Baru saja selesai mandi, kini pikiran dan tubuhku kembali segar. Suasana kontrakanku juga sudah lebih tertata dan enak dipandang mata. Kemarin sebelum mereka pamit, Seno diminta ibunya memasangkan wallpaper di dinding kamar dan ruang tamu. Kontrakanku sudah mulai tampak berbeda dari sebelumnya. Setelah panggilan telpon dari Aditya semalam, kuputuskan untuk mengabaikannya. Kusambut pagi pertamaku dengan semangat baru. Pagi ini aku mengajak Aidan berjemur sebentar di teras. Di depan rumah ada beberapa wanita yang sedang membeli sayur. Mereka semua ramah dan lebih cenderung membahas Agam. Bayiku memang menggemaskan, terutama saat kaki dan tangannya yang terus digerakkan seolah ingin menggapai sesuatu. Sesekali Agam menoleh saat ada kendaraan motor yang lewat. Aku senang karena itu pertanda ia mulai merespon sekitarnya. "Tinggal berdua saja sama bayinya, Dek?" tanya salah seorang tetangga. "Iya, Bu." Kujawab seadanya dan mereka tidak bertanya lebih lanjut. "Saya pikir kemarin yang
Tangan Mas Dadang mengusap kepala Agam di pangkuan Mbak Hera. "Siang tadi, kami baru mengambil hasil pemeriksaan kesehatan sebelumnya di salah satu rumah sakit di sini. Ternyata … selama ini saya kurang subur. Dokter sarankan untuk pengobatan herbal dulu lalu melakukan program bayi tabung. Saat ini masih kedua orang tua dan ibu mertua Mas yang diberitahu. Sekarang kamu juga kami kasih tahu, jadi tolong bantu doa ya … biar Agam juga bisa punya adik sepupu dari paman dan bibinya ini," ungkapnya penuh harap. Air mata haru ini jatuh begitu saja. Aku memahami alasan mereka belum mengungkapkannya pada keluarga besar. Terutama kepada Tuan Santoso yang menganggap hal-hal seperti itu tidak masuk akal baginya. Di matanya mungkin usaha itu justru menunjukkan sebuah kekurangan nyata. "Aamiin, Mas, Mbak. In sya Allah akan selalu kupanjatkan setiap selesai sholat," janjiku. Dengan apalagi kubalas segala kebaikan mereka selama ini kalu bukan lewag doa."Oh iya, Risa … apa Aditya pernah menghubungi
"Mbak Risa, bisa tidak aku pesan sama Mbak 100 cup salad buah?" tanya seorang gadis yang kutahu adalah pembeli setiaku di kantin ini. "Memangnya mau diambil kapan, Dek?" tanyaku pada gadis bertubuh mungil yang kuketahui adalah mahasiswi fakultas kedokteran. Senyumnya manis dengan memamerkan gigi gingsul dan sepasang lesung pipi kecil dekat sudut bibirnya. Ia mengecek ponselnya sekali lagi lalu berkata, "Besok lusa, Mbak. Mamiku ada acara syukuran. Kali ini mau buat menu yang segar-segar. Aku pernah belikan mamiku salad buahnya Mbak Risa dan mamiku suka." "In sya Allah bisa, Dek. Lusa mau diambil pukul berapa?" tanyaku mengingat lusa adalah hari Minggu. "Sekitar pukul empat sore, setelah sholat ashar. Bisa, 'kan?" tanya dengan penuh permohonan. Aku berpikir sejenak dan mengecek ponselku. Ketika aku mengangguk, ia bersorak lalu mengusap dadanya lega. Diulurkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu sebagai panjar. Tak lama ia pamit setelah mencubit gemas pipi putraku. "Alhamdu
Setelah selesai mengemas pesanan mereka, kuraih ponsel dan kuperlihatkan sebuah foto. Kutunjukkan bukti penting untuk sebuah klarifikasi. Penting untuk memberikan penjelasan, bukan membiarkannya begitu saja. Virus gosip yang mengudara harus dihentikan. Tentunya dengan cara yang menyentuh akal, bukan dengan amarah yang meluap-luap. Melawan gosip itu harus dengan cara yang elegan agar mereka yang nyinyir bisa segan dan enggan kembali bergosip. Rasanya puas dengan melihat mereka lega. Padahal seharusnya di sini, akulah yang pantas menunjukkan ekspresi itu. Mereka meminta maaf sekali lagi dan berterima kasih atas pesanan mereka. Entah siapa yang sudah menebar benih gosip murahan ini? Jika aku tahu siapa orangnya, maka patut aku balas. Bukan dengan cara yang sama dan membuatku terhina. Justru sebaliknya, akan kutunjukkan bahwa meski tanpa gelar sarjana, aku tahu cara menghadapi masalah. Meski aku sendiri dan tanpa dukungan orang berkuasa, aku bisa menghadapinya. Hidup ini memang getir,
