Pasir putih dan laut bersihnya manjakan mata. Wajar dong Agam betah. Pulau Kapoposang adanya di Desa Mattiro Ujung, Kec. Liukang Tupabiring Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan. Kalau penasaran mau ke sana, kamu bisa menggunakan beberapa jalur pelayaran. Bisa pilih jalur Pelabuhan Poetere Makassar atau Dermaga Maccini Baji di Kec. Labakkang, Pangkep.
Kualihkan pandanganku ke arah laut. Kilau indah di permukaan air sana mempesona. Tak lama lagi, akan terlihat matahari tenggelam yang tak kalah indahnya."Kau benar. Selama ini aku selalu terhasut kata-kata ibuku. Ayah bahkan pergi meninggalkan kami setelah tahu perselingkuhan ibu dan kakek. Sama seperti yang kau lakukan dulu." Dia meliriku.Aku tidak menampik maupun mengakuinya dengan lidahku. Kuyakin dia sudah menyadarinya. "Kini aku mengerti mengapa sejak kembali dari rumah sakit, kau tidak pernah menunjukkan sopan santun lagi pada kakek." Kubalas tatapannya dengan anggukan pelan. Aku akui jika sudah lama mengetahuinya. Alasan itulah yang membuatku berani membawa anakku jauh dari orang-orang seperti mereka. Lingkungan yang rusak tidak akan baik untuk anakku.Aku bukannya tidak berharap mereka bisa berubah. Hanya saja aku sadar, itu hal yang sulit. Aku tahu, aku tidak memiliki kemampuan untuk membuat mereka bertobat."Devi juga sama. Sejak dia melihatnya, dia mulai mengacuhkan ibu.
Setelah dua hari menikmati liburan di pulau, kami kembali ke Makassar. Keesokan harinya, aku dan Agam menemani Aditya membeli oleh-oleh. Mantan suamiku itu awalnya terkejut, namun ketika kulirik Agam, dia pun paham.Aditya begitu tersentuh ketika Agam mengatakan jika uang celengannya masih sedikit. Uangnya tidak akan cukup untuk membeli dua pasang baju. Jadilah dia hanya memilih dua bando karena menolak saat aku menawarkan untuk menambahkan uangnya.Sepulang dari pulau, Agam juga ikut menginap bersama Aditya. Dia juga sengaja memintakan izin untuk tidak masuk sekolah selama dua hari. Hari Selasa sore, Aditya datang bersama Riswan dan Agam. Sore ini kami akan mengantar Aditya ke bandara. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat keakraban dua pria itu."Agam ingat waktu ketemu Om Liswan di bandala dulu. Agam nda jadi naik pesawat. Agam sama ibu naik kapal laut," ujar Agam ketika kami mampir di sebuah kafe bandara."In sya Allah kalau kita ke Surabaya, Agam akan naik pesawat. Bukannya Agam
"Kamu itu bukan siapa-siapa! Kamu cuma gadis miskin yang beruntung dipilih kakek jadi istriku. Kalau perutmu sakit, ya urus sendiri. Siapa suruh kamu hamil! Aku sudah berkali-kali bilang kalau aku belum siap jadi ayah, aku masih mau seneng-seneng!" bentaknya dengan telunjuk yang berkali-kali mendorong kepalaku. Rasanya sakit sekali mendengar ucapannya. Haruskah aku balas kalau memang dia tidak sanggup jadi ayah, kenapa harus membuang benihnya di dalam rahimku? Ingin sekali aku berteriak jika rasa pil kontrasepsi yang dibelikannya itu sangat pahit. Sepahit kata yang meluncur dari lidahnya. "Kenapa diam? Tumben?!" bentaknya lagi. Belakangan ini kami memang kerap kali adu mulut. Selain perangainya yang berubah kasar, suamiku juga kadang semaunya. Sementara aku sendiri kadang merasa jika kehamilanku ini membawa perubahan besar dalam kondisi tubuh dan mentalku. Aku mendongak membalas tatapannya. Sekuat tenaga kutahan agar genangan di pelupuk mata tidak jatuh dan malah menunjukkan kelem
