   3. Tempat Rahasia

    Alena seperti mendapatkan energi ekstra sepanjang sisa jam pelajaran. Ada sesuatu yang ditunggu-tunggunya, dan hanya dia dan Alva yang tahu. Alva tetap tidak banyak bicara di dalam kelas, tapi dia sudah mulai bicara dengan Lucky yang duduk di depannya, atau lebih tepatnya Lucky yang mengajaknya bicara. Sepertinya setelah pertandingan voli tadi, Alva mulai dapat berbaur dengan teman-teman yang lain.Tapi ada satu hal yang tetap membuat Alena penasaran. Dia belum pernah melihat Alva tersenyum, apalagi tertawa. Wajahnya tetap saja dingin dengan sorot mata tajam. Hanya tatapan matanya yang kadang berubah menjadi lebih lembut, atau setidaknya begitu menurut Alena.“Setidaknya ada kemajuan. Dia udah mulai ngobrol sama yang lain,” Alena berkata dalam hati.*Bel tanda pulang berbunyi. Mendadak, Alena merasa jantungnya mulai berdegup lebih kencang, seperti menantikan sesuatu yang sang

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   4. Foto

    Pagi itu, Alena terbangun sekitar jam setengah enam. Ia mandi dengan santai dan berganti pakaian. Ia mengemas beberapa barang ke dalam tas ransel kecil untuk dibawa pulang. Sambil menyisir rambut panjangnya, Alena membuka chat di ponselnya. Jam enam. Ada chat dari Alva lagi!Sebuah foto, kali ini foto matahari yang baru terbit di kejauhan. Alena tersenyum. Cara yang unik untuk mengucapkan selamat pagi.Mendadak, Alena tersentak. Dia menyambar ranselnya dan buru-buru berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan setengah berlari juga. Dia tahu, dari mana Alva mengambil foto itu.Alena sampai di atas rooftop dengan sedikit terengah-engah. Ia masih mengatur nafasnya. Di ujung, ia melihat Alva memegang kamera DSLR, sedang membidik sesuatu di kejauhan."Kamu juga hobi motret?" Alena sengaja mengagetkan Alva.Usahanya berhasil, Alva tampaknya tidak menduga Alena sudah berada di situ. Alva menoleh. Rau

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   5. Prom Night

    Senin pagi, Alena dan Karin berjalan berdua ke ruang kelas XI A. Karin masih asyik bercerita tentang liburannya ke Air Terjun Sri Gethuk. Mereka sampai di bangku Alena. Alva sudah duduk di bangkunya. Seperti biasa, ia kelihatan asyik mencoret-coret di kertas.Karin langsung duduk di bangku di depan Alena, dan meneruskan ceritanya. "Padahal jaraknya nggak jauh. Masa kamu belum pernah sih, ke Sri Gethuk?" tanya Karin dengan nada tidak percaya."Ya kalau dari rumah kamu dekat, kalau aku kan agak jauh. Lagian, kamu bukannya ngajak-ngajak... Udah tahu kalau aku paling suka air terjun," Alena menjawab."Siapa suruh kamu nggak mau ikut pulang ke rumahku?" ledek Karin.Alena tertawa. Tiba-tiba, Sania, pemilik bangku di depan Alena, sudah ada di samping Karin. Ia pun bergabung dalam obrolan. Sekilas, Alena menoleh ke arah Alva, cowok itu tetap asyik dengan kesibukannya sendiri.Bel tanda pelajaran perta

