Alunan musik dangdut masih dilantunkan oleh salah seorang penyanyi. Bukan oleh seorang biduan yang mengenakan pakaian seksi, tapi salah seorang penyanyi dari ajang pencarian bakat. Biasanya warga desa hanya melihatnya dari layar televisi, tapi khusus hari ini dihadirkan sebagai salah satu tamu.Awalnya aku sudah berniat meninggalkan desa ini. Setelah mendengar jawaban Mas Adi malam itu, tekadku semakin bulat. Rasanya aku lelah menunjukkan senyum kepalsuan pada para tamu. Ternyata permintaan malam itu adalah permintaan Devi. Wanita itu pasti mau pamer desahan malam pertama pernikahannya padaku.Ada yang menatapku heran. Tak sedikit yang menunjukkan raut prihatin. Yang membuatku kesal malah ada beberapa di antara mereka yang berbisik tidak sopan dengan mengatakan kalau sedang menunggu status jandaku. Mungkin saja kabar perceraianku sudah tersebar.Devi ternyata tamak juga. Selain merebut Mas Adi, dia juga berusaha membuatku malu di acara ini. Dengan mudahnya ia memberi penawaran yang su
Tiba di terminal Kota Kediri, kulihat Mas Dadang dan Mbak Hera yang melambai ke arahku. Perjalanan selama beberapa jam itu sama sekali tidak terasa lama bagiku. Mungkin karena aku sibuk memikirkan banyak hal."Kemarin itu mertua mbak masuk rumah sakit, jadinya cuma Mas Dadang yang ke sana. Itu pun cuma sebentar. Maaf ya, kami tidak bisa jemput kamu di sana," ungkap Mbak Hera setelah mengurai pelukannya. Lingkaran hitam di bawah matanya seakan menjelaskan jika belakangan ia pasti kurang beristirahat. Setahuku hubungan Mbak Hera dengan mertuanya sangat baik, dia menjadi kesayangan seolah putri sendiri. Mungkin karena wanita bertubuh mungil ini dicintai dengan tulus oleh suaminya."Tidak apa, Mbak. Untuk apa juga repot menjemput? Kalian menjemput di terminal ini saja pastilah sudah sangat merepotkan," ujarku merasa berat hati.Mbak Hera menggeleng lalu berbisik, "Tidak berat setelah dengar kabar kalau pengantin baru di sana habis dimarahi kakek. Kamu tahu, senang sekali rasanya dengar A
Jantungku kembali berdegup kencang. Darahku mulai berdesir kala kurasakan bayiku ini seakan bersemangat untuk lahir ke dunia. Rasanya memang sangat sakit. Aku tak berkata apa pun, tak juga merintih. Aku hanya tahu kalau aku bahagia. Sebentar lagi aku takkan sendirian di dunia ini.Kuitari tempat tidurku berkali-kali. Sedikit takut melangkah jika tidak berpegang. Aku takut jatuh seperti dulu. Teringat dengan bosku dan karyawan tempat londry, kuraih kembali ponsel dalam tasku. Kuhubungi wanita itu dan mengabari kondisiku yang mulai membaik. Kusampaikan ucapan terima kasihku karena mereka telah membawaku ke rumah sakit. Wanita itu kembali memberikan beberapa wejangan berdasarkan pengalaman saat dia akan melahirkan dulu.Sejam kemudian Mbak Hera datang bersama Mas Dadang. Mereka cukup lama karena mampir membeli selimut dan tiga pasang pakaian bayi. Pilihan Mas Dadang semua warna putih, katanya tidak tahu calon keponakannya laki-laki atau perempuan jadinya beli yang warna netral saja. Unt
Akta ceraiku dengan Mas Adi baru saja kuterima. Masih kuingat dia datang ke pengadilan bersama istri barunya ditemani mantan ibu mertuaku. Mereka percaya jika anak yang kulahirkan adalah seorang putri. Tidak sulit mengelabui mereka dengan memakaikan putraku selimut bayi berwarna pink bermotif stroberi. Bukan hanya itu, aku turut mendandaninya dengan dress bayi berwarna putih dan bandana pita. Aku sempat ketakutan jika Mas Adi atau Ibu Eda menyadari jika bayiku laki-laki. Untung saja Mbak Hera dan Mas Dadang bisa mengalihkan perhatian mereka dengan bertanya tentang acara empat bulanan Devi.Allah telah mengabulkan doaku. Putraku lahir dengan wajah yang mirip denganku. Walau tak kupungkiri jika hidungnya mirip dengan mantan suamiku. Setidaknya terlihat mancung.Sudah dua bulan aku resmi menyandang gelar janda. Sedikit risih ketika beberapa tetangga mulai menanyakan tentang niatku membina kembali sebuah rumah tangga. Anehnya bukan para pria lajang yang banyak tanya, melainkan ibu-ibu ya
