Tangisku kembali luruh seperti luruhnya hujan menyapa bumi. Sepertinya mendukung suamiku untuk terus leluasa memakiku tanpa ada yang bisa mendengar. Setiap kali dia berteriak dan membentakku, selalu saja disusul petir yang menggelegar.
"Aku hanya butuh sedikit kebebasan, Mas. Jangan pasung aku dengan semua aturan yang membuatmu seperti suami palsu. Sejak menikah denganmu, hanya sebulan pertama kamu memperlakukanku layaknya seorang istri. Kalau memang kamu tidak menyukaiku, lepaskan aku dan dapatkan kebahagiaanmu yang lain. Bukankah kamu menganggapku sebagai beban?" Dia kembali bungkam.
"Diam kamu! Habis makan apa kamu sampai bisa ngomel kayak gini?" tanyanya sembari mencengkram rahangku.
Perlahan aku membuka mata dan kembali menatap dalam pasang telaga bening yang kini berkobar karena amarah. Tatapan cinta yang dulu kulihat di sana, seakan menguap tak bersisa. Sekarang aku sadar, aku benar-benar sendiri. Aku tidak bisa berharap pada pria yang bergelar suami ini. Pun demikian dengan keluarganya yang tentu saja akan membelanya.
Hampir saja aku lupa jika dia anak dan cucu kesayangan. Meski aku mengadu pada kakek, ayah dan ibu mertuaku pasti akan membela putranya. Siapa aku? Gadis yatim piatu yang mereka pungut dan mereka jadikan menantu untuk melengkapi citra keluarga mereka untuk tampak bersahaja.
Kutepuk punggung tangannya yang mencengkram rahangku. Sakit sekali rasanya jari-jari besar itu menekan begitu kuat. Air mata ini sudah membanjiri pipi, bahkan menitik di ujung jarinya. Bisa kupastikan bekas jarinya akan jadi lebam di wajahku.
Lega rasanya cengkraman itu mengendur. Lemas aku berpegang pada salah satu lengannya. Akan tetapi hempasannya membuatku tersentak dan tubuhku terdorong. Berusaha kustabilkan kedua pijakanku, tapi aku justru tersandung tepi karpet.
Karpet permadani merah yang cukup tebal itu sama sekali tidak terasa empuk. Sekujur tubuhku sakit. Terutama bagian perutku yang tidak lagi kram seperti tadi, melainkan seperti tertusuk-tusuk. Pandanganku mulai buram dan sulit kulihat punggung Mas Adi yang perlahan memudar.
"Mas… sa-sakit…," lirihku memohon sembari berusaha menggapai ujung jarinya.
Tubuhku baru saja mendarat di lantai yang beralaskan karpet permadani. Bukan terhempas di tempat tidur seperti yang biasa dilakukannya. Kram dan nyeri menyerang dan aku mengerang kesakitan.
"Ya Allah, Risa!" teriaknya.
Aku tidak tahu harus sedih atau senang. Sikap kasarnya padaku menyayat pedih, tapi untuk pertama kalinya sejak beberapa bulan terakhir aku kembali melihat wajahnya yang hawatir padaku. Pun demikian dengan suaranya yang bergetar.
Sandiwarakah semua sikapnya? Aku tak tahu. Hal yang aku tahu saat ini hanya diriku yang tidak baik-baik saja.
Perlahan semua gelap dan suara teriakan Mas Adi yang memanggil namaku berkali-kali masih terdengar jelas di telinga. Bisa kurasakan tubuhku yang direngkuhnya. Sudah lama ia tidak memelukku. Miris, mengapa harus setelah disakiti ia baru mau memelukku lagi?
"Halo Bu! Risa keguguran!" teriaknya.
"Tidak! Jangan! Jangan renggut bayiku!" jeritku dalam hati. Aku tidak berdaya walau sekedar untuk bergumam lirih atau membuka mata.
***
Mataku yang berat kini perlahan mengerjap. Gelap yang terlihat mulai sirna dengan secerna sinar putih. Kusadari itu lampu ruangan dan kulirik kanan kiriku. Tak ada siapa pun dan hanya ada tas seorang wanita yang kuyakini milik ibu mertuaku.