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   6. Perhatian

    Pagi itu, hujan lebat sudah turun dari subuh. Alena dan Karin masing-masing membawa payung ke sekolah. Tapi angin kencang dan hujan yang sangat deras membuat pakaian mereka tetap basah. Sampai di sekolah, Alena dan Karin mampir dulu ke toilet wanita untuk mengeringkan diri. Di dalam toilet sudah ada beberapa teman yang lain.Alena menunggu di depan salah satu pintu toilet. Pintu terbuka, dan... Farah keluar dari toilet. Sepertinya mereka sama-sama kaget berpapasan seperti itu."Hai...Farah..." Alena cepat-cepat menguasai diri. Ia mencoba tersenyum.Farah hanya tersenyum tipis, dan berlalu tanpa bicara. Alena berusaha bersikap sewajar mungkin.Beberapa menit kemudian, Alena dan Karin masuk ke kelas. Entah mengapa, pandangan Alena langsung tertuju lagi ke Farah. Ia merasa, Farah juga sedang memandangnya dengan tatapan mata yang aneh. Alena buru-buru berjalan ke bangkunya. Alva mengangkat wajahnya dan menatap Ale

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   7. Salah

    Alena selalu suka hari Rabu. Mungkin karena hari ini ada pelajaran seni musik dan ekstrakurikuler teater. Setelah beristirahat tadi malam, dia sudah tidak merasa pusing, dan badannya juga tidak hangat lagi.Sampai di kelas, Alva tidak kelihatan. Mungkin dia agak telat, pikir Alena.Sekitar satu menit sebelum bel masuk berbunyi, Alva melangkah masuk kelas, dan menyusul tepat di belakangnya... Farah. Alena merasa jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia berpura-pura tidak melihat, dan mengajak Sania yang duduk di depannya mengobrol. Ia juga tidak menoleh waktu Alva duduk di sampingnya.Pelajaran terasa berjalan sangat lambat, bahkan pelajaran seni musik pun tidak bisa menghiburnya. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri. Sebaiknya tidak usah menduga macam-macam, ia berusaha menghibur dirinya sendiri.Jam pelajaran terakhir sudah usai. Alena mengemasi tasnya. Ia masih belum berbicara dengan Alva sepanjang hari ini

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   8. Keluarga

    Jumat pagi adalah saatnya olahraga bagi kelas Alena. Hari ini jadwal olahraga bebas. Alena dan Karin sudah membawa raket badminton mereka masing-masing. Mata Alena dari tadi mencari-cari Alva.Itu dia! Ternyata Alva sedang duduk di bangku taman, dekat lapangan voli. Sepertinya dia sedang asyik dengan pikirannya sendiri. Alena berjalan mendekatinya. Karin sudah asyik bermain badminton dengan teman-teman yang lain. Alva sudah menoleh lebih dulu sebelum Alena menyapa."Ayo, ikut main badminton...," ajak Alena. Ia duduk di samping Alva di bangku."Aku nggak punya raket..." Suara Alva terdengar pelan."Kenapa? Kamu kayaknya kurang semangat hari ini..."Alva memandangnya. "Karena ini hari Jumat. Besok kamu pulang ke rumah. Aku sendirian lagi."Alena tidak menyangka Alva akan berkata seperti itu. Sepertinya ini saat yang tepat."Kamu nggak perlu sendirian... Kamu mau ng

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   9. Janji

    Om Andre tinggal sendiri di sebuah rumah, yang menurut Alena sangat unik. Om Andre seorang arsitek, jadi dia sendiri yang mendesain rumahnya. Rumahnya berbentuk seperti joglo, rumah adat Jawa, dengan bahan sebagian besar dari kayu. Halaman depannya luas dan terdapat pendopo, di sinilah ia biasanya menerima tamu. Rumahnya sendiri memanjang ke belakang, dan terdapat banyak kamar.Om Andre menyambut mereka dengan ceria. Om Andre adalah adik Papa yang bungsu. Alena selalu tidak mengerti kenapa Om Andre belum menikah, padahal ia sudah mapan, dan menurut Alena, Om Andre juga sangat baik dan menarik.Om Andre mengajak mereka duduk-duduk di taman belakang rumah, di situ ada kolam ikan yang cukup besar. Alena dan Alva asyik memberi makan ikan."Opa dan Oma kamu baik banget ya... Masakan Oma juga enak, aku tadi sampai makan banyak banget, semuanya enak sih...," komentar Alena sambil tertawa.Alva kelihatan ceria, matany

