"Tubuhku sudah penuh dengan bekas pukulannya. Hanya sebulan pertama pernikahan kami dia bersikap baik padaku. Bulan kedua dia mulai menghindariku dan memperlakukanku seperti wanita pemuas nafsu. Bulan-bulan berikutnya dia berani membentakku, bahkan saat aku hamil … dia menghempaskanku di atas ranjang. Kukatakan agar kalian tahu alasan lain meminta cerai selain karena dia selingkuh," tuturku yang membuat pria 73 tahun itu terhenyak di sofa. Dia pasti sangat syok mengetahui kelakuan cucu kesayangannya.
Kuceritakan semua yang terjadi beberapa hari yang lalu saat ia pulang dalam kondisi mabuk. Semalaman aku mengurusnya hingga aku tahu jika ia tertekan karena takut jika rahasianya diketahui ayah dan juga kakek. Awalnya tidak kutahu hal apa yang membuatnya tertekan karena saat kutanya, dia justru marah dan memintaku diam.
Pagi saat dia bangun, aku merasa tubuhku demam. Dia hendak pergi sehingga aku meminta dibelikan makanan untuk makan siang. Selain tak ada bahan makanan di dapur, aku sudah kehabisan uang karena Mas Adi tak memberikanku uang bulanan.
Dia hanya bilang nanti, setelah ia pulang karena akan menagih pembelian ayam potong ke beberapa rumah makan. Memang itulah yang menjadi usaha pribadinya. Sekaligus sumber penghasilan untuk menafkahiku.
Aku menunggu dengan lapar dan hanya minum dua gelas teh manis. Susu kehamilanku sudah habis karena biasanya yang membelikan adalah wanita yang bekerja di rumah kakek. Sementara sudah lama wanita itu tidak pernah datang lagi. Saat kuhubungi, nomor telponnya sudah tidak aktif.
Menjelang siang, wanita selingkuhan Mas Adi datang. Dia membawa kabar buruk untuk rumah tanggaku. Kuceritakan semua ucapan Devi apa adanya. Ayah mengusap wajahnya frustasi, sementara kakek menahan geram lalu menatap tajam Mas Adi.
Lain halnya ibu yang terdiam dan sibuk melirik ketiga pria itu. Kuharap, bukan ibu mertuaku yang mengirim wanita itu datang padaku. Jika benar, maka akan kupastikan jika sampai kapan pun, dia tidak akan kuizinkan melihat anak yang kukandung ini.
Sore harinya Mas Adi pulang dan langsung menuju ke dapur. Kudengar suara gelas pecah dan aku bangun dengan sempoyongan. Setelah menangis dan kelaparan menunggunya pulang, dia justru mengeluh lapar. Dia lupa dengan yang kukatakan padanya sebelum berangkat.
Menyadari kesalahannya dia justru balik memarahiku dan memintaku membuat mie instan. Kuminta dia membuka lemari yang di dalamnya hanya ada mentega dan beberapa botol bahan kue. Kuminta lagi dia membuka kulkas agar dia tahu jika benda itu hanya berisi air botol dan es batu. Selain itu hanya ada cabai kering. Tak ada bahan yang bisa dimasak.
Kuminta penjelasannya mengapa sampai ia lupa membelikanku makanan? Kutanya apa saja yang dilakukannya sampai terlambat pulang? Tapi balasannya adalah kemarahan, hinaan dan perlakuan kasarnya terhadapku sampai aku mengalami pendarahan.
"Tidak ada perceraian saat masa kehamilan, Risa." Mas Adi tampaknya masih kekeuh ingin punya dua istri. Dia berusaha mengulur waktu dan mengubah keputusanku.
Aku tersenyum dan kulihat ia mengernyit kebingungan. "Siapa yang bilang Mas? Berpisah dalam kondisi hamil itu dibolehkan, apalagi jika alasannya kuat. Aku tidak akan menuntut apa pun padamu selain anak ini jadi anakku seutuhnya. Kamu tidak lagi berhak atasnya. Ingat, kamu sendiri yang mengingkarinya dan aku punya bukti dan saksi!" tegasku.
