Siapa yang ikutan kesal? Jangan kesal karena up-nya dikit,
Aditya dan keras kepala adalah satu paket komplit. Sudah diminta datang setelah shalat magrib, dia malah datang sore. Tepat pukul 17.05 WITA, mantan suamiku sudah duduk manis di teras rumah. Jangan tebak, dia terbang atau menembus dinding. Dia memang nekat melompati pagar. Aku yakin begitu karena pagar rumah masih dalam keadaan tergembok saat aku, Tita dan Agam sampai di rumah."Agam!!" serunya berlari dan langsung menggendong Agam.Agam yang baru pertama kali melihatnya secara langsung menangis histeris. Dia menciumi Agam tanpa berpikir anaknya nyaman atau tidak. Agam pasti ketakutan dibuatnya. "Turunkan dia Aditya! Turunkan!" desisku sambil menarik Agam agar lepas dari gendongannya.Kulirik Tita agar segera membuka pintu. Disaat yang sama aku memukul kepala Aditya. Itu pasti sakit, namun tidak seberapa jika dibandingkan tangis ketakutan Agam.Pelukan Aditya mulai melemah. Agam berhasil kuraih dan kembali menurunkannya. Kutarik Aditya agar menjauh darinya."Masuk rumah Agam, sama Ka
Sudah tiga hari sejak kedatangan Aditya, dia tidak pernah datang lagi. Begitu juga halnya dengan Riswan. Namun Agam masih berkomunikasi dengan Riswan. Setiap hari mereka melakukan video call."Kak Riswan tidak berkelahi dengannya, 'kan?" Dia menggeleng."Jangan hawatirkan Aditya lagi. Kepalanya mungkin sudah dingin. Mungkin beberapa hari lagi dia akan kembali menemui kalian. Tapi … dia tidak akan kasar lagi seperti kemarin," pungkasnya yakin namun aku meragu. Aku kenal Aditya sebelum dia mengenalnya. Aku lebih mengenal watak Aditya dibandingkan dengannya. Aku juga tahu jika Aditya mudah diperdaya dan bisa saja ia masih disetir oleh ibu dan istrinya.Menghapus pikiran tentang Aditya, aku memilih memikirkan jualanku. Besok pagi aku harus belanja banyak di pasar. Aku butuh stok bumbu lebih banyak karena dapat pesanan dari kegiatan kampus seperti dulu."Saya jawab telpon dulu." Dia menginterupsi lamunanku.Sejujurnya aku heran mengapa dia sering sekali meninggalkan kantornya. Bukankah pek
"Ibu … katanya Om Liswan sama Om Kemal, Papa Aditya mau ketemu Agam lagi. Kapan?" Aku melongo mendengarnya.Dia memang sudah tahu kalau pria yang tiba-tiba menggendong dan menciumnya itu papanya. Awalnya ia memang takut, namun seiring waktu Riswan dan Kemal menjelaskan padanya."Memangnya Agam sudah tidak takut kalau ketemu?" Kulirik dia di meja makan saat aku masih sibuk dengan cucian piringku. Mulutnya sibuk dengan kentang goreng."Sudah nda, Agam kan sudah pelnah telpon pideo sama Papa Aditya sama Om Kemal, sama Om Liswan juga." Aku terdiam karena tidak tahu kapan mereka melakukannya."Agam kenapa tidak bilang sama ibu?""Om Kemal bilang, jangan bilang sama Ibu dulu. Ini lahasia laki-laki. Tapi Agam penasalan, kenapa nda pelnah telpon lagi?" Rahasianya ia ungkap karena penasaran. Aku menggeleng karena sedikit terhibur."Mungkin Papa Aditya sibuk.""Hum … mungkin.""Agam beneran mau ketemu sama Papa Aditya?" tanyaku kembali saat duduk di hadapannya.Agam mengangguk mantap lalu beruja
