David melangkah memasuki kelas itu dengan pelan dan dengan tanya—yang sama dengan yang dilontarkan Jardon dan teman-temannya beberapa saat lalu—di kepalanya. Mengapa ia sampai berubah pikiran untuk tidak ikut campur dengan pernyataan teroris yang dituduhkan pada gadis itu?
Gadis itu sedang duduk sambil membaca sesuatu saat David berjalan menuju bangkunya. David duduk di sebelahnya. Lama tak ada pembicaraan di antara mereka. Bagi David, wajah se-innocent itu tidak tampak seperti menyimpan niat jahat untuk menghancurkan kampus dengan bom. Dan seperti kata ayahnya, gadis itu wajib diperlakukan seperti warga Amerika lainnya. Justitia omnibus. David mengingatnya lagi.
Maryam sendiri merasa tenang karena akhirnya ia merasa memiliki teman yang mendukungnya. Meski tak melihat wajahnya, ia yakin, mahasiswa yang masuk ke kelas itu adalah mahasiswa yang beberapa saat lalu berdebat dengan teman-temannya di parkiran kampus. Maryam ingin mengucapkan terima kasih pada remaja itu karena telah membelanya, namun ia tak tahu bagaimana harus memulainya.
Mereka berdua masih terdiam, padahal di dalam hati kedua anak manusia berbeda ras itu sangat ingin saling bertegur sapa. Namun, mereka tak kuasa dan tetap memilih diam. Lalu tiba-tiba, seorang dosen laki-laki berumur awal empat puluhan masuk ke kelas. Mr. Lizon. Dosen matematika bertubuh tinggi yang sedikit bungkuk.
”Good morning. Ouch, only two of you? Ke mana mahasiswa dan mahasiwiku yang baik dan cerdas-cerdas itu, David?” tanya Lizon.
“Mereka semua pergi, Pak!” David tak melanjutkan kata-katanya. Ia menoleh ke arah Maryam, lalu akhirnya mengurungkan niatnya untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada gurunya. Ia khawatir akan membuat Maryam tersinggung dan gusar.
”Mereka kenapa?” tanya guru itu lagi.
”Mereka pikir aku seorang teroris, Pak,” sahut Maryam. “Padahal aku pindah ke sini jauh-jauh dari Dubai karena mengikuti ayahku yang bertugas di kedutaan besar Uni Emirat Arab untuk Amerika Serikat. Aku hanya mahasiswi biasa, bukan teroris.” Maryam berusaha menjelaskan.
”Begitu, ya?” ucap Lizon.lalu mendekat ke arah David, “Ini tanggung jawabmu sebagai BEM di kampus ini. Kau harus meyakinkan semua temanmu bahwa Maryam tidak seperti yang mereka duga.”
“Aku percaya dia bukan teroris, Pak. Dan aku akan berusaha semampuku untuk meyakinkan mereka,” ucap David dengan serius.
Maryam menoleh ke arah David. Selama bersekolah di Dubai, ia sama sekali tak pernah berada sekelas dengan anak lelaki. Ia kuliahkan di sebuah kampus khusus perempuan. Maryam merasa agak gugup, namun dia merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasa nyaman melihat seseorang yang begitu tulus mempercayainya.
Lizon memutuskan untuk tetap mengajar di kelas itu. Hari ini, Maryam tidak sendiri lagi.
***
Jam istirahat tiba. David beranjak dari duduknya. Ia ingin mengajak gadis berkerudung itu keluar untuk makan bersama, namun ia tak berani. Ia lihat Maryam malah tetap duduk dan membaca sebuah buku tebal. David akhirnya meninggalkannya.
Di perjalanan menuju kantin, David mencoba menelepon Jardon. Dia meraih handphonenya dan memencet nomor sahabatnya itu. Beruntung, Jardon di seberang sana mengangkatnya.
“Jardon?” sapa David setelah Jardon mengangkat teleponnya.
“Kau bukan temanku lagi. Untuk apa kau menghubungiku lagi, hah?” jawab Jardon ketus.
“Jardon, mari kita bicarakan ini lagi. Percayalah padaku. Gadis itu bukan teroris. Bahkan dosen-dosen kita percaya bahwa dia bukan teroris. Dia anak duta besar Uni Emirat Arab untuk Amerika Serikat. Ayolah, kenapa kalian bersikap begitu? Ayolah, kita semua teman. Bantu aku meyakinkan yang lain dan minta mereka untuk kembali kuliah,” pinta David.
