Mas Adi diam. Bibirnya terus dikulum sampai membentuk garis tipis. Setakut itukah dia jujur?Kaki ini maju selangkah mendekati kursinya. Kulihat jakunnya naik turun, seperti sedang menelan kerikil saja sampai segitu sulitnya menjawab. Urat lehernya mulai menegang, begitu juga bahunya. Kuusap bahunya dan Mas Adi mendongak menatapku."Tidak masalah siapa yang berkeinginan, tapi kalau bisa … sebagai laki-laki kamu berpikir, Mas. Kalau kamu di posisiku, apa kamu sanggup seatap dengan laki-laki yang kubawa masuk ke rumah ini meski dia berstatus suamiku? Jika aku berstatus janda, itu artinya aku juga bisa menikah dengan siapa pun, bukan?" sindirku telak. Wajahnya memerah dan aku berlalu masuk ke kamar. Kukepalkan tangan dan meremas udara kosong. Bersandar di balik pintu, kupindai kamar kami. Kamar dan ranjang pernikahanku dengannya. Sebentar lagi semua itu akan berganti pemilik. Tiba-tiba saja muncul ide untuk membalas Devi. Sebelum itu aku harus meminta tolong pada seseorang. Semoga saja
Alunan musik dangdut masih dilantunkan oleh salah seorang penyanyi. Bukan oleh seorang biduan yang mengenakan pakaian seksi, tapi salah seorang penyanyi dari ajang pencarian bakat. Biasanya warga desa hanya melihatnya dari layar televisi, tapi khusus hari ini dihadirkan sebagai salah satu tamu.Awalnya aku sudah berniat meninggalkan desa ini. Setelah mendengar jawaban Mas Adi malam itu, tekadku semakin bulat. Rasanya aku lelah menunjukkan senyum kepalsuan pada para tamu. Ternyata permintaan malam itu adalah permintaan Devi. Wanita itu pasti mau pamer desahan malam pertama pernikahannya padaku.Ada yang menatapku heran. Tak sedikit yang menunjukkan raut prihatin. Yang membuatku kesal malah ada beberapa di antara mereka yang berbisik tidak sopan dengan mengatakan kalau sedang menunggu status jandaku. Mungkin saja kabar perceraianku sudah tersebar.Devi ternyata tamak juga. Selain merebut Mas Adi, dia juga berusaha membuatku malu di acara ini. Dengan mudahnya ia memberi penawaran yang su
Tiba di terminal Kota Kediri, kulihat Mas Dadang dan Mbak Hera yang melambai ke arahku. Perjalanan selama beberapa jam itu sama sekali tidak terasa lama bagiku. Mungkin karena aku sibuk memikirkan banyak hal."Kemarin itu mertua mbak masuk rumah sakit, jadinya cuma Mas Dadang yang ke sana. Itu pun cuma sebentar. Maaf ya, kami tidak bisa jemput kamu di sana," ungkap Mbak Hera setelah mengurai pelukannya. Lingkaran hitam di bawah matanya seakan menjelaskan jika belakangan ia pasti kurang beristirahat. Setahuku hubungan Mbak Hera dengan mertuanya sangat baik, dia menjadi kesayangan seolah putri sendiri. Mungkin karena wanita bertubuh mungil ini dicintai dengan tulus oleh suaminya."Tidak apa, Mbak. Untuk apa juga repot menjemput? Kalian menjemput di terminal ini saja pastilah sudah sangat merepotkan," ujarku merasa berat hati.Mbak Hera menggeleng lalu berbisik, "Tidak berat setelah dengar kabar kalau pengantin baru di sana habis dimarahi kakek. Kamu tahu, senang sekali rasanya dengar A