Ponselnya jatuh menimbulkan suara nyaring di lantai. Kedua tangannya terus bergerak. Terus berusaha menggapai sesuatu yang sejatinya hanya udara kosong. Aditya menghampiri kami. "Lepas Risa!" sentaknya dengan tatapan nyalang."Sudah lama aku ingin mengirimnya ke akhirat, tapi saat itu aku hamil. Aku masih harus menyusui putraku dan memberinya makan. Sekarang dia akan tinggal bersama kakeknya. Aku yakin jika Ibu Umairah pun akan menerimanya. Aku tidak sudi jika Agam tumbuh dalam pengawasanmu! Urus saja istri dan anakmu!" balasku dengan terus menekan bantal sofa itu.Aditya melotot. "Kau ingin masuk penjara?""Risa! Risa!!" panggil Aditya cukup keras sampai aku tersentak. Kutatap mereka bergantian yang malah menatapku heran.Kulihat bantal sofa masih berada di pangkuanku. Wanita itu masih memegang ponselnya. Dua gelas di atas meja juga masih terisi separuh. Ya ampun … apa yang sudah kupikirkan tadi?Berkali-kali kugumamkan istigfar dan mengusap wajahku. Kuberikan nomorku padanya agar me
Melihat seorang Aditya Heriano Santoso menangis tersedu-sedu adalah hal yang langkah. Begitu juga halnya dengan Devi. Aku bingung, apakah mereka sudah sadar atau hanya sekedar bersandiwara?Anggukan pelan dari Agam seakan membasuh dahaga penantiannya selama ini. Aditya menunduk dan mengecup puncak kepalanya. Tak menunda-nunda lagi, Aditya langsung membawa Agam ke pangkuannya.Pelukannya terlihat begitu erat. Agam masih terlihat bingung menatap kami bergantian. Usapan lembut jari Devi di pipi Agam membuatku menatap wanita itu. Tak kusangka ia mengecup pipi Agam seperti dulu saat di Surabaya.Aditya dan Devi mulai bertanya pada Agam tentang kegiatan sekolahnya. Ceritanya seakan tidak ada habisnya. Ekspresi wajahnya juga mengundang tawa kami, kecuali Nyonya Eda. Aku hampir lupa menghitungnya.Sejak tadi kulihat wanita itu hanya fokus pada mantan suaminya. Sayangnya, sejak datang, Tuan Hendrawan bersikap acuh tak acuh padanya. Sepertinya memang sudah tidak peduli lagi.Bunyi perut Agam mem
Selepas ucapan Agam tadi, suasana jadi tegang. Kepalan tangan mantan ibu mertuaku itu sepertinya mengincar kepala putraku. Awas saja, aku tidak akan diam. Aditya akhirnya berinisiatif menggendong Agam ke teras."Begitu caramu mendidik putramu?" lontar wanita itu masih dengan pelototannya.Aku membalas tatapannya. "Haruskah saya mengembalikan pertanyaan yang sama pada Anda, Nyonya? Anda tentu belum pikun, bukan? Saya yakin Anda masih ingat dengan jelas seperti apa Anda mencuci otak putra Anda," desisku. Aku tidak ingin putraku sampai mendengar sindiranku.Sempat kulihat Devi berjengit. Mungkin terkejut melihatku melawan. Sementara mantan ayah mertuaku hanya diam dan menatap sendu permukaan meja. Mungkin ia merasa bersalah karena telah gagal mendidik istri dan anaknya dulu. "Satu hal lagi, jika Anda berniat menebar gosip, sekalian saja bikin iklan di koran. Jangan pakai metode rumpi yang jelas-jelas merujuk kalau Anda pelakunya." Dia bergeming sampai urat lehernya terlihat. Sekuat tenag
Aku terkejut mendengar ucapan mantan ayah mertuaku sebelum mereka pulang. Dia tegaskan pada putranya sendiri untuk tidak memgusikku lagi. Jangan membuat luka baru untukku maupun untuk Devi.Ternyata dia tahu niat Aditya untuk meminta rujuk padaku. Sekarat pun aku tidak sudi. Tuan Hendrawan menegaskan jika aku sudah bahagia. Harusnya Aditya juga bisa fokus membahagiakan Devi.Betapa bijaknya pria ini. Meski dia tahu jika dulu Devi adalah pelakor dalam hubunganku, namun mungkin ia bisa menilai perubahan Devi. Mulai dari caranya bicara maupun berpakaian. Tidak ada lagi Devi yang berpakian seksi, mungkin karena dia juga sudah jadi ibu.Flashback on"Jangan kira ayah tidak tahu niat kamu untuk minta Risa rujuk denganmu. Sudah cukup kamu dulu menyakiti istrimu, jangan ulang kesalahan yang sama pada Devi. Riswan sudah mengutarakan niatnya melamar Risa." Aditya membelalak dan Devi tertunduk. "Aku juga tidak setuju kalau kalian rujuk," sambung Nyonya Eda.Aditya menatap sengit ibunya. Saat kem
