Pembaca setia goodnovel, maaf aku baru bisa update sekarang. Dari sini Om Baiknya Agam makin gencar, tapi Aditya juga nggak bisa dilarang....
Aku hampir saja menyembur tawa. Gadis yang tadinya sudah berbaring memunggungiku kini terlonjak sampai turun dari tempat tidur. Reaksinya seperti sama takutnya denganku saat bertemu Aditya."Terus?!" Tita masih membelalak memeluk gulingnya.Kusandarkan tubuh lelah ini di sandaran kasur. Kutepuk sisi kosong di sebelahku dan ia kembali naik. Bukan berbaring seperti tadi melainkan duduk bersila di hadapanku."Dia mengenali mbak, Tita. Dia kejar mbak sampai ke depan lift. Untung saja di dalam lift itu ada Riswan dan menjawab Aditya kalau yang dia cari sudah keluar lift. Aslinya, mbak malah mojok. Mbak jongkok di belakang dia ditutupi pakai jaketnya," jelasku mulai menceritakan apa yang kualami.Seperti saran Riswan, tak ada yang kusembunyikan dari Tita. Begitu juga saat aku sadar sudah berada di apartemen Riswan. Alasan pria itu mengajak kami tiba-tiba liburan seperti ini tidak lain untuk menghindari Aditya sementara waktu. Kubuat dia memahami ketakutanku. Berharap sebagai sesama wanita,
Aku melotot dan lagi-lagi ia tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. Kulihat Agam masih mengunyah. Mata sipitnya menatapku lalu kembali menatap Andri."Agam pikil-pikil dulu, Om. Kalau ibu nda jualan, nanti Agam datang. Sudah dua hali ibu nda jualan, nanti uangnya ibu nda cukup bayal ibu gulu. Agam kan sebental lagi mau sekolah," kata Agam membuatku membeku. Tak kusangka Agam memikirkan hal itu. Apakah ia mendengarkan pembicaraanku dengan Tita beberapa hari lalu? Sama sepertiku, Tita pun menoleh menatap Agam yang kembali melanjutkan suapannya. Dua pria di hadapanku juga diam, tapi mengulas senyum."Ok, om mengerti. Nanti kalau Agam sudah mulai sekolah, kasih tahu om juga. Cerita juga sama om tentang teman barunya Agam," pintanya mengusap kepala Agam yang mengangguk lalu mengacungkan jempolnya padaku. Setelah makan siang, kami putuskan untuk kembali ke Makassar. Andri berangkat lebih dulu karena hendak menjemput kerabatnya di bandara. Seperti kemarin, Agam kembali duduk di depan. Sepanj
Dulu saat dirias pengantin aku tidak merasa secantik ini. Cantik? Ya ampun … geer sekali aku ini. Tita dan Agam sejak tadi melihatku dan memujiku demikian. Menambah rasa percaya diriku untuk bisa menghadiri undangan itu.Kemarin sore kukirim pesan pada Riswan kalau aku dan Agam akan ikut dengannya. Bukannya membalas pesanku, dia langsung menghubungiku dengan panggilan telpon. Katanya takut jika aku akan meralat pesan itu.Alasanku menerima ajakannya adalah sebagai ungkapan terima kasih. Dia yang telah menolongku saat nyaris bertemu Aditya. Dia juga menolongku saat tidak sadarkan diri. Tentunya bukan hal yang mudah untuk memutuskan dan mengambil resiko membawa seorang wanita ke dalam apartemennya. Kuanggap ia hanya ingin membuatku merasa aman dari kejaran Aditya. Dia juga telah menyenangkan putraku dengan janji liburan yang turut kunikmati bersama Tita.Agam mulai bersiap dibantu oleh Tita. Tadi gadis itu juga yang membantuku mengenakan riasan wajah. Kutatap diriku sekali lagi di depan
Menjelang sore kami bertiga pulang. Dia mengajak kami berdua mampir sejenak di anjungan pantai. Menikmati angin sore yang sejuk dan kapal-kapal nelayan yang terombang-ambing di lautan, sedikit mengobati gundah."Apa yang kamu dengar dari ucapan ibu-ibu tadi, jangan kamu ambil hati.""Tentang?"Dia tersenyum memperhatikan Agam yang sedang bersepeda. Sepeda tiga roda yang disewakan pada pengunjung. "Tadi Amanda sudah cerita."Aku ikut tersenyum lalu terkekeh kecil. "Aku tidak memikirkannya. Terserah mereka ingin bilang apa, saya juga tidak peduli. Saya datang ke sana karena berterima kasih pada Anda atas apa yang terjadi pekan lalu," ujarku agar dia tidak menarik kesimpulan sendiri."Saya senang sekaligus terluka.""Karena?" "Saya terluka karena merasa tidak cukup menarik di matamu. Saya juga sempat berpikir kamu mau melabrak ibu-ibu itu. Kamu tinggal bilang sama mereka, saya yang terpilih, bukan wanita lain," ucapnya dan kali ini aku tertawa. Kepercayaan diri mana aku bisa berkata dem