Kudengar suara pintu bergeser dan pintu yang kembali ditutup. Terdengar dua langkah yang beradu. Sekilas aku tahu ibu mertuaku baru keluar dari kamar mandi dan suamiku baru saja masuk. Kembali kupejamkan mata karena sejujurnya aku masih mengantuk dan pusing.
"Kamu itu bagaimana sih, Aditya! Kalau dia mati, kamu bisa dipenjarakan!" Suara penuh penekanan itu milik ibu mertuaku. Kata 'dia' yang selalu terucap sejak aku jadi menantunya yang tak dianggap.
Entah apa alasannya sampai sekarang ibu mertuaku seakan tidak menganggap keberadaannku. Tatapannya kadang benci, kadang pula sulit untuk kutafsirkan. Di depan ayah mertua dan juga kakek, wanita itu memperlakukanku dengan penuh kasih. Namun jika hanya berdua atau bertiga saja dengan putranya, maka tidak segan ia memperlakukanku seperti budak.
"Aku mana tahu kejadiannya akan seperti ini, Bu. Untung saja kandungannya itu tidak keguguran," ucap Mas Adi yang setidaknya membuatku lega. Kubiarkan mataku tetap terpejam menikmati perbincangan mereka.
"Bu, Devi datang ke rumah menemui Risa. Bagaimana kalau dia mengadu sama kakek?" tanya Mas Adi.
Ibu mertuaku mendesah gusar. Langkahnya terdengar jelas sedang bolak-balik karena alas kakinya terdengar nyaring mengetuk lantai. "Masalah kakekmu, biar ibu yang menanganinya. Kalau bisa ceraikan saja wanita tidak berguna ini. Ibu yakin kalau anak yang dikandungnya itu bukan anak kamu."
"Ibu yakin? Waktu aku sentuh Risa pertama kali, dia masih perawan, Bu." Mas Adi seakan ragu dengan ucapan ibunya sendiri.
Kini aku mengerti dari mana sumber keraguan suamiku. Ternyata sumber itu tidak lain adalah ibu mertuaku sendiri. Tidakkah wanita paruh baya itu punya empati sedikit saja? Apa pula dasar tuduhannya itu?
Bisa-bisanya ibu tega memfitnah tanpa bukti. Tidak adakah rasa kasihan di benaknya sesama wanita? Ingin rasanya kubuka dan kuperiksa rongga dadanya dan melihat isi hatinya terhadapku. Mungkin satu kata yang pasti kudapatkan di dalam sana. Benci.
Ibu mertua berdecak kesal lalu berkata, "Wanita seperti istrimu ini adalah jenis wanita murahan. Dia bersikap ayu, sopan, lemah lembut hanya untuk menjerat hati pria mana saja yang diinginkannya. Kakekmu ingin sekali kamu punya anak laki-laki. Lihat saja, setelah anak itu lahir, hilang sudah perhatian dan kasih sayang kakekmu padamu. Semua itu akan dia alihkan pada anak Risa. Kau lihat ayahmu? Apa kakekmu menyayanginya sama seperti dia menyayangimu?"
Hatiku mencelos mendengar tutur kata bibir culasnya. Mas Adi tak bersuara, mungkin sedang berpikir dan berusaha mencerna ucapan ibunya. Lebih tepatnya menelan, karena pria manja itu tidak punya kebiasaan menelaah kalimat yang ditangkap dan diproses gendang telinganya.
"Ibu benar," cetus Mas Adi. Benar bukan dugaanku?
Setahun mengenalnya lebih dekat, aku sudah tahu luar dalamnya. Pemuda baik dan ramah itu entah kenapa berubah sejak beberapa bulan yang lalu. Aku tidak tahu kapan tepatnya sikapnya itu mulai berubah. Aku hanya tahu jika dua bulan terakhir, sikapnya sangat kasar.
