Ada yang ikutan emosi? Aku minta maaf, ini cerita fiksi, semoga tidak ada yang ikutan aksi.
Wanita yang baru kulihat pertama kali itu maju menghampiriku. Tangan kirinya hendak menggapai rambutku. Tapi aku lebih dulu menunjuk ke arah lain dan mereka pun ikut menoleh. "Siapa di sana?" "Kamu tunjuk siapa?" Sambil berkipas pemilik kontrakan ikut menanggapi, "Tidak ada siapa-siapa?" "Ada. Malaikat maut," pungkasku. Leher mereka menoleh lambat. Sendi di leher mereka mungkin sudah seperti sekrup yang berkarat. Ibarat kata, terlalu dipaksakan untuk bergerak. Bibir mereka bekertut karena mengerucut. Mata mereka nyalang seperti sengaja pamer dan unjuk diri siapa yang paling bagus tatapan horornya. "Oh … Ibu tidak terima? Kesal, begitu?" tanyaku. "Sama. Saya juga sangat kesal dengan kehadiran orang yang datang marah-marah tanpa tahu caranya bertanya dengan baik-baik." "Siapa yang tidak kesal kalau lihat janda penggoda kayak kamu?" timpal istri Juragan Baron. Kubalas tatapan ibu pemilik kamar kontrakan lebih dulu dengan berkata, "Enteng sekali mulut ibu yang menuduh saya." Setela
"Risa? Carisa!" panggilnya panik. Aku mendesah pasrah dan mengambil ponselku lalu keluar dari kamar. Jangan sampai putraku terbangun. "Saya baik-baik saja, Pak Rey. Saya tadi menunggu telpon ojek online yang mau mengantarkan keripik ke warung yang minta diantarkan keripik malam ini," jelasku dengan alasan kebohongan. Kudengar suara helaan lega darinya. Dia kembali meminta maaf atas kejadian sore tadi. Kujawab sesingkatnya saja. Dia tidak salah, jadi tidak pantas aku salahkan. "Apa kamu marah atas pengakuan saya sore tadi?" Langkahku saat beranjak mengambil handuk terhenti. "Tidak, Pak," jawabku cepat. Rasanya begitu bingung ingin segera mengakhiri panggilan telpon darinya. Ingin bertanya sesuatu untuk mengurangi kecanggungan, tapi tak ada satu pun pertanyaan yang terlintas di kepalaku. Sampai akhirnya kuputuskan menunggu dia saja yang bicara. Bukankah dia yang menghubungiku lebih dulu? "Apa besok saya bo-" "Maaf, Pak Rey. Saya harus tutup telponnya dulu. Sepertinya ojek online y
Pintu kamar wisma sederhana ini diketuk seseorang. Dengan tubuh lemas ini aku beranjak. Setelah shalat subuh tadi, Agam terbangun. Aku menyusuinya dan malah kembali tertidur. Menoleh ke arah jendela yang masih tertutup gorden, kutahu di luar sana sudah cerah. Sinar matahari mengintip dari celah ventilasi. Kembali terdengar suara ketukan, mungkin itu karyawan wisma. Saat daun pintu itu bergeser, kudapati sepasang mata yang menatapku sendu. Aku menatap tidak percaya melihat kehadirannya di depan mataku. Air mata ini jatuh begitu saja. Pandanganku jadi buram dan menutupi objek yang kutatap lamat-lamat. Usapan lebut jemarinya di pipiku membuat ketegaranku runtuh. Aku menangis kala dia semakin mendekat. Senyumnya yang menenangkan itu nyata. Terlebih ia merengkuhku ke dalam pelukannya. "Kenapa Ibu Uma bisa tahu saya ada di sini?" tanyaku membalas pelukannya. Sembari mengusap punggungku ia mulai bercerita. Ternyata beberapa waktu yang lalu dia sempat ke Kediri. Ada keluarganya yang me
"Ayah?" gumamku lalu kembali menatap mata sendunya. "Memangnya apa yang dilakukan Tuan Hendrawan, Bu?""Dia menemui ibu dan menanyakan di mana Kemal ingin kuliah. Dia ingin membiayai kuliahnya Kemal sampai sarjana. Sejak dulu dia memang selalu memperlakukan Kemal seperti putranya sendiri. Itu karena … rasa bersalah. Ibu juga baru tahu beberapa hari sebelum kami diusir," ujarnya menarik napas berat. Mungkin seberat fakta yang akan diungkapkannya.Aku menarik bantal dan menaruhnya di pangkuanku lalu bertanya, "Rasa bersalah karena?" "Ternyata … Tuan Santoso yang menabrak ayahnya Kemal," jawab Ibu Umairah. Aku tersentak, dari cerita yang beredar suami Ibu Umairah adalah korban kecelakaan tabrak lari. Sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit, tapi kondisinya memburuk."Saat itu ibu ingin menemui Tuan Santoso dan bertanya perihal keinginan putranya untuk menguliahkan Kemal. Kalau beliau setuju, ibu jadi tenang. Tapi saat itu, ibu tidak sengaja mendengar Nyonya Eda meminta Tuan Santoso a
