”Jadi kalian resmi berkencan?”
“Bisa dibilang begitu.”
Jardon tertawa dengan nada ragu dalam suara David. “Lalu, apa rencanamu?” Tanya Jardon lagi. “Ayahmu, maksudku. Dia akan tahu. Kau juga tidak ingin berbohong selamanya, kan? Kau bisa mengungkapkannya sekarang, atau menunggu dia mengetahui itu dengan menyakitkan. Apa kau sudah siap dengan semua risiko yang akan kau hadapi nanti?”
David menggeleng lemah tampak terlalu lelah hanya dengan mendengarkan Jardon bertanya. “Kepalaku hanya dipenuhi Maryam sekarang. Dia menghindariku. Dia ingin aku tidak berbicara padanya.”
“Apa?” Jardon spontan menoleh pada David.
“Hey! Perhatikan jalanmu, anak muda! “ tegur David.
“Maafkan aku. Tapi apa itu benar? Hubungan seperti apa yang tidak ada interaksinya? Bagaimana kau bisa menciumnya kalau berbicara saja tidak boleh?” setelah mengucapkan itu, Jardon segera men
Pandangan Maryam tidak lepas dari sosok David. Dalam hatinya ia tertawa saat mendengar David berbicara pada anjingnya. Ia masih ingat betul kalimat yang diucapkannya bahwa suatu saat nanti anjingnya akan serumah dengan Zahara. Namun ketika mengingat perbedaan agama mereka, senyum Maryam menyusut.Benarkah? Benarkah suatu hari nanti aku bisa hidup bersamanya? bisik hati Maryam. Dilihatnya David yang sedang beraksi di lapangan basket, betapa lelaki itu telah mencuri perhatiannya akhir-akhir ini.Setelah permainan basket selesai, tubuh David berkeringat deras. Ia mengelap keringatnya dengan sesekali memandangi Maryam dari kejauhan. Maryam pun melakukan hal yang sama, terkadang pandangan mereka saling bertubrukan, lalu mereka segera membuang muka dengan pipi bersemu merah.Sementara Pinokio terus mengintai Zahara yang terkurung di dalam mobil. Zahara ingin sekali keluar, sesekali dia mencakar kaca jendela mobil, seolah ingin menemui anjing milik teman majik
Setelah masuk kamar dan menutup pintu kamarnya, Maryam terduduk bersandar di depan pintu kamarnya. Ia mencerna dengan baik ucapan ayahnya barusan, mencoba menerka-nerka maksudnya, ”Tidak, tidak mungkin kalau maksud ayah akan seperti itu.” Ia menepis jauh-jauh pikiran buruknya.Dari balik pintu kamar itu, samar-samar Maryam mendengar percakapan antara ayah ibunya di ruang tamu. Maryam berusaha mempertajam pendengarannya, ia pun menempelkan teliganya di pintu."Apa yang kau siapkan untuk Maryam, Ayah Maryam?” dengan gelisah, ibu Maryam bertanya pada suaminya.”Kurasa, setelah lulus kuliah nanti, anak kita harus menikah. Aku khawatir melihat tingkahnya akhir-akhir ini. Aku takut dia tak mampu menjaga diri,” jawab Ayah Maryam.Di balik pintu kamarnya, Maryam tersentak demi mendengar percakapan orangtuanya. Ia seakan kehabisan napas.“Dia masih belia, biarkanlah dulu dia mengenyam dunia pekerjaan," b
Saat melihat Anggel membuka pintu rumahnya, Maryam langsung memeluknya dengan derai air mata. Dengan wajah mengantuk, Anggel menuntunnya masuk ke dalam kamar dan meminta Maryam menceritakan hal yang menimpa sahabat barunya itu. Maryam menceritakan prihal perjodohan itu.“Aku tidak mau, Anggel. Aku tidak mau!” Ucapnya di antara isaknya.“Aku tahu, tapi kabur seperti ini tak baik untukmu, Maryam.” Anggel berusaha menenangkan sahabatnya.“Aku tak punya pilihan lagi. Aku tidak mau dijodohkan.””Kau bisa menjelaskannya pada ayahmu, kan, kalau kau tak mau.” Anggel sebisa mungkin memberi solusi aman.”Kau tidak tahu betapa keras kepalanya ayahku, Anggel. Aku tidak akan bisa menolak keinginannya. Tidak ada yang bisa membantah ayahku.”Anggel sedikit takut melihat kenekatan Maryam untuk kabur dari rumahnya. Ia membuatkan secangkir teh hangat dan memberikannya pada Maryam. Mr Stone dan Mrs. M