”Kau ini kenapa, Dave? Kau bisa begitu saja percaya, padahal baru tadi pagi kau melihatnya. Kau belum tahu semuanya tentang gadis itu, bukan? Oh My God! Aku yakin kau pasti terhipnotis dengan parasnya. Karena kecantikan timur tengahnya itu kau jadi berubah pikiran. Ternyata benar, wanita bisa menghancurkan dunia. Kau ingat perkataan Mrs. Violen tentang Bill Clinton? Kau akan seperti dia, Dave. Hancur gara-gara wanita,” ucap Jardon.
“Jardon, kumohon. Percaya padaku kali ini saja. Kalau kau salah, kau akan menyesal.” David memohon.
”Dan kalau aku benar, apa kau akan menyesal? Ah, love at the first sight. Is it Dave?”
”Ini konyol, Jardon! Ini bukan tentang cinta. Ini soal keyakinanku bahwa dia bukan teroris!”
”Kau membelanya tanpa bukti, Dave. Sangat mungkin kau sedang jatuh cinta. Tapi aku tidak peduli lagi. Kita bukan teman lagi, kan?” ucap Jardon lalu mematikan handphone-nya tiba-tiba.
”Jardon!” Panggil David tapi sambungan itu telah terputus.
David terdiam sesaat. Ia terduduk di sebuah bangku di koridor dan mencoba memikirkan kata-kata Jardon.
Cinta? Aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama? Tidak. Itu tidak mungkin! Jardon tidak tahu apa-apa. Dia hanya kesal. Tidak. Ini tidak seperti itu!
David berjalan menuju kantin sambil kembali mengingat-ingat saat pertama kali dia melihat wajah gadis berkerudung itu di parkiran kampus tadi pagi.Wajah itu begitu cerah bersinar. Belum pernah aku melihat wajah yang bersinar cerah seperti itu. Walaupun Anggel adalah yang tercantik di sekolah, tapi wajah Anggel tak secerah wajah gadis itu.Pikir David. Hatinya terus bergumam, mencoba mengingat-ingat peristiwa beberapa jam yang lalu.Aku merasa tenang saat berada di kelas bersama gadis itu, tak pernah aku merasakan setenang itu. Tuhan, apakah aku jatuh cinta pada gadis itu? Aku sungguh belum pernah merasakan rasa ini sebelumnya pada gadis mana pun. Tiba-tiba saja aku seperti berubah. Berubah menjadi David yang lain. Apa mungkin Jardon benar? Aku memang tidak mengenalnya. David berdialog dengan dirinya sendiri. Ia kemudian sampai di kantin itu dan memesan makanan. Setelah kenyang kembali ke kelas. David menemukan Gadis Dubai itu sed
Maryam mengangkat wajah. Untuk kedua kalinya ia menatap mata David secara langsung setelah melihatnya di halaman sekolah pagi tadi. Wajah David yang tampan membuat Maryam bergetar. Baru kali itu ia merasakan getaran seperti itu. Di Dubai, Maryam dikuliahkan di universitas khusus perempuan sehingga ia nyaris tak pernah berinteraksi dengan anak lelaki seusianya. Hatinya mengatakan ingin sekali menaiki sepeda remaja itu, namun Maryam malu. Interaksi itu membuat hati Maryam sedikit gelisah. Ia masih menghawatirkan apakah yang dia lakukan itu adalah dosa atau tidak.“Kenapa harus meminta maaf?” tanya Maryam,”lagi pula, aku tidak mungkin menerima tawaran tumpangan sepeda anak lelaki asing.”David terdiam. Sedikit kecewa mendengar ucapan itu. Tapi kemudian ia maklum. Untuk berjalan sejajar pun tak boleh. Mana boleh bersepeda berboncengan?“Kau berjalanlah duluan,” pinta Maryam kemudian.“Tapi kau jangan jauh-jauh dariku,
Maryam masuk ke kamarnya lalu berbaring di atas kasurnya. Tiba-tiba wajah David terbayang di pelupuk matanya. Berkali-kali ia mengusir wajah itu, tapi bayangan wajah David yang tampan itu tak mau hilang juga dari matanya. Maryam lalu duduk. Dia beristigfar berkali-kali. Namun sesaat dia tersadar saat pertama kali menatap wajah remaja itu tadi ada perasaan aneh yang muncul secara mendadak. Lalu ditambah saat dia menemaninya belajar di kelas tadi dan saat dia menemani Maryam ke halte dengan alasan dia khawatir kalau mahasiswa dan mahasiswi yang tidak suka dengannya itu akan berbuat jahat padanya. Tulus sekali niat pemuda itu, pikir Maryam. Selama hidupnya baru kali itu ada seorang lelaki asing yang baik padanya.Inikah cinta seperti yang dikatakan penulis kisah seribu satu malam itu? Atau seperti yang dikatakan William Shakespeare dalam karyanya Romeo dan Juliet?Tidak, itu terlalu cepat untuk menyimpulkannya begitu. Selama ini Maryam tak pernah percaya dengan k
