Coba ditebak siapa yang kira-kira telpon Risa?
"Risa? Carisa!" panggilnya panik. Aku mendesah pasrah dan mengambil ponselku lalu keluar dari kamar. Jangan sampai putraku terbangun. "Saya baik-baik saja, Pak Rey. Saya tadi menunggu telpon ojek online yang mau mengantarkan keripik ke warung yang minta diantarkan keripik malam ini," jelasku dengan alasan kebohongan. Kudengar suara helaan lega darinya. Dia kembali meminta maaf atas kejadian sore tadi. Kujawab sesingkatnya saja. Dia tidak salah, jadi tidak pantas aku salahkan. "Apa kamu marah atas pengakuan saya sore tadi?" Langkahku saat beranjak mengambil handuk terhenti. "Tidak, Pak," jawabku cepat. Rasanya begitu bingung ingin segera mengakhiri panggilan telpon darinya. Ingin bertanya sesuatu untuk mengurangi kecanggungan, tapi tak ada satu pun pertanyaan yang terlintas di kepalaku. Sampai akhirnya kuputuskan menunggu dia saja yang bicara. Bukankah dia yang menghubungiku lebih dulu? "Apa besok saya bo-" "Maaf, Pak Rey. Saya harus tutup telponnya dulu. Sepertinya ojek online y
Pintu kamar wisma sederhana ini diketuk seseorang. Dengan tubuh lemas ini aku beranjak. Setelah shalat subuh tadi, Agam terbangun. Aku menyusuinya dan malah kembali tertidur. Menoleh ke arah jendela yang masih tertutup gorden, kutahu di luar sana sudah cerah. Sinar matahari mengintip dari celah ventilasi. Kembali terdengar suara ketukan, mungkin itu karyawan wisma. Saat daun pintu itu bergeser, kudapati sepasang mata yang menatapku sendu. Aku menatap tidak percaya melihat kehadirannya di depan mataku. Air mata ini jatuh begitu saja. Pandanganku jadi buram dan menutupi objek yang kutatap lamat-lamat. Usapan lebut jemarinya di pipiku membuat ketegaranku runtuh. Aku menangis kala dia semakin mendekat. Senyumnya yang menenangkan itu nyata. Terlebih ia merengkuhku ke dalam pelukannya. "Kenapa Ibu Uma bisa tahu saya ada di sini?" tanyaku membalas pelukannya. Sembari mengusap punggungku ia mulai bercerita. Ternyata beberapa waktu yang lalu dia sempat ke Kediri. Ada keluarganya yang me
"Ayah?" gumamku lalu kembali menatap mata sendunya. "Memangnya apa yang dilakukan Tuan Hendrawan, Bu?""Dia menemui ibu dan menanyakan di mana Kemal ingin kuliah. Dia ingin membiayai kuliahnya Kemal sampai sarjana. Sejak dulu dia memang selalu memperlakukan Kemal seperti putranya sendiri. Itu karena … rasa bersalah. Ibu juga baru tahu beberapa hari sebelum kami diusir," ujarnya menarik napas berat. Mungkin seberat fakta yang akan diungkapkannya.Aku menarik bantal dan menaruhnya di pangkuanku lalu bertanya, "Rasa bersalah karena?" "Ternyata … Tuan Santoso yang menabrak ayahnya Kemal," jawab Ibu Umairah. Aku tersentak, dari cerita yang beredar suami Ibu Umairah adalah korban kecelakaan tabrak lari. Sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit, tapi kondisinya memburuk."Saat itu ibu ingin menemui Tuan Santoso dan bertanya perihal keinginan putranya untuk menguliahkan Kemal. Kalau beliau setuju, ibu jadi tenang. Tapi saat itu, ibu tidak sengaja mendengar Nyonya Eda meminta Tuan Santoso a
