Saat Maryam berada di dalam bus, dia teringat obrolan ayah dan ibunya di ruang tengah dan tak sengaja ia dengarkan di kamarnya. Kedua orang tuanya itu sedang membahas hari ulang tahun ayahnya besok. Ibunya menanyakan hadiah ulang tahun apa yang ayahnya mau. Ayahnya bilang beri saja dia maninan kunci berbentuk ka’bah, agar dia selalu teringat kiblat dan benda itu akan turut mengingatkannya akan sholat lima waktu. Ibunya berjanji untuk memberika hadiah itu pada suaminya. Dan untuk alasan itulah Maryam menanyakan pada David tadi soal toko yang menjual benda-benda yang biasa dijadikan hadiah. Maryam ingin memberi hadiah itu pada ayahnya tepat di hari kelahirannya.
M
“Kau belum tidur?” tanya ibunya heran. “Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada ayah, Bu,” ucap Maryam sambil tersenyum senang. Ibunya terkejut, dia baru teringat kalau malam ini suaminya itu ulang tahun. Padahal kemarin malam dia sudah berjanji untuk memberikan kado padanya. Namun dia tak menemukan hadiah yang diinginkan suaminya itu.
Sebuah Bus berhenti di halte. David dan Maryam pun turun dari sana. Sesaat gadis berkerudung itu menoleh pada David.“Terima kasih, Dave. Hari ini kau sudah membawaku untuk mengenal dunia,” ucap Maryam dengan senang.“Sama-sama. Dan aku akan selalu siap untuk menemanimu ke mana pun kau mau,” ucap David.Maryam lalu berbalik dan meninggalkan David di sana. David menatap punggung Maryam yang kian jauh dari pandangan matanya.Dan setelah itu, setiap kali pulang kuliah, Maryam meminta David untuk menemaninya kembali berkeliling kota. Maryam pun meminta David untuk menemaninya ke mall, ke toko buku dan ke tempat restoran Arab yang ada di sana. Mereka mulai saling dekat dan saling mengenal. Mereka mulai merasakan kenyamanan saat bersama.Dan saat Maryam pulang sehabis pergi bersama David itu. Hari itu ada yang berbeda dengan ayahnya. Ayahnya berdiri marah di ambang pintu menunggu Maryam pulang. Maryam berjalan ke arahnya den
Pagi itu kota Washington sangat cerah, secerah hati David. Remaja itu masih mengayuh sepedanya dengan kencang, dia tak sabar untuk segera sampai ke kampusnya. Hatinya juga tak sabar ingin bertemu dengan Maryam. Di sepanjang perjalanan di jalur sepeda itu, dia memikirkan untuk mengajak Maryam kemana lagi hari itu. Hampir dari setiap sudut di kota itu sudah dia perkenalkan pada gadis itu.Setiba di kampus, David sangat senang saat melihat semua teman-temannya sudah berada di kelas untuk bersiap menerima materi kuliah lagi hari itu. Hatinya bertanya-tanya, siapa yang menggerakkan mereka untuk datang kembali ke kampusnya. Padahal dia sudah melakukan berbagai cara untuk membujuk dan meyakinkan mereka kalau Maryam bukan seorang teroris. Apa mereka sudah menerima Maryam dengan baik? Tanya David dalam hati. Lalu seketika mata yang biru itu mengitari seisi kelas. Dia heran karena tidak menemukan Maryam di sana.Jardon yang melihat David langsung menghampirinya.&nb
Sementara itu, Rusahel berdiri di depan pintu masuk asrama gereja. Dia heran sudah selarut itu anak angkat belum pulang juga. Pinokio–angjing kesayangan David datang menghampiri Rashel. Sepertinya anjing itu juga sedang menunggu sahabatnya datang. Pinokio tiba-tba berputar-putar dan menyalak-nyalak. Rushel menatap anjing itu dengan heran. ”Kau juga khawatir terhadap David?” tanya Rushel panjingnya itu. Pinokio menyalak-nyalak lagi. ”Tenanglah, sebentar lagi juga David pasti pulang. Ayo tunggu saja di dalam,” pinta Rushel pada anjingnya itu. Namun saat Rashel melangkah ke dalam gerbang asrama. Pinokio malah berlari keluar. Rushel pun heran lalu berteriak padanya.
