Siapa yang bisa bayangkan wajahnya Nyonya Eda saat disindir sama Risa?
Berhembusnya fakta tentang status Risa yang ternyata seorang janda muda mengundang masalah baru. Dagangan keripik dan sambalnya yang dipajang di lemari etalase belakangan ini ramai dibeli saat malam hari. Anehnya yang membeli kebanyakan pria. Ibu Hana dan Ibu Lia kadang heran sendiri. "Kamu masuk saja sama Agam. Biar nanti kami yang tunggu jualannya," tutur Ibu Lia saat ada dua orang pria yang sedang mampir membeli keripik. Mereka dilayani oleh Ibu Hana yang sedang menerima lembaran uang dari pembeli untuk mengemas beberapa bungkus keripik bayam. "Neng Risa, saya sering beli keripik kok tidak disapa?" tanya salah seorang pria yang lengan kanannya penuh dengan tato. "Masih jual mahal, Dung. Kalau sama kamu sih … dia masih mikir. Mending dia jadi istri kedua saya. Iya kan, Dek Risa?" ujar pria yang lebih tua sambil mengusap kumis kebanggannya. Sembari menunggu uang kembaliannya, pria berkumis itu menghampiriku. Tanpa dipersilahkan dia duduk di salah satu kursi plastik. Kini dia terl
"Ya untuk jadi calon suaminya Neng Risa," jawab pria yang bertato dengan entengnya. Jawabannya membuat kami bertiga melongo. "Pasti pilih saya lah … di sini, saya yang paling kaya," sahut pria yang berkepala botak. Di sampingnya ada pria yang tampak lebih muda menggeleng sambil tertawa. Dia berkata, "Risa pasti pilih saya, saya masih muda, single dan saya sudah PNS." "Alah … gajimu jadi PNS cuma berapa juta sebulan? Cuma cukup bayar cicilanmu. Saya tiap bulan penghasilannya belasan juta. Dia pasti pilih saya. Apalagi di sini, saya yang paling tampan dan tinggi," sindir pria yang mengenakan peci sambil memamerkan benda dengan sulaman benang keemasan di penutup kepalanya. Aku terhenyak melihat kelima pria itu. Masalah apalagi ini? Ingin rasanya mereka berlima kusiram air got agar segera pergi dari sini. "Jadi kalian merasa sebagai kandidat calon suami? Begitu?" tanyaku tanpa menambahkan sapaan sopan. Kehadiran mereka membuat darahku semakin mendidih kala melihat senyum tanpa dosa
"Anda semua kenapa diam? Tidak dengar saya bilang apa? Permisi, saya mau lewat!" tegasnya. Dari suaranya dia lebih menyebalkan dari mantan mertuaku.Kulihat dari sela kaki mereka ada sepasang kaki yang dibalut sepatu wanita yang terlihat mahal. Di dekatnya ada lagi sepasang sendal kulit yang tampak polos tapi jelas terlihat mahal dari simbol mereknya. Sedang di antara dua pasang sepatu itu ada tongkat berwarna tembaga."Belum setua saya, tapi kalian sudah budeg?" sindir wanita itu lagi."Anda siapa, Nyonya?" tanya pria yang mengaku dirinya PNS.Wanita itu menghentakkan tongkatnya sekali lalu mengangkatnya. Kutebak dia menggunakannya untuk menunjuk sesuatu. "Saya tamunya Carisa. Kasih saya jalan, sebelum saya minta supir saya yang berotot itu membanting tubuh kalian satu persatu!" ancamnya. Kuakui dia begitu berani walau tubuhnya sendiri bertopang tongkat.Perlahan tubuh pria-pria itu bergeser. Kini pasang mataku melihat seorang wanita berambut putih dengan potongan pendek sedang memega
"Kami mendapat laporan dari salah seorang warga kalau di sini terjadi keributan. Ternyata benar," ucap pria berseragam itu mengedarkan pandangan. Perhatiannya tertuju pada papan nama kontrakan ini. Ketika matanya tertuju pada wanita tua di teras rumahku, dia tersenyum ramah. Sepertinya mereka saling kenal atau para polisi itu saja yang mengenalnya. "Kamu beneran telpon polisi?" tanya pria bertato itu beranjak dari atas motor yang sejak tadi didudukinya. Aku tidak mengangguk tidak juga menjawab. Beberapa langkah ke sebelah kiri, kuambil ponselku yang sejak tadi kusimpan di laci salah satu motor yang terparkir rapi di teras kontrakan. Kutekan tombol untuk menghentikan rekaman video. Setelah menghubungi polisi tadi, kuletakkan ponselku di sana dan merekam semuanya. Kukirimkan video itu di grup penghuni kontrakan. Video itu harus ada duplikatnya dan mereka bisa turut menuntut karena para pria itu membuat kegaduhan di kontrakan ini. Jika pagar kontrakan kami sampai rusak, maka sudah jela