Aku mengetuk-ngetuk permukaan bantal di pangkuanku. Mataku melirik Agam yang sedang menemukan dunia baru. Putraku sibuk membolak-balik kotak wafer kesukaan Kemal. Suara dehaman Ibu Umairah membuatku kembali menoleh padanya.Kutahu menunggu adalah hal yang menyebalkan. Apalagi menunggu tanpa ada kepastian karena seseorang akan mengakui bahwa waktu serasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Seperti ungkapan detik serasa semenit dan semenit serasa sejam. Mata kami beradu dan aku akhirnya luluh."Saat di rumah sakit, Bu. Saat aku mengalami pendarahan dan dirawat di sana. Mungkin beberapa hari sebelum Ibu pergi," jawabku. Aku pun mulai menceritakan awal mula aku mengetahuinya.Flashback onKudengar suara grendel pintu yang terkunci. Kesadaranku yang semakin utuh membuatku bisa mendengar dengan jelas suara langkahnya. Alas kakinya mengeluarkan bunyi ketukan tak beraturan. "Halo Ayah, kami di rumah sakit. Apa Mas Hendra ada di rumah? Kenapa dia tidak menjawab telponku?" Suara Nyonya Eda ter
Pikiranku masih terjebak dalam kenangan itu. Kertas putih dengan perekat di salah satu sisinya. Satu-satunya amplop tanpa nama dan diulurkan manajer restoran itu kepadaku."Bukan kurang, Bu. Justru isinya jauh dari yang kubayangkan. Aku baru tahu kalau cuci piring di restoran itu bisa digaji dua ratus ribu. Manajernya bilang kalau ada yang booking restoran untuk mengadakan acara di sana, karyawan memang dikasih bonus," ungkapku.Ibu Umairah tersenyum menjawil hidungku sembari berkata, "Dan kamu beruntung."Aku mengangguk kencang sembari tersenyum lebar. "Ibu tahu? Saat itu, pemilik restorannya kasih bonus lebih dari upah kerjaku.""Bonus lebih? Maksudnya?" Kernyitan di dahinya semakin terlihat. "Ternyata semua karyawannya dikasih THR untuk Hari Raya Idul Adha, termasuk aku, Bu. Padahal aku cuma karyawan pengganti sehari. Bosnya bilang, dia salut karena aku masih mau kerja walau harus sambil menggendong anak. Pesannya, dia minta agar membelikan putraku baju baru. Amplop THR itu isinya
Malam menyergap bersama gerimis dan harus kuakui, aku mulai membenci hujan. Sapaan kilat dan gemuruh petir mengingatkanku pada masa-masa getir. Setiap kali suara langit itu mampir ke gendang telinga, maka bayang-bayang kejadian saat Aditya menamparku kembali hadir.Aku sendiri bingung mengapa hal itu masih membekas. Lukanya sudah hilang, namun dukanya masih saja membekas. Apakah karena aku belum sepenuhnya memaafkannya? Apakah benar itu alasannya sehingga tekanan ini masih membekas?Aku keluar untuk mengisi botol air minum. Milik Ibu Uma juga kosong. Ketika aku melangkah ke dapur, kulihat Kemal duduk termenung di depan meja makan. Entah apa yang mengisik benaknya sampai mengusap wajahnya frustasi."Kamu ingin kuberikan miras?" tanyaku dan dia menoleh."Miras?" tanyanya mengernyit."Hem, minuman yang diperas. Ada jeruk manis di kulkas, siapa tahu kamu mau jus jeruk?" tawarku dan dia terkekeh. Kutebak dia salah menduga, tidak mungkin kuberikan minuman buruk padanya.Tak berselang lama di
"Risa, waktu itu … kamu belum sempat jawab pertanyaan ibu." Ucapan Ibu Umairah membuatku balik badan dan memusatkan perhatian padanya. Sore ini kami sedang membuat rempah untuk lauk jualan.Duduk di sampingnya sembari memangku baskom berisi bawang yang hendak kukupas. Ia melirikku sekilas lalu kembali fokus pada wortel yang dikupasnya. "Tentang apa, Bu?""Tentang pria kaya yang datang pakai sedan mewah di kontrakanmu dulu," jawabnya. Pikiranku kembali saat dua minggu lalu kami pindah ke rumah ini. Pertanyaannya memang belum sempat kujawab karena kedatangan Kemal yang pamit hendak mengurus sesuatu. Setelah itu aku beranjak untuk mandi. Sejak saat itu Ibu Umairah tidak pernah menyinggung hal ini lagi."Kamu suka sama dia?" tanyanya lagi.Aku menggeleng dan mulai bercerita tentang apa yang terjadi sore itu sampai mereka pulang. Seperti dugaanku, Ibu Umairah juga terkejut mengetahui mereka adalah pemilik rumah sakit besar di kota ini. Rumah sakit dengan gedung tinggi menjulang di tengah k