Jangan ikutan galau ya ... doakan saja ku-update rutin. Yang baru ketemu cerita ini, kusarankan untuk baca BUKAN SEKELUMIT SESAL, biar tahu kalau dalam cerita itu ada Risa juga....
Setelah selesai mengemas pesanan mereka, kuraih ponsel dan kuperlihatkan sebuah foto. Kutunjukkan bukti penting untuk sebuah klarifikasi. Penting untuk memberikan penjelasan, bukan membiarkannya begitu saja. Virus gosip yang mengudara harus dihentikan. Tentunya dengan cara yang menyentuh akal, bukan dengan amarah yang meluap-luap. Melawan gosip itu harus dengan cara yang elegan agar mereka yang nyinyir bisa segan dan enggan kembali bergosip. Rasanya puas dengan melihat mereka lega. Padahal seharusnya di sini, akulah yang pantas menunjukkan ekspresi itu. Mereka meminta maaf sekali lagi dan berterima kasih atas pesanan mereka. Entah siapa yang sudah menebar benih gosip murahan ini? Jika aku tahu siapa orangnya, maka patut aku balas. Bukan dengan cara yang sama dan membuatku terhina. Justru sebaliknya, akan kutunjukkan bahwa meski tanpa gelar sarjana, aku tahu cara menghadapi masalah. Meski aku sendiri dan tanpa dukungan orang berkuasa, aku bisa menghadapinya. Hidup ini memang getir,
Membuat alasan tidaklah semudah saat kita memikirkannya. Merahasiakan sesuatu pun tidaklah semudah dugaan. Semakin dipikirkan justru semakin terjebak dalam keresahan. Setelah semalam berselancar di dunia maya mencari kiat-kiat menghadapi manusia julid, kini aku sudah punya cara yang patut kucoba. Sejak tadi aku diam-diam melirik ke arah Ibu Yati. Wanita bertubuh gempal itu tampak duduk termenung. Suasana kantin masih sepi karena masih pukul 09.07 WIB. Sekali lagi kutatap layar ponselku. Tiga kalimat bijak dari Lao Tsu, 'Tanggapi kemarahan dengan kebajikan. Atasi kesulitan selagi masih mudah. Tangani yang besar selagi masih kecil.' yang kujadikan wallpaper ponsel. Kugumamkan basmalah untuk menyelesaikan masalahku hari ini dan tentu saja harus dimulai dari sumber masalah. Jantungku rasanya berdetak lebih cepat. Tenggorokanku rasanya tercekat ketika beberapa orang melihatku. Kuharap pilihanku ini sudah tepat. Semakin kutunda hanya akan terus membuatku gundah. Allah tidak akan memberik
Mendengar namaku disebut tentu saja membuatku tersentak. Siapa yang datang mencariku di kantin ini? Kulihat kerumunan itu mulai bubar dan mereka seperti orang yang sibuk mencari seseorang. Diriku tepatnya. Beberapa ibu kantin menunjuk ke arahku. Wanita berambut pirang dengan baju kuning ketat membalut tubuhnya, kini memandangku. Tatapannya sungguh tidak bersahabat dan pertanda buruk bagiku. Suara ketukan high heels semakin keras terdengar seiring langkahnya menghampiriku. Ketika langkahnya terhenti, ia meletakkan tas mahalnya di hadapanku. Ibu Yati mengambil alih Agam dari pangkuanku. Seakan tidak rela berpisah dariku, Agam meronta. Kubiarkan saja putraku dibawa Ibu Yati yang menghampiri Ibu Maryam. Tidak baik jika putraku tetap bersamaku sekarang. Sembari berkacak pinggang, wanita itu berkata, "Jadi kamu cewek yang godain calon suami saya? Gara-gara kamu kan, dia putusin aku?!" Aku mengernyit dan menatapnya bingung. Tanpa ada pertanda atau penjelasan, tiba-tiba saja dia datang m
Minggu cerah dan penuh berkah. Dagangan nasi bungkusku habis. Bahkan tetangga kontrakan yang terlambat bangun pun hanya bisa memelas kala melihatku sedang beres-beres. Seno dan pacarnya adalah penyantap terakhir dan sedang duduk memangku Agam. "Makanya Tio … tidurnya jangan kelamaan, rezeki sudah dipatuk ayam duluan," sahut gadis ceriwis itu dan dibalas pemuda kamar sebelah dengan wajah manyun. "Memangnya kamu dari mana semalam? Kok pulangnya subuh?" tanya Seno kepo. Pemuda bernama Tio yang sering membawakan keripik bayamku ke warung rumah sakit dekat tempatnya kerja part time sebagai cleaning service. "Semalam ada kecelakaan beruntun dekat tol, salah satunya temanku. Kujagain sampai amma sama abbanya datang. Habis sholat subuh aku langsung tidur lagi. Kayaknya alarm ponselku kukira nyanyian nyamuk," ungkapnya yang membuat kami tertawa. "Duduk saja, kakak buatkan telur dadar, Dek." Seketika mata kuyu Tio berbinar. Pemuda 19 tahun itu memang anak rantau dari Bali. Biasanya akan min
