Pagi itu, Alena terbangun sekitar jam setengah enam. Ia mandi dengan santai dan berganti pakaian. Ia mengemas beberapa barang ke dalam tas ransel kecil untuk dibawa pulang. Sambil menyisir rambut panjangnya, Alena membuka chat di ponselnya. Jam enam. Ada chat dari Alva lagi!
Sebuah foto, kali ini foto matahari yang baru terbit di kejauhan. Alena tersenyum. Cara yang unik untuk mengucapkan selamat pagi.
Mendadak, Alena tersentak. Dia menyambar ranselnya dan buru-buru berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan setengah berlari juga. Dia tahu, dari mana Alva mengambil foto itu.
Alena sampai di atas rooftop dengan sedikit terengah-engah. Ia masih mengatur nafasnya. Di ujung, ia melihat Alva memegang kamera DSLR, sedang membidik sesuatu di kejauhan.
"Kamu juga hobi motret?" Alena sengaja mengagetkan Alva.
Usahanya berhasil, Alva tampaknya tidak menduga Alena sudah berada di situ. Alva menoleh. Raut mukanya tampak terkejut.
"Sorry... Kaget ya?"
Alva mengangkat alisnya. "Kamu kok tahu aku di sini?"
"Tahu dong... Itu foto yang kamu kirim, pasti diambil dari atas sini kan..."
Alena berdiri di depan Alva yang masih terus memandangnya. Alva hanya memakai T-shirt putih dan celana training pendek, tapi seperti biasa, ia tetap kelihatan menarik.
"Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu?" Alena mulai berani bertanya sekarang.
"Bukannya kamu mau pulang hari ini?"
"Iya, nanti aku dijemput jam tujuh." Alena melirik arlojinya, masih ada waktu setengah jam lebih. "Apa aku mengganggu?" tanya Alena setengah bercanda.
Alva menggeleng cepat, "Nggak kok..." Ia mengalungkan tali kamera di bahunya." Pagi ini, cuaca lagi cerah. Makanya aku kirim foto itu ke kamu," sambung Alva, sambil bersandar di tembok pembatas pinggir rooftop.
"Iya, foto yang bagus," puji Alena sambil tersenyum. "Kamu bisa ikut ekskul fotografi, kamu punya bakat..."
Alva menggelengkan kepalanya. "Cuma hobi."
"Atau ekskul yang lain. Kamu suka main alat musik yang lain nggak? Kayak gitar, drum, piano?"
Alva menggeleng lagi. "Aku cuma suka biola."
"Siapa yang ajari kamu main biola?"
"Papa."
Hening. Sebenarnya Alena menunggu Alva melanjutkan ceritanya. Tapi Alva hanya memandangi kameranya.
"Kenapa? Kamu...kelihatan nggak semangat hari ini...," tanya Alena, sambil memandangi wajah Alva yang agak menunduk.
"Nggak apa-apa..." Alva mengangkat wajahnya, membalas tatapan mata Alena. Alena merasa seperti ada yang berbeda dengan tatapan matanya. Apakah itu kesedihan?
"Hari Sabtu Minggu ini, apa rencana kamu?" tanya Alena untuk mengalihkan.
"Aku mau baca-baca buku, ngejar ketinggalan pelajaran. Karena banyak yang aku belum tahu. Aku dikasih waktu satu minggu ke depan sama Miss Stella."
"Kok kamu nggak cerita kemarin? Aku kan bisa bantu kamu," Alena menawarkan. "Aku pinjami catatan aku ya..."
"Bukannya kamu mau pulang?"
"Aku tinggal naik bentar ke kamar, ambil catatan, terus ke sini lagi..."
"Eh, nggak usah, Alena..." Tangan Alva terulur, nyaris menyentuh tangan Alena. "Aku temanin kamu sampai depan asrama aja. Kamu nggak usah repot bolak-balik ke sini."
*
"Kamu yakin nggak butuh buat belajar?" tanya Alva sambil menerima tas ransel dari Alena.
"Nggak kok..." Alena menggeleng.
Tepat pada saat itu, Alena melihat mobil Papanya masuk ke halaman depan asrama.
