Semoga caranya Mbak Risa yang satu ini bisa menginspirasi pembaca yang mau mencoba atasi masalah tanpa dendam....
Mendengar namaku disebut tentu saja membuatku tersentak. Siapa yang datang mencariku di kantin ini? Kulihat kerumunan itu mulai bubar dan mereka seperti orang yang sibuk mencari seseorang. Diriku tepatnya. Beberapa ibu kantin menunjuk ke arahku. Wanita berambut pirang dengan baju kuning ketat membalut tubuhnya, kini memandangku. Tatapannya sungguh tidak bersahabat dan pertanda buruk bagiku. Suara ketukan high heels semakin keras terdengar seiring langkahnya menghampiriku. Ketika langkahnya terhenti, ia meletakkan tas mahalnya di hadapanku. Ibu Yati mengambil alih Agam dari pangkuanku. Seakan tidak rela berpisah dariku, Agam meronta. Kubiarkan saja putraku dibawa Ibu Yati yang menghampiri Ibu Maryam. Tidak baik jika putraku tetap bersamaku sekarang. Sembari berkacak pinggang, wanita itu berkata, "Jadi kamu cewek yang godain calon suami saya? Gara-gara kamu kan, dia putusin aku?!" Aku mengernyit dan menatapnya bingung. Tanpa ada pertanda atau penjelasan, tiba-tiba saja dia datang m
Minggu cerah dan penuh berkah. Dagangan nasi bungkusku habis. Bahkan tetangga kontrakan yang terlambat bangun pun hanya bisa memelas kala melihatku sedang beres-beres. Seno dan pacarnya adalah penyantap terakhir dan sedang duduk memangku Agam. "Makanya Tio … tidurnya jangan kelamaan, rezeki sudah dipatuk ayam duluan," sahut gadis ceriwis itu dan dibalas pemuda kamar sebelah dengan wajah manyun. "Memangnya kamu dari mana semalam? Kok pulangnya subuh?" tanya Seno kepo. Pemuda bernama Tio yang sering membawakan keripik bayamku ke warung rumah sakit dekat tempatnya kerja part time sebagai cleaning service. "Semalam ada kecelakaan beruntun dekat tol, salah satunya temanku. Kujagain sampai amma sama abbanya datang. Habis sholat subuh aku langsung tidur lagi. Kayaknya alarm ponselku kukira nyanyian nyamuk," ungkapnya yang membuat kami tertawa. "Duduk saja, kakak buatkan telur dadar, Dek." Seketika mata kuyu Tio berbinar. Pemuda 19 tahun itu memang anak rantau dari Bali. Biasanya akan min
"Kamu siapa?" tanya Aditya langsung pada pria yang sudah berdiri di sampingku. Pria yang kembali menarik tangannya yang tak disambut itu tersenyum lebar. Anehnya, dia terlihat kebingungan. Aku juga mengamatinya, mencoba mengingat di mana aku pernah bertemu dengannya? Nihil. Aku sama sekali tidak mengenalnya. "Kamu tuli? Saya tanya, nama kamu siapa? Apa hubungan kamu sama Risa? Kenapa Anda panggil dia 'Sayang'? Kalian menjalian hubungan?!" cecar Aditya yang tampak semakin kesal. "Saya tidak kenal siapa dia. Ini pertama kali dia datang ke sini," jelasku dan sejujurnya aku tidak suka dengan tatapannya. Melihat dia masih tersenyum santai, aku berujar, "Maaf, nasi bungkusnya sudah habis, silakan datang kembali pekan depan!" "Kamu tidak perlu mengingkariku di depan mantan suamimu, Risa. Kita juga tidak perlu menyembunyikan hubungan kita. Toh kamu janda dan saya duda," pungkasnya melantur. Aku terperangah dengan ucapannya yang konyol. Pria yang mengenakan jaket hitam itu mengaku namany
