Jahilnya Tante Dokter. Sampai besok, ketemu Aditya ....
Setelah jalan-jalan hingga makan siang di sebuah taman wisata, kami akhirnya bersiap untuk pulang. Sejak pagi kami sudah berkemas meninggalkan penginapan, sehingga kami bisa langsung kembali ke Makassar.Seperti biasa, Agam duduk di depan. Kali ini kursinya direbahkan untuk membuatnya tidur dengan nyaman. Keceriaannya sudah kembali, seakan kemarin ia tidak mengalami demam sama sekali.Di awal perjalanan, Dwi yang mengemudikan mobil karena Riswan mengaku merasa mengantuk. Kutebak dia mungkin kelelahan menggendong Agam ke sana kemari di taman wisata tadi. Jadilah dia duduk di belakang bersamaku. Setelah dua jam berkendara dan mampir di rest area, Riswan kembali duduk di balik setir. Sambil mengemudikan mobilnya, kudengar dia sedang terhubung dengan panggilan telpon. Dari penuturannya, dia sedang mengatur sebuah acara dengan mengarahkan rekan-rekannya. Aku heran bagaimana dia bekerja tanpa melihat langsung tempatnya.Kedatangan kami disambut Tita dengan suka cita. Gadis itu memelukku era
Aditya dan keras kepala adalah satu paket komplit. Sudah diminta datang setelah shalat magrib, dia malah datang sore. Tepat pukul 17.05 WITA, mantan suamiku sudah duduk manis di teras rumah. Jangan tebak, dia terbang atau menembus dinding. Dia memang nekat melompati pagar. Aku yakin begitu karena pagar rumah masih dalam keadaan tergembok saat aku, Tita dan Agam sampai di rumah."Agam!!" serunya berlari dan langsung menggendong Agam.Agam yang baru pertama kali melihatnya secara langsung menangis histeris. Dia menciumi Agam tanpa berpikir anaknya nyaman atau tidak. Agam pasti ketakutan dibuatnya. "Turunkan dia Aditya! Turunkan!" desisku sambil menarik Agam agar lepas dari gendongannya.Kulirik Tita agar segera membuka pintu. Disaat yang sama aku memukul kepala Aditya. Itu pasti sakit, namun tidak seberapa jika dibandingkan tangis ketakutan Agam.Pelukan Aditya mulai melemah. Agam berhasil kuraih dan kembali menurunkannya. Kutarik Aditya agar menjauh darinya."Masuk rumah Agam, sama Ka
Sudah tiga hari sejak kedatangan Aditya, dia tidak pernah datang lagi. Begitu juga halnya dengan Riswan. Namun Agam masih berkomunikasi dengan Riswan. Setiap hari mereka melakukan video call."Kak Riswan tidak berkelahi dengannya, 'kan?" Dia menggeleng."Jangan hawatirkan Aditya lagi. Kepalanya mungkin sudah dingin. Mungkin beberapa hari lagi dia akan kembali menemui kalian. Tapi … dia tidak akan kasar lagi seperti kemarin," pungkasnya yakin namun aku meragu. Aku kenal Aditya sebelum dia mengenalnya. Aku lebih mengenal watak Aditya dibandingkan dengannya. Aku juga tahu jika Aditya mudah diperdaya dan bisa saja ia masih disetir oleh ibu dan istrinya.Menghapus pikiran tentang Aditya, aku memilih memikirkan jualanku. Besok pagi aku harus belanja banyak di pasar. Aku butuh stok bumbu lebih banyak karena dapat pesanan dari kegiatan kampus seperti dulu."Saya jawab telpon dulu." Dia menginterupsi lamunanku.Sejujurnya aku heran mengapa dia sering sekali meninggalkan kantornya. Bukankah pek
"Ibu … katanya Om Liswan sama Om Kemal, Papa Aditya mau ketemu Agam lagi. Kapan?" Aku melongo mendengarnya.Dia memang sudah tahu kalau pria yang tiba-tiba menggendong dan menciumnya itu papanya. Awalnya ia memang takut, namun seiring waktu Riswan dan Kemal menjelaskan padanya."Memangnya Agam sudah tidak takut kalau ketemu?" Kulirik dia di meja makan saat aku masih sibuk dengan cucian piringku. Mulutnya sibuk dengan kentang goreng."Sudah nda, Agam kan sudah pelnah telpon pideo sama Papa Aditya sama Om Kemal, sama Om Liswan juga." Aku terdiam karena tidak tahu kapan mereka melakukannya."Agam kenapa tidak bilang sama ibu?""Om Kemal bilang, jangan bilang sama Ibu dulu. Ini lahasia laki-laki. Tapi Agam penasalan, kenapa nda pelnah telpon lagi?" Rahasianya ia ungkap karena penasaran. Aku menggeleng karena sedikit terhibur."Mungkin Papa Aditya sibuk.""Hum … mungkin.""Agam beneran mau ketemu sama Papa Aditya?" tanyaku kembali saat duduk di hadapannya.Agam mengangguk mantap lalu beruja
