Beranda / Romansa / Istriku Teman Anakku / Bab 2: Bukan Jual Diri, Tapi…

Share

Bab 2: Bukan Jual Diri, Tapi…

“Sayang, kamu–” 

Plak!

Lagi-lagi, tamparan dihadiahkan Rachel untuk pria itu. “Aku jijik mendengar panggilanmu!” Dia menatap penuh amarah ke arah Doni yang terdiam dengan kedua pipi memerah. 

Lobi yang semula sepi, kini ramai karena keributan yang diciptakan mereka berdua. Beberapa karyawan yang berjaga mencuri pandang ke arah mereka.

Doni menggertakkan rahangnya. Dia menatap nyalang ke arah Rachel yang baru saja mempermalukannya.

“Wanita tidak tahu diri!!” ujarnya sambil merapatkan gigi. “Kamu pikir, pekerjaan apa yang bisa memberikanmu uang banyak dengan waktu yang cepat? Kamu tidak perlu munafik, Rachel!”

Rachel mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Dia memang bukan wanita religius, tetapi menyerahkan kehormatannya pada pria hidung belang, terlebih yang tidak dia kenal jelas membuatnya jijik. Dia tak rela disentuh pria hidung belang hanya untuk memuaskan hasrat liar mereka yang tak pernah padam.

“Kamu benar-benar bajingan, Don!”

Pria itu terlihat tak acuh. Alih-alih lelah memaksa Rachel, dia justru semakin gencar mendorong kekasihnya untuk masuk ke jurang dosa. 

“Kamu hanya perlu melayaninya sebentar untuk mendapatkan uangnya, Rachel.” Dia meraih pergelangan tangan kekasihnya dan segera menyeret wanita itu kembali ke arah lift. “Kita harus temui lagi pelangganmu tadi! Jangan sampai kecewakan dia!”

Beruntung, sebelum keduanya mencapai lift–dengan Rachel yang terus memberontak dengan tenaga kecilnya, seseorang menghentikan langkah mereka dengan menarik kerah baju Doni.

“O-om!” Rachel melonjak begitu menoleh dan mendapati Tommy-lah yang lagi-lagi menolongnya.

Merasa tercekik, Doni pun melepaskan genggaman tangannya pada Rachel dan mencoba mengendurkan kekangan di lehernya. 

Sementara itu, kesempatan itu digunakan Rachel untuk berlindung di balik tubuh kekar Tommy. 

 “Brengsek! Siapa kamu?!” katanya sambil memutar tubuh. “Kalau kamu ingin menidurinya, tunggulah setelah dia melayani pelanggan sebelumnya!”

“Anak zaman sekarang, masih muda sudah jadi mucikari.” Tommy berujar dingin. Masih dengan santai, tetapi penuh wibawa, pria itu menunjukkan layar ponselnya ke arah Doni dan berkata, “Pilihanmu hanya dua. Pergi, atau kupanggil polisi.”

** 

“Minum dulu.” Tommy Harnady menyodorkan sebotol air mineral yang baru dibuka tutupnya pada Rachel. Usai menyelamatkan gadis itu sekali lagi tadi, pria itu akhirnya memutuskan untuk membawanya ke kamar yang dia sewa. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu bisa berakhir dengan pria tadi?"

Rachel menunduk, malu. Kendati demikian, dia tetap menjawab, "A-aku ditipu kekasihku….”

Kemudian, gadis itu menceritakan seluruh kisahnya mulai dari awal ditipu Doni hingga berakhir nyaris dinodai pria tambun tadi.

Selama bercerita, Rachel begitu merasa nyaman pada gestur Tommy yang benar-benar menyimaknya. Pria dewasa itu tak memotong, tak juga menilainya buruk.

Sikap Tommy yang demikian itulah tanpa sadar membuat Rachel memandangnya lebih dalam. Pembawaannya yang sabar, tegas tetapi penyayang khas bapak-bapak justru membuat Rachel merasakan getaran di hatinya.

‘Ini tidak benar. Mungkin saja dia memiliki istri.’ Rachel mengubur perasaannya yang baru akan tumbuh itu dengan pemikiran-pemikiran logisnya.

Di awal tadi, Tommy bilang dia memiliki anak seusia Rachel. Lagian … mana mungkin sosok seperti Tommy–tampan, perlente, kaya; yang bisa dilihat dari setelan pakaian juga jam yang melingkar di tangannya–ini masih sendiri, kan?

‘Pasti banyak wanita yang mengejarnya.’ Lagi, Rachel berdialog sendiri dengan dirinya.

Tanpa gadis itu sadari, ketika dia asyik dengan pemikirannya sendiri … Tommy tengah menatapnya dengan dalam.

Begitu sadar tengah diperhatikan pria itu, refleks Rachel menunduk. Dia menyembunyikan rona merah muda di pipinya.