Tangisku kembali luruh seperti luruhnya hujan menyapa bumi. Sepertinya mendukung suamiku untuk terus leluasa memakiku tanpa ada yang bisa mendengar. Setiap kali dia berteriak dan membentakku, selalu saja disusul petir yang menggelegar."Aku hanya butuh sedikit kebebasan, Mas. Jangan pasung aku dengan semua aturan yang membuatmu seperti suami palsu. Sejak menikah denganmu, hanya sebulan pertama kamu memperlakukanku layaknya seorang istri. Kalau memang kamu tidak menyukaiku, lepaskan aku dan dapatkan kebahagiaanmu yang lain. Bukankah kamu menganggapku sebagai beban?" Dia kembali bungkam."Diam kamu! Habis makan apa kamu sampai bisa ngomel kayak gini?" tanyanya sembari mencengkram rahangku. Perlahan aku membuka mata dan kembali menatap dalam pasang telaga bening yang kini berkobar karena amarah. Tatapan cinta yang dulu kulihat di sana, seakan menguap tak bersisa. Sekarang aku sadar, aku benar-benar sendiri. Aku tidak bisa berharap pada pria yang bergelar suami ini. Pun demikian dengan k
Bagai dihantam palu, aku gemetar. Sekujur tubuhku rasanya mati rasa. Wanita itu baru saja mengatakan sebuah rahasia besar yang membuatku sesak. Bagaimana bisa mereka berdua setega itu pada keluarga sendiri? Telingaku tidak mungkin salah tangkap. Ibu mengulanginya sampai dua kali. Entah apa yang dikatakan kakek, yang jelas aku tahu mereka berdebat.Tidak terbayang olehku apa yang akan terjadi pada Mas Adi jika tahu fakta ini. Ibu dan kakek menyimpan rahasia yang mengejutkan. Mungkin jauh lebih mengejutkan dari gempa bumi. Tekadku untuk pergi dari keluarga ini semakin bulat. Aku tidak tahan lagi berada di antara mereka.Tidak lama akhirnya panggilan telpon antara ibu dan kakek berakhir. Ibu mendumel mengatakan kakek tua bangka yang tidak tahu diri dan hanya mau enaknya saja. Setelah itu ibu malah memuji kakek. Sungguh aku tidak mengerti kinerja otak Nyonya Eda. Baru saja ia mencibir, sedetik kemudian ia memuji."Halo Mas, aku di rumah sakit. Menantu kita masuk rumah sakit karena pendar
Dua hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Mas Adi membawaku pulang. Bukan pulang ke rumah kami, melainkan ke rumah utama tempat kakek dan kedua mertuaku tinggal bersama beberapa asisten rumah tangga. Telapak tanganku basah membayangkan seperti apa nantinya respon mereka saat aku mengutarakan hal yang kupendam ini.Kakek dan ayah mertuaku menyambutku dengan senyum lembut. Ibu mertuaku, seperti biasa dia tampak ogah-ogahan dan memasang senyum palsu ketika aku meliriknya. Mungkin takut jika ayah mertua dan suaminya tahu jika selama ini ia tidak menyukaiku. "Apa kata dokter, Nak?" tanya kakek sembari mengusap puncak kepalaku."Sudah lebih baik, Kakek. Dokter cuma minta banyak istirahat agar lekas pulih," ujarku apa adanya seperti yang disarankan dokter kandunganku.Ayah mertuaku mengusap dadanya lega. "Alhamdulillah, dijaga dengan baik ya Nak … cucu ayah. Rasanya sudah tidak sabar mau menimangnya," ungkapnya dengan tersenyum lebar. Namun entah mengapa hatiku berdenyut ngilu mendengarnya.
