Kepindahan Maryam dari Dubai ke Amerika membuat hidupnya semakin sempit. Dia tidak disambut dengan baik oleh mahasiswa dan mahasiswa di kampus barunya. Hanya seorang lelaki bernama David- anak angkat dari seorang Pastur yang mengabdikan diri di sebuah Gereja di kota itu yang baik padanya. Kini Maryam jatuh hati pada lelaki itu. Maryam tidak menyadari kalau cinta mereka akan diuji oleh perbedaan. Sanggupkah mereka menghadapi ujian perbedaan itu? David "Aku sangat bahagia ketika kau bersedia menjadi kekasihku, walau tak boleh sedikitpun aku menyentuhmu. Sayang, keyakinan yang kau miliki tak sama dengan keyakinanku, Maryam. Orangtuaku juga orangtuamu tak setuju jika kita bersatu.” Maryam “Aku belum pernah merasakan cinta sehebat dan sedahsyat ini. Kaulah cinta pertamaku, dan aku bahagia bisa mencintaimu. Tapi sayang, kebahagiaan ini begitu singkat. Kebahagiaan ini tidak lebih seperti kupu-kupu yang sangat singkat hidupnya menikmati keindahan bunga-bunga di taman.” ____ "Kau tahu, apa yang membuat Nabi Muhammad selalu tenang dalam menghadapi masalah dalam hidupnya? Rahasianya cuma satu, Maryam. Karena beliau selalu menjaga cintanya pada Allah. Beliau tidak pernah melebihkan cintanya pada siapapun selain-Nya. Berhentilah menangis. Jangan sampai cintamu itu membuat Allah berpaling darimu, Maryam." Tentang Penulis : Hakayi adalah sebuah nama pena dari Hengki Kumayandi. Novel ini pernah diterbitkan oleh Penerbit Wahyu Qolbu dan beredar di toko buku nasional dan best seller pada masanya. Cover by Ineedcreative
ดูเพิ่มเติมItu petang yang teduh. Matahari bergeser sesuai hukumnya. Namun langit kelabu menggantung di atas Washington DC. Menyembunyikan terang di baliknya. Gumpalan awan kelam menaungi kota yang hanya menerima sinar matahari rata-rata dua ribu lima ratus jam per tahunnya itu. Washington DC yang beriklim subtropis lembab sedang berada di titik cuaca ekstrim musim dingin. Dan petang itu pusat pemerintahan negara adidaya itu akan mandi besar. Gedung-gedung pencakar langitnya akan basah kuyup dijatuhi curah hujan tinggi di Januari.
Di dalam sebuah rumah sakit besar yang terhimpit gedung-gedung raksasa di jantung kota itu, seorang remaja berusia dua puluh tahun terbaring lemah. Memandangi kelamnya suasana dunia luar dan derasnya hujan melalui jendela kamarnya yang tirainya tersingkap.
David. Anak lelaki berkulit cerah, berambut ikal pirang pendek. Hidungnya kecil, dengan bibir tipis yang warna merah muda agak sedikit pucat. Sesekali pandangannya terarah pada tetes-tetes glukosa dalam tabung infus yang terhubung dengan aliran darahnya. Di sisinya, Rushel Martin—ayah angkatnya—duduk menungguinya. Ia seorang seorang pastur berusia empat puluhan. Lelaki berpembawaan tenang yang mengabdikan dirinya di sebuah gereja di kota itu. Seharian itu dia telah menghabiskan waktunya untuk menjaga anak angkat kesayangannya itu. Anak yang dipungutnya di depan gereja di pagi buta. Tak ada yang mengakuinya sebagai orang tuanya. Rashell pun dengan senang hati merawat anak itu dan mengasuhnya di gereja dan membesarkannya hingga dia kuliah seperti sekarang.
Saat kilat menyambar di luar sana, David tampak ketakutan. Dia langsung mengalihkan pandangannya ke wajah ayah angkatnya dengan rasa takut. Sejak kecil David sangat takut dengan suara petir itu. Rushell lah yang selalu menenangkannya setiap kali ketakutannya muncul.