Sempat kukira jika dia kerasukan sesuatu, tapi kini aku semakin yakin jika dia mewarisi gen ibunya. Begitu pandai Mas Adi bersandiwara dan bersilat lidah. Setiap kali aku menemukan kesalahannya, Mas Adi akan berkilah. Aku lelah dan jujur saja, aku menyerah untuk pernikahanku yang seumur jagung ini.
"Bu, aku keluar beli makan dulu. Ibu pasti juga belum makan, 'kan?" tanya Mas Adi. Setelahnya aku mendengar ibu memesan sebuah menu yang sejujurnya sudah aku pinta pada Mas Adi untuk dibelikan siang tadi. Sayangnya suamiku itu pulang dengan tangan kosong. Saat kutanya, alasan lupa.
Tadi Mas Adi pulang ke rumah dan langsung tidur siang di ruang tamu. Aku yang ketiduran karena lapar dan pusing tak menyadari kedatangannya. Alasan lupa yang diutarakan membuatku hanya bisa menelan ludah.
Entah karena lapar atau memang mengidam, aku hanya bisa berlalu ke dapur berniat merebus mie instan. Meminta maaf pada bayi yang kukandung selama tujuh bulan ini kalau hanya itu yang bisa kubagi dengannya. Tapi kulupa jika mie instan terakhir sudah aku makan sehari sebelumnya karena Mas Adi tidak juga pulang.
Selama sepekan terakhir, pembantu dari rumah utama memang tidak pernah lagi datang ke rumah kami. Aku tidak tahu alasannya, mungkin sudah dilarang oleh ibu mertuaku. Sore menjelang, tubuhku semakin kedinginan. Aku hanya berharap pada selimut agar sedikit membuatku tenang.
Mas Adi bangun dan mengatakan dirinya lapar. Padahal dia tahu kalau di rumah tidak ada makanan. Sudah seminggu kami tidak ke pasar membeli bahan makanan.
Terbiasa dengan hidup mewah dan serba tersedia, Mas Adi marah. Di meja makan tidak ada apa-apa, sementara dia lapar. Bukan salahku sepenuhnya, dia melarangku keluar rumah, tidak memberikan uang belanja dan malah pulang tanpa membawa makanan.
"Kapan sih ini anak mau bangun? Nyusahin orang saja!" ucap ibu, tapi aku tetap bergeming dan pura-pura tidur.
Tak lama kudengar dia menghubungi seseorang. Samar telingaku mendengar jika yang dihubungi ibu mertuaku itu kakek. Kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut ibu mertuaku membuatku semakin takut membuka mata. Baru saja aku mendengar rahasia ibu mertuaku.
***
Bagai dihantam palu, aku gemetar. Sekujur tubuhku rasanya mati rasa. Wanita itu baru saja mengatakan sebuah rahasia besar yang membuatku sesak. Bagaimana bisa mereka berdua setega itu pada keluarga sendiri? Telingaku tidak mungkin salah tangkap. Ibu mengulanginya sampai dua kali. Entah apa yang dikatakan kakek, yang jelas aku tahu mereka berdebat.Tidak terbayang olehku apa yang akan terjadi pada Mas Adi jika tahu fakta ini. Ibu dan kakek menyimpan rahasia yang mengejutkan. Mungkin jauh lebih mengejutkan dari gempa bumi. Tekadku untuk pergi dari keluarga ini semakin bulat. Aku tidak tahan lagi berada di antara mereka.Tidak lama akhirnya panggilan telpon antara ibu dan kakek berakhir. Ibu mendumel mengatakan kakek tua bangka yang tidak tahu diri dan hanya mau enaknya saja. Setelah itu ibu malah memuji kakek. Sungguh aku tidak mengerti kinerja otak Nyonya Eda. Baru saja ia mencibir, sedetik kemudian ia memuji."Halo Mas, aku di rumah sakit. Menantu kita masuk rumah sakit karena pendar
Dua hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Mas Adi membawaku pulang. Bukan pulang ke rumah kami, melainkan ke rumah utama tempat kakek dan kedua mertuaku tinggal bersama beberapa asisten rumah tangga. Telapak tanganku basah membayangkan seperti apa nantinya respon mereka saat aku mengutarakan hal yang kupendam ini.Kakek dan ayah mertuaku menyambutku dengan senyum lembut. Ibu mertuaku, seperti biasa dia tampak ogah-ogahan dan memasang senyum palsu ketika aku meliriknya. Mungkin takut jika ayah mertua dan suaminya tahu jika selama ini ia tidak menyukaiku. "Apa kata dokter, Nak?" tanya kakek sembari mengusap puncak kepalaku."Sudah lebih baik, Kakek. Dokter cuma minta banyak istirahat agar lekas pulih," ujarku apa adanya seperti yang disarankan dokter kandunganku.Ayah mertuaku mengusap dadanya lega. "Alhamdulillah, dijaga dengan baik ya Nak … cucu ayah. Rasanya sudah tidak sabar mau menimangnya," ungkapnya dengan tersenyum lebar. Namun entah mengapa hatiku berdenyut ngilu mendengarnya.