"Itu Papa aku udah datang... Aku...pulang dulu ya..." Entah kenapa Alena merasa agak berat mengucapkannya, mungkin karena ia memikirkan Alva yang akan sendirian di asrama.
Alva memandangi mobil yang sedang parkir itu, lalu menatap Alena. "Sampai jumpa lagi..."
*
"Kamu belum sarapan? Biasanya, kamu sarapan dulu di asrama," tanya Papa.
"Iya Pa, tadi nggak sempat... Lena pikir sarapan di rumah aja deh, udah kangen masakan Mama."
"Aah...yang bener...," goda Papa. Mereka tertawa berdua.
"Siapa anak cowok yang tadi di ruang tamu sama kamu?" Ternyata Papa memperhatikan.
"Namanya Alva, anak baru, Pa... Baru masuk beberapa hari. Makanya tadi Lena pinjami catatan Lena, biar dia bisa belajar."
Papa mengangguk-angguk. "Asli mana?"
"Katanya, Opa Omanya tinggal di Magelang."
Papa menolehkan kepalanya. "Tapi kayaknya blasteran gitu... Soalnya wajahnya agak bule-bule, kulitnya juga putih."
"Lena juga putih... Berarti Lena blasteran?"
"Iya, blasteran Jawa - Tionghoa...," jawab Papa.
Mereka tertawa lagi. Mobil terus meluncur ke arah Utara.
*
Alena memotret bagian depan rumahnya, lalu mengirim foto itu ke Alva. "Aku udah sampai rumah," Alena mengetik.
Tidak sampai dua menit kemudian, balasan datang.
"Rumah yang bagus," balas Alva.Tiba-tiba Alena jadi bersemangat lagi. Alva juga mengirim foto, Alena mengenali ruangan itu sebagai perpustakaan sekolah.
"Kamu di perpus?""Iya, lagi baca catatan kamu."
Alena membayangkan, bagaimana Alva bisa membaca habis semua catatan itu dalam waktu dua hari.
Alva mengirim chat lagi. "Tulisan kamu bagus, Alena."
Alena merasa, seperti ada api yang membakar pipinya. Baru kali ini, setelah sampai di rumah, mendadak ia merindukan kembali ke sekolah.
Malam itu, Alena duduk di pinggir jendela kamarnya, ia masih menggenggam ponselnya. Sepanjang hari itu, Alva beberapa kali mengirim foto yang lain, seolah menceritakan aktivitasnya. Foto di perpustakaan, di rooftop, di kamar asrama, bahkan foto menu makan malam asrama putra malam itu. Alena tertawa melihatnya. Tapi, yang lebih dirindukannya adalah memandang wajah Alva, ya...menatap sepasang mata tajam itu.
"Aku udah di kamar sekarang. Kamu udah tidur?" Alena mengetik.
"Belum. Aku masih baca-baca."
"Kamu nggak capek, seharian ini baca terus? Lanjut besok aja..."
"Nggak kok, lagian aku belum bisa tidur. Kamu tidur duluan aja," balas Alva.
"Ya udah... Sampai besok ya..."
Alva membalas dengan mengirimkan sebuah file musik. Alena cepat-cepat mengunduh file itu, ia penasaran. Ia memutar musik itu. Alva memainkan lagu Twinkle Twinkle Little Star dengan biola, dan merekam untuknya. Alena jadi semakin tidak sabar menanti hari esok.
*
"Papa, biola tua Opa ada di mana ya?" tanya Alena sambil menggigit pizza. Ia sudah ingin bertanya ke Papa sejak kemarin.
Papa mengangkat alisnya. "Biola Opa? Udah lama banget nggak dipakai. Ada di rumah Om Andre. Waktu itu dibawa Om ke Magelang. Kok kamu tiba-tiba nanya biola Opa?"
"Ada teman di sekolah yang jago main biola, dia mau ngajarin Lena, Pa... Lena pikir, kalau ada biola Opa, mau Lena bawa ke asrama...," jawab Alena.
"Oya? Kamu dari dulu pingin belajar biola. Siapa teman kamu yang bisa?"
"Mmm... Itu Pa, Alva, yang kemarin Lena cerita..."