Aku mengetuk-ngetuk permukaan bantal di pangkuanku. Mataku melirik Agam yang sedang menemukan dunia baru. Putraku sibuk membolak-balik kotak wafer kesukaan Kemal. Suara dehaman Ibu Umairah membuatku kembali menoleh padanya.Kutahu menunggu adalah hal yang menyebalkan. Apalagi menunggu tanpa ada kepastian karena seseorang akan mengakui bahwa waktu serasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Seperti ungkapan detik serasa semenit dan semenit serasa sejam. Mata kami beradu dan aku akhirnya luluh."Saat di rumah sakit, Bu. Saat aku mengalami pendarahan dan dirawat di sana. Mungkin beberapa hari sebelum Ibu pergi," jawabku. Aku pun mulai menceritakan awal mula aku mengetahuinya.Flashback onKudengar suara grendel pintu yang terkunci. Kesadaranku yang semakin utuh membuatku bisa mendengar dengan jelas suara langkahnya. Alas kakinya mengeluarkan bunyi ketukan tak beraturan. "Halo Ayah, kami di rumah sakit. Apa Mas Hendra ada di rumah? Kenapa dia tidak menjawab telponku?" Suara Nyonya Eda ter
Pikiranku masih terjebak dalam kenangan itu. Kertas putih dengan perekat di salah satu sisinya. Satu-satunya amplop tanpa nama dan diulurkan manajer restoran itu kepadaku."Bukan kurang, Bu. Justru isinya jauh dari yang kubayangkan. Aku baru tahu kalau cuci piring di restoran itu bisa digaji dua ratus ribu. Manajernya bilang kalau ada yang booking restoran untuk mengadakan acara di sana, karyawan memang dikasih bonus," ungkapku.Ibu Umairah tersenyum menjawil hidungku sembari berkata, "Dan kamu beruntung."Aku mengangguk kencang sembari tersenyum lebar. "Ibu tahu? Saat itu, pemilik restorannya kasih bonus lebih dari upah kerjaku.""Bonus lebih? Maksudnya?" Kernyitan di dahinya semakin terlihat. "Ternyata semua karyawannya dikasih THR untuk Hari Raya Idul Adha, termasuk aku, Bu. Padahal aku cuma karyawan pengganti sehari. Bosnya bilang, dia salut karena aku masih mau kerja walau harus sambil menggendong anak. Pesannya, dia minta agar membelikan putraku baju baru. Amplop THR itu isinya
Malam menyergap bersama gerimis dan harus kuakui, aku mulai membenci hujan. Sapaan kilat dan gemuruh petir mengingatkanku pada masa-masa getir. Setiap kali suara langit itu mampir ke gendang telinga, maka bayang-bayang kejadian saat Aditya menamparku kembali hadir.Aku sendiri bingung mengapa hal itu masih membekas. Lukanya sudah hilang, namun dukanya masih saja membekas. Apakah karena aku belum sepenuhnya memaafkannya? Apakah benar itu alasannya sehingga tekanan ini masih membekas?Aku keluar untuk mengisi botol air minum. Milik Ibu Uma juga kosong. Ketika aku melangkah ke dapur, kulihat Kemal duduk termenung di depan meja makan. Entah apa yang mengisik benaknya sampai mengusap wajahnya frustasi."Kamu ingin kuberikan miras?" tanyaku dan dia menoleh."Miras?" tanyanya mengernyit."Hem, minuman yang diperas. Ada jeruk manis di kulkas, siapa tahu kamu mau jus jeruk?" tawarku dan dia terkekeh. Kutebak dia salah menduga, tidak mungkin kuberikan minuman buruk padanya.Tak berselang lama di