"Tubuhku sudah penuh dengan bekas pukulannya. Hanya sebulan pertama pernikahan kami dia bersikap baik padaku. Bulan kedua dia mulai menghindariku dan memperlakukanku seperti wanita pemuas nafsu. Bulan-bulan berikutnya dia berani membentakku, bahkan saat aku hamil … dia menghempaskanku di atas ranjang. Kukatakan agar kalian tahu alasan lain meminta cerai selain karena dia selingkuh," tuturku yang membuat pria 73 tahun itu terhenyak di sofa. Dia pasti sangat syok mengetahui kelakuan cucu kesayangannya. Kuceritakan semua yang terjadi beberapa hari yang lalu saat ia pulang dalam kondisi mabuk. Semalaman aku mengurusnya hingga aku tahu jika ia tertekan karena takut jika rahasianya diketahui ayah dan juga kakek. Awalnya tidak kutahu hal apa yang membuatnya tertekan karena saat kutanya, dia justru marah dan memintaku diam. Pagi saat dia bangun, aku merasa tubuhku demam. Dia hendak pergi sehingga aku meminta dibelikan makanan untuk makan siang. Selain tak ada bahan makanan di dapur, aku sud
Ibu mertuaku yang tadinya berlutut kini bersimpuh di lantai sembari menggeleng pelan melirik suami dan mertuanya. Terhenyak memikirkan nasib yang bahkan belum ditanggapi oleh suaminya sendiri. Raut wajahnya kian mengiba. Sungguh dia wanita luar biasa, tidak rela dimadu tapi tega berselingkuh. "Mas mau jemput sendiri atau minta orang lain yang ke sana dan mereka mulai bertanya-tanya? Melibatkan orang lain hanya akan menjadikan kita semua ini bahan gibah." Kembali kuingatkan Mas Adi agar segera bergegas ke rumah kepala desa.Melihat anggukan kakek, Mas Adi beranjak walau kulihat dia seakan enggan. Semakin didesak maka mereka akan semakin kalut. Jika kutunda, mereka hanya akan menyusun rencana dan berbalik menuduhku. Bukan berburuk sangka, hanya saja setahun mengenal mereka aku tahu kemungkinan yang dipikirkan kakek. Pria tua ini akan menyogok kepala desa. Akan kupuji kakek jika hal itu berhasil.Terdengar suara mobil di halaman depan. Kami semua menoleh dan penasaran siapa gerangan ya
Setelah dua hari menikmati liburan di pulau, kami kembali ke Makassar. Keesokan harinya, aku dan Agam menemani Aditya membeli oleh-oleh. Mantan suamiku itu awalnya terkejut, namun ketika kulirik Agam, dia pun paham.Aditya begitu tersentuh ketika Agam mengatakan jika uang celengannya masih sedikit. Uangnya tidak akan cukup untuk membeli dua pasang baju. Jadilah dia hanya memilih dua bando karena menolak saat aku menawarkan untuk menambahkan uangnya.Sepulang dari pulau, Agam juga ikut menginap bersama Aditya. Dia juga sengaja memintakan izin untuk tidak masuk sekolah selama dua hari. Hari Selasa sore, Aditya datang bersama Riswan dan Agam. Sore ini kami akan mengantar Aditya ke bandara. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat keakraban dua pria itu."Agam ingat waktu ketemu Om Liswan di bandala dulu. Agam nda jadi naik pesawat. Agam sama ibu naik kapal laut," ujar Agam ketika kami mampir di sebuah kafe bandara."In sya Allah kalau kita ke Surabaya, Agam akan naik pesawat. Bukannya Agam
Kualihkan pandanganku ke arah laut. Kilau indah di permukaan air sana mempesona. Tak lama lagi, akan terlihat matahari tenggelam yang tak kalah indahnya."Kau benar. Selama ini aku selalu terhasut kata-kata ibuku. Ayah bahkan pergi meninggalkan kami setelah tahu perselingkuhan ibu dan kakek. Sama seperti yang kau lakukan dulu." Dia meliriku.Aku tidak menampik maupun mengakuinya dengan lidahku. Kuyakin dia sudah menyadarinya. "Kini aku mengerti mengapa sejak kembali dari rumah sakit, kau tidak pernah menunjukkan sopan santun lagi pada kakek." Kubalas tatapannya dengan anggukan pelan. Aku akui jika sudah lama mengetahuinya. Alasan itulah yang membuatku berani membawa anakku jauh dari orang-orang seperti mereka. Lingkungan yang rusak tidak akan baik untuk anakku.Aku bukannya tidak berharap mereka bisa berubah. Hanya saja aku sadar, itu hal yang sulit. Aku tahu, aku tidak memiliki kemampuan untuk membuat mereka bertobat."Devi juga sama. Sejak dia melihatnya, dia mulai mengacuhkan ibu.