Jantungku kembali berdegup kencang. Darahku mulai berdesir kala kurasakan bayiku ini seakan bersemangat untuk lahir ke dunia. Rasanya memang sangat sakit. Aku tak berkata apa pun, tak juga merintih. Aku hanya tahu kalau aku bahagia. Sebentar lagi aku takkan sendirian di dunia ini.Kuitari tempat tidurku berkali-kali. Sedikit takut melangkah jika tidak berpegang. Aku takut jatuh seperti dulu. Teringat dengan bosku dan karyawan tempat londry, kuraih kembali ponsel dalam tasku. Kuhubungi wanita itu dan mengabari kondisiku yang mulai membaik. Kusampaikan ucapan terima kasihku karena mereka telah membawaku ke rumah sakit. Wanita itu kembali memberikan beberapa wejangan berdasarkan pengalaman saat dia akan melahirkan dulu.Sejam kemudian Mbak Hera datang bersama Mas Dadang. Mereka cukup lama karena mampir membeli selimut dan tiga pasang pakaian bayi. Pilihan Mas Dadang semua warna putih, katanya tidak tahu calon keponakannya laki-laki atau perempuan jadinya beli yang warna netral saja. Unt
Akta ceraiku dengan Mas Adi baru saja kuterima. Masih kuingat dia datang ke pengadilan bersama istri barunya ditemani mantan ibu mertuaku. Mereka percaya jika anak yang kulahirkan adalah seorang putri. Tidak sulit mengelabui mereka dengan memakaikan putraku selimut bayi berwarna pink bermotif stroberi. Bukan hanya itu, aku turut mendandaninya dengan dress bayi berwarna putih dan bandana pita. Aku sempat ketakutan jika Mas Adi atau Ibu Eda menyadari jika bayiku laki-laki. Untung saja Mbak Hera dan Mas Dadang bisa mengalihkan perhatian mereka dengan bertanya tentang acara empat bulanan Devi.Allah telah mengabulkan doaku. Putraku lahir dengan wajah yang mirip denganku. Walau tak kupungkiri jika hidungnya mirip dengan mantan suamiku. Setidaknya terlihat mancung.Sudah dua bulan aku resmi menyandang gelar janda. Sedikit risih ketika beberapa tetangga mulai menanyakan tentang niatku membina kembali sebuah rumah tangga. Anehnya bukan para pria lajang yang banyak tanya, melainkan ibu-ibu ya
Aku tahu wanita itu masih memiliki rasa bersalah karena sikap keluarganya. Awalnya ia tidak percaya saat kuceritakan tentang kakek yang menyogokku dengan banyak uang agar mengizinkan Aditya menikah lagi. Sampai akhirnya suaminya sendiri yang menceritakan sikap kakek yang tiba-tiba berubah dengan mengundang artis dalam acara resepsi pernikahan Aditya dan Devi. Dalam acara resepsi itu, tidak tampak sedikit pun penyesalan di wajah tuanya. "Aku baik-baik saja, Mbak. Aku tidak lemah walau aku sendirian dan berstatus janda. Tubuhku juga kecil, ya … walaupun sedikit lebih tinggi dari Mbak," candaku sembari mengusap pipi. "Itu amanah dari Om Hendra. Kalau kamu tidak mau menggunakannya sekarang, tabung saja. Bagaimanapun, Om Hendra itu kakeknya Agam. Agam berhak menerima pemberian dari kakeknya," ungkap Mas Dadang yang bersandar di pintu kamar. "Kalau saja kalian maupun beliau tahu yang sebenarnya, mungkin mantan ayah mertuaku itu juga akan enggan memberikannya," batinku pasrah. Kalau sud
"Aduh … lucunya. Namanya siapa?" Kali ini putranya yang bertanya. "Agam." "Kalau kamu, Nak?" "Carisa, Bu. Panggil saja Risa." Ibu Maryam mengangguk lalu berujar, "Agam Pangeran Kecil Carisa. Kamu kuliah atau kerja, Nak?" "Mau kerja, Bu. Rencananya mau jualan di kontrakan ini. Anak saya masih kecil, belum bisa saya bawa ke sana kemari." Mereka mengangguk paham. Kami berbincang dan dari mereka berdua aku tahu banyak hal. Termasuk penjual sayur keliling yang membawa dagangannya dengan mobil. Ideku untuk menjual nasi bungkus disambut baik oleh mereka. Aku pun baru tahu kalau mereka menjalankan usaha gorengan yang cukup besar karena memiliki lima orang pegawai. Kebanyakan penghuni sekitar adalah mahasiswa dan karyawan kantor yang lebih memilih membeli makanan siap santap. Walau keuntungannya tidak banyak, setidaknya cukup untuk kebutuhanku dan Agam. Jika nanti Agam sudah bisa duduk atau berjalan, aku bisa memikirkan usaha lain. Malam harinya setelah menidurkan Aidan, aku mengambil