"Risa, waktu itu … kamu belum sempat jawab pertanyaan ibu." Ucapan Ibu Umairah membuatku balik badan dan memusatkan perhatian padanya. Sore ini kami sedang membuat rempah untuk lauk jualan.Duduk di sampingnya sembari memangku baskom berisi bawang yang hendak kukupas. Ia melirikku sekilas lalu kembali fokus pada wortel yang dikupasnya. "Tentang apa, Bu?""Tentang pria kaya yang datang pakai sedan mewah di kontrakanmu dulu," jawabnya. Pikiranku kembali saat dua minggu lalu kami pindah ke rumah ini. Pertanyaannya memang belum sempat kujawab karena kedatangan Kemal yang pamit hendak mengurus sesuatu. Setelah itu aku beranjak untuk mandi. Sejak saat itu Ibu Umairah tidak pernah menyinggung hal ini lagi."Kamu suka sama dia?" tanyanya lagi.Aku menggeleng dan mulai bercerita tentang apa yang terjadi sore itu sampai mereka pulang. Seperti dugaanku, Ibu Umairah juga terkejut mengetahui mereka adalah pemilik rumah sakit besar di kota ini. Rumah sakit dengan gedung tinggi menjulang di tengah k
Pria dengan rambut yang seluruhnya telah memutih itu menggeleng. Telunjuknya mengarah pada putra dan menantunya. Nyonya Eda sedang sibuk memilih kemeja polos, sementara Tuan Hendrawan sedang menerima telpon dari seseorang sambil sesekali menanggapi pilihan istrinya. "Saya permisi, Tuan," ucapku pamit dan bergegas ke kasir. Aku ingin segera meninggalkan toko dan mall ini. Padahal tadinya aku ingin mengunjungi restoran itu. Lain kali saja, karena aku tidak ingin bertemu mantan mertuaku. Masih ada rasa bersalah yang bercokol di benakku."Ini kembaliannya, Bu. Terima kasih dan kami nantikan kunjungan Ibu selanjutnya," kata pegawai kasir yang mengangsurkan uang kembalian. Kuraih lembaran rupiah itu dan bergegas keluar. Begitu melewati pintu toko, aku lega. Akan tetapi, langkahku terhenti kala sepasang mata sendu menatapku. Yang aku hindari justru berjalan menghampiriku.Derap langkahnya semakin mendekat mengikis jarak. Tubuh yang tegap itu kini berada tepat di hadapanku. Matanya berkaca
Hari sudah malam, tapi pria ini belum juga beranjak. Ia masih menikati memeluk Agam yang sudah pulas. Seharian ini putraku sudah banyak beraktivitas. Wajar jika Agam kelelahan dan kini merajut alam mimpi.Puas menemani Agam mencoba berbagai wahana. Jajanan di taman bermain ini pun tak mampu lewatkan.Dari interaksi dua pria berbeda generasi itu, aku pun bisa sedikit menerka. Obrolan mereka di telpon sebelumnya, salah satunya adalah membahas jalan-jalan ke taman bermain ini.Kalau aku sendirian yang membawa Agam ke sini, kuakui tidak akan sanggup. Dia itu hiperaktif dan jelas aku akan kewalahan. Hal baru yang dilihatnya, pasti ingin dicoba.Naik komedi putar saja aku takut, apalagi bianglala. Namun, kehadiran pria ini seakan memberikan jaminan rasa aman.Entah aku yang bodoh, atau memang dia yang pandai mengubah pikiran orang lain. Harus kuakui, kemampuannya berkomunikasi sangat handal. Kata-katanya penuh sugesti untuk membuat orang lain percaya dengan akal sehatnya.“Apa saya boleh be
Aku kira, hanya Agam yang merindukan Riswan. Namun, waktu beranjak dan malah membuatku bertanya-tanya. Ada apa denganku?Mengapa wajah dan suara pria itu sesekali hadir? Mengapa aku merasa penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya? Ini lucu bukan?Tak memiliki siapapun berbagi masalah hati. Tadinya aku ingin bercerita pada Tita. Namun, kuurungkan mengingat dia pasti akan meledekku tanpa henti.Aku terjebak dalam labirin tentangnya. Ketidakhadirannya beberapa waktu ini mengundang hadirnya kenangan. Tanpa kusadari, saat-saat bersamanya menyimpan kesan khusus di hati.Kucoba membuka sosial media. Barangkali ada hal yang bisa kulihat tanpa sengaja. Tak sengaja tapi niat banget. Aku memang aneh.Aneh karena aku seperti menyusuri lorong panjang. Aku menanti bersama bayang-bayang. Rasanya ada berat menindih dada.Agam sudah pulas. Tita mengajaknya ke mall dan bermain hingga puas. Gadis itu juga sedang memberikan dirinya reward untuk bulan ini karena jualan produknya mencapai target.“Aya