Pertanyaannya malam itu kini terjawab sudah. Setelah menjelaskan tentang janjinya pada Agam, Riswan menunjukkan foto di layar ponselnya. Aku dan Aditya akhirnya mengangguk setuju dengan ajakannya. Akhir pekan ini terasa berbeda. Aku dan Aditya pun sama-sama menepis ego. Apalagi alasannya jika bukan demi Agam. Ketika Aditya menelpon Agam, mengatakan jika Riswan mengajak mereka ke pantai, Agam langsung mau ikut. Aditya memintanya mengajakku seolah-olah aku tidak tahu. Ketika aku setuju, Agam tampak begitu bahagia. Begitu juga halnya dengan Tita.Sama seperti Agam, gadis itu juga sibuk packing. Katanya, di sana dia akan membuat banyak foto dengan beberapa outfit yang khusus dibawanya. Tidak ketinggalan si Moi. Omong-omong, itu nama kameranya.Di atas kapal yang menampung lebih dari 20 orang, aku duduk menikmati angin laut. Aroma khas air laut yang terbawa akan jadi satu kenangan untukku. Ini pertama kalinya aku naik kapal seperti ini. Dulu saat kabur, aku dan Agam naik kapal yang lebih
'Rawatlah ikhlas dalam hatimu, biarkan seorang ayah bertemu putra kandungnya. Mungkin setelah itu … kamu tidak akan lagi hawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang selama ini membayangimu. Termasuk dengan kemungkinan perasaanmu yang akan kembali terluka.'Aku sudah melakukan seperti sarannya. Aku ikhlas dan mengizinkan Aditya bertemu dengan Agam, bahkan keluarganya pun ikut datang. Namun balasan yang kuterima adalah rasa sakit. Dia malah datang membawa niatan baru untuk rujuk. Membuatku seperti wanita penggoda suami orang. Dia bodoh atau bagaimana? Bagaimana bisa dia berpikir aku mau menelan luka?'Memang tidak mudah, mungkin juga akan menyakitkan. Cobalah, mungkin sakitnya hanya sebentar, karena yang saya tahu … setiap rasa sakit selalu ada obatnya. Obat yang paling ampuh adalah … memaafkan.' Lagi-lagi kalimat yang pernah dituturkan Riswan terngiang. Benarkah rasa sakitnya hanya sebentar? Sebentar itu … berapa waktu yang harus kulalui untuk bisa bertahan?Sambil menata kembali jilb
Lelah dan jengah dengan sikap Aditya, aku akhirnya tiba di penghujung kesabaranku. Dua pekan ini dia benar-benar mengujiku."Aku tidak akan membiarkanmu bertemu Agam lagi, jika kau tidak kembali pada keluargamu. Aku tidak ingin kedua adik kembar dari pernikahanmu dan Devi punya hubungan buruk dimasa depan dengan Agam. Sikapmu ini, membuatku kembali kehilangan rasa percaya padamu. Aku, tidak sudi rujuk denganmu, Aditya." Kulihat raut wajahnya berubah drastis."Kenapa? Karena Devi mengancammu?"Aku menggeleng. "Bukan. Karena kau selalu mengingatkanku pada rasa sakit. Aku juga tidak sudi punya mertua seperti ibumu. Aku tidak bisa lupa saat dia menuduhku selingkuh, padahal dialah yang berselingkuh dengan, mertuanya sendiri," balasku mengatakan inti dari alasan penolakanku."Risa, aku hanya i-""Jika kau tidak berhenti mengusikku, maka aku akan memberitahu Agam tentang penyebab perceraian kita. Biar saja dia tahu kalau papanya suka memukuli ibunya. Itulah alasan kenapa aku membawanya pergi
