Ke mana nih? Malino atau Bantaeng?
Perjalanan yang kutempuh cukup jauh. Aku dan Agam tiba di tempat tujuan saat hari sudah sore. Dinginnya udara menusuk kulit. Agam yang tertidur harus kugendong sambil menarik koper sehingga gerakanku cukup sulit. Kubayar sewa kamar selama tiga hari. Penginapan yang disarankan oleh mahasiswi yang satu angkutan denganku ini cukup luas. Ruang tamu terhubung langsung dengan dapur umum yang bersih. Sementara kamar-kamarnya berjejeran di kiri dan kanan lorong dengan posisi berhadapan.Kubaringkan Agam di tempat tidur tanpa melepas jaketnya lalu kurapatkan selimut. Jangan sampai putraku kedinginan. Aku yang lelah meneguk air botol sisa Agam. Setelahnya, aku turut berbaring di sampingnya.Menatap langit-langit ruangan, aku terdiam. Aku lelah namun mataku enggan terpejam. Lagipula tidak baik tidur sore menjelang malam. Setengah jam kemudian kubangunkan Agam dan mengajaknya mandi sore. Dari pemilik penginapan, aku sudah mendapat informasi jika di sekitar sini ada wisata kuliner yang buka di ak
Sesuai janjiku pada Agam, kuajak dia jalan-jalan. Ada banyak destinasi di yang memanjakan mata di Malino. Kupilih sebuah tempat wisata outdoor untuk kami kunjungi.Agam heboh sendiri melihat hewan-hewan ternak berbaris rapi saat diberi makan. Kupikir ia akan takut. Nyatanya ia ingin menghampiri anak-anak sapi itu untuk memberi makan. Dia juga antusias ketika melihat melihat sengkedan. Katanya sawah di sini cantik sekali seperti tangga. Sepasang kaki kecilnya tidak bisa diam. Begitu juga telunjuknya yang mengarah pada hal-hal yang membuatnya penasaran. Beberapa pengunjung taman wisata dengan jasa travel yang sama dengan kami mengaku terhibur dengan tingkahnya."Kita ke mana lagi, Om?" tanya Agam pada pemandu wisata kami."Ke air terjun. Tapi … kita tidak boleh mandi di sana, hanya boleh lihat dan foto-foto," jawab pria paruh baya itu."Kenapah?" Agam mengernyit."Karena dilarang.""Kenapa dilalang?"Pria itu menggaruk kepalanya. Sementara di bangku belakang kembali terdengar suara tawa
Penyesalan menyapa dan aku merutuk diri. Putraku pasti kesulitan beradaptasi di tempat dengan cuaca dingin ini. Berbeda denganku yang sudah terbiasa dengan hawa pegunungan. Sejak Agam lahir, dia sudah berada di daerah perkotaan yang kondisi lingkungannya berbeda. Belum lagi di Kota Daeng yang memang iklimnya tropis.Suara ketukan pintu menarikku keluar dari lamunanku. Siapa yang datang malam-malam begini? Siapa yang tahu aku di sini?Kulihat dari celah lubang kunci pintu. Warna daster yang masih aku hapal. Kuputar kunci dan menarik perlahan pintunya. "Ada apa, Bu?" tanyaku pada pemilik penginapan. Apakah dia menyadari putraku demam? Apa suara tangisan Agam sampai ke rumah sebelah? Rasanya tidak mungkin."Suamimu ada di depan, Nak," jawabnya.Tubuhku menegang. Suami? Aku sudah tak bersuami. Lalu siapa yang dia maksud?"Tadi waktu kamu mandi, anakmu pinjam hape ibu. Katanya dia mau telpon ayahnya. Dia bilang kalau dia rindu, tapi kamu tidak mau telponkan ayahnya," jelasnya membuatku t