Apa mau dikata, nyatanya belasan menit kemudian hujan tercurah dengan begitu derasnya. Seakan mengungkapkan besarnya kerinduan pada tanah Kota Daeng. Berhari-hari terperangkap di atas sana menjadi awan dan menunggu petir melepaskan ikatannya.Butiran deras itu bagai biji-biji berlian yang tumpah ruah. Derasnya menyisakan pekat bagai tirai kabut. Semakin lama melukis genangan di jalanan.Mendadak jaringan seluler ponselku berkurang. Aku tidak bisa terhubung dengan aplikasi yang kuinginkan. Kuhubungi Ibu Jannah jika aku akan datang terlambat karena hujan deras.Tepat ketika kilat menyambar, aku terlonjak. Seberkas cahaya itu menyapa langit kelabu. Aku kembali berlari ke lorong kelas. Jangan sampai tersambar petir jika aku terus berdiri di teras."Ibu lihat tidak, tadi si Siluman Rubah itu dandan. Saya yakin mau gaet cowok," kata salah seorang wanita.Terdengar suara khas kursi plastik yang ditarik. "Iya, saya juga lihat. Antar anak ke sekolah saja, dia dandan seperti itu." Aku mengernyi
Setelah dua hari menikmati liburan di pulau, kami kembali ke Makassar. Keesokan harinya, aku dan Agam menemani Aditya membeli oleh-oleh. Mantan suamiku itu awalnya terkejut, namun ketika kulirik Agam, dia pun paham.Aditya begitu tersentuh ketika Agam mengatakan jika uang celengannya masih sedikit. Uangnya tidak akan cukup untuk membeli dua pasang baju. Jadilah dia hanya memilih dua bando karena menolak saat aku menawarkan untuk menambahkan uangnya.Sepulang dari pulau, Agam juga ikut menginap bersama Aditya. Dia juga sengaja memintakan izin untuk tidak masuk sekolah selama dua hari. Hari Selasa sore, Aditya datang bersama Riswan dan Agam. Sore ini kami akan mengantar Aditya ke bandara. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat keakraban dua pria itu."Agam ingat waktu ketemu Om Liswan di bandala dulu. Agam nda jadi naik pesawat. Agam sama ibu naik kapal laut," ujar Agam ketika kami mampir di sebuah kafe bandara."In sya Allah kalau kita ke Surabaya, Agam akan naik pesawat. Bukannya Agam
Kualihkan pandanganku ke arah laut. Kilau indah di permukaan air sana mempesona. Tak lama lagi, akan terlihat matahari tenggelam yang tak kalah indahnya."Kau benar. Selama ini aku selalu terhasut kata-kata ibuku. Ayah bahkan pergi meninggalkan kami setelah tahu perselingkuhan ibu dan kakek. Sama seperti yang kau lakukan dulu." Dia meliriku.Aku tidak menampik maupun mengakuinya dengan lidahku. Kuyakin dia sudah menyadarinya. "Kini aku mengerti mengapa sejak kembali dari rumah sakit, kau tidak pernah menunjukkan sopan santun lagi pada kakek." Kubalas tatapannya dengan anggukan pelan. Aku akui jika sudah lama mengetahuinya. Alasan itulah yang membuatku berani membawa anakku jauh dari orang-orang seperti mereka. Lingkungan yang rusak tidak akan baik untuk anakku.Aku bukannya tidak berharap mereka bisa berubah. Hanya saja aku sadar, itu hal yang sulit. Aku tahu, aku tidak memiliki kemampuan untuk membuat mereka bertobat."Devi juga sama. Sejak dia melihatnya, dia mulai mengacuhkan ibu.