"Katakan saja kalau Anda akan menagih pada anak, suami atau mertuanya. Kalau dia benar-benar menolak, minta saja pada keluarganya dan ceritakan apa yang terjadi. Kalau tidak ada yang percaya, katakan bahwa Anda punya banyak saksi. Di sini pasti banyak yang bersedia jadi saksi Anda jika Anda sedikit berbagi dengannya," terangku sembari melirik kerumunan orang-orang. Aku melangkah mundur dan dia berlalu. Dengan susah payah dia menegakkan motornya karena terus saja menatapku. "Ingat, minta ganti rugi lima kali lipat atau Anda akan dipenjarakan! Kalau Anda berani menipu saya, saya pastikan motor cicilan ini raib." Pria itu mengangguk sebelum melesat dengan motornya. Kubayangkan wajah kesal mantan ibu mertuaku saat ditagih uang sepuluh juta rupiah. Dia juga pasti akan ketar-ketir jika ketahuan menggunakan terlalu banyak uang dalam waktu dekat. Kepalanya pasti pusing memikirkan banyak alasan kebohongan. Jika tidak, maka ia harus menjual perhiasannya. "Apa Anda sekalian masih ingin di sini
Berhembusnya fakta tentang status Risa yang ternyata seorang janda muda mengundang masalah baru. Dagangan keripik dan sambalnya yang dipajang di lemari etalase belakangan ini ramai dibeli saat malam hari. Anehnya yang membeli kebanyakan pria. Ibu Hana dan Ibu Lia kadang heran sendiri. "Kamu masuk saja sama Agam. Biar nanti kami yang tunggu jualannya," tutur Ibu Lia saat ada dua orang pria yang sedang mampir membeli keripik. Mereka dilayani oleh Ibu Hana yang sedang menerima lembaran uang dari pembeli untuk mengemas beberapa bungkus keripik bayam. "Neng Risa, saya sering beli keripik kok tidak disapa?" tanya salah seorang pria yang lengan kanannya penuh dengan tato. "Masih jual mahal, Dung. Kalau sama kamu sih … dia masih mikir. Mending dia jadi istri kedua saya. Iya kan, Dek Risa?" ujar pria yang lebih tua sambil mengusap kumis kebanggannya. Sembari menunggu uang kembaliannya, pria berkumis itu menghampiriku. Tanpa dipersilahkan dia duduk di salah satu kursi plastik. Kini dia terl
"Ya untuk jadi calon suaminya Neng Risa," jawab pria yang bertato dengan entengnya. Jawabannya membuat kami bertiga melongo. "Pasti pilih saya lah … di sini, saya yang paling kaya," sahut pria yang berkepala botak. Di sampingnya ada pria yang tampak lebih muda menggeleng sambil tertawa. Dia berkata, "Risa pasti pilih saya, saya masih muda, single dan saya sudah PNS." "Alah … gajimu jadi PNS cuma berapa juta sebulan? Cuma cukup bayar cicilanmu. Saya tiap bulan penghasilannya belasan juta. Dia pasti pilih saya. Apalagi di sini, saya yang paling tampan dan tinggi," sindir pria yang mengenakan peci sambil memamerkan benda dengan sulaman benang keemasan di penutup kepalanya. Aku terhenyak melihat kelima pria itu. Masalah apalagi ini? Ingin rasanya mereka berlima kusiram air got agar segera pergi dari sini. "Jadi kalian merasa sebagai kandidat calon suami? Begitu?" tanyaku tanpa menambahkan sapaan sopan. Kehadiran mereka membuat darahku semakin mendidih kala melihat senyum tanpa dosa
"Anda semua kenapa diam? Tidak dengar saya bilang apa? Permisi, saya mau lewat!" tegasnya. Dari suaranya dia lebih menyebalkan dari mantan mertuaku.Kulihat dari sela kaki mereka ada sepasang kaki yang dibalut sepatu wanita yang terlihat mahal. Di dekatnya ada lagi sepasang sendal kulit yang tampak polos tapi jelas terlihat mahal dari simbol mereknya. Sedang di antara dua pasang sepatu itu ada tongkat berwarna tembaga."Belum setua saya, tapi kalian sudah budeg?" sindir wanita itu lagi."Anda siapa, Nyonya?" tanya pria yang mengaku dirinya PNS.Wanita itu menghentakkan tongkatnya sekali lalu mengangkatnya. Kutebak dia menggunakannya untuk menunjuk sesuatu. "Saya tamunya Carisa. Kasih saya jalan, sebelum saya minta supir saya yang berotot itu membanting tubuh kalian satu persatu!" ancamnya. Kuakui dia begitu berani walau tubuhnya sendiri bertopang tongkat.Perlahan tubuh pria-pria itu bergeser. Kini pasang mataku melihat seorang wanita berambut putih dengan potongan pendek sedang memega