David menantikan kehadiran Maryam di kampusnya. Mahasiswa dan mahasiwi sudah berdatangan, hanya Maryam yang belum muncul. Anggel ragu ingin menceritakan semuanya pada David. Ia tak sanggup melihat David sedih. Tapi tak lama kemudian Maryam muncul. Sebuah sunggingan terulas di wajah David.Mrs. Violen memasuki kelas. Maryam memandangi David dari bangkunya dengan perasaan penuh penyesalan dan rasa bersalah. Ia mengambil secarik kertas lalu menuliskan sesuatu untuk David.Terkejut David saat menerima tulisan itu. Ia membacanya dengan seksama, seakan tak ingin satu hurufpun luput dari pandangannya.Aku ingin bicara denganmu istirahat siang ini di tempat terakhir kalinya kita bicara.Jantung David berdebar membaca isi surat itu. Ia dikuasai firasat aneh.Ada apa ini? Apa sesuatu yang salah sudah terjadi?Saat jam istirahat siang berlangsung, David berlari ke atas gedung dan menghampiri Maryam yang sudah lebih dulu menunggunya.”Marya
Di depan Klinik itu David duduk bersimpuh menunggu Maryam. Seorang siswa perempuan keluar dari ruangan itu, David mendekatinya.”Apa yang terjadi pada Maryam?” tanya David masih dengan sisa kepanikan di wajahnya.”Dia masih belum sadar,” ucap perempuan itu.David kembali terduduk. Wajahnya pias. Sesaat kemudian, Anggel ikut keluar. Jardon berdiri dari kursi di depan klinik, mereka mendekati David untuk memberinya kekuatan.David hanya menunduk, tiba-tiba air matanya mengalir.“Bisakah kalian meninggalkanku sendiri?””Kami khawatir padamu, Dave. Ini bukan kebiasaanmu,” bujuk Jardon.“Kami tidak bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini,” timpal Anggel.”Tinggalkan aku. Aku mau sendiri. Kalian ingin aku menggunakan bahasa apa?” David setengah teriak.”Dave, ada apa denganmu?” Jardon balas berteriak.David beranjak lalu berlari me
Maryam mengenakan gaun muslim yang indah malam itu. Sebuah broch bermata mutiara kecil menghiasai jilbabnya dengan anggun. Wajahnya sedikit dipoles dengan make-up minimalis untuk memberikan kesan segar. Membuat kesan cantik wajahnya tak menghilang walau saat itu hatinya dirundung duka. David tak pernah hilang dari pikirannya. Semakin besar tekanan yang ia dapatkan dari ayahnya, semakin besar pula cintanya pada David. Padahal mereka sudah berakhir. Bayangan David semakin jelas di pelupuk matanya. Di mana-mana wajah David membayang. Menerornya tanpa ampun.Setelah semua siap, ibunya menuntunnya ke ruang makan. Sahabat ayahnya sudah menunggu di ruang makan bersama istri dan anak lelakinya, Khaled.Saat Maryam muncul, sahabat ayahnya yang bernama Husen menyambutnya dengan senyumanan bijak. Khaled sedikit memandang Maryam. Darah muda di dalam dirinya berdesir hebat. Maryam memiliki kecantikan yang memesona. Matanya yang sendu dan teduh dinaungi alis hitam
“Aku tahu,” sela Rushel. “Jika dia hanya gadis berkerudung biasa, kau tidak akan mengejarnya dan mengantarnya pulang.”“Kau juga tahu soal itu?” David kikuk. “Maafkan aku, Yah. Aku tidak bermaksud untuk berbohong.”“Aku tahu. Aku juga meminta maaf. Kau tidak perlu berbohong jika aku tidak mengintimidasimu.”“Kau tidak mengintimidasiku. Aku yang terlalu takut seseorang menghakimi Maryam lagi.”Rushel menatap David dengan sorot pura-pura tersinggung. “Apa aku terlihat seperti akan mengintimidasi gadismu?”“Ayah, maksudku.” David tak tahu bagaimana mengendalikan suasana canggung itu. Ia tertangkap basah. Tapi pada saat yang sama, perasannya jauh lebih lega. Dia tidak bisa mengelabui Rushel. Tidak akan pernah bisa. Lelaki itu yang membentuk dirinya. Mewariskan prinsip-prinsip hidupnya dan tabiat-tabiatnya. Kecuali soal berbohong.“Tenanglah, Dav
David terbaring lemah di ranjangnya. Menutup matanya. Tampak kelelahan. Maryam berusaha sekuat tenaga untuk tidak menampakkan kesedihan. Apalagai menangis. David yang merasakan ada langkah kecil yang menghampiri tempat tidurnya serta merta membuka mata. Bayangan Maryam belum seutuhnya tertangkap oleh pikiran sadarnya saat gadis itu memanggil namanya.”David….”David bangkit dari rebahnya. Dia berbohong jika mengatakan bahwa ia tidak menyukai kehadiran Maryam. Tapi Rushel telah meyakinkannya untuk berdoa. Dan doa yang sudah ia ulangi sejak tadi nampaknya mulai bekerja. Buktinya, ia bisa berkata dengan ketus pada Maryam.”Untuk apa kau ke mari? Aku ingin melupakanmu. Kalau kau di sini, aku tidak bisa melupakanmu seperti keinginanmu." David memalingkan wajahnya. Tak sedikitpun memandang gadis itu.”Aku ingin kau kembali ke kampus, Dave. Kau tidak bisa menyiksa dirimu seperti ini. Jangan buat aku merasa bersalah.”"