Pertanyaannya malam itu kini terjawab sudah. Setelah menjelaskan tentang janjinya pada Agam, Riswan menunjukkan foto di layar ponselnya. Aku dan Aditya akhirnya mengangguk setuju dengan ajakannya. Akhir pekan ini terasa berbeda. Aku dan Aditya pun sama-sama menepis ego. Apalagi alasannya jika bukan demi Agam. Ketika Aditya menelpon Agam, mengatakan jika Riswan mengajak mereka ke pantai, Agam langsung mau ikut. Aditya memintanya mengajakku seolah-olah aku tidak tahu. Ketika aku setuju, Agam tampak begitu bahagia. Begitu juga halnya dengan Tita.Sama seperti Agam, gadis itu juga sibuk packing. Katanya, di sana dia akan membuat banyak foto dengan beberapa outfit yang khusus dibawanya. Tidak ketinggalan si Moi. Omong-omong, itu nama kameranya.Di atas kapal yang menampung lebih dari 20 orang, aku duduk menikmati angin laut. Aroma khas air laut yang terbawa akan jadi satu kenangan untukku. Ini pertama kalinya aku naik kapal seperti ini. Dulu saat kabur, aku dan Agam naik kapal yang lebih
'Rawatlah ikhlas dalam hatimu, biarkan seorang ayah bertemu putra kandungnya. Mungkin setelah itu … kamu tidak akan lagi hawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang selama ini membayangimu. Termasuk dengan kemungkinan perasaanmu yang akan kembali terluka.'Aku sudah melakukan seperti sarannya. Aku ikhlas dan mengizinkan Aditya bertemu dengan Agam, bahkan keluarganya pun ikut datang. Namun balasan yang kuterima adalah rasa sakit. Dia malah datang membawa niatan baru untuk rujuk. Membuatku seperti wanita penggoda suami orang. Dia bodoh atau bagaimana? Bagaimana bisa dia berpikir aku mau menelan luka?'Memang tidak mudah, mungkin juga akan menyakitkan. Cobalah, mungkin sakitnya hanya sebentar, karena yang saya tahu … setiap rasa sakit selalu ada obatnya. Obat yang paling ampuh adalah … memaafkan.' Lagi-lagi kalimat yang pernah dituturkan Riswan terngiang. Benarkah rasa sakitnya hanya sebentar? Sebentar itu … berapa waktu yang harus kulalui untuk bisa bertahan?Sambil menata kembali jilb
Lelah dan jengah dengan sikap Aditya, aku akhirnya tiba di penghujung kesabaranku. Dua pekan ini dia benar-benar mengujiku."Aku tidak akan membiarkanmu bertemu Agam lagi, jika kau tidak kembali pada keluargamu. Aku tidak ingin kedua adik kembar dari pernikahanmu dan Devi punya hubungan buruk dimasa depan dengan Agam. Sikapmu ini, membuatku kembali kehilangan rasa percaya padamu. Aku, tidak sudi rujuk denganmu, Aditya." Kulihat raut wajahnya berubah drastis."Kenapa? Karena Devi mengancammu?"Aku menggeleng. "Bukan. Karena kau selalu mengingatkanku pada rasa sakit. Aku juga tidak sudi punya mertua seperti ibumu. Aku tidak bisa lupa saat dia menuduhku selingkuh, padahal dialah yang berselingkuh dengan, mertuanya sendiri," balasku mengatakan inti dari alasan penolakanku."Risa, aku hanya i-""Jika kau tidak berhenti mengusikku, maka aku akan memberitahu Agam tentang penyebab perceraian kita. Biar saja dia tahu kalau papanya suka memukuli ibunya. Itulah alasan kenapa aku membawanya pergi