"Ayah, kapan aku bisa pulang?” tanya David lemah. “Aku sudah tidak betah di sini. Aku ingin pulang. Aku rindu orang-orang di gereja dan aku rindu dengan teman-teman di kampusku.”
Rushel memandangnya dengan iba. Ia lalu mengelus kening remaja itu, "Sabar, anakku. Dokter bilang kau belum boleh pulang."
David pasrah. Ia kembali menoleh pada derasnya hujan di luar sana yang tanpa ampun membasahi kota. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Sesaat kemudian, wajah-wajah yang dikenali remaja itu muncul dari balik pintu. Jardon, dan Anggel - teman kuliahnya, datang mengunjunginya. Jardon yang berulit hitam dan berwajah ramah itu tersenyum senang saat bisa melihat David kembali. Anggel pun merasakan yang sama saat melihatnya. Mereka sudah lama tidak bersama-sama semenjak David di rawat di sana.
Wajah David berbinar melihat mereka datang. Ia ingin bangkit dari posisi berbaringnya namun tubuhnya masih lemah.
“Tiduran saja, kau tak perlu duduk,” pinta Jardon.
David mengangguk lalu kembali berbaring sambil melihat ke arah mereka.
Rushel langsung menyambut sahabat-sahabat puteranya dengan senyum sebelum keluar dari kamar itu, membiarkan dua remaja itu bercengkrama dengan anak angkatnya itu.
”Bagaimana keadaanmu, Dave?” tanya Jardon khawatir. Sementara itu, Anggel hanya diam di samping Jardon.
Seulas senyum terpancar di wajah David.
”Kurasa aku sudah lebih baik. Terima kasih kalian sudah datang,” ucap David senang.
Jardon dan Anggel mendadak saling pandang. Seperti sedang berkompromi untuk mengatakan sesuatu pada David. Anggel mengangguk pada Jardon. Jardon pun menoleh pada David dengan penuh keberanian.
“Di kampus, ada mahasiswi baru, Dave,” akhirnya Jardon berkata. “Hari ini teman-teman yang satu jurusan dengan kita tidak mau ikut jam kuliah gara-gara ada mahasiwi baru itu, termasuk aku dan Anggel. Teman-teman bilang dia teroris. Mereka takut, Dave. Mereka khawatir kalau-kalau kampus kita akan dibom oleh mahasiswi itu." Jardon berucap penuh rasa kesal. Sementara Anggel hanya diam dan menunjukkan mimik wajah yang serupa dengan yang ditunjukkan Jardon.
David terkejut tak percaya,”Teroris?”
“Begitulah, Dave.” sambung Anggel. “Hampir semua mahasiswa dan mahasiwi menuntut Rektor kita agar mengeluarkan anak itu dari kampus. Kau tahu? Dia mengenakan pakaian panjang dan pentutup kepala yang lebar. Kostum yang aneh sekali. Yuck!” Anggel meyakinkan.
“Agh! Harusnya aku bersama kalian sekarang. Sayangnya, dokter belum membolehkanku pulang,” ucap David sedih. Sebagai ketua BEM, ia merasa wajib menjadi yang pertama kali mengetahui permasalahan di kampusnya itu. Apalagi, ini mengenai terorisme.
“Kau tak perlu khawatir! Akan kuatasi semuanya saat kau tak ada. Aku kan, wakilmu,” Jardon mengedipkan mata.
“Well, kupercayakan padamu, Jardon. Kuharap sekolah kita tidak akan berakhir seperti Gedung Putih!”
***
Saat kedua sahabatnya itu pergi. David gelisah. Pikirannya tersita dengan berita kedatangan mahasiswi muslim berbaju panjang lengkap dengan penutup kepalanya itu. Ia ingin segera sembuh agar bisa segera ke kampus dan bisa melihat sendiri mahasiswi muslim yang dianggap teroris oleh teman-temannya itu.
Mahasiswi muslim asing bukanlah masalah kecil. Ia yakin, ada yang harus ia lakukan. Misalnya, mendukung aksi pengusiran mahasiswi berkerudung itu dari kampusnya. Sejak peristiwa serangan 11 September 2001 di gedung putih, hampir semua warga Amerika mem-black list umat muslim. Tak terkecuali David. Baginya, semua muslim adalah teroris.
