David bangkit dari kursinya, melirik ke Maryam dengan gugup. Memastikan bahwa di dekatnya ada tempat kosong untuk dia duduki. Namun secepat kilat bangku-bangku yang kosong sudah terisi di dekat gadis itu. Ia pun kembali duduk di tempatnya semula. Dia seperti mendapatkan seteguk air setelah dahaga berkepanjangan saat melihat gadis berkerudung itu datang lagi ke kampusnya. Seteguk air dingin yang segar yang mengobati rasa rindunya pada perempuan berkerudung itu. Rasa senang yang menjalari tubuhnya kembali membuatnya semangat untuk belajar di kampusnya itu.
Di bangkunya, Maryam tak bisa lagi meredam gejolak di dalam hatinya. Ia ingin sekali langsung bertegur sapa dengan lelaki yang dirinduinya itu. Namun dia mencoba menahannya. Ia sadar akan tatapan benci di sekelilingnya. Tapi keberadaan David segera membuatnya tenang. Ia melirik sekilas ke sisi kirinya dan segera mendapati wajah David yang membalas tatapannya. Maryam segera mengalihkan pandangannya dan berpura-pura sibuk denga
David mendekat ke Maryam yang masih tersenyum itu. Awalnya hanya seulas senyuman tipis. Lalu melabar, menampakkan giginya yang putih dan berderet rapi. Lesung pipi yang dalam tercipta di kedua pipinya. Membuat David salah tingkah.“Kau cantik sekali,” gumam David.Maryam terkejut, tapi berpura-pura tidak mendengar itu.“Aku mengkhawatirkanmu,” David berkata lagi,“teman-temanku, kau tahu?”Maryam mengangguk-anggukkan kepala. Tiba-tiba saja ia melihat gelagat David yang seperti ingin memeluknya. Maryam mundur selangkah.“Jika kau memelukku, maka butuh waktu empat puluh tahun bagi Tuhanku untuk mengampuniku,” Maryam berkata panik, “biarkan kita hanya sedekat ini. Hanya sebatas ini,” ucap Maryam gelagapan.“Jangan khawatir. Aku hanya ingin berbicara padamu,” David mencoba menenangkan Maryam.Maryam terdiam.”Aku… aku merindukanmu.” Agak gugup
"Kau mau kuantar pulang?" tawar David pada Maryam.Maryam terdiam, menunduk lalu mengangkat wajahnya, “Kamu adalah kali pertamanya yang membuat aku mau berdiri berdekatan dengan anak laki-laki,” ucapnya. “Dan sebenarnya aku tidak terbiasa dengan interaksi yang seperti itu. Tapi kau berbeda, David. Kau sangat berbeda dengan teman-teman Amerika-mu.”David menatap Maryam, tak mengerti sepenuhnya apa yang ingin dikatakan Maryam padanya.Maryam tersenyum lembut. “Baiklah, aku mau duduk di belakangmu, tapi jangan kencang-kencang, ya!"David membalas senyum Maryam. Ia mengayuh sepedanya pelan. Tak ada yang lebih membahagiakan dari waktu yang telah ia lewatkan sore itu bersama Maryam."Kau tidak ingin bercerita tentang Dubai padaku? " tanya David sambil mengayuh. “Bagaimana remaja-remaja di sana? Apa mereka semua seperti kau?” David memberi penekanan pada kalimatnya saat mengucapkan “seperti kau”.