"Anak baru itu?" Papa melirik Mama. Alena mengangguk.
"Ada anak baru di sekolah kamu, Lena?" Mama yang bertanya.
"Iya, Ma... Katanya, keluarganya juga tinggal di Magelang."
"Oya? Di daerah mana?"
"Lena belum tanya..."
Mama juga melirik Papa. "Jadi, anak gadis Mama yang cantik ini udah mulai dekat sama cowok ya?" goda Mama.
Alena merasa wajahnya merona. "Mama, apaan sih? Cuma teman kok..." Tapi Alena memalingkan wajahnya, karena takut Papa dan Mama melihat perubahan di wajahnya.
Papa dan Mama tertawa.
"Habis, dari kemarin Papa perhatiin, kamu kayaknya sibuk lihatin hape terus, sesekali foto ini, foto itu, terus kirim pesan, kayaknya ada seseorang yang dihubungi... Nggak biasanya kamu kayak gitu, kalau udah di rumah," Papa menimpali.Alena bingung bagaimana mau menjawab. Apa iya, tingkah lakunya kelihatan begitu jelas oleh Papa dan Mama?
"Papa nggak masalah kamu mau dekat sama siapapun, yang penting dia anak baik-baik. Makanya, lain kali kamu kenalin sama Papa, siapa cowok itu...," sambung Papa lagi.
Wajah Alena tambah merah. "Iya Pa, lain kali Alena kenalin..." Ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya lagi dari Papa dan Mama.
*
Ada chat dari Alva. Foto tanaman di dalam pot, dan ada sekuntum bunga yang baru mekar di tengahnya. Alena menebak, itu mungkin tanaman dalam pot yang ada di rooftop. Foto-foto yang diambil Alva selalu bagus. Cahayanya, warnanya, semuanya pas. Dia berbakat, sayang jika tidak disalurkan dengan baik. Begitu juga dengan kemampuannya bermain biola, Alena membatin.
"Aku udah mau sampai asrama...," ketik Alena.
Beberapa menit berlalu. Tidak ada balasan dari Alva. Alena menggigit bibir bawahnya.
"Sabtu depan, kamu mau dijemput apa nggak, Lena?" tiba-tiba Papa bertanya. Mobil sudah memasuki halaman depan asrama.
"Lho... Ya jemput dong, Pa...," Alena menjawab dengan nada kaget.
Papa terkekeh. "Siapa tahu, kamu lebih pingin di sini..."
"Ah, Papa..." Alena tersipu.
Ia melepaskan sabuk pengamannya, mengambil tas ransel, dan mengecup pipi sang ayah. "Daah, Papa..."
"Take care, Sayang..." Papa balas mengecup pipinya.
Alena berjalan memasuki ruang tamu asrama. Ruang tamu yang luas itu kosong. Bu Tasya, yang biasanya menjaga di situ, juga tidak kelihatan. Baru jam empat. Biasanya, Karin baru balik ke asrama malam-malam. Ia melihat ponselnya. Kenapa tidak ada balasan dari Alva?
Ia melangkah masuk, menuju ke tangga yang terletak di sudut ruang tamu. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Alva mengirimkan foto lagi. Foto Alena yang turun dari mobil, dan foto Alena yang melangkah masuk ke ruang tamu! Alena tersentak. Ia setengah berlari keluar.
Alva sudah berdiri di halaman depan, dekat pot-pot tanaman besar yang berjejer di pinggir halaman. Matanya menatap Alena.
Sejenak, Alena kehilangan kata-kata. Wajah yang dirindukannya sekarang sudah ada di hadapannya.
"Hai...," akhirnya ia menyapa Alva.
Alva tidak menjawab, hanya menatap dengan lembut.
"Kamu sembunyi ya tadi? Kok aku nggak lihat?" tanya Alena dengan nada riang, ia tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya.
"Aku sengaja nunggu kamu di sini..."
Kenapa sih, kata-kata Alva selalu bisa membuat hatinya berbunga-bunga?
"Ayo sini duduk, aku bawa sesuatu buat kamu." Alena sudah mau melepas ranselnya dari bahunya.
