Dikejar cowok lain dulu, baru dikejar mantan ... kutunggu ulasannya ya ....
Minggu cerah dan penuh berkah. Dagangan nasi bungkusku habis. Bahkan tetangga kontrakan yang terlambat bangun pun hanya bisa memelas kala melihatku sedang beres-beres. Seno dan pacarnya adalah penyantap terakhir dan sedang duduk memangku Agam. "Makanya Tio … tidurnya jangan kelamaan, rezeki sudah dipatuk ayam duluan," sahut gadis ceriwis itu dan dibalas pemuda kamar sebelah dengan wajah manyun. "Memangnya kamu dari mana semalam? Kok pulangnya subuh?" tanya Seno kepo. Pemuda bernama Tio yang sering membawakan keripik bayamku ke warung rumah sakit dekat tempatnya kerja part time sebagai cleaning service. "Semalam ada kecelakaan beruntun dekat tol, salah satunya temanku. Kujagain sampai amma sama abbanya datang. Habis sholat subuh aku langsung tidur lagi. Kayaknya alarm ponselku kukira nyanyian nyamuk," ungkapnya yang membuat kami tertawa. "Duduk saja, kakak buatkan telur dadar, Dek." Seketika mata kuyu Tio berbinar. Pemuda 19 tahun itu memang anak rantau dari Bali. Biasanya akan min
"Kamu siapa?" tanya Aditya langsung pada pria yang sudah berdiri di sampingku. Pria yang kembali menarik tangannya yang tak disambut itu tersenyum lebar. Anehnya, dia terlihat kebingungan. Aku juga mengamatinya, mencoba mengingat di mana aku pernah bertemu dengannya? Nihil. Aku sama sekali tidak mengenalnya. "Kamu tuli? Saya tanya, nama kamu siapa? Apa hubungan kamu sama Risa? Kenapa Anda panggil dia 'Sayang'? Kalian menjalian hubungan?!" cecar Aditya yang tampak semakin kesal. "Saya tidak kenal siapa dia. Ini pertama kali dia datang ke sini," jelasku dan sejujurnya aku tidak suka dengan tatapannya. Melihat dia masih tersenyum santai, aku berujar, "Maaf, nasi bungkusnya sudah habis, silakan datang kembali pekan depan!" "Kamu tidak perlu mengingkariku di depan mantan suamimu, Risa. Kita juga tidak perlu menyembunyikan hubungan kita. Toh kamu janda dan saya duda," pungkasnya melantur. Aku terperangah dengan ucapannya yang konyol. Pria yang mengenakan jaket hitam itu mengaku namany
"Katakan saja kalau Anda akan menagih pada anak, suami atau mertuanya. Kalau dia benar-benar menolak, minta saja pada keluarganya dan ceritakan apa yang terjadi. Kalau tidak ada yang percaya, katakan bahwa Anda punya banyak saksi. Di sini pasti banyak yang bersedia jadi saksi Anda jika Anda sedikit berbagi dengannya," terangku sembari melirik kerumunan orang-orang. Aku melangkah mundur dan dia berlalu. Dengan susah payah dia menegakkan motornya karena terus saja menatapku. "Ingat, minta ganti rugi lima kali lipat atau Anda akan dipenjarakan! Kalau Anda berani menipu saya, saya pastikan motor cicilan ini raib." Pria itu mengangguk sebelum melesat dengan motornya. Kubayangkan wajah kesal mantan ibu mertuaku saat ditagih uang sepuluh juta rupiah. Dia juga pasti akan ketar-ketir jika ketahuan menggunakan terlalu banyak uang dalam waktu dekat. Kepalanya pasti pusing memikirkan banyak alasan kebohongan. Jika tidak, maka ia harus menjual perhiasannya. "Apa Anda sekalian masih ingin di sini
Berhembusnya fakta tentang status Risa yang ternyata seorang janda muda mengundang masalah baru. Dagangan keripik dan sambalnya yang dipajang di lemari etalase belakangan ini ramai dibeli saat malam hari. Anehnya yang membeli kebanyakan pria. Ibu Hana dan Ibu Lia kadang heran sendiri. "Kamu masuk saja sama Agam. Biar nanti kami yang tunggu jualannya," tutur Ibu Lia saat ada dua orang pria yang sedang mampir membeli keripik. Mereka dilayani oleh Ibu Hana yang sedang menerima lembaran uang dari pembeli untuk mengemas beberapa bungkus keripik bayam. "Neng Risa, saya sering beli keripik kok tidak disapa?" tanya salah seorang pria yang lengan kanannya penuh dengan tato. "Masih jual mahal, Dung. Kalau sama kamu sih … dia masih mikir. Mending dia jadi istri kedua saya. Iya kan, Dek Risa?" ujar pria yang lebih tua sambil mengusap kumis kebanggannya. Sembari menunggu uang kembaliannya, pria berkumis itu menghampiriku. Tanpa dipersilahkan dia duduk di salah satu kursi plastik. Kini dia terl