“Sudah malam, akan lebih nyaman kalau kamu pulang besok pagi.” Tommy menaruh gelas berisi air putih yang tadi dia minum. Gerakannya tak luput dari pandangan Rachel. “Kamar hotel ini ada dua. Kamu bisa pakai kamar satunya,” ujarnya sembari menunjuk sebuah kamar.

Rachel nyaris saja memalukan dirinya sendiri, sebab dia sudah akan menawarkan diri untuk tidur di lantai. Namun, dia bersyukur … karena itu berarti dia tidak harus berada di satu kamar yang sama dengan pria yang sedari tadi terus memberikan getaran di hatinya.

“Iy-iya Om, terima kasih.” Gadis cantik itu pun beranjak dari duduknya, menuju ke kamar yang tadi ditunjuk Tommy.

Sesampainya di kamar dan merebahkan diri, pikirannya penuh. Bayangan dia yang akan di-DO dari kampus terus-terusan berputar. Hari ini, seharusnya dia mendapatkan uang untuk membayar tunggakan uang kuliahnya. Bayangan ayah dan ibunya yang berharap dia lulus sebagai sarjana teknik pun membayang.

Tak ketinggalan, perkataan Doni pun terngiang. “Tidak usah munafik, Rachel…. Kamu hanya perlu melayaninya sebentar….”

Kemudian, entah keberanian dari mana, Rachel pun kembali keluar dari kamarnya dan mengetuk kamar Tommy.

Tok. Tok. Tok.

“Om, ini Rachel,” cicitnya dengan suara bergetar. 

Tak lama, suara kunci diputar terdengar dan pintu kemudian terbuka. Sejenak, gadis itu terpana melihat penampilan Tommy yang begitu segar sehabis mandi.

Pria itu masih memakai kimono, harum sabun dan shampoo pun menguar, membuat Rachel refleks menelan saliva. 

“Ada apa, Rachel?” Suara bariton Tommy menyadarkan Rachel akan tujuannya.

“A-aku tidak bisa tidur.” Rachel memainkan jarinya, memilin-milin ujung baju yang dia kenakan untuk mengusir ragu dan malu. “Apa boleh, kalau Rachel tidur dengan Om?”

Beberapa detik setelahnya, tak ada suara. Mungkin, Tommy sedang berpikir. Sementara Rachel, tak berani mengangkat pandangannya sebab penampilan pria itu yang begitu menggiurkan baginya.

Namun tak lama, pria itu bergeser dan melebarkan pintu kamarnya. “Masuklah.”

Ragu-ragu, Rachel melangkah. Alih-alih menuju ranjang, gadis itu justru menuju kursi panjang yang berada di kamar itu. 

“Aku kira, kamu ingin tidur di ranjang bersamaku.”

Langkah Rachel terhenti sebelum mencapai sofa yang dia tuju. Rasanya, jantung Rachel berhenti berdetak mendengar kalimat itu.

“Aku tidak mau dicap pelakor, Om.” Rachel mencoba mengulas senyum, meski butiran keringat mulai muncul di dahinya. 

“Tenang, aku bukan pria beristri,” ujar Tommy. “Sudah hampir 10 tahun menduda.”

Mendengar hal itu, Rachel merasa lega. Setidaknya, jika dia mengambil jalan ini … dia tahu kepada siapa dia menyerahkan diri.

“B-begini, Om.” Rachel memberanikan diri menatap Tommy yang menunggunya berbicara. “A-aku butuh uang. Sebagai gantinya, Om boleh menikmati tubuhku malam ini.”

Jantung gadis itu nyaris saja copot, sebab rasanya sulit sekali mengungkapkan hal tadi. Dia takut Tommy melabelinya gadis nakal yang kerap menjajakkan diri demi uang. Namun, dia tak punya pilihan, sebab kuliahnya sangat penting dan harus dilanjutkan.

Adrenalin gadis itu kian memacu, terlebih saat ini pria di hadapannya masih menutup rapat mulutnya dengan tatapan mengarah kepada Rachel.

‘Apa Om Tommy marah?’ Rachel berpikir dalam hati. “Om, maaf kalau aku lancang. Kalau begitu … tidak usah dipikirkan, aku–”

“Berapa uang yang kamu butuhkan?” 

Tiba-tiba, pria itu berujar tepat ketika Rachel baru akan memutar tubuh dan kembali ke kamarnya. 

“Lima belas juta, Om.” Rachel bercicit. Nominal itu disebut sesuai dengan jumlah yang memang gadis itu perlukan.

Dia tidak berencana menjual diri, tetapi … hanya inilah satu-satunya cara cepat mendapatkan uang, sebab besok bagian keuangan pasti akan menagihnya untuk terakhir kali.

“200 juta.” Tommy berujar dengan tatapan mengarah kepada Rachel yang memelotot tak percaya. “Ini yang pertama untukmu, kan?”

Ya Rachel memang masih perawan! Tetapi … dia tidak menyangka, seseorang dengan suka rela menggelontorkan uang ratusan juta hanya untuk mendapatkan keperawanannya.

“A-aku….”

mrd_bb

Bersambung....

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status