"Tubuhku sudah penuh dengan bekas pukulannya. Hanya sebulan pertama pernikahan kami dia bersikap baik padaku. Bulan kedua dia mulai menghindariku dan memperlakukanku seperti wanita pemuas nafsu. Bulan-bulan berikutnya dia berani membentakku, bahkan saat aku hamil … dia menghempaskanku di atas ranjang. Kukatakan agar kalian tahu alasan lain meminta cerai selain karena dia selingkuh," tuturku yang membuat pria 73 tahun itu terhenyak di sofa. Dia pasti sangat syok mengetahui kelakuan cucu kesayangannya. Kuceritakan semua yang terjadi beberapa hari yang lalu saat ia pulang dalam kondisi mabuk. Semalaman aku mengurusnya hingga aku tahu jika ia tertekan karena takut jika rahasianya diketahui ayah dan juga kakek. Awalnya tidak kutahu hal apa yang membuatnya tertekan karena saat kutanya, dia justru marah dan memintaku diam. Pagi saat dia bangun, aku merasa tubuhku demam. Dia hendak pergi sehingga aku meminta dibelikan makanan untuk makan siang. Selain tak ada bahan makanan di dapur, aku sud
Ibu mertuaku yang tadinya berlutut kini bersimpuh di lantai sembari menggeleng pelan melirik suami dan mertuanya. Terhenyak memikirkan nasib yang bahkan belum ditanggapi oleh suaminya sendiri. Raut wajahnya kian mengiba. Sungguh dia wanita luar biasa, tidak rela dimadu tapi tega berselingkuh. "Mas mau jemput sendiri atau minta orang lain yang ke sana dan mereka mulai bertanya-tanya? Melibatkan orang lain hanya akan menjadikan kita semua ini bahan gibah." Kembali kuingatkan Mas Adi agar segera bergegas ke rumah kepala desa.Melihat anggukan kakek, Mas Adi beranjak walau kulihat dia seakan enggan. Semakin didesak maka mereka akan semakin kalut. Jika kutunda, mereka hanya akan menyusun rencana dan berbalik menuduhku. Bukan berburuk sangka, hanya saja setahun mengenal mereka aku tahu kemungkinan yang dipikirkan kakek. Pria tua ini akan menyogok kepala desa. Akan kupuji kakek jika hal itu berhasil.Terdengar suara mobil di halaman depan. Kami semua menoleh dan penasaran siapa gerangan ya
"Nak? Risa?" Rasa penasaran ayah menuntut jawaban.Aku hanya mengulas senyum tipis. Dari Bi Uma kutahu jika ibu mertuaku sangat membenci ibu tiriku karena selalu menganggap ayah mertuaku ini menyukainya. Padahal yang kupahami, ayah hanya kasihan padanya yang seorang janda tanpa penghasilan yang menentu. Mungkin ibu tiriku juga tertekan dan menjadikanku jaminan atas pinjamannya pada kakek. Awalnya aku hanya bekerja paruh waktu dengan menjadi karyawan pom bensin. Selebihnya membuat kue dan keripik yang kutitipkan di warung. Ketika melihat surat perjanjian antara ibu tiriku dengan kakek, aku merasa seperti barang yang dijual."Masuklah ke kamar dan beristirahat. Adi baru saja kirim pesan kalau kepala desa masih rapat di kantornya. Mungkin sejam atau dua jam kemudian baru mereka datang. Selain itu, kita juga harus menunggu kakek," kata ayah yang juga beranjak ke kamarnya. Kurebahkan tubuh ini setelah memasang alarm di ponsel. Rasanya tidak sabar menunggu sore. Aku tidak sepenuhnya yakin