Hampir tiga hari David kembali diwarat di rumah sakit. Para biarawan bergantian menjenguknya di sana. Dan hari ketiga itu, Anggel datang menemuinya. Duduk di dekatnya sambil memandanginya dengan sedih. ”Hai, Dave,” sapa Anggel. David menoleh padanya. “Mana Jardon?” tanya David pelan. “Sepertinya dia masih kesal denganmu,” jawab Anggel. David menghela napas. “Maafkan aku kalau aku mengacaukan niat kalian, tapi percayalah padaku Anggel, dia bukan teroris,” ucap David yang kembali memberla Maryam walau
Sedari tadi Jardon memang tidak menyadari ada Maryam di sana. Dia menyangka yang mengajaknya bicara tadi adalah salah satu mahasiwi di kampusnya.“Kau?” ucap Jardon ketakutan lalu langsung mundur tiga langkah dari hadapan Maryam.My terorrist classmate!“Ya, ini aku,” kata Maryam,“dan aku bukan teroris. Percayalah,” Maryam mencoba menjelaskan. “Aku memang muslim. Dan keyakinanku tidak mengajarkan terorisme. Sebaliknya. Kami mencintai perdamaian dan sangat menghargai perbedaan.”Jardon tampak tak percaya mendengarnya.“Lalu bagaimana kau menjelaskan aksi teror oleh orang-orang muslim itu? Mereka ingin menghancurkan negara kami. Amerika kami,” ucap Jardon, masih tak bisa menerima argumentasi Maryam.Maryam menggeleng lemah sambil tersenyum,“Mereka keliru, tentu saja. Mereka memiliki pandangannya sendiri. Dan itu adalah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan mengingat lagi
Maryam pun berpikir. Dia harus melakukan sesuatu untuk melawan ayahnya itu. Bukan sesuatu yang durhaka, tapi dia ingin agar ayahnya mengerti bahwa dia juga perlu kebebasan untuk memilih dan menentukan sesuatu selama itu tidak melanggar ajaran agama yang dia anut. Maryam benar-benar ingin kembali pada kampus lamanya. Dia tidak sudah di kampus yang barunya. Maryam pun mengurung diri di kamarnya seharian. Dia bolos kuliah dan melewatkan makan siang dan makan malam. Ayah dan Ibunya heran. Ayahnya langsung mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu.“Maryam, buka pintunya, kau akan sakit jika terus-terusan mengurung diri di kamar!” teriak ayahnya. Ibunya menangis di dekat ayanya.“Keluar lah, Maryam? Ada apa denganmu?” tanya ibunya sambil teriak.“Aku ingin pindah ke kampus lamaku, ayah!” teriak Maryam di dalam kamar, “aku tak mau kuliah di kampus yang baru. Aku tak akan keluar kamar jika ayah tak mau mengembalikan aku ke kampus
David bangkit dari kursinya, melirik ke Maryam dengan gugup. Memastikan bahwa di dekatnya ada tempat kosong untuk dia duduki. Namun secepat kilat bangku-bangku yang kosong sudah terisi di dekat gadis itu. Ia pun kembali duduk di tempatnya semula. Dia seperti mendapatkan seteguk air setelah dahaga berkepanjangan saat melihat gadis berkerudung itu datang lagi ke kampusnya. Seteguk air dingin yang segar yang mengobati rasa rindunya pada perempuan berkerudung itu. Rasa senang yang menjalari tubuhnya kembali membuatnya semangat untuk belajar di kampusnya itu.Di bangkunya, Maryam tak bisa lagi meredam gejolak di dalam hatinya. Ia ingin sekali langsung bertegur sapa dengan lelaki yang dirinduinya itu. Namun dia mencoba menahannya. Ia sadar akan tatapan benci di sekelilingnya. Tapi keberadaan David segera membuatnya tenang. Ia melirik sekilas ke sisi kirinya dan segera mendapati wajah David yang membalas tatapannya. Maryam segera mengalihkan pandangannya dan berpura-pura sibuk denga