Membuat alasan tidaklah semudah saat kita memikirkannya. Merahasiakan sesuatu pun tidaklah semudah dugaan. Semakin dipikirkan justru semakin terjebak dalam keresahan. Setelah semalam berselancar di dunia maya mencari kiat-kiat menghadapi manusia julid, kini aku sudah punya cara yang patut kucoba. Sejak tadi aku diam-diam melirik ke arah Ibu Yati. Wanita bertubuh gempal itu tampak duduk termenung. Suasana kantin masih sepi karena masih pukul 09.07 WIB. Sekali lagi kutatap layar ponselku. Tiga kalimat bijak dari Lao Tsu, 'Tanggapi kemarahan dengan kebajikan. Atasi kesulitan selagi masih mudah. Tangani yang besar selagi masih kecil.' yang kujadikan wallpaper ponsel. Kugumamkan basmalah untuk menyelesaikan masalahku hari ini dan tentu saja harus dimulai dari sumber masalah. Jantungku rasanya berdetak lebih cepat. Tenggorokanku rasanya tercekat ketika beberapa orang melihatku. Kuharap pilihanku ini sudah tepat. Semakin kutunda hanya akan terus membuatku gundah. Allah tidak akan memberik
Mendengar namaku disebut tentu saja membuatku tersentak. Siapa yang datang mencariku di kantin ini? Kulihat kerumunan itu mulai bubar dan mereka seperti orang yang sibuk mencari seseorang. Diriku tepatnya. Beberapa ibu kantin menunjuk ke arahku. Wanita berambut pirang dengan baju kuning ketat membalut tubuhnya, kini memandangku. Tatapannya sungguh tidak bersahabat dan pertanda buruk bagiku. Suara ketukan high heels semakin keras terdengar seiring langkahnya menghampiriku. Ketika langkahnya terhenti, ia meletakkan tas mahalnya di hadapanku. Ibu Yati mengambil alih Agam dari pangkuanku. Seakan tidak rela berpisah dariku, Agam meronta. Kubiarkan saja putraku dibawa Ibu Yati yang menghampiri Ibu Maryam. Tidak baik jika putraku tetap bersamaku sekarang. Sembari berkacak pinggang, wanita itu berkata, "Jadi kamu cewek yang godain calon suami saya? Gara-gara kamu kan, dia putusin aku?!" Aku mengernyit dan menatapnya bingung. Tanpa ada pertanda atau penjelasan, tiba-tiba saja dia datang m
Minggu cerah dan penuh berkah. Dagangan nasi bungkusku habis. Bahkan tetangga kontrakan yang terlambat bangun pun hanya bisa memelas kala melihatku sedang beres-beres. Seno dan pacarnya adalah penyantap terakhir dan sedang duduk memangku Agam. "Makanya Tio … tidurnya jangan kelamaan, rezeki sudah dipatuk ayam duluan," sahut gadis ceriwis itu dan dibalas pemuda kamar sebelah dengan wajah manyun. "Memangnya kamu dari mana semalam? Kok pulangnya subuh?" tanya Seno kepo. Pemuda bernama Tio yang sering membawakan keripik bayamku ke warung rumah sakit dekat tempatnya kerja part time sebagai cleaning service. "Semalam ada kecelakaan beruntun dekat tol, salah satunya temanku. Kujagain sampai amma sama abbanya datang. Habis sholat subuh aku langsung tidur lagi. Kayaknya alarm ponselku kukira nyanyian nyamuk," ungkapnya yang membuat kami tertawa. "Duduk saja, kakak buatkan telur dadar, Dek." Seketika mata kuyu Tio berbinar. Pemuda 19 tahun itu memang anak rantau dari Bali. Biasanya akan min
"Kamu siapa?" tanya Aditya langsung pada pria yang sudah berdiri di sampingku. Pria yang kembali menarik tangannya yang tak disambut itu tersenyum lebar. Anehnya, dia terlihat kebingungan. Aku juga mengamatinya, mencoba mengingat di mana aku pernah bertemu dengannya? Nihil. Aku sama sekali tidak mengenalnya. "Kamu tuli? Saya tanya, nama kamu siapa? Apa hubungan kamu sama Risa? Kenapa Anda panggil dia 'Sayang'? Kalian menjalian hubungan?!" cecar Aditya yang tampak semakin kesal. "Saya tidak kenal siapa dia. Ini pertama kali dia datang ke sini," jelasku dan sejujurnya aku tidak suka dengan tatapannya. Melihat dia masih tersenyum santai, aku berujar, "Maaf, nasi bungkusnya sudah habis, silakan datang kembali pekan depan!" "Kamu tidak perlu mengingkariku di depan mantan suamimu, Risa. Kita juga tidak perlu menyembunyikan hubungan kita. Toh kamu janda dan saya duda," pungkasnya melantur. Aku terperangah dengan ucapannya yang konyol. Pria yang mengenakan jaket hitam itu mengaku namany