Saat Maryam berada di dalam bus, dia teringat obrolan ayah dan ibunya di ruang tengah dan tak sengaja ia dengarkan di kamarnya. Kedua orang tuanya itu sedang membahas hari ulang tahun ayahnya besok. Ibunya menanyakan hadiah ulang tahun apa yang ayahnya mau. Ayahnya bilang beri saja dia maninan kunci berbentuk ka’bah, agar dia selalu teringat kiblat dan benda itu akan turut mengingatkannya akan sholat lima waktu. Ibunya berjanji untuk memberika hadiah itu pada suaminya. Dan untuk alasan itulah Maryam menanyakan pada David tadi soal toko yang menjual benda-benda yang biasa dijadikan hadiah. Maryam ingin memberi hadiah itu pada ayahnya tepat di hari kelahirannya. M
“Kau belum tidur?” tanya ibunya heran. “Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada ayah, Bu,” ucap Maryam sambil tersenyum senang. Ibunya terkejut, dia baru teringat kalau malam ini suaminya itu ulang tahun. Padahal kemarin malam dia sudah berjanji untuk memberikan kado padanya. Namun dia tak menemukan hadiah yang diinginkan suaminya itu.
Sebuah Bus berhenti di halte. David dan Maryam pun turun dari sana. Sesaat gadis berkerudung itu menoleh pada David.“Terima kasih, Dave. Hari ini kau sudah membawaku untuk mengenal dunia,” ucap Maryam dengan senang.“Sama-sama. Dan aku akan selalu siap untuk menemanimu ke mana pun kau mau,” ucap David.Maryam lalu berbalik dan meninggalkan David di sana. David menatap punggung Maryam yang kian jauh dari pandangan matanya.Dan setelah itu, setiap kali pulang kuliah, Maryam meminta David untuk menemaninya kembali berkeliling kota. Maryam pun meminta David untuk menemaninya ke mall, ke toko buku dan ke tempat restoran Arab yang ada di sana. Mereka mulai saling dekat dan saling mengenal. Mereka mulai merasakan kenyamanan saat bersama.Dan saat Maryam pulang sehabis pergi bersama David itu. Hari itu ada yang berbeda dengan ayahnya. Ayahnya berdiri marah di ambang pintu menunggu Maryam pulang. Maryam berjalan ke arahnya den
Pagi itu kota Washington sangat cerah, secerah hati David. Remaja itu masih mengayuh sepedanya dengan kencang, dia tak sabar untuk segera sampai ke kampusnya. Hatinya juga tak sabar ingin bertemu dengan Maryam. Di sepanjang perjalanan di jalur sepeda itu, dia memikirkan untuk mengajak Maryam kemana lagi hari itu. Hampir dari setiap sudut di kota itu sudah dia perkenalkan pada gadis itu.Setiba di kampus, David sangat senang saat melihat semua teman-temannya sudah berada di kelas untuk bersiap menerima materi kuliah lagi hari itu. Hatinya bertanya-tanya, siapa yang menggerakkan mereka untuk datang kembali ke kampusnya. Padahal dia sudah melakukan berbagai cara untuk membujuk dan meyakinkan mereka kalau Maryam bukan seorang teroris. Apa mereka sudah menerima Maryam dengan baik? Tanya David dalam hati. Lalu seketika mata yang biru itu mengitari seisi kelas. Dia heran karena tidak menemukan Maryam di sana.Jardon yang melihat David langsung menghampirinya.&nb
Sementara itu, Rusahel berdiri di depan pintu masuk asrama gereja. Dia heran sudah selarut itu anak angkat belum pulang juga. Pinokio–angjing kesayangan David datang menghampiri Rashel. Sepertinya anjing itu juga sedang menunggu sahabatnya datang. Pinokio tiba-tba berputar-putar dan menyalak-nyalak. Rushel menatap anjing itu dengan heran. ”Kau juga khawatir terhadap David?” tanya Rushel panjingnya itu. Pinokio menyalak-nyalak lagi. ”Tenanglah, sebentar lagi juga David pasti pulang. Ayo tunggu saja di dalam,” pinta Rushel pada anjingnya itu. Namun saat Rashel melangkah ke dalam gerbang asrama. Pinokio malah berlari keluar. Rushel pun heran lalu berteriak padanya.
