Kebayang tidak ... jadi Risa yang cuci piring berjam-jam sambil gendong Adam? Tangguh ya readers ....
Pikiranku masih terjebak dalam kenangan itu. Kertas putih dengan perekat di salah satu sisinya. Satu-satunya amplop tanpa nama dan diulurkan manajer restoran itu kepadaku."Bukan kurang, Bu. Justru isinya jauh dari yang kubayangkan. Aku baru tahu kalau cuci piring di restoran itu bisa digaji dua ratus ribu. Manajernya bilang kalau ada yang booking restoran untuk mengadakan acara di sana, karyawan memang dikasih bonus," ungkapku.Ibu Umairah tersenyum menjawil hidungku sembari berkata, "Dan kamu beruntung."Aku mengangguk kencang sembari tersenyum lebar. "Ibu tahu? Saat itu, pemilik restorannya kasih bonus lebih dari upah kerjaku.""Bonus lebih? Maksudnya?" Kernyitan di dahinya semakin terlihat. "Ternyata semua karyawannya dikasih THR untuk Hari Raya Idul Adha, termasuk aku, Bu. Padahal aku cuma karyawan pengganti sehari. Bosnya bilang, dia salut karena aku masih mau kerja walau harus sambil menggendong anak. Pesannya, dia minta agar membelikan putraku baju baru. Amplop THR itu isinya
Malam menyergap bersama gerimis dan harus kuakui, aku mulai membenci hujan. Sapaan kilat dan gemuruh petir mengingatkanku pada masa-masa getir. Setiap kali suara langit itu mampir ke gendang telinga, maka bayang-bayang kejadian saat Aditya menamparku kembali hadir.Aku sendiri bingung mengapa hal itu masih membekas. Lukanya sudah hilang, namun dukanya masih saja membekas. Apakah karena aku belum sepenuhnya memaafkannya? Apakah benar itu alasannya sehingga tekanan ini masih membekas?Aku keluar untuk mengisi botol air minum. Milik Ibu Uma juga kosong. Ketika aku melangkah ke dapur, kulihat Kemal duduk termenung di depan meja makan. Entah apa yang mengisik benaknya sampai mengusap wajahnya frustasi."Kamu ingin kuberikan miras?" tanyaku dan dia menoleh."Miras?" tanyanya mengernyit."Hem, minuman yang diperas. Ada jeruk manis di kulkas, siapa tahu kamu mau jus jeruk?" tawarku dan dia terkekeh. Kutebak dia salah menduga, tidak mungkin kuberikan minuman buruk padanya.Tak berselang lama di
"Risa, waktu itu … kamu belum sempat jawab pertanyaan ibu." Ucapan Ibu Umairah membuatku balik badan dan memusatkan perhatian padanya. Sore ini kami sedang membuat rempah untuk lauk jualan.Duduk di sampingnya sembari memangku baskom berisi bawang yang hendak kukupas. Ia melirikku sekilas lalu kembali fokus pada wortel yang dikupasnya. "Tentang apa, Bu?""Tentang pria kaya yang datang pakai sedan mewah di kontrakanmu dulu," jawabnya. Pikiranku kembali saat dua minggu lalu kami pindah ke rumah ini. Pertanyaannya memang belum sempat kujawab karena kedatangan Kemal yang pamit hendak mengurus sesuatu. Setelah itu aku beranjak untuk mandi. Sejak saat itu Ibu Umairah tidak pernah menyinggung hal ini lagi."Kamu suka sama dia?" tanyanya lagi.Aku menggeleng dan mulai bercerita tentang apa yang terjadi sore itu sampai mereka pulang. Seperti dugaanku, Ibu Umairah juga terkejut mengetahui mereka adalah pemilik rumah sakit besar di kota ini. Rumah sakit dengan gedung tinggi menjulang di tengah k
Pria dengan rambut yang seluruhnya telah memutih itu menggeleng. Telunjuknya mengarah pada putra dan menantunya. Nyonya Eda sedang sibuk memilih kemeja polos, sementara Tuan Hendrawan sedang menerima telpon dari seseorang sambil sesekali menanggapi pilihan istrinya. "Saya permisi, Tuan," ucapku pamit dan bergegas ke kasir. Aku ingin segera meninggalkan toko dan mall ini. Padahal tadinya aku ingin mengunjungi restoran itu. Lain kali saja, karena aku tidak ingin bertemu mantan mertuaku. Masih ada rasa bersalah yang bercokol di benakku."Ini kembaliannya, Bu. Terima kasih dan kami nantikan kunjungan Ibu selanjutnya," kata pegawai kasir yang mengangsurkan uang kembalian. Kuraih lembaran rupiah itu dan bergegas keluar. Begitu melewati pintu toko, aku lega. Akan tetapi, langkahku terhenti kala sepasang mata sendu menatapku. Yang aku hindari justru berjalan menghampiriku.Derap langkahnya semakin mendekat mengikis jarak. Tubuh yang tegap itu kini berada tepat di hadapanku. Matanya berkaca