“Masih maukah kau menikah denganku?” Tanya David. Maryam terperangah. Sudah lama sekali dia menunggu kalimat itu terucap oleh David. Dan sekarang, saat semuanya telah berubah menjadi lebih baik, dan David benar-benar mengucapkan itu padanya, lelaki itu sudah memiliki seorang anak.“Kau bisa bilang pada ayahmu bahwa aku sekarang seorang muslim,” bujuk David. “Bukan karena orang tuaku muslim, bukan karena cinta untuk mendapatkanmu, tapi karena hatiku telah mantap memilihnya.” Ditatapnya wajah Maryam yang menunduk dalam.”Aku masih mencintaimu, Dave. Aku tidak bisa melupakanmu. Demi Allah.” Suara Maryam bergetar, kemudian melanjutkan, ”Tapi bagaimana kau menjelaskan perihal anak laki-laki yang memanggilmu ‘Daddy’ tadi?”David tersenyum lembut. “Ibrahim!”panggilnya. anak lelaki berpipi merah seperti tomat matang itu keluar ragu-ragu dari dalam, menemui David.“Y
”Bapa, saya ingin menemui David, dan saya ingin Bapa ikut bersama saya.” Di tengah isak tangisnya yang menyiratkan keharuan, Maryam berujar.”Bapa tidak bisa ikut denganmu. Pergilah dan temui dia. Kau bisa memakai mobil Bapa. Sampaikan salam Bapa pada David, bilang padanya untuk berkunjung ke sini karena ayah angkatnya begitu merindukannya.””Sekarang kau juga anakku, Maryam,” lanjutnya lagi.”Terima kasih atas kebaikanmu, Bapa.” Maryam menunduk dengan takzim, meminta izin untuk segera undur diri dari kediaman pastur itu dan segera mencari alamat David.Saat Maryam hendak membuka pintu mobil, Pinokio, Anjing kesayangan David, menyalak seakan menuntut perhatian Maryam.”Bawalah Pinokio bersamamu, Maryam. Dia sudah sangat rindu pada David,” ucap Pastur itu. Maryam pun akhirnya membawa serta anjing itu bersamanya.Maryam melaju kencang menembus kota Washington bersama
Maryam menerimanya dengan tangan bergetar. Amplop surat itu terlihat sedikit usang, menandakan telah cukup lama usia pembuatannya. Pelan dibacanya isi surat itu. Maryam... Tahukah kamu? Sejak pertama kali aku melihatmu di gerbang sekolah itu, hatiku langsung luluh, entah mengapa. Aku sama sekali tak percaya kalau kau seorang teroris seperti yang dikatakan oleh teman-temanku di sekolah, padahal aku sungguh ingin mengusirmu dari sekolah sejak aku menerima i
Sebuah taksi mengantarkannya ke tempat itu. Semua masih terlihat sama seperti beberapa tahun lalu. Maryam mengintip dari balik jendela taksi sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Dia menghela nafas, berusaha menepis gemuruh di hatinya. Matanya memicing begitu melihat seekor anjing menyalak-nyalak, menatapnya dari kejauhan.Tiba-tiba segala kenangan bersama David kembali terngiang.“Maryam,” panggil David.Maryam menoleh heran pada David.“Ya?” jawab Maryam. ”You must be starving. Here are for you. Have them!” tawar David sambil menyodorkan makanan dan minuman di tangannya dengan sedikit gugup. Maryam sedikit terkejut melihat kebaikan siswa pembelanya yang mendadak itu. ”Maaf, aku sedang berpuasa,” ucap Maryam mencoba menjelaskan. “Puasa? Maksudmu, tidak makan tidak minum?” tanya David masih belum
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Khaled menunggu Maryam untuk bisa menyentuh tubuhnya. Namun Maryam tak juga mengizinkan Khaled untuk menyentuhnya. Hingga suatu hari, Khaled duduk di samping Maryam. ”Maryam, aku menyerah. Hari ini... Ya, tepat hari ini.. Aku... Aku... Aku akan menceraikanmu...” Derai air mata tercurah dari mata bening Khaled. Dia gugup mengatakannya.Bagai tersengat listrik, Maryam kaget luar biasa mendengar ucapan Khaled yang tiba-tiba itu.