Aku hanya bisa memandang taksi yang baru saja dihentikan oleh Aditya. Mantan suamiku itu sempat pamit pada Agam dengan mengatakan kalau dia harus pulang lebih dulu. Besok akan kembali menemuinya di rumah."Carisa …." Aku menoleh ke belakang dengan tatapan penuh harap."Kamu kenapa menangis?" Riswan dengan raut wajah cemasnya menghampiriku."Bagaimana bisa Kak Riswan tahu kami di sini?" Dia tersenyum menunjukkan riwayat chat dengan Tita."Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Jelas bukan debu jalanan yang membuat kamu menangis," tebaknya dan dari ucapannya itu aku tahu dia masih menunggu penjelasanku.Kuceritakan apa adanya sambil menunjuk ke arah pintu ruko di seberang jalan. Aditya saat ini menemui si pemilik ruko kosong itu. Dia berniat untuk membuka toko sembako di sana. "Memangnya dia berniat pindah dan menetap di sini? Kenapa tidak cari rumah terlebih dulu? Kasihan istri dan bayi kembarnya kalau tinggal di sana. Ruko sebelahnya itu warung 24 jam, pasti akan berisik," ujarnya denga
Benar dugaanku dia yang datang. Tita mempersilakannya masuk. Masih bisa kudengar suara Tita yang memberitahunya kalau aku di dapur.Tak berselang lama, Ibu Jannah datang mengambil bumbu yang sudah kusiapkan. Dia belum mahir membuatnya. Tita datang membawakan sebuah paper bag. Tentengan itu berisi oleh-oleh makanan khas Surabaya. Oleh-oleh yang sama seperti yang dibawanya tiga bulan lalu saat dia datang bersama ibu dan istrinya.Kubangunkan Agam yang tadinya tidur siang. Tidur sejam setidaknya cukup untuknya. Saat kuberitahu kalau papanya datang, Agam terkejut. Wajah mengantuknya pun sirna. "Papa …." Dia berlari ke pelukan Aditya. Kulihat di meja sudah ada kue dan minuman yang tersaji. Tita pamit masuk ke toko untuk melanjutkan pekerjaannya mengemas pesanan pembeli."Kenapa datang tidak bilang-bilang?" Aditya menoleh menatapku.Dia tersenyum lalu mengecup pipi Agam. "Sengaja buat kejutan untuk Agam. Agam suka tidak, sama oleh-olehnya?" Agam mengangguk mantap. Suara girangnya menyirat
"Permisi …."Seorang pria dan wanita berdiri di depan pintu toko. Aku bisa bernapas lega ketika Riswan menarik diri. Dia beranjak membukakan pintu toko dan mempersilakan mereka masuk."Mari silakan," ajak Riswan begitu ramah seolah dia pemilik toko."Sebaiknya … kita bicara di ruang tamu saja ya, Pak, Bu," pintaku. Riswan sepertinya tersadar jika mereka tamuku."Boleh," sahut pria paruh baya itu mengajak istrinya serta, lalu mengikuti langkahku ke dalam rumah."Carisa, saya pimit dulu. Saya harus kembali ke kantor," kata Riswan."Agam … Om Riswan mau pulang," panggilku.Putraku sudah melesat menghampirinya. Setelah mencium pipi kanan dan kiri Riswan, lalu beralih mencium punggung tangannya, Agam akhirnya merelakan dia pergi. Tangannya bahkan masih dadah-dadah meski mobil hitam itu sudah menghilang dari pandangan matanya."Sebentar ya, Pak, Bu. Saya ambilkan minum dulu," pamitku pada tamuku. Kupinta juga Agam memanggilkan Tita.Tadinya aku ingin DP rumah subsidi. Akan tetapi, aku meliha
Kupersilakan mereka masuk, tetapi wanita yang terkejut tadi menolak dan memilih duduk di teras. Dia kemudian meminta wanita yang datang bersamanya ikut masuk bersamaku untuk mengambil puding-puding itu. Sebenarnya siapa wanita itu? Dari gelagatnya dia mengenalku. Akan tetapi, aku merasa tidak mengenalnya.Belasan menit kemudian, puding-puding itu sudah di pindahkan ke bagasi mobil. Wanita itu mengulurkan uang pada pembantunya untuk diberikan padaku. Sebegitu tidak sukanya dia melihatku."Terima kasih, Nyonya," ucapku ketika menerima beberapa lembar uang seratus ribu rupiah."Hm."Ponselnya berdering dan ia kembali sibuk dengan ponselnya. Sementara pembantunya mengucapkan terima kasih padaku karena telah memberikan bonus dua cup puding berukuran sedang."Apa kau bisa tahu diri sedikit?" Tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan berkata seperti itu.Aku heran dengannya. "Maaf, maksud Nyonya apa?""Mulai sekarang, jauhi Riswan! Dia itu sudah dijodohkan dengan putri saya. Masa iya Farah mau p