“Masih maukah kau menikah denganku?” Tanya David. Maryam terperangah. Sudah lama sekali dia menunggu kalimat itu terucap oleh David. Dan sekarang, saat semuanya telah berubah menjadi lebih baik, dan David benar-benar mengucapkan itu padanya, lelaki itu sudah memiliki seorang anak.“Kau bisa bilang pada ayahmu bahwa aku sekarang seorang muslim,” bujuk David. “Bukan karena orang tuaku muslim, bukan karena cinta untuk mendapatkanmu, tapi karena hatiku telah mantap memilihnya.” Ditatapnya wajah Maryam yang menunduk dalam.”Aku masih mencintaimu, Dave. Aku tidak bisa melupakanmu. Demi Allah.” Suara Maryam bergetar, kemudian melanjutkan, ”Tapi bagaimana kau menjelaskan perihal anak laki-laki yang memanggilmu ‘Daddy’ tadi?”David tersenyum lembut. “Ibrahim!”panggilnya. anak lelaki berpipi merah seperti tomat matang itu keluar ragu-ragu dari dalam, menemui David.“Y
”Bapa, saya ingin menemui David, dan saya ingin Bapa ikut bersama saya.” Di tengah isak tangisnya yang menyiratkan keharuan, Maryam berujar.”Bapa tidak bisa ikut denganmu. Pergilah dan temui dia. Kau bisa memakai mobil Bapa. Sampaikan salam Bapa pada David, bilang padanya untuk berkunjung ke sini karena ayah angkatnya begitu merindukannya.””Sekarang kau juga anakku, Maryam,” lanjutnya lagi.”Terima kasih atas kebaikanmu, Bapa.” Maryam menunduk dengan takzim, meminta izin untuk segera undur diri dari kediaman pastur itu dan segera mencari alamat David.Saat Maryam hendak membuka pintu mobil, Pinokio, Anjing kesayangan David, menyalak seakan menuntut perhatian Maryam.”Bawalah Pinokio bersamamu, Maryam. Dia sudah sangat rindu pada David,” ucap Pastur itu. Maryam pun akhirnya membawa serta anjing itu bersamanya.Maryam melaju kencang menembus kota Washington bersama
Maryam menerimanya dengan tangan bergetar. Amplop surat itu terlihat sedikit usang, menandakan telah cukup lama usia pembuatannya. Pelan dibacanya isi surat itu. Maryam... Tahukah kamu? Sejak pertama kali aku melihatmu di gerbang sekolah itu, hatiku langsung luluh, entah mengapa. Aku sama sekali tak percaya kalau kau seorang teroris seperti yang dikatakan oleh teman-temanku di sekolah, padahal aku sungguh ingin mengusirmu dari sekolah sejak aku menerima i
Sebuah taksi mengantarkannya ke tempat itu. Semua masih terlihat sama seperti beberapa tahun lalu. Maryam mengintip dari balik jendela taksi sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Dia menghela nafas, berusaha menepis gemuruh di hatinya. Matanya memicing begitu melihat seekor anjing menyalak-nyalak, menatapnya dari kejauhan.Tiba-tiba segala kenangan bersama David kembali terngiang.“Maryam,” panggil David.Maryam menoleh heran pada David.“Ya?” jawab Maryam. ”You must be starving. Here are for you. Have them!” tawar David sambil menyodorkan makanan dan minuman di tangannya dengan sedikit gugup. Maryam sedikit terkejut melihat kebaikan siswa pembelanya yang mendadak itu. ”Maaf, aku sedang berpuasa,” ucap Maryam mencoba menjelaskan. “Puasa? Maksudmu, tidak makan tidak minum?” tanya David masih belum
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Khaled menunggu Maryam untuk bisa menyentuh tubuhnya. Namun Maryam tak juga mengizinkan Khaled untuk menyentuhnya. Hingga suatu hari, Khaled duduk di samping Maryam. ”Maryam, aku menyerah. Hari ini... Ya, tepat hari ini.. Aku... Aku... Aku akan menceraikanmu...” Derai air mata tercurah dari mata bening Khaled. Dia gugup mengatakannya.Bagai tersengat listrik, Maryam kaget luar biasa mendengar ucapan Khaled yang tiba-tiba itu.