Ponselnya jatuh menimbulkan suara nyaring di lantai. Kedua tangannya terus bergerak. Terus berusaha menggapai sesuatu yang sejatinya hanya udara kosong. Aditya menghampiri kami. "Lepas Risa!" sentaknya dengan tatapan nyalang."Sudah lama aku ingin mengirimnya ke akhirat, tapi saat itu aku hamil. Aku masih harus menyusui putraku dan memberinya makan. Sekarang dia akan tinggal bersama kakeknya. Aku yakin jika Ibu Umairah pun akan menerimanya. Aku tidak sudi jika Agam tumbuh dalam pengawasanmu! Urus saja istri dan anakmu!" balasku dengan terus menekan bantal sofa itu.Aditya melotot. "Kau ingin masuk penjara?""Risa! Risa!!" panggil Aditya cukup keras sampai aku tersentak. Kutatap mereka bergantian yang malah menatapku heran.Kulihat bantal sofa masih berada di pangkuanku. Wanita itu masih memegang ponselnya. Dua gelas di atas meja juga masih terisi separuh. Ya ampun … apa yang sudah kupikirkan tadi?Berkali-kali kugumamkan istigfar dan mengusap wajahku. Kuberikan nomorku padanya agar me
Melihat seorang Aditya Heriano Santoso menangis tersedu-sedu adalah hal yang langkah. Begitu juga halnya dengan Devi. Aku bingung, apakah mereka sudah sadar atau hanya sekedar bersandiwara?Anggukan pelan dari Agam seakan membasuh dahaga penantiannya selama ini. Aditya menunduk dan mengecup puncak kepalanya. Tak menunda-nunda lagi, Aditya langsung membawa Agam ke pangkuannya.Pelukannya terlihat begitu erat. Agam masih terlihat bingung menatap kami bergantian. Usapan lembut jari Devi di pipi Agam membuatku menatap wanita itu. Tak kusangka ia mengecup pipi Agam seperti dulu saat di Surabaya.Aditya dan Devi mulai bertanya pada Agam tentang kegiatan sekolahnya. Ceritanya seakan tidak ada habisnya. Ekspresi wajahnya juga mengundang tawa kami, kecuali Nyonya Eda. Aku hampir lupa menghitungnya.Sejak tadi kulihat wanita itu hanya fokus pada mantan suaminya. Sayangnya, sejak datang, Tuan Hendrawan bersikap acuh tak acuh padanya. Sepertinya memang sudah tidak peduli lagi.Bunyi perut Agam mem
Selepas ucapan Agam tadi, suasana jadi tegang. Kepalan tangan mantan ibu mertuaku itu sepertinya mengincar kepala putraku. Awas saja, aku tidak akan diam. Aditya akhirnya berinisiatif menggendong Agam ke teras."Begitu caramu mendidik putramu?" lontar wanita itu masih dengan pelototannya.Aku membalas tatapannya. "Haruskah saya mengembalikan pertanyaan yang sama pada Anda, Nyonya? Anda tentu belum pikun, bukan? Saya yakin Anda masih ingat dengan jelas seperti apa Anda mencuci otak putra Anda," desisku. Aku tidak ingin putraku sampai mendengar sindiranku.Sempat kulihat Devi berjengit. Mungkin terkejut melihatku melawan. Sementara mantan ayah mertuaku hanya diam dan menatap sendu permukaan meja. Mungkin ia merasa bersalah karena telah gagal mendidik istri dan anaknya dulu. "Satu hal lagi, jika Anda berniat menebar gosip, sekalian saja bikin iklan di koran. Jangan pakai metode rumpi yang jelas-jelas merujuk kalau Anda pelakunya." Dia bergeming sampai urat lehernya terlihat. Sekuat tenag
Aku terkejut mendengar ucapan mantan ayah mertuaku sebelum mereka pulang. Dia tegaskan pada putranya sendiri untuk tidak memgusikku lagi. Jangan membuat luka baru untukku maupun untuk Devi.Ternyata dia tahu niat Aditya untuk meminta rujuk padaku. Sekarat pun aku tidak sudi. Tuan Hendrawan menegaskan jika aku sudah bahagia. Harusnya Aditya juga bisa fokus membahagiakan Devi.Betapa bijaknya pria ini. Meski dia tahu jika dulu Devi adalah pelakor dalam hubunganku, namun mungkin ia bisa menilai perubahan Devi. Mulai dari caranya bicara maupun berpakaian. Tidak ada lagi Devi yang berpakian seksi, mungkin karena dia juga sudah jadi ibu.Flashback on"Jangan kira ayah tidak tahu niat kamu untuk minta Risa rujuk denganmu. Sudah cukup kamu dulu menyakiti istrimu, jangan ulang kesalahan yang sama pada Devi. Riswan sudah mengutarakan niatnya melamar Risa." Aditya membelalak dan Devi tertunduk. "Aku juga tidak setuju kalau kalian rujuk," sambung Nyonya Eda.Aditya menatap sengit ibunya. Saat kem