“Sayang, kamu–”
Plak!
Lagi-lagi, tamparan dihadiahkan Rachel untuk pria itu. “Aku jijik mendengar panggilanmu!” Dia menatap penuh amarah ke arah Doni yang terdiam dengan kedua pipi memerah.
Lobi yang semula sepi, kini ramai karena keributan yang diciptakan mereka berdua. Beberapa karyawan yang berjaga mencuri pandang ke arah mereka.
Doni menggertakkan rahangnya. Dia menatap nyalang ke arah Rachel yang baru saja mempermalukannya.
“Wanita tidak tahu diri!!” ujarnya sambil merapatkan gigi. “Kamu pikir, pekerjaan apa yang bisa memberikanmu uang banyak dengan waktu yang cepat? Kamu tidak perlu munafik, Rachel!”
Rachel mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Dia memang bukan wanita religius, tetapi menyerahkan kehormatannya pada pria hidung belang, terlebih yang tidak dia kenal jelas membuatnya jijik. Dia tak rela disentuh pria hidung belang hanya untuk memuaskan hasrat liar mereka yang tak pernah padam.
“Kamu benar-benar bajingan, Don!”
Pria itu terlihat tak acuh. Alih-alih lelah memaksa Rachel, dia justru semakin gencar mendorong kekasihnya untuk masuk ke jurang dosa.
“Kamu hanya perlu melayaninya sebentar untuk mendapatkan uangnya, Rachel.” Dia meraih pergelangan tangan kekasihnya dan segera menyeret wanita itu kembali ke arah lift. “Kita harus temui lagi pelangganmu tadi! Jangan sampai kecewakan dia!”
Beruntung, sebelum keduanya mencapai lift–dengan Rachel yang terus memberontak dengan tenaga kecilnya, seseorang menghentikan langkah mereka dengan menarik kerah baju Doni.
“O-om!” Rachel melonjak begitu menoleh dan mendapati Tommy-lah yang lagi-lagi menolongnya.
Merasa tercekik, Doni pun melepaskan genggaman tangannya pada Rachel dan mencoba mengendurkan kekangan di lehernya.
Sementara itu, kesempatan itu digunakan Rachel untuk berlindung di balik tubuh kekar Tommy.
“Brengsek! Siapa kamu?!” katanya sambil memutar tubuh. “Kalau kamu ingin menidurinya, tunggulah setelah dia melayani pelanggan sebelumnya!”
“Anak zaman sekarang, masih muda sudah jadi mucikari.” Tommy berujar dingin. Masih dengan santai, tetapi penuh wibawa, pria itu menunjukkan layar ponselnya ke arah Doni dan berkata, “Pilihanmu hanya dua. Pergi, atau kupanggil polisi.”
**
“Minum dulu.” Tommy Harnady menyodorkan sebotol air mineral yang baru dibuka tutupnya pada Rachel. Usai menyelamatkan gadis itu sekali lagi tadi, pria itu akhirnya memutuskan untuk membawanya ke kamar yang dia sewa. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu bisa berakhir dengan pria tadi?"
Rachel menunduk, malu. Kendati demikian, dia tetap menjawab, "A-aku ditipu kekasihku….”
Kemudian, gadis itu menceritakan seluruh kisahnya mulai dari awal ditipu Doni hingga berakhir nyaris dinodai pria tambun tadi.
Selama bercerita, Rachel begitu merasa nyaman pada gestur Tommy yang benar-benar menyimaknya. Pria dewasa itu tak memotong, tak juga menilainya buruk.
Sikap Tommy yang demikian itulah tanpa sadar membuat Rachel memandangnya lebih dalam. Pembawaannya yang sabar, tegas tetapi penyayang khas bapak-bapak justru membuat Rachel merasakan getaran di hatinya.
‘Ini tidak benar. Mungkin saja dia memiliki istri.’ Rachel mengubur perasaannya yang baru akan tumbuh itu dengan pemikiran-pemikiran logisnya.