“Masih maukah kau menikah denganku?” Tanya David. Maryam terperangah. Sudah lama sekali dia menunggu kalimat itu terucap oleh David. Dan sekarang, saat semuanya telah berubah menjadi lebih baik, dan David benar-benar mengucapkan itu padanya, lelaki itu sudah memiliki seorang anak.“Kau bisa bilang pada ayahmu bahwa aku sekarang seorang muslim,” bujuk David. “Bukan karena orang tuaku muslim, bukan karena cinta untuk mendapatkanmu, tapi karena hatiku telah mantap memilihnya.” Ditatapnya wajah Maryam yang menunduk dalam.”Aku masih mencintaimu, Dave. Aku tidak bisa melupakanmu. Demi Allah.” Suara Maryam bergetar, kemudian melanjutkan, ”Tapi bagaimana kau menjelaskan perihal anak laki-laki yang memanggilmu ‘Daddy’ tadi?”David tersenyum lembut. “Ibrahim!”panggilnya. anak lelaki berpipi merah seperti tomat matang itu keluar ragu-ragu dari dalam, menemui David.“Y
”Bapa, saya ingin menemui David, dan saya ingin Bapa ikut bersama saya.” Di tengah isak tangisnya yang menyiratkan keharuan, Maryam berujar.”Bapa tidak bisa ikut denganmu. Pergilah dan temui dia. Kau bisa memakai mobil Bapa. Sampaikan salam Bapa pada David, bilang padanya untuk berkunjung ke sini karena ayah angkatnya begitu merindukannya.””Sekarang kau juga anakku, Maryam,” lanjutnya lagi.”Terima kasih atas kebaikanmu, Bapa.” Maryam menunduk dengan takzim, meminta izin untuk segera undur diri dari kediaman pastur itu dan segera mencari alamat David.Saat Maryam hendak membuka pintu mobil, Pinokio, Anjing kesayangan David, menyalak seakan menuntut perhatian Maryam.”Bawalah Pinokio bersamamu, Maryam. Dia sudah sangat rindu pada David,” ucap Pastur itu. Maryam pun akhirnya membawa serta anjing itu bersamanya.Maryam melaju kencang menembus kota Washington bersama
Maryam menerimanya dengan tangan bergetar. Amplop surat itu terlihat sedikit usang, menandakan telah cukup lama usia pembuatannya. Pelan dibacanya isi surat itu. Maryam... Tahukah kamu? Sejak pertama kali aku melihatmu di gerbang sekolah itu, hatiku langsung luluh, entah mengapa. Aku sama sekali tak percaya kalau kau seorang teroris seperti yang dikatakan oleh teman-temanku di sekolah, padahal aku sungguh ingin mengusirmu dari sekolah sejak aku menerima i
Sebuah taksi mengantarkannya ke tempat itu. Semua masih terlihat sama seperti beberapa tahun lalu. Maryam mengintip dari balik jendela taksi sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Dia menghela nafas, berusaha menepis gemuruh di hatinya. Matanya memicing begitu melihat seekor anjing menyalak-nyalak, menatapnya dari kejauhan.Tiba-tiba segala kenangan bersama David kembali terngiang.“Maryam,” panggil David.Maryam menoleh heran pada David.“Ya?” jawab Maryam. ”You must be starving. Here are for you. Have them!” tawar David sambil menyodorkan makanan dan minuman di tangannya dengan sedikit gugup. Maryam sedikit terkejut melihat kebaikan siswa pembelanya yang mendadak itu. ”Maaf, aku sedang berpuasa,” ucap Maryam mencoba menjelaskan. “Puasa? Maksudmu, tidak makan tidak minum?” tanya David masih belum
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Khaled menunggu Maryam untuk bisa menyentuh tubuhnya. Namun Maryam tak juga mengizinkan Khaled untuk menyentuhnya. Hingga suatu hari, Khaled duduk di samping Maryam. ”Maryam, aku menyerah. Hari ini... Ya, tepat hari ini.. Aku... Aku... Aku akan menceraikanmu...” Derai air mata tercurah dari mata bening Khaled. Dia gugup mengatakannya.Bagai tersengat listrik, Maryam kaget luar biasa mendengar ucapan Khaled yang tiba-tiba itu.
