Pagi ini aku mengajak karyawan paruh waktuku untuk mulai bekerja di kedai kecilku. Wanita bernama Ibu Jannah ini adalah ibu dari dua orang anak yang masih SD. Suaminya merupakan seorang ABK. Fia dan Nia yang sebelumnya bekerja denganku merekomendasikan wanita yang tinggal satu kontrakan dengan mereka.Aku tidak begitu kesulitan mengajarinya. Ibu Jannah cukup telaten dalam mengerjakan semuanya. Kini aku tidak perlu hawatir jika harus menemani Agam ke sekolah karena kedaiku akan tetap buka.Sudah sebulan lebih sejak pertemuan terakhirku dengan Riswan di taman. Sejak saat itu pula dia menghindariku. Panggilan telpon darinya sudah jarang masuk di ponselku, lebih sering dengan menghubungi Tita untuk bicara dengan Agam. Itu juga tak pernah lama.Siang ini aku sudah memiliki janji untuk bertemu beberapa wanita yang tergabung dalam UMKM. Aku sepakat mengajari mereka resep pudingku. Sebenarnya aku berharap jika dari usaha ini bisa menggantikanku sebagai penyuplai di restoran Riswan. Masing-mas
Hari libur sekolah Agam benar-benar kumanfaatkan untuk mengais rezeki. Kedaiku suka kubuka sejak pagi. Berharap di antara orang-orang yang lalu-lalang itu ada yang ingin mampir membeli sarapan pagi.Menjelang siang seperti ini, pengunjung di taman mulai ramai berburu makan siang. Aku masih sibuk mengemas lima kotak nasi ayam fillet pesanan online. Dering ponselku yang tak berhenti membuatku resah. Buru-buru kukepak pesanan itu dan memberikan kembaliannya. Aku kemudian beralih pada beberapa pembeli yang duduk saling berhadapan. Enam orang itu memesan paket komplit sehingga aku kembali sibuk. Setelah ini baru aku akan kembali menghubungi si penelpon.Belasan menit kemudian aku akhirnya bisa beristirahat sejenak. Karyawan paruh waktuku juga sudah datang. Aku lega melihat kehadirannya yang cekatan merapikan piring keranjang dan membuang kertas pelapis makanannya.Ada tujuh panggilan tidak terjawab dari Mbak Gia. Aku langsung menghubunginya kembali. Baru dering kedua sudah ia jawab."Halo
Perjalanan yang kutempuh cukup jauh. Aku dan Agam tiba di tempat tujuan saat hari sudah sore. Dinginnya udara menusuk kulit. Agam yang tertidur harus kugendong sambil menarik koper sehingga gerakanku cukup sulit. Kubayar sewa kamar selama tiga hari. Penginapan yang disarankan oleh mahasiswi yang satu angkutan denganku ini cukup luas. Ruang tamu terhubung langsung dengan dapur umum yang bersih. Sementara kamar-kamarnya berjejeran di kiri dan kanan lorong dengan posisi berhadapan.Kubaringkan Agam di tempat tidur tanpa melepas jaketnya lalu kurapatkan selimut. Jangan sampai putraku kedinginan. Aku yang lelah meneguk air botol sisa Agam. Setelahnya, aku turut berbaring di sampingnya.Menatap langit-langit ruangan, aku terdiam. Aku lelah namun mataku enggan terpejam. Lagipula tidak baik tidur sore menjelang malam. Setengah jam kemudian kubangunkan Agam dan mengajaknya mandi sore. Dari pemilik penginapan, aku sudah mendapat informasi jika di sekitar sini ada wisata kuliner yang buka di ak
Sesuai janjiku pada Agam, kuajak dia jalan-jalan. Ada banyak destinasi di yang memanjakan mata di Malino. Kupilih sebuah tempat wisata outdoor untuk kami kunjungi.Agam heboh sendiri melihat hewan-hewan ternak berbaris rapi saat diberi makan. Kupikir ia akan takut. Nyatanya ia ingin menghampiri anak-anak sapi itu untuk memberi makan. Dia juga antusias ketika melihat melihat sengkedan. Katanya sawah di sini cantik sekali seperti tangga. Sepasang kaki kecilnya tidak bisa diam. Begitu juga telunjuknya yang mengarah pada hal-hal yang membuatnya penasaran. Beberapa pengunjung taman wisata dengan jasa travel yang sama dengan kami mengaku terhibur dengan tingkahnya."Kita ke mana lagi, Om?" tanya Agam pada pemandu wisata kami."Ke air terjun. Tapi … kita tidak boleh mandi di sana, hanya boleh lihat dan foto-foto," jawab pria paruh baya itu."Kenapah?" Agam mengernyit."Karena dilarang.""Kenapa dilalang?"Pria itu menggaruk kepalanya. Sementara di bangku belakang kembali terdengar suara tawa