"Di sini kurang nyaman, di tempat rahasia kita aja...," kata Alva.
Alena menduga, Alva mungkin malu jika ada orang lain yang melihat. "Oke."
*
Mereka sudah berada di atas rooftop. Alena mengeluarkan sebuah kotak makan persegi berwarna hijau tua, dan menyodorkan ke Alva.
"Tadi aku belajar bikin pizza, dibantuin Mama. Kelihatannya kurang rapi, tapi rasanya enak kok...," ujar Alena. Sebenarnya, ia deg-degan menunggu reaksi Alva.
Alva membuka tutup kotak, ada sesuatu yang bersinar di matanya waktu melihat pizza itu. Ia menatap Alena.
"Waw... Makasih...," katanya pelan. Ia langsung mengambil sepotong pizza dan menggigitnya. Alena masih tetap memandangi sambil tersenyum.
"Mmm... Enak banget...," komentar Alva, sambil mulutnya masih mengunyah.
Alena tertawa. Semua kesan dingin pada Alva lenyap, ia kelihatan seperti seorang anak kecil yang polos.
Mereka baru turun dari rooftop, saat jam hampir menunjukkan pukul enam sore. Alva membawakan ransel berisi buku-buku Alena yang dipinjamnya.
"Kamu yakin udah selesai semua? Kalau ada yang masih mau dipinjam, nggak apa-apa kok, bawa aja..."
"Udah aku foto semuanya," respon Alva.
Alena tertawa. "Benar juga... Aku nggak kepikiran ke situ."
"Sampai ketemu besok...," ucap Alva, begitu mereka sampai di gerbang samping asrama.
Alena memberikan senyum manisnya. "Daah..."
Malam itu, Alva mengirim sebuah foto lagi. Ternyata, ia memotret sepotong pizza buatan Alena yang belum dimakannya, di bawahnya ia menulis "Thanks for the homy taste. Good night."
Alena merasa, Alva pasti sangat merindukan rumahnya.
Senin pagi, Alena dan Karin berjalan berdua ke ruang kelas XI A. Karin masih asyik bercerita tentang liburannya ke Air Terjun Sri Gethuk. Mereka sampai di bangku Alena. Alva sudah duduk di bangkunya. Seperti biasa, ia kelihatan asyik mencoret-coret di kertas.Karin langsung duduk di bangku di depan Alena, dan meneruskan ceritanya. "Padahal jaraknya nggak jauh. Masa kamu belum pernah sih, ke Sri Gethuk?" tanya Karin dengan nada tidak percaya."Ya kalau dari rumah kamu dekat, kalau aku kan agak jauh. Lagian, kamu bukannya ngajak-ngajak... Udah tahu kalau aku paling suka air terjun," Alena menjawab."Siapa suruh kamu nggak mau ikut pulang ke rumahku?" ledek Karin.Alena tertawa. Tiba-tiba, Sania, pemilik bangku di depan Alena, sudah ada di samping Karin. Ia pun bergabung dalam obrolan. Sekilas, Alena menoleh ke arah Alva, cowok itu tetap asyik dengan kesibukannya sendiri.Bel tanda pelajaran perta
Pagi itu, hujan lebat sudah turun dari subuh. Alena dan Karin masing-masing membawa payung ke sekolah. Tapi angin kencang dan hujan yang sangat deras membuat pakaian mereka tetap basah. Sampai di sekolah, Alena dan Karin mampir dulu ke toilet wanita untuk mengeringkan diri. Di dalam toilet sudah ada beberapa teman yang lain.Alena menunggu di depan salah satu pintu toilet. Pintu terbuka, dan... Farah keluar dari toilet. Sepertinya mereka sama-sama kaget berpapasan seperti itu."Hai...Farah..." Alena cepat-cepat menguasai diri. Ia mencoba tersenyum.Farah hanya tersenyum tipis, dan berlalu tanpa bicara. Alena berusaha bersikap sewajar mungkin.Beberapa menit kemudian, Alena dan Karin masuk ke kelas. Entah mengapa, pandangan Alena langsung tertuju lagi ke Farah. Ia merasa, Farah juga sedang memandangnya dengan tatapan mata yang aneh. Alena buru-buru berjalan ke bangkunya. Alva mengangkat wajahnya dan menatap Ale