”Maryam....Berhenti...! Maryam...Berhenti...!” Teriak David lagi.Maryam pias begitu melihat sosok David berada di belakang, berusaha mengejar mobilnya.”Kemudikan mobil ini cepat-cepat, Pak!” Pinta Maryam pada sopir keluarga itu. Dihapusnya sisa airmata yang masih menggenangi pipinya.Khaled merasa iba saat mengetahui David begitu gigih ingin menemui Maryam untuk terakhir kalinya. Sementara ayah dan ibu Maryam tak kalah pias. Namun mereka lebih memilih diam, tak tahu harus berbuat apa.”Maryam... Aku mohon... Aku ingin bicara sekali lagi... Untuk yang terakhir kalinya...!” Teriak David.” Hentikan mobilnya!” Ayah Maryam menyuruh menghentikan mobilnya dan kemudian berujar pada Maryam, ”Turunlah, Nak. Temui dia untuk yang terakhir kalinya.”Saat mengetahui mobil itu berhenti, David langsung menghempaskan sepedanya. Dia berlari menuju mobil itu. Sesaat kemudian Maryam turun dari mobil
”Maryam... Maryam....” perlahan David membuka matanya.”Anakku, kau sadar kembali. Puji Tuhan.” Ayah David tak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya. Dia peluk anaknya dengan erat seakan tidak ingin kehilangan lagi.”Ayah, tadi aku bertemu Maryam.. Tapi aku tidak bisa membawanya pergi. Aku tidak tahu kenapa, Ayah.” Wajah David sendu mengingat sosok Maryam."Jangan pikirkan Maryam lagi. Ayah mohon. Hidupmu masih panjang, Nak.” Pinta ayahnya.”Ayah, maafkan aku. Aku merasa semakin lelah, Ayah. Sangat lelah. Aku tidak ingin merasakan cinta seperti ini lagi, Ayah. Aku ingin bebas. Aku ingin lepas dari rasa ini, Ayah. Aku hanya ingin bersamamu. Peluk aku, Ayah. Aku akan berusaha melupakan Maryam. Aku janji.”David menyerah, walau sebenarnya hatinya masih sangat mencintai Maryam. Dia menyadari bahwa cinta yang dia rasakan saat itu begitu menyiksa dirinya. Rushel memeluk putranya itu dengan erat. Dav
”Ayah...,” panggil David lemah.”Aku di sini, Anakku,” jawab ayah David.”Kulihat Maryam berdiri di ujung sana, di sebuah tempat yang aku tak tahu itu di mana. Dia menungguku, Yah. Dia mengajakku pergi,” ujar David.Ayahnya mendengar dengan seksama.”Bolehkan aku ikut dengannya? Kurasa pergi bersamanya adalah jalan satu-satunya agar aku bisa hidup bersamanya, Ayah,” sambungnya. Suaranya begitu lirih terdengar di telinga ayahnya.”Jangan bicara seperti itu pada ayah, Nak. Maryam baik-baik saja. Yang kau lihat itu bukan Maryam.” Ayah David sekuat tenaga menahan tangis.” Aku yakin itu Maryam. Aku tahu itu dia.” sambung David lagi.“Kau pasti sembuh, Nak. Kau harus sembuh!” Diusapnya kepala David, berusaha untuk meyakinnya.”Aku tidak kuat lagi, Ayah. Maafkan aku jika selama ini aku sudah banyak menyusahkanmu, Ayah. Ayah, aku mencintaimu.
Anggel menghapus air matanya, surat itu masih dia simpan di tasnya untuk David. Tapi saat itu dia masih menunggu saat yang tepat. Menunggu pintu kamar rawat inap Maryam terbuka dan dokter membawa kabar bahwa dia baik-baik saja. Dokter dan kedua perawat itu masih berupaya menolong Maryam yang desah nafasnya mulai terengah. Dalam alam bawah sadarnya, Maryam seolah berada di ruangan serba putih. Di sa