"Tapi …."
Aku mendengus kesal. Biar saja mereka kaget dengan sikapku. "Tidak ada tapi, Mas. Biarkan aku hidup dengan tenang bersama anakku … dan kamu bisa hidup bersama selingkuhan dan calon anak barumu."
Mas Adi terdiam lalu tersenyum pongah. Sepertinya dia tidak percaya atas ucapanku. "Tunggu sampai anak itu lahir. Saat itu juga akan kubuktikan kalau itu bukan anakku, kamu yang sudah bermain api di belakangku! Kamu selingkuh dengan anaknya Bi Uma, karena takut ketahuan makanya mereka berdua pergi dari sini."
Kini kudapatkan jawaban ke mana perginya wanita yang selalu memperlakukanku seperti putri raja. Begitu juga dengan putranya yang memang sepantaran denganku. Mereka bukannya pulang kampung karena hajatan, melainkan diusir. Kulihat jelas dari raut wajah kakek yang mendengus kesal. Ya Allah, siapa yang telah memfitnah mereka berdua?
"Jika itu keinginanmu, Mas, sebaiknya kamu bersiap tinggal di penjara. Kalau kamu tidak memanggil kepala desa saat ini juga untuk menjadi saksi perceraian kita, maka besok kamu akan menjadi penghuni jeruji," tukasku.
"Risa!" tegur kakek.
"Kalian akan mendukungku atau Mas Adi, terserah. Aku hanya perlu mengingatkan, tuntutannya itu pasal berlapis. Penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga, selain itu perzinahan dan perselingkuhan. Belum lagi mabuk-mabukan. Jika bukan aku yang menuntut, mungkin camat dari kampung sebelah. Putrinya bunting sebelum jadi pengantin, itu karena … Mas Adi," paparku dan kuyakin ia akan kembali merasa tertampar.
Ibu mertuaku terisak. Entah benar-benar menangis memikirkan nasib putra semata wayangnya atau hanya sedang bersandiwara. Ayah menghampiri dan menenangkan istrinya.
Pemandangan di depan mataku membuatku ikut menitikkan air mata. Bukan karena memikirkan perpisahanku dengan Mas Adi, tapi kasihan pada ayah. Pria 51 tahun itu tertipu oleh wanita ular seperti istrinya.
"Bagaimana ini, Mas, Adi anak kita satu-satunya. Jangan biarkan dia sampai dibawa ke penjara. Aku tidak akan sanggup melihat putraku sengsara," rengeknya menatap suami dan mertuanya mengiba untuk putranya.
"Kamu memilih jalan damai dengan bercerai baik-baik … atau harus dengan jalur hukum yang membuatmu semakin rugi, Mas?" ancamku. Kusadari aku sendirian dan hanya pihak yang berwajib yang akan percaya padaku. Itu juga karena aku punya bukti visum yang legal.
Bibirnya bergetar, mungkin kehilangan kata. Lebih tepatnya mungkin takut membayangkan dingin dan kerasnya lantai penjara. Belum lagi harus terkurung dan berbagi tempat sempit bersama orang asing.
"Lupakan janji-janjimu padaku, Mas. Sekarang kamu ingat janji-janji manis yang kamu berikan pada putri keluarga lain. Bukankah kamu sendiri yang bilang, aku cuma beruntung karena dipilih kakek jadi cucu menantu. Sejak awal kamu memang tidak menginginkanku." Mas Adi menatapku dengan sorot mata yang mulai sendu.
Entah beban apa yang ada di kedua bahunya, ia terduduk lemas dengan kedua kaki yang diselonjorkan. Kemudian melirik kakek dengan mengiba. Kakek memilih beranjak dan masuk ke dalam kamarnya. Sesaat kemudian dia keluar membawa segopok uang di hadapanku.
"Izinkan Aditya menikah lagi," kata kakek sembari menunjuk ke arah tumpukan uang merah dan biru yang diikat karet gelang. Kutaksir itu belasan, bahkan mungkin dua puluh juta rupiah.