Alena selalu suka hari Rabu. Mungkin karena hari ini ada pelajaran seni musik dan ekstrakurikuler teater. Setelah beristirahat tadi malam, dia sudah tidak merasa pusing, dan badannya juga tidak hangat lagi.Sampai di kelas, Alva tidak kelihatan. Mungkin dia agak telat, pikir Alena.Sekitar satu menit sebelum bel masuk berbunyi, Alva melangkah masuk kelas, dan menyusul tepat di belakangnya... Farah. Alena merasa jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia berpura-pura tidak melihat, dan mengajak Sania yang duduk di depannya mengobrol. Ia juga tidak menoleh waktu Alva duduk di sampingnya.Pelajaran terasa berjalan sangat lambat, bahkan pelajaran seni musik pun tidak bisa menghiburnya. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri. Sebaiknya tidak usah menduga macam-macam, ia berusaha menghibur dirinya sendiri.Jam pelajaran terakhir sudah usai. Alena mengemasi tasnya. Ia masih belum berbicara dengan Alva sepanjang hari ini
Jumat pagi adalah saatnya olahraga bagi kelas Alena. Hari ini jadwal olahraga bebas. Alena dan Karin sudah membawa raket badminton mereka masing-masing. Mata Alena dari tadi mencari-cari Alva.Itu dia! Ternyata Alva sedang duduk di bangku taman, dekat lapangan voli. Sepertinya dia sedang asyik dengan pikirannya sendiri. Alena berjalan mendekatinya. Karin sudah asyik bermain badminton dengan teman-teman yang lain. Alva sudah menoleh lebih dulu sebelum Alena menyapa."Ayo, ikut main badminton...," ajak Alena. Ia duduk di samping Alva di bangku."Aku nggak punya raket..." Suara Alva terdengar pelan."Kenapa? Kamu kayaknya kurang semangat hari ini..."Alva memandangnya. "Karena ini hari Jumat. Besok kamu pulang ke rumah. Aku sendirian lagi."Alena tidak menyangka Alva akan berkata seperti itu. Sepertinya ini saat yang tepat."Kamu nggak perlu sendirian... Kamu mau ng
Om Andre tinggal sendiri di sebuah rumah, yang menurut Alena sangat unik. Om Andre seorang arsitek, jadi dia sendiri yang mendesain rumahnya. Rumahnya berbentuk seperti joglo, rumah adat Jawa, dengan bahan sebagian besar dari kayu. Halaman depannya luas dan terdapat pendopo, di sinilah ia biasanya menerima tamu. Rumahnya sendiri memanjang ke belakang, dan terdapat banyak kamar.Om Andre menyambut mereka dengan ceria. Om Andre adalah adik Papa yang bungsu. Alena selalu tidak mengerti kenapa Om Andre belum menikah, padahal ia sudah mapan, dan menurut Alena, Om Andre juga sangat baik dan menarik.Om Andre mengajak mereka duduk-duduk di taman belakang rumah, di situ ada kolam ikan yang cukup besar. Alena dan Alva asyik memberi makan ikan."Opa dan Oma kamu baik banget ya... Masakan Oma juga enak, aku tadi sampai makan banyak banget, semuanya enak sih...," komentar Alena sambil tertawa.Alva kelihatan ceria, matany
Semua siswa kelas XI SMA Scientia semakin bertambah sibuk di minggu-minggu menjelang pentas seni. Ada yang sibuk berlatih untuk tampil saat pentas seni nanti, ada yang ribut memikirkan kostum, ada pula yang masih bingung mencari pasangan seperti Karin. Lucky, yang diincar Karin untuk jadi pasangan, sepertinya tidak menyadari, walaupun Karin sudah berkali-kali memberi isyarat.Alena sibuk dengan latihan gamelan, yang akan tampil di hari pertama pentas seni. Begitu juga Alva, yang terus berlatih dengan permainan biolanya. Beberapa kali, Alva berlatih dengan Sir Johan, guru seni musik mereka, setelah jam pulang sekolah.Sementara itu, ujian akhir semester pertama juga sudah dekat. Mereka akan menjalani ujian satu minggu sebelum pentas seni. Dan itu berarti lebih banyak latihan soal, ulangan harian mendadak, belajar, dan belajar bagi semua siswa.Alena merasa jadwal sekolah semakin padat. Dia lebih jarang bisa menghabiskan sore b