"Jadi itu yang membuatmu ingin kembali ke kampus Amerika itu?” kalimat itu menyambut kepulangan Maryam. Maryam terlambat menghindari ayahnya. “Semuanya karena anak Amerika itu, kan? Ayah sudah tahu semuanya!" ucap ayahnya dengan suara keras yang bernada penuh kemarahan.Maryam gemetar ketakutan. Ia masih ingat bagaimana nasib Asiyah, almarhumah kakak perempuannya. Ketika ayahnya mengetahui kakak perempuannya itu berciuman dengan kekasihnya, seorang pemuda asal Pakistan, Asiyah menerima pukulan yang keras di wajah dan tubuhnya. Tekanan dari ayahnya membuat Asiyah stress dan memutuskan untuk bunuh diri.Maryam sudah siap dengan pukulan seperti yang pernah diterima Asiyah. Tapi kemudian ia melihat ayahnya tiba-tiba menangis. Maryam menunduk, tak tahu harus berbuat apa. Dia merasa sangat bersalah."Maryam, apa yang akan ayah katakan pada Allah ketika ayah ditanyai di pengadilan terbesarnya nanti? Aku yang lemah ini tak mampu mengurusmu dan menjagamu dari
David mondar-mandir di lapangan basket yang sedang kosong. Sesekali ia berdiri, duduk, berjalan mondar-mandir lagi, duduk lagi, lalu berdiri lagi mematung. Setelah bel masuk berbunyi, ia memukul tiang ring basket hingga tangannya kesakitan karena Maryam tak memenuhi undangannya saat itu. David berlari ke kelas, ia kesal pada Maryam yang tidak menemuinya. Namun setelah Mrs. Violen masuk untuk mengajar, dan ia tak menemukan Maryam di kelas, David merasa ada yang tidak beres. David keluar mencari Maryam ke seantero sekolah. Ia gelisah dan bertanya-tanya ke mana perginya Maryam? Ia tak menemukan Maryam di mana pun. Dengan putus asa dan harapan yang tipis, David menuju atap gedung sekolah. Meski kecil kemungkinan Maryam berada di sana. Dan ternyata dugaannya benar. Maryam memang berada di sana. Gadis itu sedang berdiri menghadap hamparan kota Washington dengan kerudung berkibar diembus angin."Maryam," panggil David lembut. Dia memang kecewa karena Maryam tidak menemuinya di lapan
David menyirami bunga-bunga di halaman belakang gereja. Jardon datang dengan bola basket di tangan, lengkap dengan kostum basketnya. Sambil memeluk bola basket di bawah ketiaknya, ia menyapa David."Pagi, Dave? Masih ingat kapan terakhir kali kita bermain?" Jardon mengangkat bola basket lalu memutar bola itu di ujung jarinya."Aku sedang tidak berselera. Kau ajak saja yang lain," jawabnya acuh."Ayolah, akhir-akhir ini aku melihat kau banyak melamun, diam, sedih dan serius. Come on, don’t act like a baby," ejek Jardon. “Jangan bilang, kalau kau patah hati.” Jardon tergelak.“Lalu kalau iya, kenapa?” balas David ketus.“Apa? Kau bercanda? Dia biarawati, malaikat, atau apa? Kau jatuh cinta pada siapa?" Jardon mendekati David yang sudah mematikan keran air dan duduk bangku dekat taman kecil gereja. Jardon duduk di sisi David, menatap temannya itu dengan raut penasaran yang tidak dibuat-buat
”Jadi kalian resmi berkencan?”“Bisa dibilang begitu.”Jardon tertawa dengan nada ragu dalam suara David. “Lalu, apa rencanamu?” Tanya Jardon lagi. “Ayahmu, maksudku. Dia akan tahu. Kau juga tidak ingin berbohong selamanya, kan? Kau bisa mengungkapkannya sekarang, atau menunggu dia mengetahui itu dengan menyakitkan. Apa kau sudah siap dengan semua risiko yang akan kau hadapi nanti?”David menggeleng lemah tampak terlalu lelah hanya dengan mendengarkan Jardon bertanya. “Kepalaku hanya dipenuhi Maryam sekarang. Dia menghindariku. Dia ingin aku tidak berbicara padanya.”“Apa?” Jardon spontan menoleh pada David.“Hey! Perhatikan jalanmu, anak muda! “ tegur David.“Maafkan aku. Tapi apa itu benar? Hubungan seperti apa yang tidak ada interaksinya? Bagaimana kau bisa menciumnya kalau berbicara saja tidak boleh?” setelah mengucapkan itu, Jardon segera men
Pandangan Maryam tidak lepas dari sosok David. Dalam hatinya ia tertawa saat mendengar David berbicara pada anjingnya. Ia masih ingat betul kalimat yang diucapkannya bahwa suatu saat nanti anjingnya akan serumah dengan Zahara. Namun ketika mengingat perbedaan agama mereka, senyum Maryam menyusut.Benarkah? Benarkah suatu hari nanti aku bisa hidup bersamanya? bisik hati Maryam. Dilihatnya David yang sedang beraksi di lapangan basket, betapa lelaki itu telah mencuri perhatiannya akhir-akhir ini.Setelah permainan basket selesai, tubuh David berkeringat deras. Ia mengelap keringatnya dengan sesekali memandangi Maryam dari kejauhan. Maryam pun melakukan hal yang sama, terkadang pandangan mereka saling bertubrukan, lalu mereka segera membuang muka dengan pipi bersemu merah.Sementara Pinokio terus mengintai Zahara yang terkurung di dalam mobil. Zahara ingin sekali keluar, sesekali dia mencakar kaca jendela mobil, seolah ingin menemui anjing milik teman majik