"Aku mengizinkannya Kakek, asalkan setelah dia menceraikanku. Talak saat hamil diperbolehkan dan itu sah. Masa iddahnya sampai aku melahirkan. Anak ini anakku, bukan anak Mas Adi. Dia mengingkarinya!" tegasku.
"Tapi anak itu juga anak keluarga ini. Bagaimana kalau yang kamu kandung itu laki-laki?" Kakek tidak terima. Baginya pewaris laki-laki sangatlah berarti sampai terkadang anak dan cucu perempuannya yang lain merasa diabaikan.
"Ayah, biarkan saja. Kita tidak bisa membiarkan hidup Aditya hancur! Ayah akan kembali punya cucu dari pernikahannya dengan Devi nanti. Kumohon Ayah … jika masalah ini sampai diketahui banyak orang, maka kita semua yang akan malu." Nyonya Eda memohon sembari berlutut di kaki Tuan Santoso.
"Kita tidak akan punya wajah lagi untuk menghadapi orang-orang di sini. Aditya putraku satu-satunya. Kumohon jangan buat hidupnya tersiksa lebih lama lagi. Sejak awal mereka memang dipaksa menikah, bukan?" tambah ibu mertuaku lagi diiringi tangisan pilu.
Kurasa kali ini bulir-bulir bening itu bukan air mata kebohongan. Ibu mana yang akan tinggal diam saja jika anaknya berada dalam bahaya. Sama sepertiku dan hal itu juga yang kuperjuangkan. Tidak akan kubiarkan anakku tumbuh dalam keluarga yang sakit ini.
"Tapi Eda, nan-"
"Aku tidak rela dimadu," ucapku memotong perkataan ayah mertuaku.
Semua mata menatapku dan kuberanikan diri membalas tatapan mereka. Ingin kuyakinkan jika keputusan berpisah ini bukanlah bahan untuk bergurau. Lagi-lagi Mas Adi yang memalingkan wajah lebih dulu. Mau bagaimana lagi, topengnya sudah terbuka.
"Tapi Nak, kalau kamu cerai sama Adi, kamu akan sebatang kara lagi. Pikirkan hal itu baik-baik," pintanya yang membuatku tersentuh dengan kekhawatirannya. Tuan Hendrawan sejak dulu memang penuh tulus kasih.
"Memang sulit untuk memahami keputusanku ini, Ayah. Cobalah Ayah tanyakan pada Ibu, apakah Ibu juga sanggup untuk dimadu?" tanyaku sembari melirik ibu mertuaku yang membelalak.
***
Ibu mertuaku yang tadinya berlutut kini bersimpuh di lantai sembari menggeleng pelan melirik suami dan mertuanya. Terhenyak memikirkan nasib yang bahkan belum ditanggapi oleh suaminya sendiri. Raut wajahnya kian mengiba. Sungguh dia wanita luar biasa, tidak rela dimadu tapi tega berselingkuh. "Mas mau jemput sendiri atau minta orang lain yang ke sana dan mereka mulai bertanya-tanya? Melibatkan orang lain hanya akan menjadikan kita semua ini bahan gibah." Kembali kuingatkan Mas Adi agar segera bergegas ke rumah kepala desa.Melihat anggukan kakek, Mas Adi beranjak walau kulihat dia seakan enggan. Semakin didesak maka mereka akan semakin kalut. Jika kutunda, mereka hanya akan menyusun rencana dan berbalik menuduhku. Bukan berburuk sangka, hanya saja setahun mengenal mereka aku tahu kemungkinan yang dipikirkan kakek. Pria tua ini akan menyogok kepala desa. Akan kupuji kakek jika hal itu berhasil.Terdengar suara mobil di halaman depan. Kami semua menoleh dan penasaran siapa gerangan ya
