Ibu mertuaku yang tadinya berlutut kini bersimpuh di lantai sembari menggeleng pelan melirik suami dan mertuanya. Terhenyak memikirkan nasib yang bahkan belum ditanggapi oleh suaminya sendiri. Raut wajahnya kian mengiba. Sungguh dia wanita luar biasa, tidak rela dimadu tapi tega berselingkuh.
"Mas mau jemput sendiri atau minta orang lain yang ke sana dan mereka mulai bertanya-tanya? Melibatkan orang lain hanya akan menjadikan kita semua ini bahan gibah." Kembali kuingatkan Mas Adi agar segera bergegas ke rumah kepala desa.
Melihat anggukan kakek, Mas Adi beranjak walau kulihat dia seakan enggan. Semakin didesak maka mereka akan semakin kalut. Jika kutunda, mereka hanya akan menyusun rencana dan berbalik menuduhku.
Bukan berburuk sangka, hanya saja setahun mengenal mereka aku tahu kemungkinan yang dipikirkan kakek. Pria tua ini akan menyogok kepala desa. Akan kupuji kakek jika hal itu berhasil.
Terdengar suara mobil di halaman depan. Kami semua menoleh dan penasaran siapa gerangan yang bertamu siang ini? Dari jendela kutahu itu mobil yang cukup mewah dan keluaran baru yang muncul di televisi.
"Hen, bawa masuk uang itu. Kalian bertiga juga ikut masuk, itu tamuku yang dibawa Dadang," kata kakek yang memberi perintah disertai arahan dagunya.
Aku masuk ke kamar Mas Adi dan langsung mengunci kamar. Kusandarkan tubuh lelah ini di balik daun pintu berbahan jati itu. Suara salam tamu dan Mas Dadang, sepupur iparku menyapa rungu. Penasaran, kudekatkan daun telinga ke pintu.
"Kabar Kakek bagaimana? Kakinya masih sering kram?" tanyanya yang kudengar beriringan dengan suara kantong kresek. "Ini salak yang dipesan khusus sama cucu Kakek, kata dokter berkhasiat mengatasi diabetes. Tadi kami ke rumahnya Adi, Kek. Tetangganya bilang lihat mobilnya Adi ke arah sini, jadi saya pikir pasti ke rumah Kakek." Suara Mas Dadang seperti biasa terdengar sopan.
"Iya, memang mereka ke sini. Istrinya kan sempat dirawat di rumah sakit, kami minta mereka tinggal di sini dulu sampai cucu menantu benar-benar pulih," timpal Tuan Santoso. Pandai sekali kakek bermain kata, kini terdengar begitu bersahaja.
Entah apa yang mereka lakukan aku tak tahu. Samar suara ayah mertuaku turut menyapa mereka. Suara ibu mertua tidak terdengar, mungkin sengaja bersembunyi di kamar karena matanya sembab. Pasti Mas Dadang akan bertanya penyebabnya dan dia tidak ingin repot menjawabnya.
"Kenalkan, ini putra pemilik restoran di Surabaya. Tiga bulan ini restoran mereka yang di mall selalu pesan daging sapi sama saya, Paman, Kakek," jelas Mas Dadang.
"Ini kartu nama saya, restoran kami memang masih baru di Surabaya. Saya butuh pasokan daging segar yang terjamin mutunya. Mas Dadang mengajak saya untuk meninjau langsung dan memilih sesuai kriteria," jelasnya tenang dan dari suaranya kutaksir dia pria yang masih muda tapi berwibawa. Dia tidak berbasa-basi dan langsung mengutarakan niatnya.
"Saya sudah dengar kemarin dari Dadang. Peternakan keluarga kami memang memiliki beberapa kandang dan dikelompokkan berdasarkan jenis sapi dan jenis pakannya. Kita bisa mengecek langsung ke sana. Anda juga bisa menentukan sapi-sapi mana yang dikhususkan untuk dikirim ke Dadang. Nanti di tempatnya Dadang, sapinya dipotong dan diantarkan ke restoran," jelas Tuan Santoso yang pamit sejenak, sepertinya beranjak untuk bersiap-siap.
Pembicaraan tamu itu dengan Mas Dadang dan ayah mertuaku beralih pada jenis menu yang disajikan di restorannya. Tiba-tiba tamu itu pamit hendak mengambil sesuatu di mobilnya. Aduh … ingin sekali aku minta tamu itu bicara terus karena aku menyukai caranya bertutur kata.
Kudengar ayah dan Mas Dadang berbincang sejenak. Mas Dadang membahas tentang kedekatan Mas Adi dan Devi yang ternyata sudah jadi buah bibir di kecamatan sebelah. Mas Dadang ternyata mendengarnya dari salah satu kurir usaha ayam potong milik Mas Adi.