Hari Jumat, hari pertama pentas seni. Kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Pentas seni adalah acara tahunan bagi seluruh siswa di SMA Scientia, sedangkan Prom Night hanya khusus untuk siswa kelas XI.Acara pentas seni diselenggarakan di aula utama sekolah, yang terletak di lantai lima, lantai paling atas. Seluruh lantai lima khusus dibangun untuk aula dan ruangan penunjangnya, seperti ruang ganti, ruang latihan, ruang transit, gudang peralatan, ruang sound system, dan sebagainya.Hari ini, Alena dan Karin akan tampil. Acara dimulai jam delapan pagi, tapi dari jam lima pagi, mereka sudah bersiap-siap. Bersama teman-teman yang lain, mereka berganti kostum dan berdandan di ruang ganti.Alena memakai pakaian kebaya berwarna merah dan rok kain yang sudah disiapkan dari sekolah, sedangkan Karin memakai pakaian penari berwarna-warni. Ada guru pembimbing yang membantu mereka, tapi karena jumlah siswa yang banyak, tetap saja
Alena dan Karin sampai di pintu gerbang samping asrama. Di sana, sudah ada beberapa teman cowok, yang sepertinya juga menjemput pasangannya yang tinggal di asrama. Karin sudah bertemu Lucky. Lucky tampak gagah dengan tuksedo berwarna hitam dan kemeja putih.Mendadak Alena tertegun. Ia melihat Alva berjalan ke arahnya. Alva tampak sangat... Alena kehilangan kata-kata. Alva memakai tuksedo berwarna putih dengan pinggiran kerah berwarna gold. Vest yang ia kenakan di dalam tuksedo dan dasi kupu-kupunya juga berwarna gold. Ia seperti pangeran berkuda putih yang sedang menjemput putrinya. Alena tersenyum gugup pada Alva. Mata Alva terus menatapnya dengan lembut."Kamu cantik banget...," puji Alva dengan suara setengah berbisik, saat mereka sudah berdiri berhadapan.Alena semakin berdebar-debar. "Kamu juga gagah banget... Kayak pangeran...," Alena balas memuji.Mata Alva bersinar dan wajahnya terlihat berseri-seri. A
Semua orang di puncak bukit itu asyik mengabadikan momen matahari terbit. Alva perlahan melepaskan pelukannya, kemudian mereka berdua juga berfoto, dengan latar pemandangan gunung-gunung berselimutkan awan dan bola emas matahari. Mereka berdua duduk mengagumi pemandangan yang sangat luar biasa dari puncak bukit. Hawa dingin menusuk mulai terasa berkurang, karena kehangatan dari sinar matahari.Setelah kurang lebih satu jam di atas Bukit Sikunir, saatnya untuk melanjutkan perjalanan lagi. Alena menoleh ke tempat Karin duduk tadi. Ia tampak sudah bisa berdiri, dengan dibantu Lucky. Alena dan Alva menghampirinya. Karin tersenyum malu-malu pada mereka."Kakiku udah baikan kok, udah bisa gerak lagi nih...," katanya, sambil menggerak-gerakkan kaki kirinya."Bisa jalan nggak?" tanya Alena."Bisa kok..." Karin berjalan pelan-pelan. "Ayo kita turun..."Lucky membantu Karin berjalan perlahan-lahan ke tan
Hari Kamis pagi, seluruh peserta karya wisata kelas XI IPA berkumpul di halaman depan sekolah. Jumlah peserta sekitar 150 siswa dari tiga kelas. Sudah ada tiga bus wisata besar yang menanti di depan gerbang sekolah. Tentunya mereka tetap didampingi oleh guru-guru mereka, ada empat guru pria dan dua guru wanita yang ikut dalam karya wisata tersebut. Sekolah tidak menggunakan jasa event organizer atau pemandu wisata, para siswa sendirilah yang menjadi panitia. Tujuannya untuk melatih kemandirian dan kedisiplinan siswa.Sekitar jam enam, seluruh peserta sudah lengkap didata. Kemudian mereka dibagi ke dalam tiga bus, Alena dan Alva berada dalam satu bus, sedangkan Karin di bus yang lainnya. Alena merasa senang bisa bersama Alva. Mereka duduk bersebelahan di bangku paling belakang, bersama dengan tiga teman lainnya. Setelah briefing singkat dan doa bersama, bus-bus itu meluncur meninggalkan sekolah.Di dalam bus, paniti