Baru saja selesai mandi, kini pikiran dan tubuhku kembali segar. Suasana kontrakanku juga sudah lebih tertata dan enak dipandang mata. Kemarin sebelum mereka pamit, Seno diminta ibunya memasangkan wallpaper di dinding kamar dan ruang tamu. Kontrakanku sudah mulai tampak berbeda dari sebelumnya. Setelah panggilan telpon dari Aditya semalam, kuputuskan untuk mengabaikannya. Kusambut pagi pertamaku dengan semangat baru. Pagi ini aku mengajak Aidan berjemur sebentar di teras. Di depan rumah ada beberapa wanita yang sedang membeli sayur. Mereka semua ramah dan lebih cenderung membahas Agam. Bayiku memang menggemaskan, terutama saat kaki dan tangannya yang terus digerakkan seolah ingin menggapai sesuatu. Sesekali Agam menoleh saat ada kendaraan motor yang lewat. Aku senang karena itu pertanda ia mulai merespon sekitarnya. "Tinggal berdua saja sama bayinya, Dek?" tanya salah seorang tetangga. "Iya, Bu." Kujawab seadanya dan mereka tidak bertanya lebih lanjut. "Saya pikir kemarin yang
Hari sudah malam, tapi pria ini belum juga beranjak. Ia masih menikati memeluk Agam yang sudah pulas. Seharian ini putraku sudah banyak beraktivitas. Wajar jika Agam kelelahan dan kini merajut alam mimpi.Puas menemani Agam mencoba berbagai wahana. Jajanan di taman bermain ini pun tak mampu lewatkan.Dari interaksi dua pria berbeda generasi itu, aku pun bisa sedikit menerka. Obrolan mereka di telpon sebelumnya, salah satunya adalah membahas jalan-jalan ke taman bermain ini.Kalau aku sendirian yang membawa Agam ke sini, kuakui tidak akan sanggup. Dia itu hiperaktif dan jelas aku akan kewalahan. Hal baru yang dilihatnya, pasti ingin dicoba.Naik komedi putar saja aku takut, apalagi bianglala. Namun, kehadiran pria ini seakan memberikan jaminan rasa aman.Entah aku yang bodoh, atau memang dia yang pandai mengubah pikiran orang lain. Harus kuakui, kemampuannya berkomunikasi sangat handal. Kata-katanya penuh sugesti untuk membuat orang lain percaya dengan akal sehatnya.“Apa saya boleh be
Aku kira, hanya Agam yang merindukan Riswan. Namun, waktu beranjak dan malah membuatku bertanya-tanya. Ada apa denganku?Mengapa wajah dan suara pria itu sesekali hadir? Mengapa aku merasa penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya? Ini lucu bukan?Tak memiliki siapapun berbagi masalah hati. Tadinya aku ingin bercerita pada Tita. Namun, kuurungkan mengingat dia pasti akan meledekku tanpa henti.Aku terjebak dalam labirin tentangnya. Ketidakhadirannya beberapa waktu ini mengundang hadirnya kenangan. Tanpa kusadari, saat-saat bersamanya menyimpan kesan khusus di hati.Kucoba membuka sosial media. Barangkali ada hal yang bisa kulihat tanpa sengaja. Tak sengaja tapi niat banget. Aku memang aneh.Aneh karena aku seperti menyusuri lorong panjang. Aku menanti bersama bayang-bayang. Rasanya ada berat menindih dada.Agam sudah pulas. Tita mengajaknya ke mall dan bermain hingga puas. Gadis itu juga sedang memberikan dirinya reward untuk bulan ini karena jualan produknya mencapai target.“Aya