"Kami mendapat laporan dari salah seorang warga kalau di sini terjadi keributan. Ternyata benar," ucap pria berseragam itu mengedarkan pandangan. Perhatiannya tertuju pada papan nama kontrakan ini. Ketika matanya tertuju pada wanita tua di teras rumahku, dia tersenyum ramah. Sepertinya mereka saling kenal atau para polisi itu saja yang mengenalnya. "Kamu beneran telpon polisi?" tanya pria bertato itu beranjak dari atas motor yang sejak tadi didudukinya. Aku tidak mengangguk tidak juga menjawab. Beberapa langkah ke sebelah kiri, kuambil ponselku yang sejak tadi kusimpan di laci salah satu motor yang terparkir rapi di teras kontrakan. Kutekan tombol untuk menghentikan rekaman video. Setelah menghubungi polisi tadi, kuletakkan ponselku di sana dan merekam semuanya. Kukirimkan video itu di grup penghuni kontrakan. Video itu harus ada duplikatnya dan mereka bisa turut menuntut karena para pria itu membuat kegaduhan di kontrakan ini. Jika pagar kontrakan kami sampai rusak, maka sudah jela
Setelah dua hari menikmati liburan di pulau, kami kembali ke Makassar. Keesokan harinya, aku dan Agam menemani Aditya membeli oleh-oleh. Mantan suamiku itu awalnya terkejut, namun ketika kulirik Agam, dia pun paham.Aditya begitu tersentuh ketika Agam mengatakan jika uang celengannya masih sedikit. Uangnya tidak akan cukup untuk membeli dua pasang baju. Jadilah dia hanya memilih dua bando karena menolak saat aku menawarkan untuk menambahkan uangnya.Sepulang dari pulau, Agam juga ikut menginap bersama Aditya. Dia juga sengaja memintakan izin untuk tidak masuk sekolah selama dua hari. Hari Selasa sore, Aditya datang bersama Riswan dan Agam. Sore ini kami akan mengantar Aditya ke bandara. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat keakraban dua pria itu."Agam ingat waktu ketemu Om Liswan di bandala dulu. Agam nda jadi naik pesawat. Agam sama ibu naik kapal laut," ujar Agam ketika kami mampir di sebuah kafe bandara."In sya Allah kalau kita ke Surabaya, Agam akan naik pesawat. Bukannya Agam
Kualihkan pandanganku ke arah laut. Kilau indah di permukaan air sana mempesona. Tak lama lagi, akan terlihat matahari tenggelam yang tak kalah indahnya."Kau benar. Selama ini aku selalu terhasut kata-kata ibuku. Ayah bahkan pergi meninggalkan kami setelah tahu perselingkuhan ibu dan kakek. Sama seperti yang kau lakukan dulu." Dia meliriku.Aku tidak menampik maupun mengakuinya dengan lidahku. Kuyakin dia sudah menyadarinya. "Kini aku mengerti mengapa sejak kembali dari rumah sakit, kau tidak pernah menunjukkan sopan santun lagi pada kakek." Kubalas tatapannya dengan anggukan pelan. Aku akui jika sudah lama mengetahuinya. Alasan itulah yang membuatku berani membawa anakku jauh dari orang-orang seperti mereka. Lingkungan yang rusak tidak akan baik untuk anakku.Aku bukannya tidak berharap mereka bisa berubah. Hanya saja aku sadar, itu hal yang sulit. Aku tahu, aku tidak memiliki kemampuan untuk membuat mereka bertobat."Devi juga sama. Sejak dia melihatnya, dia mulai mengacuhkan ibu.