"Aku kan jadi kehilangan kesempatan untuk memeras Kak Riswan. Sekarang keluarganya sudah tahu. Ngomong-ngomong … Kak Risa sudah pernah ketemu calon mertua belum?" Aku membelalak. Mertua.Satu kata yang menghadirkan trauma. Kalau bukan karena mertua, mantan suamiku tidak akan memandang rendah diriku. Aditya tidak akan berselingkuh hanya karena ingin membuktikan jika dirinya pun bisa bermain di belakangku seperti fitnah ibunya selama ini. Agam tidak akan kehilangan kasih sayang seorang ayah."Kenapa? Takut sama Tante Farah dan Om Latief?" Aku menggeleng, sejujurnya bukan takut, melainkan segan.Gadis bernama Dwi itu kembali duduk dengan mengulas senyum. "Aku pendukungnya Kak Riswan. Jangan mengulang kesalahan ini lagi dengan kabur seperti ini, Kak. Kak Riswan sudah seperti orang gila cari kalian. Untung kalian tertangkap rekaman cctv, kalau tidak … mungkin dia akan lapor polisi kalau kalian berdua diculik," tuturnya membuatku tersentak."Hampir, untung saja sahabatnya yang polisi itu be
Demi Tuhan, bagaimana bisa ia setenang itu mengatakannya? Bagaimana bisa ia tetap tersenyum setelah mendengar jawabanku? Berkali-kali pun ia mengatakan semua akan baik-baik saja, tetap saja aku ragu. Bukan dia yang ada di posisiku. Dia dia yang merasakan kepahitan yang kualami. Aku tak suka orang-orang yang berlagak memahami diriku.Setelah tangannya kusentak kasar, dia masih bisa memamerkan senyum bak perahu naga itu padaku. Ya, aku baru saja menolaknya. Jika gadis lain mendengarku, maka mereka akan memakiku wanita bodoh.Pria yang nyaris sempurna ini melamarku. Meminta izin masuk lebih jauh ke dalam hidupku dan hidup putraku. Apakah otaknya rusak setelah bertemu Aditya?Kutinggalkan dia sendirian di sana. Biarkan saja matahari pagi menghiburnya. Aku bukannya tidak menyukainya. Hanya saja … aku sadar diri tak pantas dengannya.Aku tak ingin hubungannya dengan orang tuanya hancur jika dia menikah denganku tanpa restu dari orang tuanya. Aku tak bodoh, melihat Nyonya Farah aku jelas tah
Aku menoleh kala pintu kamar inapku terbuka. Dia mengangguk sembari melangkah dengan mata yang tertuju pada ponselnya. Raut wajahnya berubah namun hanya sesaat."Agam sudah tidur. Kenapa makanannya tidak kamu sentuh?" tanya Riswan setelah menjelaskan kondisi Agam yang sejak tadi menangis. Aku langsung meraih sendok. Kulihat dia melangkah keluar dan menghubungi seseorang. Mungkin rekan kerjanya atau keluarganya. Agam benar-benar kecewa padaku. Saat Riswan menenangkannya, aku hanya bisa mencurahkan semuanya pada Tita. Gadis itu malah menyarankanku untuk pulang saja. Katanya dia juga rindu.Belum lagi Aditya selalu datang setiap harinya. Dia bertanya apakah kami sudah pulang atau apakah sudah ada kabar. Dia benar-benar datang mengejarku ke Sulawesi.Sudah lama aku tidak menghubungi Mas Dadang dan Mbak Hera. Trauma saat dulu Aditya mengutak-atik ponsel Mbak Hera dan menemukan keberadaanku di Surabaya. Sejak tiba di Makassar, hanya dengan panggilan yang dihubungkan oleh Kemal aku bisa ber
Setelah jalan-jalan hingga makan siang di sebuah taman wisata, kami akhirnya bersiap untuk pulang. Sejak pagi kami sudah berkemas meninggalkan penginapan, sehingga kami bisa langsung kembali ke Makassar.Seperti biasa, Agam duduk di depan. Kali ini kursinya direbahkan untuk membuatnya tidur dengan nyaman. Keceriaannya sudah kembali, seakan kemarin ia tidak mengalami demam sama sekali.Di awal perjalanan, Dwi yang mengemudikan mobil karena Riswan mengaku merasa mengantuk. Kutebak dia mungkin kelelahan menggendong Agam ke sana kemari di taman wisata tadi. Jadilah dia duduk di belakang bersamaku. Setelah dua jam berkendara dan mampir di rest area, Riswan kembali duduk di balik setir. Sambil mengemudikan mobilnya, kudengar dia sedang terhubung dengan panggilan telpon. Dari penuturannya, dia sedang mengatur sebuah acara dengan mengarahkan rekan-rekannya. Aku heran bagaimana dia bekerja tanpa melihat langsung tempatnya.Kedatangan kami disambut Tita dengan suka cita. Gadis itu memelukku era