Penyesalan menyapa dan aku merutuk diri. Putraku pasti kesulitan beradaptasi di tempat dengan cuaca dingin ini. Berbeda denganku yang sudah terbiasa dengan hawa pegunungan. Sejak Agam lahir, dia sudah berada di daerah perkotaan yang kondisi lingkungannya berbeda. Belum lagi di Kota Daeng yang memang iklimnya tropis.Suara ketukan pintu menarikku keluar dari lamunanku. Siapa yang datang malam-malam begini? Siapa yang tahu aku di sini?Kulihat dari celah lubang kunci pintu. Warna daster yang masih aku hapal. Kuputar kunci dan menarik perlahan pintunya. "Ada apa, Bu?" tanyaku pada pemilik penginapan. Apakah dia menyadari putraku demam? Apa suara tangisan Agam sampai ke rumah sebelah? Rasanya tidak mungkin."Suamimu ada di depan, Nak," jawabnya.Tubuhku menegang. Suami? Aku sudah tak bersuami. Lalu siapa yang dia maksud?"Tadi waktu kamu mandi, anakmu pinjam hape ibu. Katanya dia mau telpon ayahnya. Dia bilang kalau dia rindu, tapi kamu tidak mau telponkan ayahnya," jelasnya membuatku t
"Aku kan jadi kehilangan kesempatan untuk memeras Kak Riswan. Sekarang keluarganya sudah tahu. Ngomong-ngomong … Kak Risa sudah pernah ketemu calon mertua belum?" Aku membelalak. Mertua.Satu kata yang menghadirkan trauma. Kalau bukan karena mertua, mantan suamiku tidak akan memandang rendah diriku. Aditya tidak akan berselingkuh hanya karena ingin membuktikan jika dirinya pun bisa bermain di belakangku seperti fitnah ibunya selama ini. Agam tidak akan kehilangan kasih sayang seorang ayah."Kenapa? Takut sama Tante Farah dan Om Latief?" Aku menggeleng, sejujurnya bukan takut, melainkan segan.Gadis bernama Dwi itu kembali duduk dengan mengulas senyum. "Aku pendukungnya Kak Riswan. Jangan mengulang kesalahan ini lagi dengan kabur seperti ini, Kak. Kak Riswan sudah seperti orang gila cari kalian. Untung kalian tertangkap rekaman cctv, kalau tidak … mungkin dia akan lapor polisi kalau kalian berdua diculik," tuturnya membuatku tersentak."Hampir, untung saja sahabatnya yang polisi itu be
Demi Tuhan, bagaimana bisa ia setenang itu mengatakannya? Bagaimana bisa ia tetap tersenyum setelah mendengar jawabanku? Berkali-kali pun ia mengatakan semua akan baik-baik saja, tetap saja aku ragu. Bukan dia yang ada di posisiku. Dia dia yang merasakan kepahitan yang kualami. Aku tak suka orang-orang yang berlagak memahami diriku.Setelah tangannya kusentak kasar, dia masih bisa memamerkan senyum bak perahu naga itu padaku. Ya, aku baru saja menolaknya. Jika gadis lain mendengarku, maka mereka akan memakiku wanita bodoh.Pria yang nyaris sempurna ini melamarku. Meminta izin masuk lebih jauh ke dalam hidupku dan hidup putraku. Apakah otaknya rusak setelah bertemu Aditya?Kutinggalkan dia sendirian di sana. Biarkan saja matahari pagi menghiburnya. Aku bukannya tidak menyukainya. Hanya saja … aku sadar diri tak pantas dengannya.Aku tak ingin hubungannya dengan orang tuanya hancur jika dia menikah denganku tanpa restu dari orang tuanya. Aku tak bodoh, melihat Nyonya Farah aku jelas tah
Aku menoleh kala pintu kamar inapku terbuka. Dia mengangguk sembari melangkah dengan mata yang tertuju pada ponselnya. Raut wajahnya berubah namun hanya sesaat."Agam sudah tidur. Kenapa makanannya tidak kamu sentuh?" tanya Riswan setelah menjelaskan kondisi Agam yang sejak tadi menangis. Aku langsung meraih sendok. Kulihat dia melangkah keluar dan menghubungi seseorang. Mungkin rekan kerjanya atau keluarganya. Agam benar-benar kecewa padaku. Saat Riswan menenangkannya, aku hanya bisa mencurahkan semuanya pada Tita. Gadis itu malah menyarankanku untuk pulang saja. Katanya dia juga rindu.Belum lagi Aditya selalu datang setiap harinya. Dia bertanya apakah kami sudah pulang atau apakah sudah ada kabar. Dia benar-benar datang mengejarku ke Sulawesi.Sudah lama aku tidak menghubungi Mas Dadang dan Mbak Hera. Trauma saat dulu Aditya mengutak-atik ponsel Mbak Hera dan menemukan keberadaanku di Surabaya. Sejak tiba di Makassar, hanya dengan panggilan yang dihubungkan oleh Kemal aku bisa ber