Parah nih Kakak Dokter, tebaknya kecelakaan. Masih ingat sama Dwi yang porotin Akram dicerita sebelah, 'kan? Dokter kandungannya Arum ... istri dadakannya Akram dalam cerita BUKAN SEKELUMIT SESAL. AKalau penasaran, dicek aja ya ....
"Aku kan jadi kehilangan kesempatan untuk memeras Kak Riswan. Sekarang keluarganya sudah tahu. Ngomong-ngomong … Kak Risa sudah pernah ketemu calon mertua belum?" Aku membelalak. Mertua.Satu kata yang menghadirkan trauma. Kalau bukan karena mertua, mantan suamiku tidak akan memandang rendah diriku. Aditya tidak akan berselingkuh hanya karena ingin membuktikan jika dirinya pun bisa bermain di belakangku seperti fitnah ibunya selama ini. Agam tidak akan kehilangan kasih sayang seorang ayah."Kenapa? Takut sama Tante Farah dan Om Latief?" Aku menggeleng, sejujurnya bukan takut, melainkan segan.Gadis bernama Dwi itu kembali duduk dengan mengulas senyum. "Aku pendukungnya Kak Riswan. Jangan mengulang kesalahan ini lagi dengan kabur seperti ini, Kak. Kak Riswan sudah seperti orang gila cari kalian. Untung kalian tertangkap rekaman cctv, kalau tidak … mungkin dia akan lapor polisi kalau kalian berdua diculik," tuturnya membuatku tersentak."Hampir, untung saja sahabatnya yang polisi itu be
Demi Tuhan, bagaimana bisa ia setenang itu mengatakannya? Bagaimana bisa ia tetap tersenyum setelah mendengar jawabanku? Berkali-kali pun ia mengatakan semua akan baik-baik saja, tetap saja aku ragu. Bukan dia yang ada di posisiku. Dia dia yang merasakan kepahitan yang kualami. Aku tak suka orang-orang yang berlagak memahami diriku.Setelah tangannya kusentak kasar, dia masih bisa memamerkan senyum bak perahu naga itu padaku. Ya, aku baru saja menolaknya. Jika gadis lain mendengarku, maka mereka akan memakiku wanita bodoh.Pria yang nyaris sempurna ini melamarku. Meminta izin masuk lebih jauh ke dalam hidupku dan hidup putraku. Apakah otaknya rusak setelah bertemu Aditya?Kutinggalkan dia sendirian di sana. Biarkan saja matahari pagi menghiburnya. Aku bukannya tidak menyukainya. Hanya saja … aku sadar diri tak pantas dengannya.Aku tak ingin hubungannya dengan orang tuanya hancur jika dia menikah denganku tanpa restu dari orang tuanya. Aku tak bodoh, melihat Nyonya Farah aku jelas tah
Aku menoleh kala pintu kamar inapku terbuka. Dia mengangguk sembari melangkah dengan mata yang tertuju pada ponselnya. Raut wajahnya berubah namun hanya sesaat."Agam sudah tidur. Kenapa makanannya tidak kamu sentuh?" tanya Riswan setelah menjelaskan kondisi Agam yang sejak tadi menangis. Aku langsung meraih sendok. Kulihat dia melangkah keluar dan menghubungi seseorang. Mungkin rekan kerjanya atau keluarganya. Agam benar-benar kecewa padaku. Saat Riswan menenangkannya, aku hanya bisa mencurahkan semuanya pada Tita. Gadis itu malah menyarankanku untuk pulang saja. Katanya dia juga rindu.Belum lagi Aditya selalu datang setiap harinya. Dia bertanya apakah kami sudah pulang atau apakah sudah ada kabar. Dia benar-benar datang mengejarku ke Sulawesi.Sudah lama aku tidak menghubungi Mas Dadang dan Mbak Hera. Trauma saat dulu Aditya mengutak-atik ponsel Mbak Hera dan menemukan keberadaanku di Surabaya. Sejak tiba di Makassar, hanya dengan panggilan yang dihubungkan oleh Kemal aku bisa ber
Setelah jalan-jalan hingga makan siang di sebuah taman wisata, kami akhirnya bersiap untuk pulang. Sejak pagi kami sudah berkemas meninggalkan penginapan, sehingga kami bisa langsung kembali ke Makassar.Seperti biasa, Agam duduk di depan. Kali ini kursinya direbahkan untuk membuatnya tidur dengan nyaman. Keceriaannya sudah kembali, seakan kemarin ia tidak mengalami demam sama sekali.Di awal perjalanan, Dwi yang mengemudikan mobil karena Riswan mengaku merasa mengantuk. Kutebak dia mungkin kelelahan menggendong Agam ke sana kemari di taman wisata tadi. Jadilah dia duduk di belakang bersamaku. Setelah dua jam berkendara dan mampir di rest area, Riswan kembali duduk di balik setir. Sambil mengemudikan mobilnya, kudengar dia sedang terhubung dengan panggilan telpon. Dari penuturannya, dia sedang mengatur sebuah acara dengan mengarahkan rekan-rekannya. Aku heran bagaimana dia bekerja tanpa melihat langsung tempatnya.Kedatangan kami disambut Tita dengan suka cita. Gadis itu memelukku era