Aditya dan keras kepala adalah satu paket komplit. Sudah diminta datang setelah shalat magrib, dia malah datang sore. Tepat pukul 17.05 WITA, mantan suamiku sudah duduk manis di teras rumah. Jangan tebak, dia terbang atau menembus dinding. Dia memang nekat melompati pagar. Aku yakin begitu karena pagar rumah masih dalam keadaan tergembok saat aku, Tita dan Agam sampai di rumah."Agam!!" serunya berlari dan langsung menggendong Agam.Agam yang baru pertama kali melihatnya secara langsung menangis histeris. Dia menciumi Agam tanpa berpikir anaknya nyaman atau tidak. Agam pasti ketakutan dibuatnya. "Turunkan dia Aditya! Turunkan!" desisku sambil menarik Agam agar lepas dari gendongannya.Kulirik Tita agar segera membuka pintu. Disaat yang sama aku memukul kepala Aditya. Itu pasti sakit, namun tidak seberapa jika dibandingkan tangis ketakutan Agam.Pelukan Aditya mulai melemah. Agam berhasil kuraih dan kembali menurunkannya. Kutarik Aditya agar menjauh darinya."Masuk rumah Agam, sama Ka
Setelah dua hari menikmati liburan di pulau, kami kembali ke Makassar. Keesokan harinya, aku dan Agam menemani Aditya membeli oleh-oleh. Mantan suamiku itu awalnya terkejut, namun ketika kulirik Agam, dia pun paham.Aditya begitu tersentuh ketika Agam mengatakan jika uang celengannya masih sedikit. Uangnya tidak akan cukup untuk membeli dua pasang baju. Jadilah dia hanya memilih dua bando karena menolak saat aku menawarkan untuk menambahkan uangnya.Sepulang dari pulau, Agam juga ikut menginap bersama Aditya. Dia juga sengaja memintakan izin untuk tidak masuk sekolah selama dua hari. Hari Selasa sore, Aditya datang bersama Riswan dan Agam. Sore ini kami akan mengantar Aditya ke bandara. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat keakraban dua pria itu."Agam ingat waktu ketemu Om Liswan di bandala dulu. Agam nda jadi naik pesawat. Agam sama ibu naik kapal laut," ujar Agam ketika kami mampir di sebuah kafe bandara."In sya Allah kalau kita ke Surabaya, Agam akan naik pesawat. Bukannya Agam
Kualihkan pandanganku ke arah laut. Kilau indah di permukaan air sana mempesona. Tak lama lagi, akan terlihat matahari tenggelam yang tak kalah indahnya."Kau benar. Selama ini aku selalu terhasut kata-kata ibuku. Ayah bahkan pergi meninggalkan kami setelah tahu perselingkuhan ibu dan kakek. Sama seperti yang kau lakukan dulu." Dia meliriku.Aku tidak menampik maupun mengakuinya dengan lidahku. Kuyakin dia sudah menyadarinya. "Kini aku mengerti mengapa sejak kembali dari rumah sakit, kau tidak pernah menunjukkan sopan santun lagi pada kakek." Kubalas tatapannya dengan anggukan pelan. Aku akui jika sudah lama mengetahuinya. Alasan itulah yang membuatku berani membawa anakku jauh dari orang-orang seperti mereka. Lingkungan yang rusak tidak akan baik untuk anakku.Aku bukannya tidak berharap mereka bisa berubah. Hanya saja aku sadar, itu hal yang sulit. Aku tahu, aku tidak memiliki kemampuan untuk membuat mereka bertobat."Devi juga sama. Sejak dia melihatnya, dia mulai mengacuhkan ibu.