Suara klakson mobil Riswan menyapa gendang telingaku. Pagi ini dia datang untuk mengantarkan Agam ke sekolah. Bukan tanpa alasan, besok malam pria itu akan ke Singapura selama dua pekan. Itu berarti, selama itu ia tidak akan bertemu Agam.Putraku seperti memiliki stok energi yang terisi penuh. Binar matanya tampak begitu ceria. Seakan-akan mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.Entah apa yang dibisikkan Agam pada pria berdasi biru tua itu. Tak lama kemudian, mereka sama-sama mengangguk. Aku jadi seperti obat nyamuk di antara mereka."Semalam kamu ingin bilang apa, Carisa?" tanyanya yang akhirnya menoleh padaku.Aku jadi bingung bagaimana harus menjawabnya. Kuletakkan botol air minum Agam di dalam tasnya. Lidahku seakan tak bertulang."Kalau kamu lupa, chat saja nanti kalau kamu sudah ingat," sambungnya karena aku masih meragu.Hanya sekilas ia menatapku lalu kembali fokus memperhatikan putraku. Bagi Riswan, Agam seperti magnet yang selalu menariknya.Agam masih sibuk memasang
Setelah dua hari menikmati liburan di pulau, kami kembali ke Makassar. Keesokan harinya, aku dan Agam menemani Aditya membeli oleh-oleh. Mantan suamiku itu awalnya terkejut, namun ketika kulirik Agam, dia pun paham.Aditya begitu tersentuh ketika Agam mengatakan jika uang celengannya masih sedikit. Uangnya tidak akan cukup untuk membeli dua pasang baju. Jadilah dia hanya memilih dua bando karena menolak saat aku menawarkan untuk menambahkan uangnya.Sepulang dari pulau, Agam juga ikut menginap bersama Aditya. Dia juga sengaja memintakan izin untuk tidak masuk sekolah selama dua hari. Hari Selasa sore, Aditya datang bersama Riswan dan Agam. Sore ini kami akan mengantar Aditya ke bandara. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat keakraban dua pria itu."Agam ingat waktu ketemu Om Liswan di bandala dulu. Agam nda jadi naik pesawat. Agam sama ibu naik kapal laut," ujar Agam ketika kami mampir di sebuah kafe bandara."In sya Allah kalau kita ke Surabaya, Agam akan naik pesawat. Bukannya Agam
Kualihkan pandanganku ke arah laut. Kilau indah di permukaan air sana mempesona. Tak lama lagi, akan terlihat matahari tenggelam yang tak kalah indahnya."Kau benar. Selama ini aku selalu terhasut kata-kata ibuku. Ayah bahkan pergi meninggalkan kami setelah tahu perselingkuhan ibu dan kakek. Sama seperti yang kau lakukan dulu." Dia meliriku.Aku tidak menampik maupun mengakuinya dengan lidahku. Kuyakin dia sudah menyadarinya. "Kini aku mengerti mengapa sejak kembali dari rumah sakit, kau tidak pernah menunjukkan sopan santun lagi pada kakek." Kubalas tatapannya dengan anggukan pelan. Aku akui jika sudah lama mengetahuinya. Alasan itulah yang membuatku berani membawa anakku jauh dari orang-orang seperti mereka. Lingkungan yang rusak tidak akan baik untuk anakku.Aku bukannya tidak berharap mereka bisa berubah. Hanya saja aku sadar, itu hal yang sulit. Aku tahu, aku tidak memiliki kemampuan untuk membuat mereka bertobat."Devi juga sama. Sejak dia melihatnya, dia mulai mengacuhkan ibu.