    Last Updated : 2021-03-21
  • Truly In Love 1   10. Hati ke Hati

    Semua siswa kelas XI SMA Scientia semakin bertambah sibuk di minggu-minggu menjelang pentas seni. Ada yang sibuk berlatih untuk tampil saat pentas seni nanti, ada yang ribut memikirkan kostum, ada pula yang masih bingung mencari pasangan seperti Karin. Lucky, yang diincar Karin untuk jadi pasangan, sepertinya tidak menyadari, walaupun Karin sudah berkali-kali memberi isyarat.Alena sibuk dengan latihan gamelan, yang akan tampil di hari pertama pentas seni. Begitu juga Alva, yang terus berlatih dengan permainan biolanya. Beberapa kali, Alva berlatih dengan Sir Johan, guru seni musik mereka, setelah jam pulang sekolah.Sementara itu, ujian akhir semester pertama juga sudah dekat. Mereka akan menjalani ujian satu minggu sebelum pentas seni. Dan itu berarti lebih banyak latihan soal, ulangan harian mendadak, belajar, dan belajar bagi semua siswa.Alena merasa jadwal sekolah semakin padat. Dia lebih jarang bisa menghabiskan sore b

    Last Updated : 2021-03-21

Latest chapter

  • Truly In Love 1   28. Kunci Hati

    Semua orang di puncak bukit itu asyik mengabadikan momen matahari terbit. Alva perlahan melepaskan pelukannya, kemudian mereka berdua juga berfoto, dengan latar pemandangan gunung-gunung berselimutkan awan dan bola emas matahari. Mereka berdua duduk mengagumi pemandangan yang sangat luar biasa dari puncak bukit. Hawa dingin menusuk mulai terasa berkurang, karena kehangatan dari sinar matahari.Setelah kurang lebih satu jam di atas Bukit Sikunir, saatnya untuk melanjutkan perjalanan lagi. Alena menoleh ke tempat Karin duduk tadi. Ia tampak sudah bisa berdiri, dengan dibantu Lucky. Alena dan Alva menghampirinya. Karin tersenyum malu-malu pada mereka."Kakiku udah baikan kok, udah bisa gerak lagi nih...," katanya, sambil menggerak-gerakkan kaki kirinya."Bisa jalan nggak?" tanya Alena."Bisa kok..." Karin berjalan pelan-pelan. "Ayo kita turun..."Lucky membantu Karin berjalan perlahan-lahan ke tan

  • Truly In Love 1   27. Sunrise

    Hari Kamis pagi, seluruh peserta karya wisata kelas XI IPA berkumpul di halaman depan sekolah. Jumlah peserta sekitar 150 siswa dari tiga kelas. Sudah ada tiga bus wisata besar yang menanti di depan gerbang sekolah. Tentunya mereka tetap didampingi oleh guru-guru mereka, ada empat guru pria dan dua guru wanita yang ikut dalam karya wisata tersebut. Sekolah tidak menggunakan jasa event organizer atau pemandu wisata, para siswa sendirilah yang menjadi panitia. Tujuannya untuk melatih kemandirian dan kedisiplinan siswa.Sekitar jam enam, seluruh peserta sudah lengkap didata. Kemudian mereka dibagi ke dalam tiga bus, Alena dan Alva berada dalam satu bus, sedangkan Karin di bus yang lainnya. Alena merasa senang bisa bersama Alva. Mereka duduk bersebelahan di bangku paling belakang, bersama dengan tiga teman lainnya. Setelah briefing singkat dan doa bersama, bus-bus itu meluncur meninggalkan sekolah.Di dalam bus, paniti