Aditya dan keras kepala adalah satu paket komplit. Sudah diminta datang setelah shalat magrib, dia malah datang sore. Tepat pukul 17.05 WITA, mantan suamiku sudah duduk manis di teras rumah. Jangan tebak, dia terbang atau menembus dinding. Dia memang nekat melompati pagar. Aku yakin begitu karena pagar rumah masih dalam keadaan tergembok saat aku, Tita dan Agam sampai di rumah."Agam!!" serunya berlari dan langsung menggendong Agam.Agam yang baru pertama kali melihatnya secara langsung menangis histeris. Dia menciumi Agam tanpa berpikir anaknya nyaman atau tidak. Agam pasti ketakutan dibuatnya. "Turunkan dia Aditya! Turunkan!" desisku sambil menarik Agam agar lepas dari gendongannya.Kulirik Tita agar segera membuka pintu. Disaat yang sama aku memukul kepala Aditya. Itu pasti sakit, namun tidak seberapa jika dibandingkan tangis ketakutan Agam.Pelukan Aditya mulai melemah. Agam berhasil kuraih dan kembali menurunkannya. Kutarik Aditya agar menjauh darinya."Masuk rumah Agam, sama Ka
Sudah tiga hari sejak kedatangan Aditya, dia tidak pernah datang lagi. Begitu juga halnya dengan Riswan. Namun Agam masih berkomunikasi dengan Riswan. Setiap hari mereka melakukan video call."Kak Riswan tidak berkelahi dengannya, 'kan?" Dia menggeleng."Jangan hawatirkan Aditya lagi. Kepalanya mungkin sudah dingin. Mungkin beberapa hari lagi dia akan kembali menemui kalian. Tapi … dia tidak akan kasar lagi seperti kemarin," pungkasnya yakin namun aku meragu. Aku kenal Aditya sebelum dia mengenalnya. Aku lebih mengenal watak Aditya dibandingkan dengannya. Aku juga tahu jika Aditya mudah diperdaya dan bisa saja ia masih disetir oleh ibu dan istrinya.Menghapus pikiran tentang Aditya, aku memilih memikirkan jualanku. Besok pagi aku harus belanja banyak di pasar. Aku butuh stok bumbu lebih banyak karena dapat pesanan dari kegiatan kampus seperti dulu."Saya jawab telpon dulu." Dia menginterupsi lamunanku.Sejujurnya aku heran mengapa dia sering sekali meninggalkan kantornya. Bukankah pek
"Ibu … katanya Om Liswan sama Om Kemal, Papa Aditya mau ketemu Agam lagi. Kapan?" Aku melongo mendengarnya.Dia memang sudah tahu kalau pria yang tiba-tiba menggendong dan menciumnya itu papanya. Awalnya ia memang takut, namun seiring waktu Riswan dan Kemal menjelaskan padanya."Memangnya Agam sudah tidak takut kalau ketemu?" Kulirik dia di meja makan saat aku masih sibuk dengan cucian piringku. Mulutnya sibuk dengan kentang goreng."Sudah nda, Agam kan sudah pelnah telpon pideo sama Papa Aditya sama Om Kemal, sama Om Liswan juga." Aku terdiam karena tidak tahu kapan mereka melakukannya."Agam kenapa tidak bilang sama ibu?""Om Kemal bilang, jangan bilang sama Ibu dulu. Ini lahasia laki-laki. Tapi Agam penasalan, kenapa nda pelnah telpon lagi?" Rahasianya ia ungkap karena penasaran. Aku menggeleng karena sedikit terhibur."Mungkin Papa Aditya sibuk.""Hum … mungkin.""Agam beneran mau ketemu sama Papa Aditya?" tanyaku kembali saat duduk di hadapannya.Agam mengangguk mantap lalu beruja
Ponselnya jatuh menimbulkan suara nyaring di lantai. Kedua tangannya terus bergerak. Terus berusaha menggapai sesuatu yang sejatinya hanya udara kosong. Aditya menghampiri kami. "Lepas Risa!" sentaknya dengan tatapan nyalang."Sudah lama aku ingin mengirimnya ke akhirat, tapi saat itu aku hamil. Aku masih harus menyusui putraku dan memberinya makan. Sekarang dia akan tinggal bersama kakeknya. Aku yakin jika Ibu Umairah pun akan menerimanya. Aku tidak sudi jika Agam tumbuh dalam pengawasanmu! Urus saja istri dan anakmu!" balasku dengan terus menekan bantal sofa itu.Aditya melotot. "Kau ingin masuk penjara?""Risa! Risa!!" panggil Aditya cukup keras sampai aku tersentak. Kutatap mereka bergantian yang malah menatapku heran.Kulihat bantal sofa masih berada di pangkuanku. Wanita itu masih memegang ponselnya. Dua gelas di atas meja juga masih terisi separuh. Ya ampun … apa yang sudah kupikirkan tadi?Berkali-kali kugumamkan istigfar dan mengusap wajahku. Kuberikan nomorku padanya agar me