Setelah masuk kamar dan menutup pintu kamarnya, Maryam terduduk bersandar di depan pintu kamarnya. Ia mencerna dengan baik ucapan ayahnya barusan, mencoba menerka-nerka maksudnya, ”Tidak, tidak mungkin kalau maksud ayah akan seperti itu.” Ia menepis jauh-jauh pikiran buruknya.Dari balik pintu kamar itu, samar-samar Maryam mendengar percakapan antara ayah ibunya di ruang tamu. Maryam berusaha mempertajam pendengarannya, ia pun menempelkan teliganya di pintu."Apa yang kau siapkan untuk Maryam, Ayah Maryam?” dengan gelisah, ibu Maryam bertanya pada suaminya.”Kurasa, setelah lulus kuliah nanti, anak kita harus menikah. Aku khawatir melihat tingkahnya akhir-akhir ini. Aku takut dia tak mampu menjaga diri,” jawab Ayah Maryam.Di balik pintu kamarnya, Maryam tersentak demi mendengar percakapan orangtuanya. Ia seakan kehabisan napas.“Dia masih belia, biarkanlah dulu dia mengenyam dunia pekerjaan," b
“Masih maukah kau menikah denganku?” Tanya David. Maryam terperangah. Sudah lama sekali dia menunggu kalimat itu terucap oleh David. Dan sekarang, saat semuanya telah berubah menjadi lebih baik, dan David benar-benar mengucapkan itu padanya, lelaki itu sudah memiliki seorang anak.“Kau bisa bilang pada ayahmu bahwa aku sekarang seorang muslim,” bujuk David. “Bukan karena orang tuaku muslim, bukan karena cinta untuk mendapatkanmu, tapi karena hatiku telah mantap memilihnya.” Ditatapnya wajah Maryam yang menunduk dalam.”Aku masih mencintaimu, Dave. Aku tidak bisa melupakanmu. Demi Allah.” Suara Maryam bergetar, kemudian melanjutkan, ”Tapi bagaimana kau menjelaskan perihal anak laki-laki yang memanggilmu ‘Daddy’ tadi?”David tersenyum lembut. “Ibrahim!”panggilnya. anak lelaki berpipi merah seperti tomat matang itu keluar ragu-ragu dari dalam, menemui David.“Y
”Bapa, saya ingin menemui David, dan saya ingin Bapa ikut bersama saya.” Di tengah isak tangisnya yang menyiratkan keharuan, Maryam berujar.”Bapa tidak bisa ikut denganmu. Pergilah dan temui dia. Kau bisa memakai mobil Bapa. Sampaikan salam Bapa pada David, bilang padanya untuk berkunjung ke sini karena ayah angkatnya begitu merindukannya.””Sekarang kau juga anakku, Maryam,” lanjutnya lagi.”Terima kasih atas kebaikanmu, Bapa.” Maryam menunduk dengan takzim, meminta izin untuk segera undur diri dari kediaman pastur itu dan segera mencari alamat David.Saat Maryam hendak membuka pintu mobil, Pinokio, Anjing kesayangan David, menyalak seakan menuntut perhatian Maryam.”Bawalah Pinokio bersamamu, Maryam. Dia sudah sangat rindu pada David,” ucap Pastur itu. Maryam pun akhirnya membawa serta anjing itu bersamanya.Maryam melaju kencang menembus kota Washington bersama
Maryam menerimanya dengan tangan bergetar. Amplop surat itu terlihat sedikit usang, menandakan telah cukup lama usia pembuatannya. Pelan dibacanya isi surat itu. Maryam... Tahukah kamu? Sejak pertama kali aku melihatmu di gerbang sekolah itu, hatiku langsung luluh, entah mengapa. Aku sama sekali tak percaya kalau kau seorang teroris seperti yang dikatakan oleh teman-temanku di sekolah, padahal aku sungguh ingin mengusirmu dari sekolah sejak aku menerima i
Sebuah taksi mengantarkannya ke tempat itu. Semua masih terlihat sama seperti beberapa tahun lalu. Maryam mengintip dari balik jendela taksi sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Dia menghela nafas, berusaha menepis gemuruh di hatinya. Matanya memicing begitu melihat seekor anjing menyalak-nyalak, menatapnya dari kejauhan.Tiba-tiba segala kenangan bersama David kembali terngiang.“Maryam,” panggil David.Maryam menoleh heran pada David.“Ya?” jawab Maryam. ”You must be starving. Here are for you. Have them!” tawar David sambil menyodorkan makanan dan minuman di tangannya dengan sedikit gugup. Maryam sedikit terkejut melihat kebaikan siswa pembelanya yang mendadak itu. ”Maaf, aku sedang berpuasa,” ucap Maryam mencoba menjelaskan. “Puasa? Maksudmu, tidak makan tidak minum?” tanya David masih belum
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Khaled menunggu Maryam untuk bisa menyentuh tubuhnya. Namun Maryam tak juga mengizinkan Khaled untuk menyentuhnya. Hingga suatu hari, Khaled duduk di samping Maryam. ”Maryam, aku menyerah. Hari ini... Ya, tepat hari ini.. Aku... Aku... Aku akan menceraikanmu...” Derai air mata tercurah dari mata bening Khaled. Dia gugup mengatakannya.Bagai tersengat listrik, Maryam kaget luar biasa mendengar ucapan Khaled yang tiba-tiba itu.