Pertanyaannya malam itu kini terjawab sudah. Setelah menjelaskan tentang janjinya pada Agam, Riswan menunjukkan foto di layar ponselnya. Aku dan Aditya akhirnya mengangguk setuju dengan ajakannya. Akhir pekan ini terasa berbeda. Aku dan Aditya pun sama-sama menepis ego. Apalagi alasannya jika bukan demi Agam. Ketika Aditya menelpon Agam, mengatakan jika Riswan mengajak mereka ke pantai, Agam langsung mau ikut. Aditya memintanya mengajakku seolah-olah aku tidak tahu. Ketika aku setuju, Agam tampak begitu bahagia. Begitu juga halnya dengan Tita.Sama seperti Agam, gadis itu juga sibuk packing. Katanya, di sana dia akan membuat banyak foto dengan beberapa outfit yang khusus dibawanya. Tidak ketinggalan si Moi. Omong-omong, itu nama kameranya.Di atas kapal yang menampung lebih dari 20 orang, aku duduk menikmati angin laut. Aroma khas air laut yang terbawa akan jadi satu kenangan untukku. Ini pertama kalinya aku naik kapal seperti ini. Dulu saat kabur, aku dan Agam naik kapal yang lebih
'Rawatlah ikhlas dalam hatimu, biarkan seorang ayah bertemu putra kandungnya. Mungkin setelah itu … kamu tidak akan lagi hawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang selama ini membayangimu. Termasuk dengan kemungkinan perasaanmu yang akan kembali terluka.'Aku sudah melakukan seperti sarannya. Aku ikhlas dan mengizinkan Aditya bertemu dengan Agam, bahkan keluarganya pun ikut datang. Namun balasan yang kuterima adalah rasa sakit. Dia malah datang membawa niatan baru untuk rujuk. Membuatku seperti wanita penggoda suami orang. Dia bodoh atau bagaimana? Bagaimana bisa dia berpikir aku mau menelan luka?'Memang tidak mudah, mungkin juga akan menyakitkan. Cobalah, mungkin sakitnya hanya sebentar, karena yang saya tahu … setiap rasa sakit selalu ada obatnya. Obat yang paling ampuh adalah … memaafkan.' Lagi-lagi kalimat yang pernah dituturkan Riswan terngiang. Benarkah rasa sakitnya hanya sebentar? Sebentar itu … berapa waktu yang harus kulalui untuk bisa bertahan?Sambil menata kembali jilb
Lelah dan jengah dengan sikap Aditya, aku akhirnya tiba di penghujung kesabaranku. Dua pekan ini dia benar-benar mengujiku."Aku tidak akan membiarkanmu bertemu Agam lagi, jika kau tidak kembali pada keluargamu. Aku tidak ingin kedua adik kembar dari pernikahanmu dan Devi punya hubungan buruk dimasa depan dengan Agam. Sikapmu ini, membuatku kembali kehilangan rasa percaya padamu. Aku, tidak sudi rujuk denganmu, Aditya." Kulihat raut wajahnya berubah drastis."Kenapa? Karena Devi mengancammu?"Aku menggeleng. "Bukan. Karena kau selalu mengingatkanku pada rasa sakit. Aku juga tidak sudi punya mertua seperti ibumu. Aku tidak bisa lupa saat dia menuduhku selingkuh, padahal dialah yang berselingkuh dengan, mertuanya sendiri," balasku mengatakan inti dari alasan penolakanku."Risa, aku hanya i-""Jika kau tidak berhenti mengusikku, maka aku akan memberitahu Agam tentang penyebab perceraian kita. Biar saja dia tahu kalau papanya suka memukuli ibunya. Itulah alasan kenapa aku membawanya pergi