"Sebelum memutuskan untuk bercerai, pahami dulu hukumnya," ucap Pak Karto mengulas senyum. Entah apa makna senyumnya itu, yang jelas aku merasa was-was karena takut pria itu mempersulitku.Pak Karto mengangguk dan aku merasa puas melihat wajah Mas Adi pias. Luntur sudah rencananya yang hendak menjadikan Devi maduku. Dasar pria serakah, mau punya dua istri tapi mengurus satu istri saja tidak mampu. Pak Karto yang menjabat sebagai kepala desa kami adalah satu guru swasta yang mengajar di pondok pesantren di kampung sebelah. Alasan itulah mengapa pria itu yang kuminta menjadi saksi. Pengetahuannya jauh lebih banyak dan karakternya yang tidak pilih kasih pada siapa pun membuatku tenang.Pak Karto mulai menjelaskan beberapa hukum talak. Ada talak sunni yang sesuai prosedur syariat dan talak bid'i yang tidak sesuai prosedur syariat. Ada beberapa undang-undang dan pasal yang disebutkan Pak Karto dan juga ayat Al-Quran. "Menalak istri yang sedang hamil itu boleh dan hukumnya sah. Sesuai den
Setelah talak satu yang diucap Mas Adi kemarin sore, suasana pagi ini menjadi canggung. Meski begitu aku tetap menyiapkan kebutuhannya. Pakaian, makanan untuk sarapan dan alas kakinya yang kuselipkan kaos kaki. Pria itu kadang merusak susunan pakaian yang rapi dan mengobrak-abrik isi boks.Semalam ia tidur di kamar tamu dan aku di kamarnya. Ayah mertuaku meminta kami tinggal di rumah ini untuk sementara waktu. Mungkin takut jika putranya kembali menganiaya diriku.Kulihat dia masuk ke kamar dan langsung bergegas ke kamar mandi. Kubiarkan saja dan aku yang keluar kamar dan memilih ke halaman samping. Di sana ada beberapa sayuran yang setahuku pernah ditanam oleh Bu Uma. Walau menjadi cucu menantu, aku tidak pernah membiarkan pembantu yang lain melayaniku."Neng Risa cari apa?" tanya Bu Romlah, wanita yang juga salah satu pembantu di rumah ini.Tubuhnya yang tambun membawa sebaskom besar pakaian yang telah dicuci. Dia hendak menjemur pakaian yang sepertinya milik ibu mertuaku. Pakaian m
Jika sebulan lalu ia menyiksaku dengan kejam, kini sikapnya yang melemah ini turut menyiksaku. Aku jadi serba salah dibuatnya. Setelah memelukku dulu di depan Pak Karto dan keluarganya, akhirnya dia mengucapkan talak satu itu.Jika saja aku masih mengharapkannya, mungkin aku akan bersikap berbeda dan luluh memaafkannya. Dia seolah mengalami patah hati, menjadi sosok yang sakit hatinya. Bukankah seharusnya dia bahagia karena seminggu lagi dia akan menikah dengan selingkuhannya?Berita pernikahan Mas Adi dengan Devi memang sempat membuat gempar. Banyak yang ingin tahu pendapatku. Tidak ssdikit pula yang lebih penasaran dengan alasan mereka menikah. Ibu Romlah sebagai penyambung tali informasi turut memberikanku kabar. Ibu-ibu di pasar juga kadang bergosip tentang pernikahan mereka yang mendadak bahkan disaat aku hamil. Namun seperti dugaanku sebelumnya, lidah mertuaku punya andil. Dalam beberapa hari terakhir kembali beredar gosip baru. Kabarnya jika sebelum aku dan Mas Adi dinikahkan