Pertanyaannya malam itu kini terjawab sudah. Setelah menjelaskan tentang janjinya pada Agam, Riswan menunjukkan foto di layar ponselnya. Aku dan Aditya akhirnya mengangguk setuju dengan ajakannya. Akhir pekan ini terasa berbeda. Aku dan Aditya pun sama-sama menepis ego. Apalagi alasannya jika bukan demi Agam. Ketika Aditya menelpon Agam, mengatakan jika Riswan mengajak mereka ke pantai, Agam langsung mau ikut. Aditya memintanya mengajakku seolah-olah aku tidak tahu. Ketika aku setuju, Agam tampak begitu bahagia. Begitu juga halnya dengan Tita.Sama seperti Agam, gadis itu juga sibuk packing. Katanya, di sana dia akan membuat banyak foto dengan beberapa outfit yang khusus dibawanya. Tidak ketinggalan si Moi. Omong-omong, itu nama kameranya.Di atas kapal yang menampung lebih dari 20 orang, aku duduk menikmati angin laut. Aroma khas air laut yang terbawa akan jadi satu kenangan untukku. Ini pertama kalinya aku naik kapal seperti ini. Dulu saat kabur, aku dan Agam naik kapal yang lebih
'Rawatlah ikhlas dalam hatimu, biarkan seorang ayah bertemu putra kandungnya. Mungkin setelah itu … kamu tidak akan lagi hawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang selama ini membayangimu. Termasuk dengan kemungkinan perasaanmu yang akan kembali terluka.'Aku sudah melakukan seperti sarannya. Aku ikhlas dan mengizinkan Aditya bertemu dengan Agam, bahkan keluarganya pun ikut datang. Namun balasan yang kuterima adalah rasa sakit. Dia malah datang membawa niatan baru untuk rujuk. Membuatku seperti wanita penggoda suami orang. Dia bodoh atau bagaimana? Bagaimana bisa dia berpikir aku mau menelan luka?'Memang tidak mudah, mungkin juga akan menyakitkan. Cobalah, mungkin sakitnya hanya sebentar, karena yang saya tahu … setiap rasa sakit selalu ada obatnya. Obat yang paling ampuh adalah … memaafkan.' Lagi-lagi kalimat yang pernah dituturkan Riswan terngiang. Benarkah rasa sakitnya hanya sebentar? Sebentar itu … berapa waktu yang harus kulalui untuk bisa bertahan?Sambil menata kembali jilb
Lelah dan jengah dengan sikap Aditya, aku akhirnya tiba di penghujung kesabaranku. Dua pekan ini dia benar-benar mengujiku."Aku tidak akan membiarkanmu bertemu Agam lagi, jika kau tidak kembali pada keluargamu. Aku tidak ingin kedua adik kembar dari pernikahanmu dan Devi punya hubungan buruk dimasa depan dengan Agam. Sikapmu ini, membuatku kembali kehilangan rasa percaya padamu. Aku, tidak sudi rujuk denganmu, Aditya." Kulihat raut wajahnya berubah drastis."Kenapa? Karena Devi mengancammu?"Aku menggeleng. "Bukan. Karena kau selalu mengingatkanku pada rasa sakit. Aku juga tidak sudi punya mertua seperti ibumu. Aku tidak bisa lupa saat dia menuduhku selingkuh, padahal dialah yang berselingkuh dengan, mertuanya sendiri," balasku mengatakan inti dari alasan penolakanku."Risa, aku hanya i-""Jika kau tidak berhenti mengusikku, maka aku akan memberitahu Agam tentang penyebab perceraian kita. Biar saja dia tahu kalau papanya suka memukuli ibunya. Itulah alasan kenapa aku membawanya pergi
Aku hanya bisa memandang taksi yang baru saja dihentikan oleh Aditya. Mantan suamiku itu sempat pamit pada Agam dengan mengatakan kalau dia harus pulang lebih dulu. Besok akan kembali menemuinya di rumah."Carisa …." Aku menoleh ke belakang dengan tatapan penuh harap."Kamu kenapa menangis?" Riswan dengan raut wajah cemasnya menghampiriku."Bagaimana bisa Kak Riswan tahu kami di sini?" Dia tersenyum menunjukkan riwayat chat dengan Tita."Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Jelas bukan debu jalanan yang membuat kamu menangis," tebaknya dan dari ucapannya itu aku tahu dia masih menunggu penjelasanku.Kuceritakan apa adanya sambil menunjuk ke arah pintu ruko di seberang jalan. Aditya saat ini menemui si pemilik ruko kosong itu. Dia berniat untuk membuka toko sembako di sana. "Memangnya dia berniat pindah dan menetap di sini? Kenapa tidak cari rumah terlebih dulu? Kasihan istri dan bayi kembarnya kalau tinggal di sana. Ruko sebelahnya itu warung 24 jam, pasti akan berisik," ujarnya denga