Share

Part 3 Saya Minta Divisum

Bagai dihantam palu, aku gemetar. Sekujur tubuhku rasanya mati rasa. Wanita itu baru saja mengatakan sebuah rahasia besar yang membuatku sesak. 

Bagaimana bisa mereka berdua setega itu pada keluarga sendiri? Telingaku tidak mungkin salah tangkap. Ibu mengulanginya sampai dua kali. Entah apa yang dikatakan kakek, yang jelas aku tahu mereka berdebat.

Tidak terbayang olehku apa yang akan terjadi pada Mas Adi jika tahu fakta ini. Ibu dan kakek menyimpan rahasia yang mengejutkan. Mungkin jauh lebih mengejutkan dari gempa bumi. Tekadku untuk pergi dari keluarga ini semakin bulat. Aku tidak tahan lagi berada di antara mereka.

Tidak lama akhirnya panggilan telpon antara ibu dan kakek berakhir. Ibu mendumel mengatakan kakek tua bangka yang tidak tahu diri dan hanya mau enaknya saja. Setelah itu ibu malah memuji kakek. Sungguh aku tidak mengerti kinerja otak Nyonya Eda. Baru saja ia mencibir, sedetik kemudian ia memuji.

"Halo Mas, aku di rumah sakit. Menantu kita masuk rumah sakit karena pendarahan. Mas tenang dulu, calon cucu kita baik-baik saja. Hanya saja … aku bingung, Mas. Sepertinya Adi mencium sesuatu yang buruk tentang menantu bungsu kita ini," kata ibu mertua. Aku tak tahu sejak kapan dia menelpon lagi. 

Sejenak hanya keheningan dan hanya deru napasku yang kudengar. Ibu mertua sepertinya diam mendengarkan ayah mertua bicara cukup panjang. Dalam bayanganku, mungkin ia sedang mencibir suaminya. 

"Adi yakin kalau itu bukan anaknya. Dan apa Mas tahu? Anak dalam kandungannya Risa itu perempuan kata dokter. Bapak pasti akan kecewa berat. Kalau bukan laki-laki, mana bisa anak kita dapat warisan lebih banyak? Bapak sendiri yang bilang kalau cucu laki-lakinya akan dapat tanah di Magelang. Cicit laki-laki yang akan dapat warisan lebih banyak, salah satunya adalah peternakan sapi miliknya." Ucapan ibu lagi-lagi menusuk hingga ke tulang. Yang penting baginya hanya uang.

Benarkah anak dalam kandunganku ini seorang putri? Aku tidak pernah mempermasalahkan jenis kelaminnya. Laki-laki atau perempuan, anakku tetaplah darah dagingku yang akan kupastikan kebahagiaannya. Tidak akan kubiarkan anakku tumbuh dalam keluarga toxic ini. Aku harus cerai dengan Mas Adi. Biar saja dia menikah lagi, aku tidak peduli.

"Mas… sebenarnya… ada hal lain yang ingin ibu sampaikan. Ini soal Adi, anak kita," kata ibu mertua yang rasanya ingin membuatku muntah. Suaranya yang mendayu dengan bujuk rayu menyakiti telingaku.

"Dia beberapa bulan ini dekat sama Devi. Si Devi, anaknya camat kampung sebelah. Adi bilang kalau… nanti saja aku bilang setelah sampai di rumah, Mas," sambungnya lagi. Sungguh aku penasaran seperti apa tanggapan ayah mertuaku saat tahu kelakuan putra yang dibanggakannya itu.

"Begini Mas… entah ini benar atau tidak, tapi sepertinya Adi pacaran sama Devi. Terus … Devi hamil." Ibu mertua kembali diam cukup lama hingga kurasa telingaku gatal ingin tahu.

"Tapi bagaimanapun anak dalam kandungannya itu calon cucu kita. Kalau kita berbesan dengan seorang camat, derajat keluarga kita akan semakin terpandang. Lihat saja, sejak Adi menikah sama Risa, yang ada hanya susah. Bapak itu terlalu memanjakan cucu menantunya. Tidak lama lagi keponakanmu juga akan menikah Mas, jangan sampai kita disalip untuk dapat cucu laki-laki." Ingin rasanya aku berteriak dan mengusir ibu mertuaku keluar dari kamar rawat inapku ini. 

Tanganku mengepal kuat meremas selimut. Tak lama kudengar ibu keluar dari kamar setelah kedatangan dokter. Masih sempat kudengar mereka berbasa-basi sejenak sampai akhirnya kudengar pintu yang kembali ditutup.

Jemari lembut menyentuh kening dan pergelangan tanganku. Aroma etanol dan parfum yang wangi mengusik indra penciumanku. Aku pura-pura baru tersadar karena sentuhan di kulitku.