Aku hanya bisa memandang taksi yang baru saja dihentikan oleh Aditya. Mantan suamiku itu sempat pamit pada Agam dengan mengatakan kalau dia harus pulang lebih dulu. Besok akan kembali menemuinya di rumah."Carisa …." Aku menoleh ke belakang dengan tatapan penuh harap."Kamu kenapa menangis?" Riswan dengan raut wajah cemasnya menghampiriku."Bagaimana bisa Kak Riswan tahu kami di sini?" Dia tersenyum menunjukkan riwayat chat dengan Tita."Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Jelas bukan debu jalanan yang membuat kamu menangis," tebaknya dan dari ucapannya itu aku tahu dia masih menunggu penjelasanku.Kuceritakan apa adanya sambil menunjuk ke arah pintu ruko di seberang jalan. Aditya saat ini menemui si pemilik ruko kosong itu. Dia berniat untuk membuka toko sembako di sana. "Memangnya dia berniat pindah dan menetap di sini? Kenapa tidak cari rumah terlebih dulu? Kasihan istri dan bayi kembarnya kalau tinggal di sana. Ruko sebelahnya itu warung 24 jam, pasti akan berisik," ujarnya denga
Benar dugaanku dia yang datang. Tita mempersilakannya masuk. Masih bisa kudengar suara Tita yang memberitahunya kalau aku di dapur.Tak berselang lama, Ibu Jannah datang mengambil bumbu yang sudah kusiapkan. Dia belum mahir membuatnya. Tita datang membawakan sebuah paper bag. Tentengan itu berisi oleh-oleh makanan khas Surabaya. Oleh-oleh yang sama seperti yang dibawanya tiga bulan lalu saat dia datang bersama ibu dan istrinya.Kubangunkan Agam yang tadinya tidur siang. Tidur sejam setidaknya cukup untuknya. Saat kuberitahu kalau papanya datang, Agam terkejut. Wajah mengantuknya pun sirna. "Papa …." Dia berlari ke pelukan Aditya. Kulihat di meja sudah ada kue dan minuman yang tersaji. Tita pamit masuk ke toko untuk melanjutkan pekerjaannya mengemas pesanan pembeli."Kenapa datang tidak bilang-bilang?" Aditya menoleh menatapku.Dia tersenyum lalu mengecup pipi Agam. "Sengaja buat kejutan untuk Agam. Agam suka tidak, sama oleh-olehnya?" Agam mengangguk mantap. Suara girangnya menyirat
"Permisi …."Seorang pria dan wanita berdiri di depan pintu toko. Aku bisa bernapas lega ketika Riswan menarik diri. Dia beranjak membukakan pintu toko dan mempersilakan mereka masuk."Mari silakan," ajak Riswan begitu ramah seolah dia pemilik toko."Sebaiknya … kita bicara di ruang tamu saja ya, Pak, Bu," pintaku. Riswan sepertinya tersadar jika mereka tamuku."Boleh," sahut pria paruh baya itu mengajak istrinya serta, lalu mengikuti langkahku ke dalam rumah."Carisa, saya pimit dulu. Saya harus kembali ke kantor," kata Riswan."Agam … Om Riswan mau pulang," panggilku.Putraku sudah melesat menghampirinya. Setelah mencium pipi kanan dan kiri Riswan, lalu beralih mencium punggung tangannya, Agam akhirnya merelakan dia pergi. Tangannya bahkan masih dadah-dadah meski mobil hitam itu sudah menghilang dari pandangan matanya."Sebentar ya, Pak, Bu. Saya ambilkan minum dulu," pamitku pada tamuku. Kupinta juga Agam memanggilkan Tita.Tadinya aku ingin DP rumah subsidi. Akan tetapi, aku meliha
Kupersilakan mereka masuk, tetapi wanita yang terkejut tadi menolak dan memilih duduk di teras. Dia kemudian meminta wanita yang datang bersamanya ikut masuk bersamaku untuk mengambil puding-puding itu. Sebenarnya siapa wanita itu? Dari gelagatnya dia mengenalku. Akan tetapi, aku merasa tidak mengenalnya.Belasan menit kemudian, puding-puding itu sudah di pindahkan ke bagasi mobil. Wanita itu mengulurkan uang pada pembantunya untuk diberikan padaku. Sebegitu tidak sukanya dia melihatku."Terima kasih, Nyonya," ucapku ketika menerima beberapa lembar uang seratus ribu rupiah."Hm."Ponselnya berdering dan ia kembali sibuk dengan ponselnya. Sementara pembantunya mengucapkan terima kasih padaku karena telah memberikan bonus dua cup puding berukuran sedang."Apa kau bisa tahu diri sedikit?" Tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan berkata seperti itu.Aku heran dengannya. "Maaf, maksud Nyonya apa?""Mulai sekarang, jauhi Riswan! Dia itu sudah dijodohkan dengan putri saya. Masa iya Farah mau p