”Maryam....Berhenti...! Maryam...Berhenti...!” Teriak David lagi.Maryam pias begitu melihat sosok David berada di belakang, berusaha mengejar mobilnya.”Kemudikan mobil ini cepat-cepat, Pak!” Pinta Maryam pada sopir keluarga itu. Dihapusnya sisa airmata yang masih menggenangi pipinya.Khaled merasa iba saat mengetahui David begitu gigih ingin menemui Maryam untuk terakhir kalinya. Sementara ayah dan ibu Maryam tak kalah pias. Namun mereka lebih memilih diam, tak tahu harus berbuat apa.”Maryam... Aku mohon... Aku ingin bicara sekali lagi... Untuk yang terakhir kalinya...!” Teriak David.” Hentikan mobilnya!” Ayah Maryam menyuruh menghentikan mobilnya dan kemudian berujar pada Maryam, ”Turunlah, Nak. Temui dia untuk yang terakhir kalinya.”Saat mengetahui mobil itu berhenti, David langsung menghempaskan sepedanya. Dia berlari menuju mobil itu. Sesaat kemudian Maryam turun dari mobil
”Maryam... Maryam....” perlahan David membuka matanya.”Anakku, kau sadar kembali. Puji Tuhan.” Ayah David tak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya. Dia peluk anaknya dengan erat seakan tidak ingin kehilangan lagi.”Ayah, tadi aku bertemu Maryam.. Tapi aku tidak bisa membawanya pergi. Aku tidak tahu kenapa, Ayah.” Wajah David sendu mengingat sosok Maryam."Jangan pikirkan Maryam lagi. Ayah mohon. Hidupmu masih panjang, Nak.” Pinta ayahnya.”Ayah, maafkan aku. Aku merasa semakin lelah, Ayah. Sangat lelah. Aku tidak ingin merasakan cinta seperti ini lagi, Ayah. Aku ingin bebas. Aku ingin lepas dari rasa ini, Ayah. Aku hanya ingin bersamamu. Peluk aku, Ayah. Aku akan berusaha melupakan Maryam. Aku janji.”David menyerah, walau sebenarnya hatinya masih sangat mencintai Maryam. Dia menyadari bahwa cinta yang dia rasakan saat itu begitu menyiksa dirinya. Rushel memeluk putranya itu dengan erat. Dav
”Ayah...,” panggil David lemah.”Aku di sini, Anakku,” jawab ayah David.”Kulihat Maryam berdiri di ujung sana, di sebuah tempat yang aku tak tahu itu di mana. Dia menungguku, Yah. Dia mengajakku pergi,” ujar David.Ayahnya mendengar dengan seksama.”Bolehkan aku ikut dengannya? Kurasa pergi bersamanya adalah jalan satu-satunya agar aku bisa hidup bersamanya, Ayah,” sambungnya. Suaranya begitu lirih terdengar di telinga ayahnya.”Jangan bicara seperti itu pada ayah, Nak. Maryam baik-baik saja. Yang kau lihat itu bukan Maryam.” Ayah David sekuat tenaga menahan tangis.” Aku yakin itu Maryam. Aku tahu itu dia.” sambung David lagi.“Kau pasti sembuh, Nak. Kau harus sembuh!” Diusapnya kepala David, berusaha untuk meyakinnya.”Aku tidak kuat lagi, Ayah. Maafkan aku jika selama ini aku sudah banyak menyusahkanmu, Ayah. Ayah, aku mencintaimu.
Anggel menghapus air matanya, surat itu masih dia simpan di tasnya untuk David. Tapi saat itu dia masih menunggu saat yang tepat. Menunggu pintu kamar rawat inap Maryam terbuka dan dokter membawa kabar bahwa dia baik-baik saja. Dokter dan kedua perawat itu masih berupaya menolong Maryam yang desah nafasnya mulai terengah. Dalam alam bawah sadarnya, Maryam seolah berada di ruangan serba putih. Di sa