Suara klakson mobil Riswan menyapa gendang telingaku. Pagi ini dia datang untuk mengantarkan Agam ke sekolah. Bukan tanpa alasan, besok malam pria itu akan ke Singapura selama dua pekan. Itu berarti, selama itu ia tidak akan bertemu Agam.Putraku seperti memiliki stok energi yang terisi penuh. Binar matanya tampak begitu ceria. Seakan-akan mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.Entah apa yang dibisikkan Agam pada pria berdasi biru tua itu. Tak lama kemudian, mereka sama-sama mengangguk. Aku jadi seperti obat nyamuk di antara mereka."Semalam kamu ingin bilang apa, Carisa?" tanyanya yang akhirnya menoleh padaku.Aku jadi bingung bagaimana harus menjawabnya. Kuletakkan botol air minum Agam di dalam tasnya. Lidahku seakan tak bertulang."Kalau kamu lupa, chat saja nanti kalau kamu sudah ingat," sambungnya karena aku masih meragu.Hanya sekilas ia menatapku lalu kembali fokus memperhatikan putraku. Bagi Riswan, Agam seperti magnet yang selalu menariknya.Agam masih sibuk memasang
Setelah dua hari menikmati liburan di pulau, kami kembali ke Makassar. Keesokan harinya, aku dan Agam menemani Aditya membeli oleh-oleh. Mantan suamiku itu awalnya terkejut, namun ketika kulirik Agam, dia pun paham.Aditya begitu tersentuh ketika Agam mengatakan jika uang celengannya masih sedikit. Uangnya tidak akan cukup untuk membeli dua pasang baju. Jadilah dia hanya memilih dua bando karena menolak saat aku menawarkan untuk menambahkan uangnya.Sepulang dari pulau, Agam juga ikut menginap bersama Aditya. Dia juga sengaja memintakan izin untuk tidak masuk sekolah selama dua hari. Hari Selasa sore, Aditya datang bersama Riswan dan Agam. Sore ini kami akan mengantar Aditya ke bandara. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat keakraban dua pria itu."Agam ingat waktu ketemu Om Liswan di bandala dulu. Agam nda jadi naik pesawat. Agam sama ibu naik kapal laut," ujar Agam ketika kami mampir di sebuah kafe bandara."In sya Allah kalau kita ke Surabaya, Agam akan naik pesawat. Bukannya Agam
Kualihkan pandanganku ke arah laut. Kilau indah di permukaan air sana mempesona. Tak lama lagi, akan terlihat matahari tenggelam yang tak kalah indahnya."Kau benar. Selama ini aku selalu terhasut kata-kata ibuku. Ayah bahkan pergi meninggalkan kami setelah tahu perselingkuhan ibu dan kakek. Sama seperti yang kau lakukan dulu." Dia meliriku.Aku tidak menampik maupun mengakuinya dengan lidahku. Kuyakin dia sudah menyadarinya. "Kini aku mengerti mengapa sejak kembali dari rumah sakit, kau tidak pernah menunjukkan sopan santun lagi pada kakek." Kubalas tatapannya dengan anggukan pelan. Aku akui jika sudah lama mengetahuinya. Alasan itulah yang membuatku berani membawa anakku jauh dari orang-orang seperti mereka. Lingkungan yang rusak tidak akan baik untuk anakku.Aku bukannya tidak berharap mereka bisa berubah. Hanya saja aku sadar, itu hal yang sulit. Aku tahu, aku tidak memiliki kemampuan untuk membuat mereka bertobat."Devi juga sama. Sejak dia melihatnya, dia mulai mengacuhkan ibu.