Pertanyaannya malam itu kini terjawab sudah. Setelah menjelaskan tentang janjinya pada Agam, Riswan menunjukkan foto di layar ponselnya. Aku dan Aditya akhirnya mengangguk setuju dengan ajakannya. Akhir pekan ini terasa berbeda. Aku dan Aditya pun sama-sama menepis ego. Apalagi alasannya jika bukan demi Agam. Ketika Aditya menelpon Agam, mengatakan jika Riswan mengajak mereka ke pantai, Agam langsung mau ikut. Aditya memintanya mengajakku seolah-olah aku tidak tahu. Ketika aku setuju, Agam tampak begitu bahagia. Begitu juga halnya dengan Tita.Sama seperti Agam, gadis itu juga sibuk packing. Katanya, di sana dia akan membuat banyak foto dengan beberapa outfit yang khusus dibawanya. Tidak ketinggalan si Moi. Omong-omong, itu nama kameranya.Di atas kapal yang menampung lebih dari 20 orang, aku duduk menikmati angin laut. Aroma khas air laut yang terbawa akan jadi satu kenangan untukku. Ini pertama kalinya aku naik kapal seperti ini. Dulu saat kabur, aku dan Agam naik kapal yang lebih
'Rawatlah ikhlas dalam hatimu, biarkan seorang ayah bertemu putra kandungnya. Mungkin setelah itu … kamu tidak akan lagi hawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang selama ini membayangimu. Termasuk dengan kemungkinan perasaanmu yang akan kembali terluka.'Aku sudah melakukan seperti sarannya. Aku ikhlas dan mengizinkan Aditya bertemu dengan Agam, bahkan keluarganya pun ikut datang. Namun balasan yang kuterima adalah rasa sakit. Dia malah datang membawa niatan baru untuk rujuk. Membuatku seperti wanita penggoda suami orang. Dia bodoh atau bagaimana? Bagaimana bisa dia berpikir aku mau menelan luka?'Memang tidak mudah, mungkin juga akan menyakitkan. Cobalah, mungkin sakitnya hanya sebentar, karena yang saya tahu … setiap rasa sakit selalu ada obatnya. Obat yang paling ampuh adalah … memaafkan.' Lagi-lagi kalimat yang pernah dituturkan Riswan terngiang. Benarkah rasa sakitnya hanya sebentar? Sebentar itu … berapa waktu yang harus kulalui untuk bisa bertahan?Sambil menata kembali jilb
Lelah dan jengah dengan sikap Aditya, aku akhirnya tiba di penghujung kesabaranku. Dua pekan ini dia benar-benar mengujiku."Aku tidak akan membiarkanmu bertemu Agam lagi, jika kau tidak kembali pada keluargamu. Aku tidak ingin kedua adik kembar dari pernikahanmu dan Devi punya hubungan buruk dimasa depan dengan Agam. Sikapmu ini, membuatku kembali kehilangan rasa percaya padamu. Aku, tidak sudi rujuk denganmu, Aditya." Kulihat raut wajahnya berubah drastis."Kenapa? Karena Devi mengancammu?"Aku menggeleng. "Bukan. Karena kau selalu mengingatkanku pada rasa sakit. Aku juga tidak sudi punya mertua seperti ibumu. Aku tidak bisa lupa saat dia menuduhku selingkuh, padahal dialah yang berselingkuh dengan, mertuanya sendiri," balasku mengatakan inti dari alasan penolakanku."Risa, aku hanya i-""Jika kau tidak berhenti mengusikku, maka aku akan memberitahu Agam tentang penyebab perceraian kita. Biar saja dia tahu kalau papanya suka memukuli ibunya. Itulah alasan kenapa aku membawanya pergi