"Ya untuk jadi calon suaminya Neng Risa," jawab pria yang bertato dengan entengnya. Jawabannya membuat kami bertiga melongo. "Pasti pilih saya lah … di sini, saya yang paling kaya," sahut pria yang berkepala botak. Di sampingnya ada pria yang tampak lebih muda menggeleng sambil tertawa. Dia berkata, "Risa pasti pilih saya, saya masih muda, single dan saya sudah PNS." "Alah … gajimu jadi PNS cuma berapa juta sebulan? Cuma cukup bayar cicilanmu. Saya tiap bulan penghasilannya belasan juta. Dia pasti pilih saya. Apalagi di sini, saya yang paling tampan dan tinggi," sindir pria yang mengenakan peci sambil memamerkan benda dengan sulaman benang keemasan di penutup kepalanya. Aku terhenyak melihat kelima pria itu. Masalah apalagi ini? Ingin rasanya mereka berlima kusiram air got agar segera pergi dari sini. "Jadi kalian merasa sebagai kandidat calon suami? Begitu?" tanyaku tanpa menambahkan sapaan sopan. Kehadiran mereka membuat darahku semakin mendidih kala melihat senyum tanpa dosa
"Anda semua kenapa diam? Tidak dengar saya bilang apa? Permisi, saya mau lewat!" tegasnya. Dari suaranya dia lebih menyebalkan dari mantan mertuaku.Kulihat dari sela kaki mereka ada sepasang kaki yang dibalut sepatu wanita yang terlihat mahal. Di dekatnya ada lagi sepasang sendal kulit yang tampak polos tapi jelas terlihat mahal dari simbol mereknya. Sedang di antara dua pasang sepatu itu ada tongkat berwarna tembaga."Belum setua saya, tapi kalian sudah budeg?" sindir wanita itu lagi."Anda siapa, Nyonya?" tanya pria yang mengaku dirinya PNS.Wanita itu menghentakkan tongkatnya sekali lalu mengangkatnya. Kutebak dia menggunakannya untuk menunjuk sesuatu. "Saya tamunya Carisa. Kasih saya jalan, sebelum saya minta supir saya yang berotot itu membanting tubuh kalian satu persatu!" ancamnya. Kuakui dia begitu berani walau tubuhnya sendiri bertopang tongkat.Perlahan tubuh pria-pria itu bergeser. Kini pasang mataku melihat seorang wanita berambut putih dengan potongan pendek sedang memega
"Kami mendapat laporan dari salah seorang warga kalau di sini terjadi keributan. Ternyata benar," ucap pria berseragam itu mengedarkan pandangan. Perhatiannya tertuju pada papan nama kontrakan ini. Ketika matanya tertuju pada wanita tua di teras rumahku, dia tersenyum ramah. Sepertinya mereka saling kenal atau para polisi itu saja yang mengenalnya. "Kamu beneran telpon polisi?" tanya pria bertato itu beranjak dari atas motor yang sejak tadi didudukinya. Aku tidak mengangguk tidak juga menjawab. Beberapa langkah ke sebelah kiri, kuambil ponselku yang sejak tadi kusimpan di laci salah satu motor yang terparkir rapi di teras kontrakan. Kutekan tombol untuk menghentikan rekaman video. Setelah menghubungi polisi tadi, kuletakkan ponselku di sana dan merekam semuanya. Kukirimkan video itu di grup penghuni kontrakan. Video itu harus ada duplikatnya dan mereka bisa turut menuntut karena para pria itu membuat kegaduhan di kontrakan ini. Jika pagar kontrakan kami sampai rusak, maka sudah jela
Pria itu akhirnya pamit dengan omanya. Wanita itu mengaku sesak napas. Aku tidak menganggapnya berpura-pura. Selain berada di ruangan sempit, dia juga terkejut dengan pengakuan cucunya. Sore ini tak ada sinar senja yang memukau. Pergantian siang malam kini bersambut gerimis. Suara ketukan air di atap canopy kontrakan dua lantai ini begitu nyaring. Memanggil ingatan saat setahun lalu aku mendengar talak pertamaku.Udara yang disapa hujan membuatku menarik senyum. Aku teringat desa tempatku suka bermain hujan. Begitu juga dengan ayahku. Ah … aku merindukannya yang telah pergi satu dekade yang lalu. Selalu terngiang olehku pesan beliau bahwa bukan orang lain yang mengalahkanku, melainkan ketakutanku.Kulipat mukena dan sajadahku. Kulihat Agam mengangkat kedua tangannya minta diraih. Saat aku berlalu begitu saja hendak membuka pintu kamar, sudut bibirnya melengkung ke bawah. Buru-buru aku berbalik dan menggendongnya.Kuciumi perutnya bertubi-tubi sampai terdengar gelak tawanya yang menyai