Seperti yang dikatakan Kemal, pemerintah benar-benar menetapkan PPKM. Kepanikan mulai melanda masyarakat. Bukan hanya kehadiran virus berbahaya, tapi juga sulitnya mendapatkan akses kebutuhan pokok. Banyak toko yang tutup dan untung saja di antaranya masih ada yang bersedia menjual dengan jasa pengantaran. Tempat-tempat yang biasanya padat aktivitas semakin sepi. Karyawan pabrik bahkan bekerja bergantian. Anak-anak sekolah diliburkan dan harus belajar dari rumah secara daring, termasuk para mahasiswa. Teman-teman kampus Kemal yang biasanya sering makan di warung kami, kabarnya banyak yang pulang kampung dan kesulitan kembali. Dari kabar yang beredar, tidak diizinkan bepergian jika belum melakukan vaksinasi. Ibu Umairah dan Kemal sudah divaksin tahap dua. Aku sendiri baru selesai vaksin pertama dua bulan lalu. Sempat tidak setuju mengingat Agam masih aktif ASI. Akan tetapi, ternyata jumlah korban yang terpapar semakin banyak, sehingga kuputuskan untuk segera mengikuti vaksinasi. Ibu
Tahun berganti dan musim pun demikian. Kini matahari sudah sering terik. Aktivitas orang-orang yang dulunya hanya di rumah saja, kini sudah perlahan kembali. Meski perlahan, namun tempat-tempat umum sudah mulai ramai. Hanya saja memiliki batas waktu. "Mbak, aku mau ngomong," ujar Kemal setelah Agam beranjak ke dapur ikut neneknya. "Memangnya ada apa?" Rasa penasaranku bertambah karena dia hanya diam saja menggaruk kepalanya. Aku pura-pura hendak beranjak dan dia terkesiap. "Mbak, ini penting!" "Makanya cepat bilang! Mbak mau siap-siap buka warung," desakku. "Gini Mbak, waktu daftar kuliah dua tahun lalu kan aku dapat beasiswa. Beasiswanya itu dari Pradipta Foundation, anak perusahaan Pradipta Group," ujar Kemal dan aku mengangguk. Perusahaan sebesar itu membiayai kuliahnya. Pantas saja, laptop dan ponsel pun diberikan sebagai fasilitas belajar. Dia bahkan pernah bilang jika uang sakunya akan bertambah jika IPK penerima beasiswa itu juga meningkat. "Terus?" "Aku salah satu dari
“Apa Tuan Hendrawan mengetahui hubungan terlarang antara istri dan ayahnya sendiri?” tanyaku. Bukan hanya Devi yang terkejut, Kemal pun sama. Pemuda itu terperangah lalu menutup mulut dengan telapak tangannya. Kepalanya menggeleng, dia mungkin tidak percaya. Ah, tunggu saja sampai ibunya sendiri yang membenarkan. “Ka-kamu sudah tahu?” “Sejak kapan, Mbak Risa tahu? Kok tidak bilang sama aku?” Kuangguki pertanyaan Devi lalu menoleh menatap Kemal. “Karena itu aib.” “Aku ingin tahu satu hal. Apa itu alasanmu ngotot cerai dengan Mas Adi?” tanya Devi. Aku menghela napas. Tidak memuaskan rasa ingin tahunya hanya akan membuat Devi semakin penasaran denganku. Jujur saja, aku tidak nyaman dengan kehadirannya. Jangan sampai dia ngotot kembali ke sini bersama Aditya. Kuceritakan kejadian setelah dia datang pertama kali ke rumah dan pertengkaranku dengan Aditya. Aku yang masuk rumah sakit dan mendengar mantan ibu mertuaku berbincang via telpon dengan ayah mertuanya sendiri. Sejak saat itu
Mengikuti saran Kemal, akhirnya aku mengalah. Kasihan Agam jika sampai mabuk kapal dan berdesakan. Pagi ini Kemal dan Ibu Umairah berangkat lebih dulu dengan naik kapal. Jika perjalanan lancar, perjalanan dari Surabaya ke Samarinda dengan jalur laut ditempuh kurang dari 30 jam. Sementara aku dan Agam tinggal di wisma dekat bandara untuk sehari semalam. Besok kami akan berangkat dengan naik pesawat. Perjalanan dua hari semalam memang jauh berbeda dengan penerbangan yang hanya menempuh waktu kurang dari dua jam saja. Ini kali pertama aku akan naik pesawat, rasanya berdebar sekaligus takut. "Agam bobo yuk! Besok kita mau naik pesawat, susul Nenek Uma sama Om Kemal," ajakku agar dia mau berhenti menonton kartun di ponsel. Kutahu dia bosan dan sudah merindukan Kemal."Om Kemal cama Nenek Uma peldi jauh?" tanya Agam ketika aku memeluknya.Kuusap punggungnya sambil sesekali menepuk bokongnya. "Iya, kita juga mau ke sana. Tapi … terbang naik pesawat. Sekarang, Agam bobo dulu. Tadi kan Om Kem