”Maryam....Berhenti...! Maryam...Berhenti...!” Teriak David lagi.Maryam pias begitu melihat sosok David berada di belakang, berusaha mengejar mobilnya.”Kemudikan mobil ini cepat-cepat, Pak!” Pinta Maryam pada sopir keluarga itu. Dihapusnya sisa airmata yang masih menggenangi pipinya.Khaled merasa iba saat mengetahui David begitu gigih ingin menemui Maryam untuk terakhir kalinya. Sementara ayah dan ibu Maryam tak kalah pias. Namun mereka lebih memilih diam, tak tahu harus berbuat apa.”Maryam... Aku mohon... Aku ingin bicara sekali lagi... Untuk yang terakhir kalinya...!” Teriak David.” Hentikan mobilnya!” Ayah Maryam menyuruh menghentikan mobilnya dan kemudian berujar pada Maryam, ”Turunlah, Nak. Temui dia untuk yang terakhir kalinya.”Saat mengetahui mobil itu berhenti, David langsung menghempaskan sepedanya. Dia berlari menuju mobil itu. Sesaat kemudian Maryam turun dari mobil
”Maryam... Maryam....” perlahan David membuka matanya.”Anakku, kau sadar kembali. Puji Tuhan.” Ayah David tak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya. Dia peluk anaknya dengan erat seakan tidak ingin kehilangan lagi.”Ayah, tadi aku bertemu Maryam.. Tapi aku tidak bisa membawanya pergi. Aku tidak tahu kenapa, Ayah.” Wajah David sendu mengingat sosok Maryam."Jangan pikirkan Maryam lagi. Ayah mohon. Hidupmu masih panjang, Nak.” Pinta ayahnya.”Ayah, maafkan aku. Aku merasa semakin lelah, Ayah. Sangat lelah. Aku tidak ingin merasakan cinta seperti ini lagi, Ayah. Aku ingin bebas. Aku ingin lepas dari rasa ini, Ayah. Aku hanya ingin bersamamu. Peluk aku, Ayah. Aku akan berusaha melupakan Maryam. Aku janji.”David menyerah, walau sebenarnya hatinya masih sangat mencintai Maryam. Dia menyadari bahwa cinta yang dia rasakan saat itu begitu menyiksa dirinya. Rushel memeluk putranya itu dengan erat. Dav
”Ayah...,” panggil David lemah.”Aku di sini, Anakku,” jawab ayah David.”Kulihat Maryam berdiri di ujung sana, di sebuah tempat yang aku tak tahu itu di mana. Dia menungguku, Yah. Dia mengajakku pergi,” ujar David.Ayahnya mendengar dengan seksama.”Bolehkan aku ikut dengannya? Kurasa pergi bersamanya adalah jalan satu-satunya agar aku bisa hidup bersamanya, Ayah,” sambungnya. Suaranya begitu lirih terdengar di telinga ayahnya.”Jangan bicara seperti itu pada ayah, Nak. Maryam baik-baik saja. Yang kau lihat itu bukan Maryam.” Ayah David sekuat tenaga menahan tangis.” Aku yakin itu Maryam. Aku tahu itu dia.” sambung David lagi.“Kau pasti sembuh, Nak. Kau harus sembuh!” Diusapnya kepala David, berusaha untuk meyakinnya.”Aku tidak kuat lagi, Ayah. Maafkan aku jika selama ini aku sudah banyak menyusahkanmu, Ayah. Ayah, aku mencintaimu.
Anggel menghapus air matanya, surat itu masih dia simpan di tasnya untuk David. Tapi saat itu dia masih menunggu saat yang tepat. Menunggu pintu kamar rawat inap Maryam terbuka dan dokter membawa kabar bahwa dia baik-baik saja. Dokter dan kedua perawat itu masih berupaya menolong Maryam yang desah nafasnya mulai terengah. Dalam alam bawah sadarnya, Maryam seolah berada di ruangan serba putih. Di sa