"Nak? Risa?" Rasa penasaran ayah menuntut jawaban.Aku hanya mengulas senyum tipis. Dari Bi Uma kutahu jika ibu mertuaku sangat membenci ibu tiriku karena selalu menganggap ayah mertuaku ini menyukainya. Padahal yang kupahami, ayah hanya kasihan padanya yang seorang janda tanpa penghasilan yang menentu. Mungkin ibu tiriku juga tertekan dan menjadikanku jaminan atas pinjamannya pada kakek. Awalnya aku hanya bekerja paruh waktu dengan menjadi karyawan pom bensin. Selebihnya membuat kue dan keripik yang kutitipkan di warung. Ketika melihat surat perjanjian antara ibu tiriku dengan kakek, aku merasa seperti barang yang dijual."Masuklah ke kamar dan beristirahat. Adi baru saja kirim pesan kalau kepala desa masih rapat di kantornya. Mungkin sejam atau dua jam kemudian baru mereka datang. Selain itu, kita juga harus menunggu kakek," kata ayah yang juga beranjak ke kamarnya. Kurebahkan tubuh ini setelah memasang alarm di ponsel. Rasanya tidak sabar menunggu sore. Aku tidak sepenuhnya yakin
"Sebelum memutuskan untuk bercerai, pahami dulu hukumnya," ucap Pak Karto mengulas senyum. Entah apa makna senyumnya itu, yang jelas aku merasa was-was karena takut pria itu mempersulitku.Pak Karto mengangguk dan aku merasa puas melihat wajah Mas Adi pias. Luntur sudah rencananya yang hendak menjadikan Devi maduku. Dasar pria serakah, mau punya dua istri tapi mengurus satu istri saja tidak mampu. Pak Karto yang menjabat sebagai kepala desa kami adalah satu guru swasta yang mengajar di pondok pesantren di kampung sebelah. Alasan itulah mengapa pria itu yang kuminta menjadi saksi. Pengetahuannya jauh lebih banyak dan karakternya yang tidak pilih kasih pada siapa pun membuatku tenang.Pak Karto mulai menjelaskan beberapa hukum talak. Ada talak sunni yang sesuai prosedur syariat dan talak bid'i yang tidak sesuai prosedur syariat. Ada beberapa undang-undang dan pasal yang disebutkan Pak Karto dan juga ayat Al-Quran. "Menalak istri yang sedang hamil itu boleh dan hukumnya sah. Sesuai den
Setelah talak satu yang diucap Mas Adi kemarin sore, suasana pagi ini menjadi canggung. Meski begitu aku tetap menyiapkan kebutuhannya. Pakaian, makanan untuk sarapan dan alas kakinya yang kuselipkan kaos kaki. Pria itu kadang merusak susunan pakaian yang rapi dan mengobrak-abrik isi boks.Semalam ia tidur di kamar tamu dan aku di kamarnya. Ayah mertuaku meminta kami tinggal di rumah ini untuk sementara waktu. Mungkin takut jika putranya kembali menganiaya diriku.Kulihat dia masuk ke kamar dan langsung bergegas ke kamar mandi. Kubiarkan saja dan aku yang keluar kamar dan memilih ke halaman samping. Di sana ada beberapa sayuran yang setahuku pernah ditanam oleh Bu Uma. Walau menjadi cucu menantu, aku tidak pernah membiarkan pembantu yang lain melayaniku."Neng Risa cari apa?" tanya Bu Romlah, wanita yang juga salah satu pembantu di rumah ini.Tubuhnya yang tambun membawa sebaskom besar pakaian yang telah dicuci. Dia hendak menjemur pakaian yang sepertinya milik ibu mertuaku. Pakaian m
Jika sebulan lalu ia menyiksaku dengan kejam, kini sikapnya yang melemah ini turut menyiksaku. Aku jadi serba salah dibuatnya. Setelah memelukku dulu di depan Pak Karto dan keluarganya, akhirnya dia mengucapkan talak satu itu.Jika saja aku masih mengharapkannya, mungkin aku akan bersikap berbeda dan luluh memaafkannya. Dia seolah mengalami patah hati, menjadi sosok yang sakit hatinya. Bukankah seharusnya dia bahagia karena seminggu lagi dia akan menikah dengan selingkuhannya?Berita pernikahan Mas Adi dengan Devi memang sempat membuat gempar. Banyak yang ingin tahu pendapatku. Tidak ssdikit pula yang lebih penasaran dengan alasan mereka menikah. Ibu Romlah sebagai penyambung tali informasi turut memberikanku kabar. Ibu-ibu di pasar juga kadang bergosip tentang pernikahan mereka yang mendadak bahkan disaat aku hamil. Namun seperti dugaanku sebelumnya, lidah mertuaku punya andil. Dalam beberapa hari terakhir kembali beredar gosip baru. Kabarnya jika sebelum aku dan Mas Adi dinikahkan