Di awal tadi, Tommy bilang dia memiliki anak seusia Rachel. Lagian … mana mungkin sosok seperti Tommy–tampan, perlente, kaya; yang bisa dilihat dari setelan pakaian juga jam yang melingkar di tangannya–ini masih sendiri, kan?
‘Pasti banyak wanita yang mengejarnya.’ Lagi, Rachel berdialog sendiri dengan dirinya.
Tanpa gadis itu sadari, ketika dia asyik dengan pemikirannya sendiri … Tommy tengah menatapnya dengan dalam.
Begitu sadar tengah diperhatikan pria itu, refleks Rachel menunduk. Dia menyembunyikan rona merah muda di pipinya.
“Sudah malam, akan lebih nyaman kalau kamu pulang besok pagi.” Tommy menaruh gelas berisi air putih yang tadi dia minum. Gerakannya tak luput dari pandangan Rachel. “Kamar hotel ini ada dua. Kamu bisa pakai kamar satunya,” ujarnya sembari menunjuk sebuah kamar.
Rachel nyaris saja memalukan dirinya sendiri, sebab dia sudah akan menawarkan diri untuk tidur di lantai. Namun, dia bersyukur … karena itu berarti dia tidak harus berada di satu kamar yang sama dengan pria yang sedari tadi terus memberikan getaran di hatinya.
“Iy-iya Om, terima kasih.” Gadis cantik itu pun beranjak dari duduknya, menuju ke kamar yang tadi ditunjuk Tommy.
Sesampainya di kamar dan merebahkan diri, pikirannya penuh. Bayangan dia yang akan di-DO dari kampus terus-terusan berputar. Hari ini, seharusnya dia mendapatkan uang untuk membayar tunggakan uang kuliahnya. Bayangan ayah dan ibunya yang berharap dia lulus sebagai sarjana teknik pun membayang.
Tak ketinggalan, perkataan Doni pun terngiang. “Tidak usah munafik, Rachel…. Kamu hanya perlu melayaninya sebentar….”
Kemudian, entah keberanian dari mana, Rachel pun kembali keluar dari kamarnya dan mengetuk kamar Tommy.
Tok. Tok. Tok.
“Om, ini Rachel,” cicitnya dengan suara bergetar.
Tak lama, suara kunci diputar terdengar dan pintu kemudian terbuka. Sejenak, gadis itu terpana melihat penampilan Tommy yang begitu segar sehabis mandi.
Pria itu masih memakai kimono, harum sabun dan shampoo pun menguar, membuat Rachel refleks menelan saliva.
“Ada apa, Rachel?” Suara bariton Tommy menyadarkan Rachel akan tujuannya.
“A-aku tidak bisa tidur.” Rachel memainkan jarinya, memilin-milin ujung baju yang dia kenakan untuk mengusir ragu dan malu. “Apa boleh, kalau Rachel tidur dengan Om?”
Beberapa detik setelahnya, tak ada suara. Mungkin, Tommy sedang berpikir. Sementara Rachel, tak berani mengangkat pandangannya sebab penampilan pria itu yang begitu menggiurkan baginya.
Namun tak lama, pria itu bergeser dan melebarkan pintu kamarnya. “Masuklah.”
Ragu-ragu, Rachel melangkah. Alih-alih menuju ranjang, gadis itu justru menuju kursi panjang yang berada di kamar itu.
“Aku kira, kamu ingin tidur di ranjang bersamaku.”
Langkah Rachel terhenti sebelum mencapai sofa yang dia tuju. Rasanya, jantung Rachel berhenti berdetak mendengar kalimat itu.
“Aku tidak mau dicap pelakor, Om.” Rachel mencoba mengulas senyum, meski butiran keringat mulai muncul di dahinya.
“Tenang, aku bukan pria beristri,” ujar Tommy. “Sudah hampir 10 tahun menduda.”