“Masih maukah kau menikah denganku?” Tanya David. Maryam terperangah. Sudah lama sekali dia menunggu kalimat itu terucap oleh David. Dan sekarang, saat semuanya telah berubah menjadi lebih baik, dan David benar-benar mengucapkan itu padanya, lelaki itu sudah memiliki seorang anak.“Kau bisa bilang pada ayahmu bahwa aku sekarang seorang muslim,” bujuk David. “Bukan karena orang tuaku muslim, bukan karena cinta untuk mendapatkanmu, tapi karena hatiku telah mantap memilihnya.” Ditatapnya wajah Maryam yang menunduk dalam.”Aku masih mencintaimu, Dave. Aku tidak bisa melupakanmu. Demi Allah.” Suara Maryam bergetar, kemudian melanjutkan, ”Tapi bagaimana kau menjelaskan perihal anak laki-laki yang memanggilmu ‘Daddy’ tadi?”David tersenyum lembut. “Ibrahim!”panggilnya. anak lelaki berpipi merah seperti tomat matang itu keluar ragu-ragu dari dalam, menemui David.“Y
”Bapa, saya ingin menemui David, dan saya ingin Bapa ikut bersama saya.” Di tengah isak tangisnya yang menyiratkan keharuan, Maryam berujar.”Bapa tidak bisa ikut denganmu. Pergilah dan temui dia. Kau bisa memakai mobil Bapa. Sampaikan salam Bapa pada David, bilang padanya untuk berkunjung ke sini karena ayah angkatnya begitu merindukannya.””Sekarang kau juga anakku, Maryam,” lanjutnya lagi.”Terima kasih atas kebaikanmu, Bapa.” Maryam menunduk dengan takzim, meminta izin untuk segera undur diri dari kediaman pastur itu dan segera mencari alamat David.Saat Maryam hendak membuka pintu mobil, Pinokio, Anjing kesayangan David, menyalak seakan menuntut perhatian Maryam.”Bawalah Pinokio bersamamu, Maryam. Dia sudah sangat rindu pada David,” ucap Pastur itu. Maryam pun akhirnya membawa serta anjing itu bersamanya.Maryam melaju kencang menembus kota Washington bersama
Maryam menerimanya dengan tangan bergetar. Amplop surat itu terlihat sedikit usang, menandakan telah cukup lama usia pembuatannya. Pelan dibacanya isi surat itu. Maryam... Tahukah kamu? Sejak pertama kali aku melihatmu di gerbang sekolah itu, hatiku langsung luluh, entah mengapa. Aku sama sekali tak percaya kalau kau seorang teroris seperti yang dikatakan oleh teman-temanku di sekolah, padahal aku sungguh ingin mengusirmu dari sekolah sejak aku menerima i
Sebuah taksi mengantarkannya ke tempat itu. Semua masih terlihat sama seperti beberapa tahun lalu. Maryam mengintip dari balik jendela taksi sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Dia menghela nafas, berusaha menepis gemuruh di hatinya. Matanya memicing begitu melihat seekor anjing menyalak-nyalak, menatapnya dari kejauhan.Tiba-tiba segala kenangan bersama David kembali terngiang.“Maryam,” panggil David.Maryam menoleh heran pada David.“Ya?” jawab Maryam. ”You must be starving. Here are for you. Have them!” tawar David sambil menyodorkan makanan dan minuman di tangannya dengan sedikit gugup. Maryam sedikit terkejut melihat kebaikan siswa pembelanya yang mendadak itu. ”Maaf, aku sedang berpuasa,” ucap Maryam mencoba menjelaskan. “Puasa? Maksudmu, tidak makan tidak minum?” tanya David masih belum
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Khaled menunggu Maryam untuk bisa menyentuh tubuhnya. Namun Maryam tak juga mengizinkan Khaled untuk menyentuhnya. Hingga suatu hari, Khaled duduk di samping Maryam. ”Maryam, aku menyerah. Hari ini... Ya, tepat hari ini.. Aku... Aku... Aku akan menceraikanmu...” Derai air mata tercurah dari mata bening Khaled. Dia gugup mengatakannya.Bagai tersengat listrik, Maryam kaget luar biasa mendengar ucapan Khaled yang tiba-tiba itu.