"Pak Hendra, ini dibuat khusus untuk menantu Anda. Setelah mendengar kabar dari Mas Dadang kalau menantu Anda sedang hamil, saya minta koki restoran untuk membuatkan menu ini. Kandungannya kaya akan asam folat dan baik untuk perkembangan janin," ucap tamu kakek yang membuat air mataku luruh seketika.
Pria asing itu begitu perhatian sampai memikirkan gizi janin dalam kandunganku. Sementara ayahnya sendiri sama sekali tidak peduli aku makan atau tidak. Jangankan memastikan soal gizi, bertanya apakah aku sudah makan atau belum, tidak pernah lagi dilakukan suamiku.
Suara ketukan pintu membuatku tersentak. Di balik pintu ada ayah yang memintaku keluar. Daun pintu mulai kutarik dan yang pertama kali kulihat adalah kotak makanan yang menyerupai rantang kotak. Ada tiga susun dan benda berwarna abu-abu itu semakin mendekat ke arahku.
"Masuklah ke dapur, Nak! Nikmati makan siangmu. Memang sudah waktunya kamu makan siang dan harus minum obat dari dokter kandunganmu. Ingat, lakukan yang terbaik untuk cucu ayah," pintanya. Kuterima kotak makanan itu sembari mengangguk.
Tidak dipungkiri, perutku memang sudah lapar. Selain berbadan dua dan butuh asupan lebih, tenagaku terkuras karena stres. Ketika kubuka masing-masing tiga susun kotak makanan itu, air mataku kembali jatuh.
Baik sekali pria itu menyiapkan menu lezat bergizi ini. Ada olahan daging dengan bumbu yang menggugah selera dan ada sup brokoli. Kotak dengan bahan stainless di bagian dalamnya membuat makanan itu masih tetap hangat. Senyumku terbit merasakan lidahku mengecapi rasanya yang lezat.
Di kotak paling bawah ada puding dengan aneka potongan buah segar. Sungguh makanan itu rasanya terlalu mewah untukku. Baru kusadari setelah penutup kotaknya kubalik, ada nama koki yang membuat makanan itu. Kelak jika aku ke Surabaya, akan kucoba walau sekali saja untuk menikmati menu ini lagi.
Samar masih kudengar suara mereka di ruang tamu. Tampaknya kakek sudah selesai berganti pakaian. Ingin rasanya mengucapkan terima kasih secara langsung pada putra pemilik restoran itu, tapi makananku belum habis. Kuharap rezekinya terus bertambah dan menebar kebaikan seperti ini.
Mulai besok aku juga akan mengupayakan gizi terbaik untuk janin dalam kandunganku. Oleh-oleh bergizi ini sudah menjadi petunjuk bagiku. Bukan hanya egoku untuk berpisah yang harus kuwujudkan, tapi hak anakku pun demikian. Aku harus belajar mengontrol emosi agar ia tetap sehat.
"Bagaimana, Nak? Apa rasanya enak?" tanya ayah yang datang menghampiri dan ikut duduk di meja makan.
Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum karena mulutku penuh. Kutawarkan ayah puding yang belum kusentuh tapi ia menolaknya. Katanya itu jatah puding untuk cucunya.
Kembali kulihat raut sendu di wajahnya. Kelak jika Mas Adi menua, wajahnya pasti sangat mirip dengan ayah mertuaku ini. Foto hitam putih saat ayah masih kecil sangat mirip dengan foto Mas Adi saat masih SD.
"Ayah minta maaf karena putra ayah sudah menyakitimu, Nak," ucapnya parau ketika aku sudah menghabiskan dua kotak menu di hadapanku.
"Tidak ada yang perlu disesali Ayah. Dulu saat aku dan Mas Adi menikah, bukankah caranya memang sudah tidak wajar? Aku tahu jika ibu tiriku menjualku pada Kakek," ujarku yang membuatnya tersentak.
"Ka-kamu tahu? Sejak kapan? Si-siapa yang memberitahumu, Nak?" tanya ayah gelagapan.
