Bagaimanakah nasib Risa dan Agam setelah ini? Jangan ketinggalan lanjutannya besok ya....
Mas Adi pernah mengajakku makan di restoran, tapi tidak semewah restoran ini. Interior dan fasilitas restoran ini sangat mewah padahal resto ini hanya resto cabang. Tanganku gemetar membuka buku menu. Benar saja dugaanku, nominalnya membuat kakiku gemetar. Seporsi makanan di sini bisa untuk biaya makan kami berdua sepekan. Aroma lezat dari meja sebelah membuatku menelan saliva. Perutku meronta tanpa bisa kucegah. Seingatku di dompet hanya ada uang sekitar tujuh ratus ribu rupiah. Jika kupesan seporsi berdua dengan putraku sambil menyuapinya mungkin akan habis dua ratus ribu rupiah. Itu pun … kalau dompetku kembali. "Apa putra Anda memiliki alergi? Setidaknya dia menikmati makanannya tanpa resiko," tanyanya. Aku hampir lupa hal itu dan sibuk memikirkan biaya makanan kami. "Udang." "Iya Om. Tananku datal-datal, melah-melah talau matan udan. Aku tan cuka banet," kata Agam seolah sedang melaporkan kondisinya pada dokter. Kembali mengingatkanku pada mantan yang mewariskan alergi itu.
Keduanya terkejut lalu saling lirik. Pria itu mengusap kepala Agam lalu memperbaiki posisinya di gendongannya. Tatapanku menuntut jawaban karena ia hendak mengajak Agam ikut serta dengannya. Apa ini hanya trik yang sengaja dilakukannya sebelum membawa pergi putraku? Sengaja menyogokku dengan makanan enak, begitukah? Wajahnya yang bersahaja dan senyum tulusnya itu bisa saja hanya kepura-puraan."Pipis Ibu." Agam menjawab dan pria itu mengangguk.Aku jadi malu sendiri seperti orang yang takut ditinggal. Suaraku tadi pasti cukup keras sampai beberapa orang menoleh. Aku benar-benar ingin kabur dari sini."Lanjutkan lagi, minumannya belum habis. Itu juga cemilannya tolong bantu dihabiskan. Tadi sengaja Agam sisihkan, katanya untuk ibunya juga. Boleh saya minta kembali, saya harus bayar makanan kita di kasir," ujarnya dan aku tersadar.Kuulurkan dompetnya dari saku celanaku. Rasanya aku seperti tersengat listrik saat jarinya juga menyentuh jariku. Ada apa denganku?"Tunggu di sini, jangan k
"Begini saja, kalau suatu saat kita bertemu lagi, Anda bisa mengembalikannya. Saya ikhlas membantu, kalian baru saja dicopet dan tidak punya uang pegangan sama sekali. Ini bukan untuk Anda, tapi untuk putra Anda," ucapnya yang membuat pipiku basah karena air mata.Ucapannya itu benar adanya. Aku sama sekali tidak punya uang. Ada sedikit, hanya delapan ribu rupiah. Malam ini kami bahkan tidak tahu akan tidur di mana karena semua uangku raib."Saya tahu ucapan saya tadi mungkin menyinggung harga diri Anda, tapi sungguh, saya tidak bermaksud demikian." Kata-katanya lugas tanpa menindas. Tak ada nada menghina dari suaranya yang ramah. Pun demikian dengan tatapan dan raut wajahnya yang tenang dan bersahaja. Ia kembali tersenyum, tepatnya tersenyum untuk Agam.Haruskah aku mengambilnya? Aku malu tapi butuh. Jika aku menerima, apakah dia akan meminta balasan yang aneh-aneh? Bisa saja dia orang jahat yang berpura-pura jadi penolong."Saya sebentar lagi akan terbang ke pulau lain. Saya bukan p
Pagi bersambut dan kuharap ketenangan baru akan kujemput. Aku dan Agam baru saja selesai makan bubur ayam. Tadinya ingin membeli nasi bungkus, tapi aku tidak begitu yakin apakah Agam suka dengan lauknya.Celotehannya menjadi nyanyian pagi yang menepis pilu. Meninggalkan penginapan yang kami sewa semalam, sekarang kami duduk di atas becak motor. Jarak penginapan itu hanya sekitar setengah kilometer dari stasiun keberangkatan.Semalam pemilik penginapan berbaik hati membantuku memesan tiket kapal. Dia juga menyarankan untuk membeli ponsel communicator lipat saat kukatakan aku tidak bisa memesan tiket via ponsel karena ponselku hilang. Walau hanya ponsel second seharga seratus ribu rupiah, nyatanya cukup berguna. Sekarang aku sedikit lega karena bisa menghubungi Kemal dan Ibu Uma nanti."Ibu, nda bica telpon Om Kemal?" tanya Agam yang sedang mengemut kue beruangnya sambil melirik ponsel kecil di tanganku."Sudah bisa, tapi … kalau Agam telpon, cuma bisa dengar suaranya. Agam tidak bisa li