Mendengar hal itu, Rachel merasa lega. Setidaknya, jika dia mengambil jalan ini … dia tahu kepada siapa dia menyerahkan diri.
“B-begini, Om.” Rachel memberanikan diri menatap Tommy yang menunggunya berbicara. “A-aku butuh uang. Sebagai gantinya, Om boleh menikmati tubuhku malam ini.”
Jantung gadis itu nyaris saja copot, sebab rasanya sulit sekali mengungkapkan hal tadi. Dia takut Tommy melabelinya gadis nakal yang kerap menjajakkan diri demi uang. Namun, dia tak punya pilihan, sebab kuliahnya sangat penting dan harus dilanjutkan.
Adrenalin gadis itu kian memacu, terlebih saat ini pria di hadapannya masih menutup rapat mulutnya dengan tatapan mengarah kepada Rachel.
‘Apa Om Tommy marah?’ Rachel berpikir dalam hati. “Om, maaf kalau aku lancang. Kalau begitu … tidak usah dipikirkan, aku–”
“Berapa uang yang kamu butuhkan?”
Tiba-tiba, pria itu berujar tepat ketika Rachel baru akan memutar tubuh dan kembali ke kamarnya.
“Lima belas juta, Om.” Rachel bercicit. Nominal itu disebut sesuai dengan jumlah yang memang gadis itu perlukan.
Dia tidak berencana menjual diri, tetapi … hanya inilah satu-satunya cara cepat mendapatkan uang, sebab besok bagian keuangan pasti akan menagihnya untuk terakhir kali.
“200 juta.” Tommy berujar dengan tatapan mengarah kepada Rachel yang memelotot tak percaya. “Ini yang pertama untukmu, kan?”
Ya Rachel memang masih perawan! Tetapi … dia tidak menyangka, seseorang dengan suka rela menggelontorkan uang ratusan juta hanya untuk mendapatkan keperawanannya.
“A-aku….”
Bersambung....
“Tunggu sebentar, aku akan ambilkan uangnya.”Mata Rachel mengerjap, kemudian mengikuti gerak Tommy yang melangkah menuju brankas yang ada di kamar tersebut.Pria itu terlihat mengambil satu gepok uang, lalu kembali ke hadapan Rachel dan menyerahkan uang itu pada sang gadis.“O-om, ini….”“50 juta. Sisanya, akan kubayar setelah kegiatan kita selesai.”Rachel meneguk lagi salivanya dengan kasar. Untuk pertama kalinya dia memegang uang sebanyak ini. Namun, dia juga gugup sebab untuk pertama kalinya akan bersentuhan dengan seorang pria.“Tapi kalau kamu ragu, aku tidak memaksa.” Pria itu kembali berujar. Raut wajah Rachel yang memucat cukup jadi gambaran kalau masih ada keraguan pada gadis itu. “Kamu boleh kembali ke kamarmu.”“T-tidak, Om.” Rachel menggeleng. Dia memberanikan diri menaikkan pandangan dan menatap Tommy dalam-dalam. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?”Kemudian, dengan pengalaman yang dimiliki Tommy, pria itu membimbing Rachel melewati hal baru. Perlakuan pria itu yang
Dua minggu kemudian.Rachel duduk termangu usai menerima telepon dari temannya. Sejak peristiwa yang tak pernah dia impikan berturut-turut menimpanya, gadis itu jadi sering melamun.Otaknya mumet penuh dengan rasa bersalah, kemarahan dan kejengkelan pada Doni, hingga bayangan Tuan Tommy. Meski tak pernah bertemu lagi dengan pria setengah tua itu, otaknya masih menyimpan dengan baik perilaku pria itu, juga ketampanannya. Pikiran yang tidak-tidak pun mulai dia rasakan. Rasa ketertarikan pada Tommy, juga perasaannya yang begitu nyaman ketika bersama pria itu membuat angan-angan Rachel meliar, berharap dan memimpikan jika dia bisa menjadi pasangan pria gagah itu.“Gila kamu Rachel!” Gadis itu memarahi dirinya sendiri. “Bagaimana pun, dia lebih cocok jadi papamu, ketimbang kekasihmu! Lagian, orang sepertinya tidak mungkin ingat aku, kan?”Rachel mengempaskan pikiran tidak-tidaknya itu dengan membandingkan kondisi mereka berdua. Dia yang hanya anak ingusan–mungkin, di hadapan Tommy, jelas