***
"Nak? Risa?" Rasa penasaran ayah menuntut jawaban.Aku hanya mengulas senyum tipis. Dari Bi Uma kutahu jika ibu mertuaku sangat membenci ibu tiriku karena selalu menganggap ayah mertuaku ini menyukainya. Padahal yang kupahami, ayah hanya kasihan padanya yang seorang janda tanpa penghasilan yang menentu. Mungkin ibu tiriku juga tertekan dan menjadikanku jaminan atas pinjamannya pada kakek. Awalnya aku hanya bekerja paruh waktu dengan menjadi karyawan pom bensin. Selebihnya membuat kue dan keripik yang kutitipkan di warung. Ketika melihat surat perjanjian antara ibu tiriku dengan kakek, aku merasa seperti barang yang dijual."Masuklah ke kamar dan beristirahat. Adi baru saja kirim pesan kalau kepala desa masih rapat di kantornya. Mungkin sejam atau dua jam kemudian baru mereka datang. Selain itu, kita juga harus menunggu kakek," kata ayah yang juga beranjak ke kamarnya. Kurebahkan tubuh ini setelah memasang alarm di ponsel. Rasanya tidak sabar menunggu sore. Aku tidak sepenuhnya yakin
"Sebelum memutuskan untuk bercerai, pahami dulu hukumnya," ucap Pak Karto mengulas senyum. Entah apa makna senyumnya itu, yang jelas aku merasa was-was karena takut pria itu mempersulitku.Pak Karto mengangguk dan aku merasa puas melihat wajah Mas Adi pias. Luntur sudah rencananya yang hendak menjadikan Devi maduku. Dasar pria serakah, mau punya dua istri tapi mengurus satu istri saja tidak mampu. Pak Karto yang menjabat sebagai kepala desa kami adalah satu guru swasta yang mengajar di pondok pesantren di kampung sebelah. Alasan itulah mengapa pria itu yang kuminta menjadi saksi. Pengetahuannya jauh lebih banyak dan karakternya yang tidak pilih kasih pada siapa pun membuatku tenang.Pak Karto mulai menjelaskan beberapa hukum talak. Ada talak sunni yang sesuai prosedur syariat dan talak bid'i yang tidak sesuai prosedur syariat. Ada beberapa undang-undang dan pasal yang disebutkan Pak Karto dan juga ayat Al-Quran. "Menalak istri yang sedang hamil itu boleh dan hukumnya sah. Sesuai den
Setelah talak satu yang diucap Mas Adi kemarin sore, suasana pagi ini menjadi canggung. Meski begitu aku tetap menyiapkan kebutuhannya. Pakaian, makanan untuk sarapan dan alas kakinya yang kuselipkan kaos kaki. Pria itu kadang merusak susunan pakaian yang rapi dan mengobrak-abrik isi boks.Semalam ia tidur di kamar tamu dan aku di kamarnya. Ayah mertuaku meminta kami tinggal di rumah ini untuk sementara waktu. Mungkin takut jika putranya kembali menganiaya diriku.Kulihat dia masuk ke kamar dan langsung bergegas ke kamar mandi. Kubiarkan saja dan aku yang keluar kamar dan memilih ke halaman samping. Di sana ada beberapa sayuran yang setahuku pernah ditanam oleh Bu Uma. Walau menjadi cucu menantu, aku tidak pernah membiarkan pembantu yang lain melayaniku."Neng Risa cari apa?" tanya Bu Romlah, wanita yang juga salah satu pembantu di rumah ini.Tubuhnya yang tambun membawa sebaskom besar pakaian yang telah dicuci. Dia hendak menjemur pakaian yang sepertinya milik ibu mertuaku. Pakaian m
Jika sebulan lalu ia menyiksaku dengan kejam, kini sikapnya yang melemah ini turut menyiksaku. Aku jadi serba salah dibuatnya. Setelah memelukku dulu di depan Pak Karto dan keluarganya, akhirnya dia mengucapkan talak satu itu.Jika saja aku masih mengharapkannya, mungkin aku akan bersikap berbeda dan luluh memaafkannya. Dia seolah mengalami patah hati, menjadi sosok yang sakit hatinya. Bukankah seharusnya dia bahagia karena seminggu lagi dia akan menikah dengan selingkuhannya?Berita pernikahan Mas Adi dengan Devi memang sempat membuat gempar. Banyak yang ingin tahu pendapatku. Tidak ssdikit pula yang lebih penasaran dengan alasan mereka menikah. Ibu Romlah sebagai penyambung tali informasi turut memberikanku kabar. Ibu-ibu di pasar juga kadang bergosip tentang pernikahan mereka yang mendadak bahkan disaat aku hamil. Namun seperti dugaanku sebelumnya, lidah mertuaku punya andil. Dalam beberapa hari terakhir kembali beredar gosip baru. Kabarnya jika sebelum aku dan Mas Adi dinikahkan