Aku tahu wanita itu masih memiliki rasa bersalah karena sikap keluarganya. Awalnya ia tidak percaya saat kuceritakan tentang kakek yang menyogokku dengan banyak uang agar mengizinkan Aditya menikah lagi. Sampai akhirnya suaminya sendiri yang menceritakan sikap kakek yang tiba-tiba berubah dengan mengundang artis dalam acara resepsi pernikahan Aditya dan Devi. Dalam acara resepsi itu, tidak tampak sedikit pun penyesalan di wajah tuanya. "Aku baik-baik saja, Mbak. Aku tidak lemah walau aku sendirian dan berstatus janda. Tubuhku juga kecil, ya … walaupun sedikit lebih tinggi dari Mbak," candaku sembari mengusap pipi. "Itu amanah dari Om Hendra. Kalau kamu tidak mau menggunakannya sekarang, tabung saja. Bagaimanapun, Om Hendra itu kakeknya Agam. Agam berhak menerima pemberian dari kakeknya," ungkap Mas Dadang yang bersandar di pintu kamar. "Kalau saja kalian maupun beliau tahu yang sebenarnya, mungkin mantan ayah mertuaku itu juga akan enggan memberikannya," batinku pasrah. Kalau sud
"Aduh … lucunya. Namanya siapa?" Kali ini putranya yang bertanya. "Agam." "Kalau kamu, Nak?" "Carisa, Bu. Panggil saja Risa." Ibu Maryam mengangguk lalu berujar, "Agam Pangeran Kecil Carisa. Kamu kuliah atau kerja, Nak?" "Mau kerja, Bu. Rencananya mau jualan di kontrakan ini. Anak saya masih kecil, belum bisa saya bawa ke sana kemari." Mereka mengangguk paham. Kami berbincang dan dari mereka berdua aku tahu banyak hal. Termasuk penjual sayur keliling yang membawa dagangannya dengan mobil. Ideku untuk menjual nasi bungkus disambut baik oleh mereka. Aku pun baru tahu kalau mereka menjalankan usaha gorengan yang cukup besar karena memiliki lima orang pegawai. Kebanyakan penghuni sekitar adalah mahasiswa dan karyawan kantor yang lebih memilih membeli makanan siap santap. Walau keuntungannya tidak banyak, setidaknya cukup untuk kebutuhanku dan Agam. Jika nanti Agam sudah bisa duduk atau berjalan, aku bisa memikirkan usaha lain. Malam harinya setelah menidurkan Aidan, aku mengambil
Baru saja selesai mandi, kini pikiran dan tubuhku kembali segar. Suasana kontrakanku juga sudah lebih tertata dan enak dipandang mata. Kemarin sebelum mereka pamit, Seno diminta ibunya memasangkan wallpaper di dinding kamar dan ruang tamu. Kontrakanku sudah mulai tampak berbeda dari sebelumnya. Setelah panggilan telpon dari Aditya semalam, kuputuskan untuk mengabaikannya. Kusambut pagi pertamaku dengan semangat baru. Pagi ini aku mengajak Aidan berjemur sebentar di teras. Di depan rumah ada beberapa wanita yang sedang membeli sayur. Mereka semua ramah dan lebih cenderung membahas Agam. Bayiku memang menggemaskan, terutama saat kaki dan tangannya yang terus digerakkan seolah ingin menggapai sesuatu. Sesekali Agam menoleh saat ada kendaraan motor yang lewat. Aku senang karena itu pertanda ia mulai merespon sekitarnya. "Tinggal berdua saja sama bayinya, Dek?" tanya salah seorang tetangga. "Iya, Bu." Kujawab seadanya dan mereka tidak bertanya lebih lanjut. "Saya pikir kemarin yang
Tangan Mas Dadang mengusap kepala Agam di pangkuan Mbak Hera. "Siang tadi, kami baru mengambil hasil pemeriksaan kesehatan sebelumnya di salah satu rumah sakit di sini. Ternyata … selama ini saya kurang subur. Dokter sarankan untuk pengobatan herbal dulu lalu melakukan program bayi tabung. Saat ini masih kedua orang tua dan ibu mertua Mas yang diberitahu. Sekarang kamu juga kami kasih tahu, jadi tolong bantu doa ya … biar Agam juga bisa punya adik sepupu dari paman dan bibinya ini," ungkapnya penuh harap. Air mata haru ini jatuh begitu saja. Aku memahami alasan mereka belum mengungkapkannya pada keluarga besar. Terutama kepada Tuan Santoso yang menganggap hal-hal seperti itu tidak masuk akal baginya. Di matanya mungkin usaha itu justru menunjukkan sebuah kekurangan nyata. "Aamiin, Mas, Mbak. In sya Allah akan selalu kupanjatkan setiap selesai sholat," janjiku. Dengan apalagi kubalas segala kebaikan mereka selama ini kalu bukan lewag doa."Oh iya, Risa … apa Aditya pernah menghubungi