”Maryam....Berhenti...! Maryam...Berhenti...!” Teriak David lagi.Maryam pias begitu melihat sosok David berada di belakang, berusaha mengejar mobilnya.”Kemudikan mobil ini cepat-cepat, Pak!” Pinta Maryam pada sopir keluarga itu. Dihapusnya sisa airmata yang masih menggenangi pipinya.Khaled merasa iba saat mengetahui David begitu gigih ingin menemui Maryam untuk terakhir kalinya. Sementara ayah dan ibu Maryam tak kalah pias. Namun mereka lebih memilih diam, tak tahu harus berbuat apa.”Maryam... Aku mohon... Aku ingin bicara sekali lagi... Untuk yang terakhir kalinya...!” Teriak David.” Hentikan mobilnya!” Ayah Maryam menyuruh menghentikan mobilnya dan kemudian berujar pada Maryam, ”Turunlah, Nak. Temui dia untuk yang terakhir kalinya.”Saat mengetahui mobil itu berhenti, David langsung menghempaskan sepedanya. Dia berlari menuju mobil itu. Sesaat kemudian Maryam turun dari mobil
”Maryam... Maryam....” perlahan David membuka matanya.”Anakku, kau sadar kembali. Puji Tuhan.” Ayah David tak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya. Dia peluk anaknya dengan erat seakan tidak ingin kehilangan lagi.”Ayah, tadi aku bertemu Maryam.. Tapi aku tidak bisa membawanya pergi. Aku tidak tahu kenapa, Ayah.” Wajah David sendu mengingat sosok Maryam."Jangan pikirkan Maryam lagi. Ayah mohon. Hidupmu masih panjang, Nak.” Pinta ayahnya.”Ayah, maafkan aku. Aku merasa semakin lelah, Ayah. Sangat lelah. Aku tidak ingin merasakan cinta seperti ini lagi, Ayah. Aku ingin bebas. Aku ingin lepas dari rasa ini, Ayah. Aku hanya ingin bersamamu. Peluk aku, Ayah. Aku akan berusaha melupakan Maryam. Aku janji.”David menyerah, walau sebenarnya hatinya masih sangat mencintai Maryam. Dia menyadari bahwa cinta yang dia rasakan saat itu begitu menyiksa dirinya. Rushel memeluk putranya itu dengan erat. Dav
”Ayah...,” panggil David lemah.”Aku di sini, Anakku,” jawab ayah David.”Kulihat Maryam berdiri di ujung sana, di sebuah tempat yang aku tak tahu itu di mana. Dia menungguku, Yah. Dia mengajakku pergi,” ujar David.Ayahnya mendengar dengan seksama.”Bolehkan aku ikut dengannya? Kurasa pergi bersamanya adalah jalan satu-satunya agar aku bisa hidup bersamanya, Ayah,” sambungnya. Suaranya begitu lirih terdengar di telinga ayahnya.”Jangan bicara seperti itu pada ayah, Nak. Maryam baik-baik saja. Yang kau lihat itu bukan Maryam.” Ayah David sekuat tenaga menahan tangis.” Aku yakin itu Maryam. Aku tahu itu dia.” sambung David lagi.“Kau pasti sembuh, Nak. Kau harus sembuh!” Diusapnya kepala David, berusaha untuk meyakinnya.”Aku tidak kuat lagi, Ayah. Maafkan aku jika selama ini aku sudah banyak menyusahkanmu, Ayah. Ayah, aku mencintaimu.
Anggel menghapus air matanya, surat itu masih dia simpan di tasnya untuk David. Tapi saat itu dia masih menunggu saat yang tepat. Menunggu pintu kamar rawat inap Maryam terbuka dan dokter membawa kabar bahwa dia baik-baik saja. Dokter dan kedua perawat itu masih berupaya menolong Maryam yang desah nafasnya mulai terengah. Dalam alam bawah sadarnya, Maryam seolah berada di ruangan serba putih. Di sa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น