”Maryam....Berhenti...! Maryam...Berhenti...!” Teriak David lagi.Maryam pias begitu melihat sosok David berada di belakang, berusaha mengejar mobilnya.”Kemudikan mobil ini cepat-cepat, Pak!” Pinta Maryam pada sopir keluarga itu. Dihapusnya sisa airmata yang masih menggenangi pipinya.Khaled merasa iba saat mengetahui David begitu gigih ingin menemui Maryam untuk terakhir kalinya. Sementara ayah dan ibu Maryam tak kalah pias. Namun mereka lebih memilih diam, tak tahu harus berbuat apa.”Maryam... Aku mohon... Aku ingin bicara sekali lagi... Untuk yang terakhir kalinya...!” Teriak David.” Hentikan mobilnya!” Ayah Maryam menyuruh menghentikan mobilnya dan kemudian berujar pada Maryam, ”Turunlah, Nak. Temui dia untuk yang terakhir kalinya.”Saat mengetahui mobil itu berhenti, David langsung menghempaskan sepedanya. Dia berlari menuju mobil itu. Sesaat kemudian Maryam turun dari mobil
”Maryam... Maryam....” perlahan David membuka matanya.”Anakku, kau sadar kembali. Puji Tuhan.” Ayah David tak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya. Dia peluk anaknya dengan erat seakan tidak ingin kehilangan lagi.”Ayah, tadi aku bertemu Maryam.. Tapi aku tidak bisa membawanya pergi. Aku tidak tahu kenapa, Ayah.” Wajah David sendu mengingat sosok Maryam."Jangan pikirkan Maryam lagi. Ayah mohon. Hidupmu masih panjang, Nak.” Pinta ayahnya.”Ayah, maafkan aku. Aku merasa semakin lelah, Ayah. Sangat lelah. Aku tidak ingin merasakan cinta seperti ini lagi, Ayah. Aku ingin bebas. Aku ingin lepas dari rasa ini, Ayah. Aku hanya ingin bersamamu. Peluk aku, Ayah. Aku akan berusaha melupakan Maryam. Aku janji.”David menyerah, walau sebenarnya hatinya masih sangat mencintai Maryam. Dia menyadari bahwa cinta yang dia rasakan saat itu begitu menyiksa dirinya. Rushel memeluk putranya itu dengan erat. Dav
”Ayah...,” panggil David lemah.”Aku di sini, Anakku,” jawab ayah David.”Kulihat Maryam berdiri di ujung sana, di sebuah tempat yang aku tak tahu itu di mana. Dia menungguku, Yah. Dia mengajakku pergi,” ujar David.Ayahnya mendengar dengan seksama.”Bolehkan aku ikut dengannya? Kurasa pergi bersamanya adalah jalan satu-satunya agar aku bisa hidup bersamanya, Ayah,” sambungnya. Suaranya begitu lirih terdengar di telinga ayahnya.”Jangan bicara seperti itu pada ayah, Nak. Maryam baik-baik saja. Yang kau lihat itu bukan Maryam.” Ayah David sekuat tenaga menahan tangis.” Aku yakin itu Maryam. Aku tahu itu dia.” sambung David lagi.“Kau pasti sembuh, Nak. Kau harus sembuh!” Diusapnya kepala David, berusaha untuk meyakinnya.”Aku tidak kuat lagi, Ayah. Maafkan aku jika selama ini aku sudah banyak menyusahkanmu, Ayah. Ayah, aku mencintaimu.
Anggel menghapus air matanya, surat itu masih dia simpan di tasnya untuk David. Tapi saat itu dia masih menunggu saat yang tepat. Menunggu pintu kamar rawat inap Maryam terbuka dan dokter membawa kabar bahwa dia baik-baik saja. Dokter dan kedua perawat itu masih berupaya menolong Maryam yang desah nafasnya mulai terengah. Dalam alam bawah sadarnya, Maryam seolah berada di ruangan serba putih. Di sa