"Kamu siapa?" tanya Aditya langsung pada pria yang sudah berdiri di sampingku. Pria yang kembali menarik tangannya yang tak disambut itu tersenyum lebar. Anehnya, dia terlihat kebingungan. Aku juga mengamatinya, mencoba mengingat di mana aku pernah bertemu dengannya? Nihil. Aku sama sekali tidak mengenalnya. "Kamu tuli? Saya tanya, nama kamu siapa? Apa hubungan kamu sama Risa? Kenapa Anda panggil dia 'Sayang'? Kalian menjalian hubungan?!" cecar Aditya yang tampak semakin kesal. "Saya tidak kenal siapa dia. Ini pertama kali dia datang ke sini," jelasku dan sejujurnya aku tidak suka dengan tatapannya. Melihat dia masih tersenyum santai, aku berujar, "Maaf, nasi bungkusnya sudah habis, silakan datang kembali pekan depan!" "Kamu tidak perlu mengingkariku di depan mantan suamimu, Risa. Kita juga tidak perlu menyembunyikan hubungan kita. Toh kamu janda dan saya duda," pungkasnya melantur. Aku terperangah dengan ucapannya yang konyol. Pria yang mengenakan jaket hitam itu mengaku namany
"Katakan saja kalau Anda akan menagih pada anak, suami atau mertuanya. Kalau dia benar-benar menolak, minta saja pada keluarganya dan ceritakan apa yang terjadi. Kalau tidak ada yang percaya, katakan bahwa Anda punya banyak saksi. Di sini pasti banyak yang bersedia jadi saksi Anda jika Anda sedikit berbagi dengannya," terangku sembari melirik kerumunan orang-orang. Aku melangkah mundur dan dia berlalu. Dengan susah payah dia menegakkan motornya karena terus saja menatapku. "Ingat, minta ganti rugi lima kali lipat atau Anda akan dipenjarakan! Kalau Anda berani menipu saya, saya pastikan motor cicilan ini raib." Pria itu mengangguk sebelum melesat dengan motornya. Kubayangkan wajah kesal mantan ibu mertuaku saat ditagih uang sepuluh juta rupiah. Dia juga pasti akan ketar-ketir jika ketahuan menggunakan terlalu banyak uang dalam waktu dekat. Kepalanya pasti pusing memikirkan banyak alasan kebohongan. Jika tidak, maka ia harus menjual perhiasannya. "Apa Anda sekalian masih ingin di sini
Berhembusnya fakta tentang status Risa yang ternyata seorang janda muda mengundang masalah baru. Dagangan keripik dan sambalnya yang dipajang di lemari etalase belakangan ini ramai dibeli saat malam hari. Anehnya yang membeli kebanyakan pria. Ibu Hana dan Ibu Lia kadang heran sendiri. "Kamu masuk saja sama Agam. Biar nanti kami yang tunggu jualannya," tutur Ibu Lia saat ada dua orang pria yang sedang mampir membeli keripik. Mereka dilayani oleh Ibu Hana yang sedang menerima lembaran uang dari pembeli untuk mengemas beberapa bungkus keripik bayam. "Neng Risa, saya sering beli keripik kok tidak disapa?" tanya salah seorang pria yang lengan kanannya penuh dengan tato. "Masih jual mahal, Dung. Kalau sama kamu sih … dia masih mikir. Mending dia jadi istri kedua saya. Iya kan, Dek Risa?" ujar pria yang lebih tua sambil mengusap kumis kebanggannya. Sembari menunggu uang kembaliannya, pria berkumis itu menghampiriku. Tanpa dipersilahkan dia duduk di salah satu kursi plastik. Kini dia terl
"Ya untuk jadi calon suaminya Neng Risa," jawab pria yang bertato dengan entengnya. Jawabannya membuat kami bertiga melongo. "Pasti pilih saya lah … di sini, saya yang paling kaya," sahut pria yang berkepala botak. Di sampingnya ada pria yang tampak lebih muda menggeleng sambil tertawa. Dia berkata, "Risa pasti pilih saya, saya masih muda, single dan saya sudah PNS." "Alah … gajimu jadi PNS cuma berapa juta sebulan? Cuma cukup bayar cicilanmu. Saya tiap bulan penghasilannya belasan juta. Dia pasti pilih saya. Apalagi di sini, saya yang paling tampan dan tinggi," sindir pria yang mengenakan peci sambil memamerkan benda dengan sulaman benang keemasan di penutup kepalanya. Aku terhenyak melihat kelima pria itu. Masalah apalagi ini? Ingin rasanya mereka berlima kusiram air got agar segera pergi dari sini. "Jadi kalian merasa sebagai kandidat calon suami? Begitu?" tanyaku tanpa menambahkan sapaan sopan. Kehadiran mereka membuat darahku semakin mendidih kala melihat senyum tanpa dosa