Pria itu akhirnya pamit dengan omanya. Wanita itu mengaku sesak napas. Aku tidak menganggapnya berpura-pura. Selain berada di ruangan sempit, dia juga terkejut dengan pengakuan cucunya. Sore ini tak ada sinar senja yang memukau. Pergantian siang malam kini bersambut gerimis. Suara ketukan air di atap canopy kontrakan dua lantai ini begitu nyaring. Memanggil ingatan saat setahun lalu aku mendengar talak pertamaku.Udara yang disapa hujan membuatku menarik senyum. Aku teringat desa tempatku suka bermain hujan. Begitu juga dengan ayahku. Ah … aku merindukannya yang telah pergi satu dekade yang lalu. Selalu terngiang olehku pesan beliau bahwa bukan orang lain yang mengalahkanku, melainkan ketakutanku.Kulipat mukena dan sajadahku. Kulihat Agam mengangkat kedua tangannya minta diraih. Saat aku berlalu begitu saja hendak membuka pintu kamar, sudut bibirnya melengkung ke bawah. Buru-buru aku berbalik dan menggendongnya.Kuciumi perutnya bertubi-tubi sampai terdengar gelak tawanya yang menyai
Wanita yang baru kulihat pertama kali itu maju menghampiriku. Tangan kirinya hendak menggapai rambutku. Tapi aku lebih dulu menunjuk ke arah lain dan mereka pun ikut menoleh. "Siapa di sana?" "Kamu tunjuk siapa?" Sambil berkipas pemilik kontrakan ikut menanggapi, "Tidak ada siapa-siapa?" "Ada. Malaikat maut," pungkasku. Leher mereka menoleh lambat. Sendi di leher mereka mungkin sudah seperti sekrup yang berkarat. Ibarat kata, terlalu dipaksakan untuk bergerak. Bibir mereka bekertut karena mengerucut. Mata mereka nyalang seperti sengaja pamer dan unjuk diri siapa yang paling bagus tatapan horornya. "Oh … Ibu tidak terima? Kesal, begitu?" tanyaku. "Sama. Saya juga sangat kesal dengan kehadiran orang yang datang marah-marah tanpa tahu caranya bertanya dengan baik-baik." "Siapa yang tidak kesal kalau lihat janda penggoda kayak kamu?" timpal istri Juragan Baron. Kubalas tatapan ibu pemilik kamar kontrakan lebih dulu dengan berkata, "Enteng sekali mulut ibu yang menuduh saya." Setela
"Risa? Carisa!" panggilnya panik. Aku mendesah pasrah dan mengambil ponselku lalu keluar dari kamar. Jangan sampai putraku terbangun. "Saya baik-baik saja, Pak Rey. Saya tadi menunggu telpon ojek online yang mau mengantarkan keripik ke warung yang minta diantarkan keripik malam ini," jelasku dengan alasan kebohongan. Kudengar suara helaan lega darinya. Dia kembali meminta maaf atas kejadian sore tadi. Kujawab sesingkatnya saja. Dia tidak salah, jadi tidak pantas aku salahkan. "Apa kamu marah atas pengakuan saya sore tadi?" Langkahku saat beranjak mengambil handuk terhenti. "Tidak, Pak," jawabku cepat. Rasanya begitu bingung ingin segera mengakhiri panggilan telpon darinya. Ingin bertanya sesuatu untuk mengurangi kecanggungan, tapi tak ada satu pun pertanyaan yang terlintas di kepalaku. Sampai akhirnya kuputuskan menunggu dia saja yang bicara. Bukankah dia yang menghubungiku lebih dulu? "Apa besok saya bo-" "Maaf, Pak Rey. Saya harus tutup telponnya dulu. Sepertinya ojek online y
Pintu kamar wisma sederhana ini diketuk seseorang. Dengan tubuh lemas ini aku beranjak. Setelah shalat subuh tadi, Agam terbangun. Aku menyusuinya dan malah kembali tertidur. Menoleh ke arah jendela yang masih tertutup gorden, kutahu di luar sana sudah cerah. Sinar matahari mengintip dari celah ventilasi. Kembali terdengar suara ketukan, mungkin itu karyawan wisma. Saat daun pintu itu bergeser, kudapati sepasang mata yang menatapku sendu. Aku menatap tidak percaya melihat kehadirannya di depan mataku. Air mata ini jatuh begitu saja. Pandanganku jadi buram dan menutupi objek yang kutatap lamat-lamat. Usapan lebut jemarinya di pipiku membuat ketegaranku runtuh. Aku menangis kala dia semakin mendekat. Senyumnya yang menenangkan itu nyata. Terlebih ia merengkuhku ke dalam pelukannya. "Kenapa Ibu Uma bisa tahu saya ada di sini?" tanyaku membalas pelukannya. Sembari mengusap punggungku ia mulai bercerita. Ternyata beberapa waktu yang lalu dia sempat ke Kediri. Ada keluarganya yang me