Keheranan pun terjadi pada Sumi. Melihat anaknya terus-terusan muntah di pagi hari itu, membuatnya tak tega.“Kamu makan apa sih nduk, kenapa sampai muntah-muntah begini?”Ibunya itu memijat punggung mulus anaknya ini dengan lembut, mengantarkan kenyamanan yang Rachel rasakan. “Kayaknya Rachel masuk angin, Bu,” jawab Rachel asal, lagi-lagi mengulang alasan yang sama.Pikirnya, saat ini memang sedang masuk musim penghujan. Ditambah lagi, beberapa hari terakhir dia selalu kehujanan ketika pulang dari kampus.Rachel merasa lebih baik usai dipijat ibunya. Wangi aroma minyak urut yang digunakan sang ibu agaknya manjur mengusir mualnya. Tak lama, hasrat ingin makannya pun muncul, membuat dia langsung menuju ke dapur.Mata Rachel berbinar begitu melihat buah mangga yang masih muda, yang ada di atas meja makan. Air liurnya bahkan terus-terusan melonjak, seolah tubuhnya begitu menginginkan buah yang asam itu. Tanpa pikir panjang, alih-alih menyendok makan, Rachel mengupas mangga muda itu. Ha
Kereta api tujuan Bandung bergerak meninggalkan ibukota negeri ini, membawa diri dan hati yang berat secara terpaksa meninggalkan tempat kelahirannya. Satu hari Rachel memutuskan menginap di hotel, sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah rumah sederhana di sebuah kompleks perumahan. “Kamu sendiri ya, Nduk? Suaminya mana? Apa kamu masih gadis?” Si pemilik rumah bertanya, saat Rachel mendatanginya seorang diri. “S-saya janda Bu!” Tergagap, Rachel menjawab pertanyaan yang tak disangka-sangka ini. “Oalaaah, janda. Cantik-cantik kok janda?” ujarnya tidak menyangka. Kemudian, matanya menelisik ke satu arah dan mendekat kemudian berbisik, “Awas loh, hati-hati. Pak RT di sini terkenal ganjen, apalagi sama janda yang masih seger gini!” goda si ibu ini sambil mengecek ponselnya. Uang sebesar 95 juta sebagai harga pembelian rumah itu telah dikirimkan Rachel pada ibu itu. Setelah selesai urusan jual beli rumah, tanpa bertele-tele, si pemilik rumah ini pun berikan sertifikat dan
1,5 Tahun kemudian….Hari ini kepala Rachel mumet tak terkira. Sejak pagi, Gibran anaknya lebih rewel dari biasanya. Tubuh bocah tersebut tak demam, tak juga terlihat popoknya penuh, atau lapar. Rachel pusing, sebab dia kini sedang dikejar deadline menyelesaikan skripsinya.“Gibran, sebenarnya kamu kenapa sih, Nak?” Rachel menggendong dan menepuk-nepuk lembut punggung sang anak, tapi Gibran tetap tak berhenti menangis“Atitt…atitttt!” Jari mungil Gibran menunjuk ke wajahnya, Rachel paksa membuka mulut anaknya, terlihat tanda merah, seperti sariawan.Tak tega sang anak terus merengek, Rachel pun akhirnya bergegas menuju ke sebuah klinik anak dengan motornya. Tiba di klinik, gestur panik wanita satu anak itu sungguh terlihat. Sebab, tubuh Gibran yang semula adem itu mulai naik suhunya. Kedatangannya di klinik itu pun mencuri perhatian pengunjung.Bahkan, tanpa Rachel sadari, ada mata seorang pria tampan setengah tua tengah memandangnya. Rachel duduk menunggu antrean untuk memeriksak
