Seperti judul babnya bergerak cepat, hari ini aku juga upload babnya cepat. Selamat berakhir pekan dan say hello for Desember
Mengikuti saran Kemal, akhirnya aku mengalah. Kasihan Agam jika sampai mabuk kapal dan berdesakan. Pagi ini Kemal dan Ibu Umairah berangkat lebih dulu dengan naik kapal. Jika perjalanan lancar, perjalanan dari Surabaya ke Samarinda dengan jalur laut ditempuh kurang dari 30 jam. Sementara aku dan Agam tinggal di wisma dekat bandara untuk sehari semalam. Besok kami akan berangkat dengan naik pesawat. Perjalanan dua hari semalam memang jauh berbeda dengan penerbangan yang hanya menempuh waktu kurang dari dua jam saja. Ini kali pertama aku akan naik pesawat, rasanya berdebar sekaligus takut. "Agam bobo yuk! Besok kita mau naik pesawat, susul Nenek Uma sama Om Kemal," ajakku agar dia mau berhenti menonton kartun di ponsel. Kutahu dia bosan dan sudah merindukan Kemal."Om Kemal cama Nenek Uma peldi jauh?" tanya Agam ketika aku memeluknya.Kuusap punggungnya sambil sesekali menepuk bokongnya. "Iya, kita juga mau ke sana. Tapi … terbang naik pesawat. Sekarang, Agam bobo dulu. Tadi kan Om Kem
Kuhapus air mata dan menggendong Agam yang murung. "Saya kehilangan dompet, tiket dan ponsel saya, Bu. Pouch dalam tas saya, entah sejak kapan hilangnya. Padahal tadi, saya sempat belanja di outlet yang ada di sana, semuanya masih ada," terangku menunjuk ke arah sebuah outlet menyerupai minimarket. "Mari ikut saya, kita cek dulu dari cctv," ajaknya seakan menumbuhkan harapan. Kulihat Agam menoleh ke belakang, tepatnya ke arah gate yang kukatakan akan menjadi pintu kami ke pesawat. Meski tak mengatakan, kutahu ia sedih dan kecewa karena kami malah menjauhi tempat itu. Aku hanya berharap kartu ATM milikku tidak hilang. Bisa saja, karena memegang kartu seperti itu harus menarik uangnya di ATM yang sudah pasti memiliki cctv. Itupun kalau pelakunya tahu kode akses kartuku. Dengan setitik harapan itu aku berharap bisa kembali memesan tiket. Kalau tidak cukup, setidaknya aku bisa memberi Agam makan dan bisa sewa kamar dulu untuk malam ini. Baru setelah itu menghubungi Kemal dan mencari
Mas Adi pernah mengajakku makan di restoran, tapi tidak semewah restoran ini. Interior dan fasilitas restoran ini sangat mewah padahal resto ini hanya resto cabang. Tanganku gemetar membuka buku menu. Benar saja dugaanku, nominalnya membuat kakiku gemetar. Seporsi makanan di sini bisa untuk biaya makan kami berdua sepekan. Aroma lezat dari meja sebelah membuatku menelan saliva. Perutku meronta tanpa bisa kucegah. Seingatku di dompet hanya ada uang sekitar tujuh ratus ribu rupiah. Jika kupesan seporsi berdua dengan putraku sambil menyuapinya mungkin akan habis dua ratus ribu rupiah. Itu pun … kalau dompetku kembali. "Apa putra Anda memiliki alergi? Setidaknya dia menikmati makanannya tanpa resiko," tanyanya. Aku hampir lupa hal itu dan sibuk memikirkan biaya makanan kami. "Udang." "Iya Om. Tananku datal-datal, melah-melah talau matan udan. Aku tan cuka banet," kata Agam seolah sedang melaporkan kondisinya pada dokter. Kembali mengingatkanku pada mantan yang mewariskan alergi itu.