  • Truly In Love 1   26. Air Terjun

    Tiga bulan kemudian.Ujian akhir semester kedua sudah menanti Alena dan Alva. Tugas dan latihan soal, ulangan harian mendadak, jadwal ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan belajar untuk ujian akhir, seperti rutinitas yang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari selama tiga bulan terakhir ini.Alena merasa lama-lama ia menjadi terbiasa dengan kesibukan tersebut, hal yang tadinya terasa begitu berat di awal. Alva tidak pernah mengeluh atau terlihat kesulitan menjalani semuanya. Ia juga selalu mendampingi Alena, sehingga Alena merasa mendapat semangat tambahan untuk bisa menyamai Alva.Alena dan Alva sama-sama berhasil naik ke level berikutnya dalam kursus bahasa Jerman mereka. Mereka berniat untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute setelah Alena menyelesaikan level B1, rencananya dalam waktu enam bulan ke depan.Ujian akhir semester kedua bagi siswa kelas X dan XI SMA Scientia berlangsung se

  • Truly In Love 1   25. Cemburu

    Alena berjalan tergesa-gesa menuju ruang tunggu pemain. Tadi di lobby, ia melihat sekelompok gadis remaja masih berkerumun, seolah menunggu. Untunglah panitia tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam ruang tunggu, kecuali yang memakai tanda pengenal crew. Apakah mereka menunggu Alva? Alena merasa makin tidak nyaman. Ia bergegas masuk ke dalam ruang tunggu yang tadi ditempati tim Om Bimo.Komunitas musik klasik dari Kampus ISI itu sedang bergembira dan mengobrol satu sama lain, tentunya merayakan keberhasilan penampilan mereka malam ini. Alva berdiri dekat Om Bimo. Om Bimo sedang berbicara sambil memegang pundaknya, seperti sedang memberi selamat atau menyemangatinya.Alva langsung menoleh ke arahnya, ketika Alena berjalan masuk ruang tunggu itu. Alva menatapnya dengan penuh arti. Alena merasa ia mengerti maksud Alva, ia tersenyum dan mengangguk. Lalu ia duduk lagi di kursi yang tadi siang didudukinya, memberi kesempatan Alva dan ti

  • Truly In Love 1   24. Duet

    Alena mengikuti Luis berjalan menuju pintu masuk ruang konser bagi penonton. Di situ, sudah ramai penonton yang mengantri untuk masuk. Alena melihat banyak penonton dari kalangan anak muda dan remaja, mungkin sebagian besar adalah mahasiswa dan pelajar.Setelah menyerahkan tiket ke panitia, Alena dan Luis masuk ke dalam ruang konser. Ruangan itu sangat luas dan megah dengan langit-langit tinggi. Kursi-kursinya tersusun berundak ke atas seperti di bioskop.Alena mengikuti Luis berjalan ke barisan kursi di tengah, tidak terlalu dekat dengan panggung, juga tidak terlalu jauh. Luis sepertinya sudah memilihkan posisi yang nyaman untuk merekam. Di depan kursi mereka, terdapat ruang yang cukup luas untuk menaruh tripod.Alena duduk dan mulai men-setting kamera dan tripodnya. Luis duduk di sebelah kanan Alena. Luis masih berusaha mengajaknya mengobrol, ia berkomentar tentang ramainya penonton dan dekorasi panggung yang megah

  • Truly In Love 1   23. Konser

    Minggu-minggu berikutnya adalah saat yang sibuk bagi Alena dan Alva berdua. Alva terus mempersiapkan diri untuk konser musik klasik, yang akan berlangsung tiga minggu lagi. Selain berlatih di Kampus ISI bersama Om Bimo dan komunitas, ia juga sering berlatih sendiri di gudang alat musik, tentunya ditemani Alena jika sedang tidak ada jadwal ekstrakurikuler.Kesibukan di sekolah juga semakin bertambah, karena ujian tengah semester akan diadakan sekitar dua minggu setelah konser musik klasik. Alena dan Alva harus berusaha membagi waktu untuk belajar, mengerjakan tugas, mengikuti kelas ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan latihan musik.Alena merasa ia seperti sedang berlomba lari, dan nafasnya terengah-engah. Tapi ia merasa mendapatkan kekuatan lagi, setiap kali menatap wajah Alva. Ia teringat janjinya kepada Tante Clara, ia ingat nasihat Papa dan Mama, bahwa ia harus berjuang untuk meraih apa yang menjadi impiannya. Alva selalu berada di