"Ibu Carisa bisa mendengar suara saya dengan baik?" tanya dokter wanita yang kutaksir lebih muda dari ibu mertuaku. Wajah cantiknya dibingkai jilbab yang terlilit rapi di lehernya. 

Aku mengangguk karena rahangku masih sakit. Kulirik perawat yang sudah tidak asing bagiku karena sudah beberapa kali bertemu jika aku memeriksakan kandungaku ke rumah sakit ini. Dokter itu mulai memeriksa kondisiku dan perlahan aku merasa lebih baik atas pertanyaan, anggukan maupun senyumnya. 

"Do-dokter, saya ingin mi-minta tolong. Saya minta divisum, saya ini korban KDRT. Bukan kali ini saja … saya diperlakukan kasar seperti ini. Siksaan lahir batin sudah sering saya dapatkan, Dok. Mungkin … karena sejak awal … suami saya terpaksa menikahi saya atas permintaan kakeknya." Dokter itu mengangguk. 

Kutarik napas dan kembali mengumpulkan tenaga. Walau berbisik, kuyakin dia bisa mendengarku. "Saya ingin melakukannya demi … melindungi kandungan saya ini, Dok. Setidaknya sekali saja, suami saya diberi … ketegasan. Saya bisa menerima perlakuannya, tapi saya tidak bisa membiarkan seorang pun … menyakiti anak saya, termasuk ayahnya sendiri," bujukku pada dokter wanita ini. 

Aku yakin dia mengerti dan bisa melakukannya tanpa sepengetahuan keluarga. Kalaupun ketahuan, dokter bisa menyebutkan alasan lain terkait medis. Lebam di tubuhku tentu tidak bisa berbohong, termasuk bekas tamparan di pipiku. 

"Baiklah, tapi saya harap Anda benar-benar beristirahat total. Pendarahan yang Anda alami ini nyaris saja membuat Anda kehilangan bayi Anda. Tolong hindari hal-hal yang membuat Anda lelah dan stres. Tekanan darah Ibu Carisa cukup tinggi dan itu tidak baik untuk kondisi ibu hamil. Saya yakin, sebagai calon ibu, Anda kuat karena kekuatan itu hadir dari harapan besar untuk memberikannya kehidupan yang lebih baik," ujarnya dengan lembut menyapa rungu. 

Aku tergugu dan mengangguk berkali-kali. Setidaknya ada orang asing yang memahami hal yang aku rasakan. Dokter itu bertanya usiaku, mungkin mengira aku menikah dibawah umur. 

"Usianya 20 tahun, Dok," jawab perawat karena aku kesulitan menjawab. 

Sudut bibirku sobek dan pipiku kram. Sepertinya suamiku memukulku menggunakan tenaga dalam. Menggerakkan tangan dan kepalaku saja sulit. 

Perawat yang mengenakan seragam biru muda itu turut mengusap sudut matanya. Aku jadi penasaran seperti apa penampilanku sekarang? Sejak aku membuka mata dan membalas tatapannya, mata perawat itu berkaca-kaca.

"Ada keluhan lain, Ibu Carisa? Ada keluhan sakit di bagian tertentu, mungkin?" tanyanya berbisik. "Jangan takut, katakan saja."

"To-tolong bukti visumnya dirahasiakan, Dok, Sus. Saya takut jika bukti itu dihilangkan dan saya malah dianggap pembohong. Mereka bisa saja memutar balikkan fakta," pintaku. 

Ah … ada gunanya juga nonton sinetron. Jika biasanya ibu-ibu yang menonton akan mengomel melihat pemeran utamanya tertindas, tidak denganku. Aku justru penasaran bagaimana cara membalas dan membuat tokoh antagonisnya mendapat hukuman.

Benakku terus saja bertanya pada siapa aku harus minta tolong untuk mengurus perceraianku dengan Mas Adi. Jika tidak diizinkan bercerai dengannya dan lepas dari keluarga ini, akan aku bongkar rahasia kakek dan ibu mertuaku. Aku harus kuat meskipun terpaksa menjadi wanita jahat yang tega mengancam keluarga sendiri. Hidup lebih lama lagi bersama mereka bisa membuatku gila.

"Tunggu saja Nyonya Eda, kau tidak sudi punya menantu sepertiku bukan? Aku juga sama, tidak pernah berharap punya ibu mertua sepertimu," gumamku setelah dokter dan perawat keluar. Gemuruh di dadaku rasanya ingin segera meledak dan berbuah kebebasan. Bisakah?

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Lisani
gemes.... rasanya pengen ulek.
goodnovel comment avatar
Nona Pelangi
buruan kasih bukti, biar tidak berkutik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status