Tiga bulan kemudian.Ujian akhir semester kedua sudah menanti Alena dan Alva. Tugas dan latihan soal, ulangan harian mendadak, jadwal ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan belajar untuk ujian akhir, seperti rutinitas yang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari selama tiga bulan terakhir ini.Alena merasa lama-lama ia menjadi terbiasa dengan kesibukan tersebut, hal yang tadinya terasa begitu berat di awal. Alva tidak pernah mengeluh atau terlihat kesulitan menjalani semuanya. Ia juga selalu mendampingi Alena, sehingga Alena merasa mendapat semangat tambahan untuk bisa menyamai Alva.Alena dan Alva sama-sama berhasil naik ke level berikutnya dalam kursus bahasa Jerman mereka. Mereka berniat untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute setelah Alena menyelesaikan level B1, rencananya dalam waktu enam bulan ke depan.Ujian akhir semester kedua bagi siswa kelas X dan XI SMA Scientia berlangsung se
Alena berjalan tergesa-gesa menuju ruang tunggu pemain. Tadi di lobby, ia melihat sekelompok gadis remaja masih berkerumun, seolah menunggu. Untunglah panitia tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam ruang tunggu, kecuali yang memakai tanda pengenal crew. Apakah mereka menunggu Alva? Alena merasa makin tidak nyaman. Ia bergegas masuk ke dalam ruang tunggu yang tadi ditempati tim Om Bimo.Komunitas musik klasik dari Kampus ISI itu sedang bergembira dan mengobrol satu sama lain, tentunya merayakan keberhasilan penampilan mereka malam ini. Alva berdiri dekat Om Bimo. Om Bimo sedang berbicara sambil memegang pundaknya, seperti sedang memberi selamat atau menyemangatinya.Alva langsung menoleh ke arahnya, ketika Alena berjalan masuk ruang tunggu itu. Alva menatapnya dengan penuh arti. Alena merasa ia mengerti maksud Alva, ia tersenyum dan mengangguk. Lalu ia duduk lagi di kursi yang tadi siang didudukinya, memberi kesempatan Alva dan ti
Alena mengikuti Luis berjalan menuju pintu masuk ruang konser bagi penonton. Di situ, sudah ramai penonton yang mengantri untuk masuk. Alena melihat banyak penonton dari kalangan anak muda dan remaja, mungkin sebagian besar adalah mahasiswa dan pelajar.Setelah menyerahkan tiket ke panitia, Alena dan Luis masuk ke dalam ruang konser. Ruangan itu sangat luas dan megah dengan langit-langit tinggi. Kursi-kursinya tersusun berundak ke atas seperti di bioskop.Alena mengikuti Luis berjalan ke barisan kursi di tengah, tidak terlalu dekat dengan panggung, juga tidak terlalu jauh. Luis sepertinya sudah memilihkan posisi yang nyaman untuk merekam. Di depan kursi mereka, terdapat ruang yang cukup luas untuk menaruh tripod.Alena duduk dan mulai men-setting kamera dan tripodnya. Luis duduk di sebelah kanan Alena. Luis masih berusaha mengajaknya mengobrol, ia berkomentar tentang ramainya penonton dan dekorasi panggung yang megah