  • Truly In Love 1   22. Malioboro

    Menjelang jam dua belas, Alena membantu Mama di dapur, menyiapkan makan siang. Papa mengajak Alva untuk belajar menyetir mobil, kebetulan tidak jauh dari rumah, ada lapangan kosong. Alva menyambut ajakan Papa dengan antusias. Katanya, ia memang sudah lama ingin belajar menyetir mobil.Sekitar satu jam kemudian, Papa dan Alva pulang, lalu mereka berempat menikmati makan siang bersama. Papa berkata, Alva bisa belajar menyetir mobil lagi dengannya, kapan pun ada waktu. Alena senang melihat Alva dan Papa sepertinya tambah akrab. Mereka masih membahas tentang pentas drama musikal kemarin."Kayaknya Papa benar deh... Lena jadi tambah pingin ambil jurusan teater...," kata Alena. Ia merasa setiap latihan dan kerja keras yang telah dilaluinya sebelum pentas menjadi sangat manis, setelah melihat keberhasilan pertunjukannya."Tuh benar kan, apa Papa bilang? Kamu punya bakat dan hati di teater," komentar Papa sambil tersenyum.

  • Truly In Love 1   21. Romance

    Alena kembali ke ruang ganti untuk berganti kostum dan menghapus make-up-nya terlebih dulu. Di dalam ruang ganti, masih ramai teman-teman yang saling memuji dan bercerita tentang pentas tadi.Kemudian, Sir Angga mengumpulkan semua pengisi acara di ruang transit, memuji penampilan mereka, dan berterima kasih untuk semua kerja keras mereka. Setelah itu, barulah mereka bubar dan meninggalkan aula.Papa, Mama, dan Alva sudah menunggu Alena di luar aula. Suasana aula sudah tidak ramai lagi, para orang tua dan siswa sudah beranjak pulang. Mereka bersama-sama turun ke lantai satu, dan berjalan menuju tempat parkir di halaman depan sekolah."Ayo, pada mau ke mana nih? Lena? Alva?" tanya Papa, begitu mereka semua sudah berada di dalam mobil.Alena dan Alva duduk berdua di belakang, mereka saling berpandangan."Ke mana ya, Pa? Lena lapar nih, tadi cuma makan sedikit...," jawab Alena."Kalau gitu, kita

  • Truly In Love 1   20. Drama

    Setelah libur akhir pekan berlalu, dan mereka kembali ke sekolah, dimulailah minggu yang terasa sibuk bagi Alena. Ia harus berlatih lebih intensif untuk pentas drama musikal, yang akan berlangsung hari Sabtu ini. Kursus bahasa Jerman juga sudah dimulai dua kali seminggu, dengan tiap pertemuan satu setengah jam. Belum lagi mulai banyak PR dan tugas lain dari guru-guru mereka, juga jadwal ekstrakurikuler Alena yang lainnya.Alena merasa lelah, tapi berusaha tidak mengeluh. Yang membuat dia merasa kuat, adalah karena Alva selalu mendampinginya. Alva selalu mengantar dan menjemputnya di kelas ekstrakurikuler. Mereka mengerjakan tugas dan PR bersama Karin di perpustakaan tiap ada waktu. Mereka juga berangkat dan pulang bersama, tiap kali kursus bahasa Jerman, dengan motor baru Alva yang dihadiahkan oleh Om Hanz.Hari Jumat sore, Alena dan Alva baru saja selesai kursus bahasa Jerman. Alva memutuskan tidak berangkat ke latihan komunitas musik klasi

DMCA.com Protection Status