Keduanya terkejut lalu saling lirik. Pria itu mengusap kepala Agam lalu memperbaiki posisinya di gendongannya. Tatapanku menuntut jawaban karena ia hendak mengajak Agam ikut serta dengannya. Apa ini hanya trik yang sengaja dilakukannya sebelum membawa pergi putraku? Sengaja menyogokku dengan makanan enak, begitukah? Wajahnya yang bersahaja dan senyum tulusnya itu bisa saja hanya kepura-puraan."Pipis Ibu." Agam menjawab dan pria itu mengangguk.Aku jadi malu sendiri seperti orang yang takut ditinggal. Suaraku tadi pasti cukup keras sampai beberapa orang menoleh. Aku benar-benar ingin kabur dari sini."Lanjutkan lagi, minumannya belum habis. Itu juga cemilannya tolong bantu dihabiskan. Tadi sengaja Agam sisihkan, katanya untuk ibunya juga. Boleh saya minta kembali, saya harus bayar makanan kita di kasir," ujarnya dan aku tersadar.Kuulurkan dompetnya dari saku celanaku. Rasanya aku seperti tersengat listrik saat jarinya juga menyentuh jariku. Ada apa denganku?"Tunggu di sini, jangan k
"Begini saja, kalau suatu saat kita bertemu lagi, Anda bisa mengembalikannya. Saya ikhlas membantu, kalian baru saja dicopet dan tidak punya uang pegangan sama sekali. Ini bukan untuk Anda, tapi untuk putra Anda," ucapnya yang membuat pipiku basah karena air mata.Ucapannya itu benar adanya. Aku sama sekali tidak punya uang. Ada sedikit, hanya delapan ribu rupiah. Malam ini kami bahkan tidak tahu akan tidur di mana karena semua uangku raib."Saya tahu ucapan saya tadi mungkin menyinggung harga diri Anda, tapi sungguh, saya tidak bermaksud demikian." Kata-katanya lugas tanpa menindas. Tak ada nada menghina dari suaranya yang ramah. Pun demikian dengan tatapan dan raut wajahnya yang tenang dan bersahaja. Ia kembali tersenyum, tepatnya tersenyum untuk Agam.Haruskah aku mengambilnya? Aku malu tapi butuh. Jika aku menerima, apakah dia akan meminta balasan yang aneh-aneh? Bisa saja dia orang jahat yang berpura-pura jadi penolong."Saya sebentar lagi akan terbang ke pulau lain. Saya bukan p
Pagi bersambut dan kuharap ketenangan baru akan kujemput. Aku dan Agam baru saja selesai makan bubur ayam. Tadinya ingin membeli nasi bungkus, tapi aku tidak begitu yakin apakah Agam suka dengan lauknya.Celotehannya menjadi nyanyian pagi yang menepis pilu. Meninggalkan penginapan yang kami sewa semalam, sekarang kami duduk di atas becak motor. Jarak penginapan itu hanya sekitar setengah kilometer dari stasiun keberangkatan.Semalam pemilik penginapan berbaik hati membantuku memesan tiket kapal. Dia juga menyarankan untuk membeli ponsel communicator lipat saat kukatakan aku tidak bisa memesan tiket via ponsel karena ponselku hilang. Walau hanya ponsel second seharga seratus ribu rupiah, nyatanya cukup berguna. Sekarang aku sedikit lega karena bisa menghubungi Kemal dan Ibu Uma nanti."Ibu, nda bica telpon Om Kemal?" tanya Agam yang sedang mengemut kue beruangnya sambil melirik ponsel kecil di tanganku."Sudah bisa, tapi … kalau Agam telpon, cuma bisa dengar suaranya. Agam tidak bisa li
Sehari semalam berada di atas kapal, kini daratan Pulau Sulawesi itu mulai terlihat. Semalaman aku terjaga memangku dan memeluk Agam. Rasa kantuk yang tadinya begitu berat seakan sirna mendengar awak kapal mengumumkan jika kurang dari sejam lagi kami akan berlabuh.Senyumku merekah melihat layar ponsel kecilku menampilkan nama Kemal. Keterbatasan jaringan seluler membuat kami hanya bisa bertukar pesan. Panggilan telpon seringkali terputus, kadang pula hanya bunyi kresek yang terdengar. Penumpang kapal lain menyarankanku untuk ke dek kapal, tapi aku takut. Selain takut jatuh ke laut, aku takut kalau sampai dicopet lagi. Meski tergembok, aku juga takut ada yang mengutak-atik koperku."Halo, assalamualaikum, Mbak. Sekarang Mbak ada di mana?" tanya Kemal."Waalaikumusalam. Masih di kapal, Kemal. Sebentar lagi kapalnya mau berlabuh. Habis ini aku mau cari kos-kosan sekitar kampus. Di sana pasti ramai dan banyak pilihan tempat yang terjangkau. Kamu tidak perlu kirimkan uang buat beli tiket
"Kemal? Kamu kok diam? Dia tidak pukuli kamu, 'kan?" Aku benar-benar takut mengingat sifat Aditya yang kadang ramah sekaligus mudah marah.Mengingat Kemal yang begitu sayang pada mantan suamiku itu, aku seketika ragu ia bisa jujur padaku. Bahkan setelah diusir, Kemal masih tidak bisa membenci Aditya. Kesalahpahaman ia jadikan alasan sebagai tameng akan kepercayaannya pada ayah dari putraku itu.Di layar ponselku, Kemal menggeleng. Semoga saja dia tidak berbohong. Kudengarkan cerita Kemal sejak kedatangan Aditya hingga pria itu pergi. Jujur saja, aku pun penasaran karena sudah sudah tiga bulan kami meninggalkan Surabaya.Aku mendengus kesal. Di seberang sana kulihat Kemal menghela napas panjang. Beberapa detik kemudian dia tertawa menyebut satu nama wanita.Aditya tidak datang sendirian, melainkan bersama ibunya. Nyonya Eda ternyata masih sama angkuhnya seperti dulu. Kutebak ia mencari Tuan Hendrawan dan Kemal mengatakan dugaanku itu benar.Terkadang aku tidak bisa memahami niatan Nyony