Sejak acara pernikahan Andri, Riswan tidak pernah datang lagi. Dia sepertinya kembali sibuk menjalani rutinitasnya. Entah kembali berbenah di restonya atau meneriwa tawaran kerja di PLZT. Aku tidak tahu apa yang menjadi keputusannya.Pagi ini aku bersiap mengantar Agam ke sekolahnya. Tita sudah berangkat lebih dulu karena harus menemui dosen pembimbingnya di kampus lain. Untuk sebuah tanda tangan dia harus menempuh belasan kilometer itu karena dosen pembimbingnya menjadi pembicara di kampus lain. Katanya kalau ditunda, berkasnya bisa-bisa tidak lolos seleksi. Aku tidak begitu paham maksudnya. Aku hanya bisa memberikan dukungan dengan menyiapkannya sarapan pagi agar dia punya tenaga untuk bejuang hari ini.Agam baru saja mengenakan sepatunya. Sepatu dengan perekat yang dipilihnya sendiri. Taksi online pesananku pun sudah dekat. Bunyi klakson membuatku bergegas. "Om!" seru Agam meninggalku yang sedang mengunci pintu.Bagaimana bisa pria itu tiba-tiba muncul? Dia berjongkok mengecup pip
Sudah pernah aku duga jika suatu saat mungkin kami akan kembali bertemu. Akan tetapi, aku tidak menyangka secepat ini. Dan mengapa harus di kota ini? Perasaan haru yang menyelimutiku hanya sesaat. Aku mencium bau masalah. Masalah besar yang bahkan belum keluar dari tuturnya. Ataukah barangkali … aku hanya bersikap berlebihan?Sorot matanya seketika membuatku merasa tempat ramai ini menjadi sepi. Terlebih tatapannya tak lepas dari Agam. Kami bertiga masih sama-sama diam. Aku kikuk sementara dia tersenyum haru. Matanya berkca-kaca menatapku dan putraku bergantian. Seolah tatapannya bertanya diakah? Aku hanya mengangguk mengusap puncak kepala Agam dengan tangan kiriku."Agam, kenalkan. Ini Kakeknya Agam, namanya Kakek Hendrawan," ucapku memberitahukannya.Agam menatap kakeknya yang baru kali ini ia temui. Bahkan setelah aku melahirkan, dia tidak ke rumah sakit untuk melihat cucunya. Kala itu ia masih kecewa dengan keputusanku berpisah dengan Aditya. Ketika sidang ceraiku digelar, ia ju
Sejak bertemu kembali dengan mantan ayah mertuaku, aku sering melamun. Perasaan resah itu semakin nyata. Bukan hanya Tita yang menyadari. Agam juga seringkali bertanya mengapa aku terdiam dan tidak menjawabnya.Teringat ucapannya jika besok malam akan kembali ke Ambon, kuputuskan untuk menghubungi Tuan Hendrawan. Setidaknya, sebelum ia kembali ke sana, Agam bisa menghabiskan waktu walau hanya satu sampai dua jam dengannya. Tentunya dengan syarat, tanpa sepengetahuan Aditya.Kuputuskan sore ini untuk mengajak Agam ke taman yang tak jauh dari bandara. Kakeknya Agam setuju dan menyambut ajakanku dengan antusias. Saat aku tanya apakah dia bersama Aditya, Tuan Hendrawan mengaku jika mereka tinggal di tempat yang berbeda. Dirinya menyewa hotel, sedangkan Aditya menyewa kamar kost siap huni.Di sinilah kami, duduk bersama menikmati beberapa kudapan. Agam senang karena kakeknya menanggapi semua hal yang diceritakannya. Mungkin benar yang dikatakan orang-orang jika hubungan darah itu sulit untu
Tadinya kupikir Tuan Hendrawan akan mengatakannya langsung. Aku masih dilanda rasa penasaran. Akan tetapi, kakeknya Agam itu justru mengeluarkan kartu namanya. "Hubungi saya saja, nanti. Saya harus bersiap ke bandara sekarang. Malam ini saya harus pulang Ambon," ucapnya tersenyum padaku. "Agam, kakek pulang dulu ke Ambon. Kalau kakek ke Makassar lagi, kakek akan ajak Agam main sama-sama lagi. Kalau perlu, kita ke Kalimantan ketemu Nenek Uma sama Om Kemal kamu. Kita naik pesawat terbang," ungkapnya ketika meraih Agam ke pangkuannya dan memeluknya erat."Tapi … ibu bilang halga tiket mahal. Kakak Tita bilang, Agam halus punya uang sebaskom bial bisa beli tiket telbang." Kami terkekeh mendengar celotehannya.Setelah mengecup pipi dan kening cucunya, dia berkata, "Nanti kakek yang belikan tiketnya. Kakek punya uang, jadi Agam tidak perlu hawatir.""Benelan?""Iya, kakek tidak bohong. Kakek akan jual banyak ban mobil supaya tiketnya cukup." Dia kembali meyakinkan Agam yang sekarang sudah