Mas Adi diam. Bibirnya terus dikulum sampai membentuk garis tipis. Setakut itukah dia jujur?Kaki ini maju selangkah mendekati kursinya. Kulihat jakunnya naik turun, seperti sedang menelan kerikil saja sampai segitu sulitnya menjawab. Urat lehernya mulai menegang, begitu juga bahunya. Kuusap bahunya dan Mas Adi mendongak menatapku."Tidak masalah siapa yang berkeinginan, tapi kalau bisa … sebagai laki-laki kamu berpikir, Mas. Kalau kamu di posisiku, apa kamu sanggup seatap dengan laki-laki yang kubawa masuk ke rumah ini meski dia berstatus suamiku? Jika aku berstatus janda, itu artinya aku juga bisa menikah dengan siapa pun, bukan?" sindirku telak. Wajahnya memerah dan aku berlalu masuk ke kamar. Kukepalkan tangan dan meremas udara kosong. Bersandar di balik pintu, kupindai kamar kami. Kamar dan ranjang pernikahanku dengannya. Sebentar lagi semua itu akan berganti pemilik. Tiba-tiba saja muncul ide untuk membalas Devi. Sebelum itu aku harus meminta tolong pada seseorang. Semoga saja
Alunan musik dangdut masih dilantunkan oleh salah seorang penyanyi. Bukan oleh seorang biduan yang mengenakan pakaian seksi, tapi salah seorang penyanyi dari ajang pencarian bakat. Biasanya warga desa hanya melihatnya dari layar televisi, tapi khusus hari ini dihadirkan sebagai salah satu tamu.Awalnya aku sudah berniat meninggalkan desa ini. Setelah mendengar jawaban Mas Adi malam itu, tekadku semakin bulat. Rasanya aku lelah menunjukkan senyum kepalsuan pada para tamu. Ternyata permintaan malam itu adalah permintaan Devi. Wanita itu pasti mau pamer desahan malam pertama pernikahannya padaku.Ada yang menatapku heran. Tak sedikit yang menunjukkan raut prihatin. Yang membuatku kesal malah ada beberapa di antara mereka yang berbisik tidak sopan dengan mengatakan kalau sedang menunggu status jandaku. Mungkin saja kabar perceraianku sudah tersebar.Devi ternyata tamak juga. Selain merebut Mas Adi, dia juga berusaha membuatku malu di acara ini. Dengan mudahnya ia memberi penawaran yang su
Tiba di terminal Kota Kediri, kulihat Mas Dadang dan Mbak Hera yang melambai ke arahku. Perjalanan selama beberapa jam itu sama sekali tidak terasa lama bagiku. Mungkin karena aku sibuk memikirkan banyak hal."Kemarin itu mertua mbak masuk rumah sakit, jadinya cuma Mas Dadang yang ke sana. Itu pun cuma sebentar. Maaf ya, kami tidak bisa jemput kamu di sana," ungkap Mbak Hera setelah mengurai pelukannya. Lingkaran hitam di bawah matanya seakan menjelaskan jika belakangan ia pasti kurang beristirahat. Setahuku hubungan Mbak Hera dengan mertuanya sangat baik, dia menjadi kesayangan seolah putri sendiri. Mungkin karena wanita bertubuh mungil ini dicintai dengan tulus oleh suaminya."Tidak apa, Mbak. Untuk apa juga repot menjemput? Kalian menjemput di terminal ini saja pastilah sudah sangat merepotkan," ujarku merasa berat hati.Mbak Hera menggeleng lalu berbisik, "Tidak berat setelah dengar kabar kalau pengantin baru di sana habis dimarahi kakek. Kamu tahu, senang sekali rasanya dengar A