Aku hanya bisa memandang taksi yang baru saja dihentikan oleh Aditya. Mantan suamiku itu sempat pamit pada Agam dengan mengatakan kalau dia harus pulang lebih dulu. Besok akan kembali menemuinya di rumah."Carisa …." Aku menoleh ke belakang dengan tatapan penuh harap."Kamu kenapa menangis?" Riswan dengan raut wajah cemasnya menghampiriku."Bagaimana bisa Kak Riswan tahu kami di sini?" Dia tersenyum menunjukkan riwayat chat dengan Tita."Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Jelas bukan debu jalanan yang membuat kamu menangis," tebaknya dan dari ucapannya itu aku tahu dia masih menunggu penjelasanku.Kuceritakan apa adanya sambil menunjuk ke arah pintu ruko di seberang jalan. Aditya saat ini menemui si pemilik ruko kosong itu. Dia berniat untuk membuka toko sembako di sana. "Memangnya dia berniat pindah dan menetap di sini? Kenapa tidak cari rumah terlebih dulu? Kasihan istri dan bayi kembarnya kalau tinggal di sana. Ruko sebelahnya itu warung 24 jam, pasti akan berisik," ujarnya denga
Benar dugaanku dia yang datang. Tita mempersilakannya masuk. Masih bisa kudengar suara Tita yang memberitahunya kalau aku di dapur.Tak berselang lama, Ibu Jannah datang mengambil bumbu yang sudah kusiapkan. Dia belum mahir membuatnya. Tita datang membawakan sebuah paper bag. Tentengan itu berisi oleh-oleh makanan khas Surabaya. Oleh-oleh yang sama seperti yang dibawanya tiga bulan lalu saat dia datang bersama ibu dan istrinya.Kubangunkan Agam yang tadinya tidur siang. Tidur sejam setidaknya cukup untuknya. Saat kuberitahu kalau papanya datang, Agam terkejut. Wajah mengantuknya pun sirna. "Papa …." Dia berlari ke pelukan Aditya. Kulihat di meja sudah ada kue dan minuman yang tersaji. Tita pamit masuk ke toko untuk melanjutkan pekerjaannya mengemas pesanan pembeli."Kenapa datang tidak bilang-bilang?" Aditya menoleh menatapku.Dia tersenyum lalu mengecup pipi Agam. "Sengaja buat kejutan untuk Agam. Agam suka tidak, sama oleh-olehnya?" Agam mengangguk mantap. Suara girangnya menyirat
"Permisi …."Seorang pria dan wanita berdiri di depan pintu toko. Aku bisa bernapas lega ketika Riswan menarik diri. Dia beranjak membukakan pintu toko dan mempersilakan mereka masuk."Mari silakan," ajak Riswan begitu ramah seolah dia pemilik toko."Sebaiknya … kita bicara di ruang tamu saja ya, Pak, Bu," pintaku. Riswan sepertinya tersadar jika mereka tamuku."Boleh," sahut pria paruh baya itu mengajak istrinya serta, lalu mengikuti langkahku ke dalam rumah."Carisa, saya pimit dulu. Saya harus kembali ke kantor," kata Riswan."Agam … Om Riswan mau pulang," panggilku.Putraku sudah melesat menghampirinya. Setelah mencium pipi kanan dan kiri Riswan, lalu beralih mencium punggung tangannya, Agam akhirnya merelakan dia pergi. Tangannya bahkan masih dadah-dadah meski mobil hitam itu sudah menghilang dari pandangan matanya."Sebentar ya, Pak, Bu. Saya ambilkan minum dulu," pamitku pada tamuku. Kupinta juga Agam memanggilkan Tita.Tadinya aku ingin DP rumah subsidi. Akan tetapi, aku meliha
Kupersilakan mereka masuk, tetapi wanita yang terkejut tadi menolak dan memilih duduk di teras. Dia kemudian meminta wanita yang datang bersamanya ikut masuk bersamaku untuk mengambil puding-puding itu. Sebenarnya siapa wanita itu? Dari gelagatnya dia mengenalku. Akan tetapi, aku merasa tidak mengenalnya.Belasan menit kemudian, puding-puding itu sudah di pindahkan ke bagasi mobil. Wanita itu mengulurkan uang pada pembantunya untuk diberikan padaku. Sebegitu tidak sukanya dia melihatku."Terima kasih, Nyonya," ucapku ketika menerima beberapa lembar uang seratus ribu rupiah."Hm."Ponselnya berdering dan ia kembali sibuk dengan ponselnya. Sementara pembantunya mengucapkan terima kasih padaku karena telah memberikan bonus dua cup puding berukuran sedang."Apa kau bisa tahu diri sedikit?" Tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan berkata seperti itu.Aku heran dengannya. "Maaf, maksud Nyonya apa?""Mulai sekarang, jauhi Riswan! Dia itu sudah dijodohkan dengan putri saya. Masa iya Farah mau p