Aku hanya bisa memandang taksi yang baru saja dihentikan oleh Aditya. Mantan suamiku itu sempat pamit pada Agam dengan mengatakan kalau dia harus pulang lebih dulu. Besok akan kembali menemuinya di rumah."Carisa …." Aku menoleh ke belakang dengan tatapan penuh harap."Kamu kenapa menangis?" Riswan dengan raut wajah cemasnya menghampiriku."Bagaimana bisa Kak Riswan tahu kami di sini?" Dia tersenyum menunjukkan riwayat chat dengan Tita."Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Jelas bukan debu jalanan yang membuat kamu menangis," tebaknya dan dari ucapannya itu aku tahu dia masih menunggu penjelasanku.Kuceritakan apa adanya sambil menunjuk ke arah pintu ruko di seberang jalan. Aditya saat ini menemui si pemilik ruko kosong itu. Dia berniat untuk membuka toko sembako di sana. "Memangnya dia berniat pindah dan menetap di sini? Kenapa tidak cari rumah terlebih dulu? Kasihan istri dan bayi kembarnya kalau tinggal di sana. Ruko sebelahnya itu warung 24 jam, pasti akan berisik," ujarnya denga
Benar dugaanku dia yang datang. Tita mempersilakannya masuk. Masih bisa kudengar suara Tita yang memberitahunya kalau aku di dapur.Tak berselang lama, Ibu Jannah datang mengambil bumbu yang sudah kusiapkan. Dia belum mahir membuatnya. Tita datang membawakan sebuah paper bag. Tentengan itu berisi oleh-oleh makanan khas Surabaya. Oleh-oleh yang sama seperti yang dibawanya tiga bulan lalu saat dia datang bersama ibu dan istrinya.Kubangunkan Agam yang tadinya tidur siang. Tidur sejam setidaknya cukup untuknya. Saat kuberitahu kalau papanya datang, Agam terkejut. Wajah mengantuknya pun sirna. "Papa …." Dia berlari ke pelukan Aditya. Kulihat di meja sudah ada kue dan minuman yang tersaji. Tita pamit masuk ke toko untuk melanjutkan pekerjaannya mengemas pesanan pembeli."Kenapa datang tidak bilang-bilang?" Aditya menoleh menatapku.Dia tersenyum lalu mengecup pipi Agam. "Sengaja buat kejutan untuk Agam. Agam suka tidak, sama oleh-olehnya?" Agam mengangguk mantap. Suara girangnya menyirat
"Permisi …."Seorang pria dan wanita berdiri di depan pintu toko. Aku bisa bernapas lega ketika Riswan menarik diri. Dia beranjak membukakan pintu toko dan mempersilakan mereka masuk."Mari silakan," ajak Riswan begitu ramah seolah dia pemilik toko."Sebaiknya … kita bicara di ruang tamu saja ya, Pak, Bu," pintaku. Riswan sepertinya tersadar jika mereka tamuku."Boleh," sahut pria paruh baya itu mengajak istrinya serta, lalu mengikuti langkahku ke dalam rumah."Carisa, saya pimit dulu. Saya harus kembali ke kantor," kata Riswan."Agam … Om Riswan mau pulang," panggilku.Putraku sudah melesat menghampirinya. Setelah mencium pipi kanan dan kiri Riswan, lalu beralih mencium punggung tangannya, Agam akhirnya merelakan dia pergi. Tangannya bahkan masih dadah-dadah meski mobil hitam itu sudah menghilang dari pandangan matanya."Sebentar ya, Pak, Bu. Saya ambilkan minum dulu," pamitku pada tamuku. Kupinta juga Agam memanggilkan Tita.Tadinya aku ingin DP rumah subsidi. Akan tetapi, aku meliha
Kupersilakan mereka masuk, tetapi wanita yang terkejut tadi menolak dan memilih duduk di teras. Dia kemudian meminta wanita yang datang bersamanya ikut masuk bersamaku untuk mengambil puding-puding itu. Sebenarnya siapa wanita itu? Dari gelagatnya dia mengenalku. Akan tetapi, aku merasa tidak mengenalnya.Belasan menit kemudian, puding-puding itu sudah di pindahkan ke bagasi mobil. Wanita itu mengulurkan uang pada pembantunya untuk diberikan padaku. Sebegitu tidak sukanya dia melihatku."Terima kasih, Nyonya," ucapku ketika menerima beberapa lembar uang seratus ribu rupiah."Hm."Ponselnya berdering dan ia kembali sibuk dengan ponselnya. Sementara pembantunya mengucapkan terima kasih padaku karena telah memberikan bonus dua cup puding berukuran sedang."Apa kau bisa tahu diri sedikit?" Tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan berkata seperti itu.Aku heran dengannya. "Maaf, maksud Nyonya apa?""Mulai sekarang, jauhi Riswan! Dia itu sudah dijodohkan dengan putri saya. Masa iya Farah mau p