Pertanyaannya malam itu kini terjawab sudah. Setelah menjelaskan tentang janjinya pada Agam, Riswan menunjukkan foto di layar ponselnya. Aku dan Aditya akhirnya mengangguk setuju dengan ajakannya. Akhir pekan ini terasa berbeda. Aku dan Aditya pun sama-sama menepis ego. Apalagi alasannya jika bukan demi Agam. Ketika Aditya menelpon Agam, mengatakan jika Riswan mengajak mereka ke pantai, Agam langsung mau ikut. Aditya memintanya mengajakku seolah-olah aku tidak tahu. Ketika aku setuju, Agam tampak begitu bahagia. Begitu juga halnya dengan Tita.Sama seperti Agam, gadis itu juga sibuk packing. Katanya, di sana dia akan membuat banyak foto dengan beberapa outfit yang khusus dibawanya. Tidak ketinggalan si Moi. Omong-omong, itu nama kameranya.Di atas kapal yang menampung lebih dari 20 orang, aku duduk menikmati angin laut. Aroma khas air laut yang terbawa akan jadi satu kenangan untukku. Ini pertama kalinya aku naik kapal seperti ini. Dulu saat kabur, aku dan Agam naik kapal yang lebih
'Rawatlah ikhlas dalam hatimu, biarkan seorang ayah bertemu putra kandungnya. Mungkin setelah itu … kamu tidak akan lagi hawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang selama ini membayangimu. Termasuk dengan kemungkinan perasaanmu yang akan kembali terluka.'Aku sudah melakukan seperti sarannya. Aku ikhlas dan mengizinkan Aditya bertemu dengan Agam, bahkan keluarganya pun ikut datang. Namun balasan yang kuterima adalah rasa sakit. Dia malah datang membawa niatan baru untuk rujuk. Membuatku seperti wanita penggoda suami orang. Dia bodoh atau bagaimana? Bagaimana bisa dia berpikir aku mau menelan luka?'Memang tidak mudah, mungkin juga akan menyakitkan. Cobalah, mungkin sakitnya hanya sebentar, karena yang saya tahu … setiap rasa sakit selalu ada obatnya. Obat yang paling ampuh adalah … memaafkan.' Lagi-lagi kalimat yang pernah dituturkan Riswan terngiang. Benarkah rasa sakitnya hanya sebentar? Sebentar itu … berapa waktu yang harus kulalui untuk bisa bertahan?Sambil menata kembali jilb
Lelah dan jengah dengan sikap Aditya, aku akhirnya tiba di penghujung kesabaranku. Dua pekan ini dia benar-benar mengujiku."Aku tidak akan membiarkanmu bertemu Agam lagi, jika kau tidak kembali pada keluargamu. Aku tidak ingin kedua adik kembar dari pernikahanmu dan Devi punya hubungan buruk dimasa depan dengan Agam. Sikapmu ini, membuatku kembali kehilangan rasa percaya padamu. Aku, tidak sudi rujuk denganmu, Aditya." Kulihat raut wajahnya berubah drastis."Kenapa? Karena Devi mengancammu?"Aku menggeleng. "Bukan. Karena kau selalu mengingatkanku pada rasa sakit. Aku juga tidak sudi punya mertua seperti ibumu. Aku tidak bisa lupa saat dia menuduhku selingkuh, padahal dialah yang berselingkuh dengan, mertuanya sendiri," balasku mengatakan inti dari alasan penolakanku."Risa, aku hanya i-""Jika kau tidak berhenti mengusikku, maka aku akan memberitahu Agam tentang penyebab perceraian kita. Biar saja dia tahu kalau papanya suka memukuli ibunya. Itulah alasan kenapa aku membawanya pergi
Aku hanya bisa memandang taksi yang baru saja dihentikan oleh Aditya. Mantan suamiku itu sempat pamit pada Agam dengan mengatakan kalau dia harus pulang lebih dulu. Besok akan kembali menemuinya di rumah."Carisa …." Aku menoleh ke belakang dengan tatapan penuh harap."Kamu kenapa menangis?" Riswan dengan raut wajah cemasnya menghampiriku."Bagaimana bisa Kak Riswan tahu kami di sini?" Dia tersenyum menunjukkan riwayat chat dengan Tita."Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Jelas bukan debu jalanan yang membuat kamu menangis," tebaknya dan dari ucapannya itu aku tahu dia masih menunggu penjelasanku.Kuceritakan apa adanya sambil menunjuk ke arah pintu ruko di seberang jalan. Aditya saat ini menemui si pemilik ruko kosong itu. Dia berniat untuk membuka toko sembako di sana. "Memangnya dia berniat pindah dan menetap di sini? Kenapa tidak cari rumah terlebih dulu? Kasihan istri dan bayi kembarnya kalau tinggal di sana. Ruko sebelahnya itu warung 24 jam, pasti akan berisik," ujarnya denga