Sehari semalam berada di atas kapal, kini daratan Pulau Sulawesi itu mulai terlihat. Semalaman aku terjaga memangku dan memeluk Agam. Rasa kantuk yang tadinya begitu berat seakan sirna mendengar awak kapal mengumumkan jika kurang dari sejam lagi kami akan berlabuh.Senyumku merekah melihat layar ponsel kecilku menampilkan nama Kemal. Keterbatasan jaringan seluler membuat kami hanya bisa bertukar pesan. Panggilan telpon seringkali terputus, kadang pula hanya bunyi kresek yang terdengar. Penumpang kapal lain menyarankanku untuk ke dek kapal, tapi aku takut. Selain takut jatuh ke laut, aku takut kalau sampai dicopet lagi. Meski tergembok, aku juga takut ada yang mengutak-atik koperku."Halo, assalamualaikum, Mbak. Sekarang Mbak ada di mana?" tanya Kemal."Waalaikumusalam. Masih di kapal, Kemal. Sebentar lagi kapalnya mau berlabuh. Habis ini aku mau cari kos-kosan sekitar kampus. Di sana pasti ramai dan banyak pilihan tempat yang terjangkau. Kamu tidak perlu kirimkan uang buat beli tiket
"Kemal? Kamu kok diam? Dia tidak pukuli kamu, 'kan?" Aku benar-benar takut mengingat sifat Aditya yang kadang ramah sekaligus mudah marah.Mengingat Kemal yang begitu sayang pada mantan suamiku itu, aku seketika ragu ia bisa jujur padaku. Bahkan setelah diusir, Kemal masih tidak bisa membenci Aditya. Kesalahpahaman ia jadikan alasan sebagai tameng akan kepercayaannya pada ayah dari putraku itu.Di layar ponselku, Kemal menggeleng. Semoga saja dia tidak berbohong. Kudengarkan cerita Kemal sejak kedatangan Aditya hingga pria itu pergi. Jujur saja, aku pun penasaran karena sudah sudah tiga bulan kami meninggalkan Surabaya.Aku mendengus kesal. Di seberang sana kulihat Kemal menghela napas panjang. Beberapa detik kemudian dia tertawa menyebut satu nama wanita.Aditya tidak datang sendirian, melainkan bersama ibunya. Nyonya Eda ternyata masih sama angkuhnya seperti dulu. Kutebak ia mencari Tuan Hendrawan dan Kemal mengatakan dugaanku itu benar.Terkadang aku tidak bisa memahami niatan Nyony
Malam harinya setelah menidurkan Agam, kududuk termenung memikirkan hari esok. Usia putraku sudah lebih dari tiga tahun. Tahun depan harusnya aku bisa menyekolahkannya di PAUD agar Agam belajar bersosialisasi dengan baik. Untuk seusianya, penting untuk bisa memiliki teman dan menikmati waktu bermain.Selain itu, aku harus berpikir bagaimana caranya untuk membeli rumah. Bukan dengan bayaran tunai, melainkan dengan dicicil. Niat ada, namun persyaratan untuk membeli rumah subsidi belum bisa kupenuhi. Terus-terusan mengontrak seperti ini tidak begitu baik, apalagi harga sewa setiap tahun akan naik.Aku mendesah pelan dan menyandarkan tubuhku di tembok kamar. Bohong jika aku tidak lelah, tetapi setiap kali memikirkan masa depan Agam, maka semangat itu kembali hadir. Seperti mata air yang perlahan meluap dan menjadi genangan. Aku teringat pertemuan dengan pria asing sore tadi. Pria yang menghampiriku dengan menunjukkan foto daganganku. Tak kusangka ia adalah salah satu karyawan resto yang s
Tahun berlalu, aku pindah dengan menyewa sebuah rumah. Selain itu aku mengontrakkan salah satu kamarnya dengan seorang mahasiswi bernama Tita. Dia juga adalah gadis dari kontrakan sebelumnya dan kesulitan karena ingin berjualan tapi terkendala tempat yang sempit.Tita adalah salah satu mahasiswi yang dulu pacarnya sering datang ke kontrakan dan mengajak Agam bermain bola. Keputusan kekasihnya yang ingin kuliah ke luar negeri karena mendapat beasiswa membuat mereka memilih mengakhiri hubungan. Gadis ceria itu tampak biasa saja setelah putus. Entah karena tidak cinta atau hatinya yang kebal. Kupikir dia akan menangis dan mengatakan betapa kejamnya dunia.Aku merasa senang dengan kehadiran Tita di antara kami, karena Agam sudah akrab dengannya. Terkadang saat aku sibuk, dia akan berinisiatif mengajak Agam keluar jalan-jalan sekitar kampus untuk melihat rusa di penangkaran kampus. Kepekaannya itu membuatku amat bersyukur karena akhir-akhir ini Agam mulai rewel ingin keluar rumah.Suara kl