Mas Adi diam. Bibirnya terus dikulum sampai membentuk garis tipis. Setakut itukah dia jujur?Kaki ini maju selangkah mendekati kursinya. Kulihat jakunnya naik turun, seperti sedang menelan kerikil saja sampai segitu sulitnya menjawab. Urat lehernya mulai menegang, begitu juga bahunya. Kuusap bahunya dan Mas Adi mendongak menatapku."Tidak masalah siapa yang berkeinginan, tapi kalau bisa … sebagai laki-laki kamu berpikir, Mas. Kalau kamu di posisiku, apa kamu sanggup seatap dengan laki-laki yang kubawa masuk ke rumah ini meski dia berstatus suamiku? Jika aku berstatus janda, itu artinya aku juga bisa menikah dengan siapa pun, bukan?" sindirku telak. Wajahnya memerah dan aku berlalu masuk ke kamar. Kukepalkan tangan dan meremas udara kosong. Bersandar di balik pintu, kupindai kamar kami. Kamar dan ranjang pernikahanku dengannya. Sebentar lagi semua itu akan berganti pemilik. Tiba-tiba saja muncul ide untuk membalas Devi. Sebelum itu aku harus meminta tolong pada seseorang. Semoga saja
Alunan musik dangdut masih dilantunkan oleh salah seorang penyanyi. Bukan oleh seorang biduan yang mengenakan pakaian seksi, tapi salah seorang penyanyi dari ajang pencarian bakat. Biasanya warga desa hanya melihatnya dari layar televisi, tapi khusus hari ini dihadirkan sebagai salah satu tamu.Awalnya aku sudah berniat meninggalkan desa ini. Setelah mendengar jawaban Mas Adi malam itu, tekadku semakin bulat. Rasanya aku lelah menunjukkan senyum kepalsuan pada para tamu. Ternyata permintaan malam itu adalah permintaan Devi. Wanita itu pasti mau pamer desahan malam pertama pernikahannya padaku.Ada yang menatapku heran. Tak sedikit yang menunjukkan raut prihatin. Yang membuatku kesal malah ada beberapa di antara mereka yang berbisik tidak sopan dengan mengatakan kalau sedang menunggu status jandaku. Mungkin saja kabar perceraianku sudah tersebar.Devi ternyata tamak juga. Selain merebut Mas Adi, dia juga berusaha membuatku malu di acara ini. Dengan mudahnya ia memberi penawaran yang su
Tiba di terminal Kota Kediri, kulihat Mas Dadang dan Mbak Hera yang melambai ke arahku. Perjalanan selama beberapa jam itu sama sekali tidak terasa lama bagiku. Mungkin karena aku sibuk memikirkan banyak hal."Kemarin itu mertua mbak masuk rumah sakit, jadinya cuma Mas Dadang yang ke sana. Itu pun cuma sebentar. Maaf ya, kami tidak bisa jemput kamu di sana," ungkap Mbak Hera setelah mengurai pelukannya. Lingkaran hitam di bawah matanya seakan menjelaskan jika belakangan ia pasti kurang beristirahat. Setahuku hubungan Mbak Hera dengan mertuanya sangat baik, dia menjadi kesayangan seolah putri sendiri. Mungkin karena wanita bertubuh mungil ini dicintai dengan tulus oleh suaminya."Tidak apa, Mbak. Untuk apa juga repot menjemput? Kalian menjemput di terminal ini saja pastilah sudah sangat merepotkan," ujarku merasa berat hati.Mbak Hera menggeleng lalu berbisik, "Tidak berat setelah dengar kabar kalau pengantin baru di sana habis dimarahi kakek. Kamu tahu, senang sekali rasanya dengar A
Jantungku kembali berdegup kencang. Darahku mulai berdesir kala kurasakan bayiku ini seakan bersemangat untuk lahir ke dunia. Rasanya memang sangat sakit. Aku tak berkata apa pun, tak juga merintih. Aku hanya tahu kalau aku bahagia. Sebentar lagi aku takkan sendirian di dunia ini.Kuitari tempat tidurku berkali-kali. Sedikit takut melangkah jika tidak berpegang. Aku takut jatuh seperti dulu. Teringat dengan bosku dan karyawan tempat londry, kuraih kembali ponsel dalam tasku. Kuhubungi wanita itu dan mengabari kondisiku yang mulai membaik. Kusampaikan ucapan terima kasihku karena mereka telah membawaku ke rumah sakit. Wanita itu kembali memberikan beberapa wejangan berdasarkan pengalaman saat dia akan melahirkan dulu.Sejam kemudian Mbak Hera datang bersama Mas Dadang. Mereka cukup lama karena mampir membeli selimut dan tiga pasang pakaian bayi. Pilihan Mas Dadang semua warna putih, katanya tidak tahu calon keponakannya laki-laki atau perempuan jadinya beli yang warna netral saja. Unt