Semenjak bertemu Tommy secara tak terduga di klinik itu, Rachel mulai harap-harap cemas. Ia takut Tommy benar-benar datang lagi ke rumah.Tapi ketakutan Rachel tak terbukti!Entah kenapa sudah lebih satu bulan Tommy tak pernah nongol lagi ke rumahnya.“Semoga saja dia tak datang lagi. Bikin jantungku mau copot saja!” sungut Rachel sambil menatap Gibran dalam pelukannya.Ya, ada rasa tak rela ketika anak semata wayangnya itu memanggil Tommy ‘papa’, padahal selama ini pria itu tak pernah membersamai mereka. Namun, dalam hati wanita itu … ia pun malang melihat sang anak yang kurang kasih sayang–atau bahkan tak dapat perhatian dari sosok ayah.Kendati demikian, Rachel bersyukur dengan keabsenan Tommy beberapa bulan ini. Karena dengan begitu, ia pun bisa selesaikan skripsinya dengan lancar. Tapi Rachel sering terdiam, bahkan mood-nya menjadi begitu tak stabil. Ia mudah berubah jengkel. Gara-gara Gibran makin sering saja sebut ‘papah-papah’.“Kenapa anak ini begitu lancar berucap ‘Papa’?”
‘Ya Tuhan … ternyata sulit!’Malam hari, Rachel mengeluh kala melihat saldo di rekeningnya hanya tersisa tiga puluh ribu. Memulai usaha nyatanya tak semudah yang dia kira. Usahanya berjualan skin care sudah berjalan, tetapi masih belum menunjukkan kemajuan. Yang ada, dia terus mendapati komplainan dari customer yang merasa tak cocok dengan produk yang dia jual.Hatinya makin sakit, saat melihat kaleng susu bubuk Gibran tersisa kurang dari seperempatnya.Seiring dengan kesulitan yang membelit, godaan pun makin sering menerpa dirinya. Pak RT yang saat ini mencalonkan diri jadi anggota legislatif itu terang-terangan mencoba menjadikannya simpanan dengan janji uang bulanan hingga 15 juta. Alasan menagih iuran kebersihan dan keamanan RT dijadikan dalih oleh pria itu menemuinya di rumah. Padahal selama ini yang menagih bukan dia, tapi petugas keamanan yang dipekerjakan oleh warga.“Nanti…kalau Abang terpilih jadi Anggota Dewan, bukan hanya 15 juta, 25 juta kukasih,” janji Pak RT dengan mu
“Rachel, jadi … itu papanya Gibran?”Sejak tadi bu Sumi menahan mulutnya. Namun, setelah mendengar ucapan Rahmi tadi … dia tak bisa tinggal diam lagi.Dengan lemah, Rachel mengangguk.“Kenapa kamu tak minta tanggung jawabnya?” Bu Sumi menatap tajam wajah anaknya.“Sudahlah bu. Persoalannya tidak sesederhana itu,” ucapnya sembari menghela napas panjang. “Rachel mohon sama Ibu, jangan desak Rachel untuk minta pertanggungjawabannya.”Akhirnya, Sumi mengalah. Dia paham, anaknya mungkin memiliki pertimbangan lain dengan tidak meminta pria tersebut bertanggung jawab.“Gibran, sini, Nak. Nih, susu kamu sudah ada.” Meninggalkan Rachel yang kukuh pada pendiriannya, Sumi memilih untuk memberitahu kabar bahagia untuk sang cucu. “Gibran mau susu?”Bocah itu langsung melonjak kegirangan! “Yeay! Susu Giblan banyak!!”Melihat Gibran kesenangan begitu, Rachel yang tadinya berniat mengembalikan seluruh kotak susu dan cek itu pun menjadi urung. Biarlah, dia anggap saja susu-susu itu hadiah untuk anakn