Minggu-minggu berikutnya adalah saat yang sibuk bagi Alena dan Alva berdua. Alva terus mempersiapkan diri untuk konser musik klasik, yang akan berlangsung tiga minggu lagi. Selain berlatih di Kampus ISI bersama Om Bimo dan komunitas, ia juga sering berlatih sendiri di gudang alat musik, tentunya ditemani Alena jika sedang tidak ada jadwal ekstrakurikuler.Kesibukan di sekolah juga semakin bertambah, karena ujian tengah semester akan diadakan sekitar dua minggu setelah konser musik klasik. Alena dan Alva harus berusaha membagi waktu untuk belajar, mengerjakan tugas, mengikuti kelas ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan latihan musik.Alena merasa ia seperti sedang berlomba lari, dan nafasnya terengah-engah. Tapi ia merasa mendapatkan kekuatan lagi, setiap kali menatap wajah Alva. Ia teringat janjinya kepada Tante Clara, ia ingat nasihat Papa dan Mama, bahwa ia harus berjuang untuk meraih apa yang menjadi impiannya. Alva selalu berada di
Menjelang jam dua belas, Alena membantu Mama di dapur, menyiapkan makan siang. Papa mengajak Alva untuk belajar menyetir mobil, kebetulan tidak jauh dari rumah, ada lapangan kosong. Alva menyambut ajakan Papa dengan antusias. Katanya, ia memang sudah lama ingin belajar menyetir mobil.Sekitar satu jam kemudian, Papa dan Alva pulang, lalu mereka berempat menikmati makan siang bersama. Papa berkata, Alva bisa belajar menyetir mobil lagi dengannya, kapan pun ada waktu. Alena senang melihat Alva dan Papa sepertinya tambah akrab. Mereka masih membahas tentang pentas drama musikal kemarin."Kayaknya Papa benar deh... Lena jadi tambah pingin ambil jurusan teater...," kata Alena. Ia merasa setiap latihan dan kerja keras yang telah dilaluinya sebelum pentas menjadi sangat manis, setelah melihat keberhasilan pertunjukannya."Tuh benar kan, apa Papa bilang? Kamu punya bakat dan hati di teater," komentar Papa sambil tersenyum.
Alena kembali ke ruang ganti untuk berganti kostum dan menghapus make-up-nya terlebih dulu. Di dalam ruang ganti, masih ramai teman-teman yang saling memuji dan bercerita tentang pentas tadi.Kemudian, Sir Angga mengumpulkan semua pengisi acara di ruang transit, memuji penampilan mereka, dan berterima kasih untuk semua kerja keras mereka. Setelah itu, barulah mereka bubar dan meninggalkan aula.Papa, Mama, dan Alva sudah menunggu Alena di luar aula. Suasana aula sudah tidak ramai lagi, para orang tua dan siswa sudah beranjak pulang. Mereka bersama-sama turun ke lantai satu, dan berjalan menuju tempat parkir di halaman depan sekolah."Ayo, pada mau ke mana nih? Lena? Alva?" tanya Papa, begitu mereka semua sudah berada di dalam mobil.Alena dan Alva duduk berdua di belakang, mereka saling berpandangan."Ke mana ya, Pa? Lena lapar nih, tadi cuma makan sedikit...," jawab Alena."Kalau gitu, kita
Setelah libur akhir pekan berlalu, dan mereka kembali ke sekolah, dimulailah minggu yang terasa sibuk bagi Alena. Ia harus berlatih lebih intensif untuk pentas drama musikal, yang akan berlangsung hari Sabtu ini. Kursus bahasa Jerman juga sudah dimulai dua kali seminggu, dengan tiap pertemuan satu setengah jam. Belum lagi mulai banyak PR dan tugas lain dari guru-guru mereka, juga jadwal ekstrakurikuler Alena yang lainnya.Alena merasa lelah, tapi berusaha tidak mengeluh. Yang membuat dia merasa kuat, adalah karena Alva selalu mendampinginya. Alva selalu mengantar dan menjemputnya di kelas ekstrakurikuler. Mereka mengerjakan tugas dan PR bersama Karin di perpustakaan tiap ada waktu. Mereka juga berangkat dan pulang bersama, tiap kali kursus bahasa Jerman, dengan motor baru Alva yang dihadiahkan oleh Om Hanz.Hari Jumat sore, Alena dan Alva baru saja selesai kursus bahasa Jerman. Alva memutuskan tidak berangkat ke latihan komunitas musik klasi