“Om, aku bukan wanita seperti yang om kira. Aku gadis baik-baik!”
Rachel mengiba sambil berjongkok di ujung ranjang kamar hotel mewah ini. Di hadapannya, seorang pria hidung belang tengah menatapnya dengan mata berkabut gairah.
Kehormatannya dalam bahaya, usai dia dikhianati kekasihnya sendiri. Kekasih yang dia kira akan memberinya pekerjaan, nyatanya malah menjualnya pada pria tambun yang ada di depannya saat ini.
“Dengar, cantik. Kamu ini sudah dijual kekasihmu pada Om. Lagipula, uang 15 juta bisa kamu bawa pulang setelah ini. Jadi, jangan menolak.”
Setelahnya, tanpa menunggu Rachel menjawab, pria itu bergerak menarik tubuh mungilnya. Dia mencoba melawan, tetapi cengkeraman pria itu di bahunya begitu kuat, hingga kemudian terdengar suara robekan.
Brettt!
Bahu mulus milik Rachel terekspos, membuat tatapan penuh gairah pria itu semakin menjadi, bak serigala yang lapar dan telah menemukan mangsanya.
Rachel mundur tatkala pria itu terus memangkas jarak. Seringai pria itu, juga tatapannya yang sungguh mesum membuat dia semakin takut.
“J-jangan, Om–”
“Sudahlah, cantik. Berhenti bermain-main, turuti saja kemauan Om.”
Pria itu membekap mulut Rachel, menghalaunya untuk mengeluarkan suara. Dia bahkan sulit untuk bernapas. Sementara itu, pria itu masih terus berusaha mengungkungnya, juga membawanya ke atas ranjang.
Rachel mencoba memberontak, tetapi tenaga dari tubuh mungilnya tak seberapa jika dibandingkan bobot pria tambun itu. Berpikir sejenak, dia pun teringat satu serangan pamungkas yang sering dia lihat di televisi.
Menghitung dalam hati, Rachel pun segera mengangkat kaki dan diarahkannya dengan sekuat tenaga ke sela-sela kaki pria itu.
Bugh!
“Argh, wanita sialan!!” Si pria tambun itu berteriak. Refleks, belitannya pada tubuh Rachel terlepas.
Melihat kesempatan emas untuk kabur, Rachel pun bergegas menuju pintu kamar hotel. Namun, pria yang masih kesakitan itu berteriak pada beberapa orang yang tengah berjaga di luar kamarnya. “Halau dia.. Jangan sampai wanita itu lolos!”
Melawan satu pria saja, rasanya Rachel tak akan mungkin menang. Apalagi sekarang, melawan dua pria sekaligus yang memegangi tangannya satu per satu. Tubuhnya yang memberontak tak menghalau mereka menyeretnya kembali ke kamar.
Tak ingin kembali masuk ke kandang pria hidung belang itu, Rachel pun berteriak sekuat tenaga.
“Tolong! Siapa pun tolong saya!” Beruntung, tak berlangsung lama … Rachel melihat ada seorang pria sedang berjalan di lorong kamar hotel ini. Tak pikir panjang, dia pun kembali berteriak dengan lantang. “Pak, tolong, Pak. Saya mau diperkosa!”
Gerakan dua pria yang mencekalnya terasa berhenti sesaat. Terlebih saat Rachel melihat pria yang dia teriaki tolong itu menatap ke arah mereka dengan pandangan curiga.
Entah karena tak ingin terlihat lebih mencurigakan, kedua penjaga itu memaksa Rachel untuk berdiri dengan tangan yang masih dipegang erat oleh mereka.
“Apa yang kalian lakukan pada gadis itu?”
Saat pria yang diharapkan Rachel bisa menolongnya itu mendekat, tiba-tiba pria hidung belang yang membelinya muncul. “Siapa yang berani ikut campur dengan urusanku?!” ujarnya sambil tertatih-tatih. “Apa kamu tidak tahu kalau aku–”
Kalimat pria tambun itu tertahan saat melihat siapa yang menegur anak buahnya barusan.
Rachel pun menyadari perubahan itu. Wajah pria itu yang semula beringas dan penuh amarah mendadak padam. Sebaliknya, si pria tampan penolongnya, justru terlihat mulai paham apa yang terjadi.
Tak ada raut takut, atau kaget, pria itu justru semakin mendekat dengan langkah dan ekspresi yang tenang. Anehnya, ketenangan pria itu justru membuat pria hidung belang dan kawanannya semakin menciut.
“Hei, bodoh! Cepat lepaskan dia!” Tiba-tiba, pria tambun yang semula begitu enggan melepas Rachel, justur memerintahkan anak buahnya hal yang bertolak belakang. “T-tuan, ini hanya kesalahpahaman.”
Pria tambun itu bahkan membungkukkan tubuhnya–pertanda hormat, usai berkata demikian, sebelum kemudian pergi tanpa banyak negosiasi lagi.
Entah apa yang membuat om mesum itu mau melepasnya dengan suka rela, dan mudah. Namun, melihat raut ketakutan di wajah om mesum itu saat melihat pria penolongnya, Rachel mengembuskan napas lega.
“Sekarang, kamu sudah aman.”
Rachel menoleh ke arah pria baik itu. Namun sayang, pria itu telah berbalik hendak meninggalkannya.
“Om, tunggu.” Dia memberanikan diri mengejar pria itu, kendati rasa malu masih menyergahnya. “S-saya dijebak. Kekasih saya menjual saya pada pria itu.”
Bahu pria itu terlihat menegang. Dia yang sudah berpaling lantas kembali memutar tubuh dan kembali menatap Rachel.
Tahu kondisi bajunya tak lagi sempurna, dengan kedua tangannya dia lantas menahan robekan bajunya.
Selama beberapa detik, Rachel dibuat jantungan. Sebab pria itu tak bereaksi selain menatapnya penuh selidik.
“Pakai ini untuk menutupi bahumu.” Kemudian, pria itu melepas jas yang dikenakannya dan menyerahkannya pada Rachel. "Pakaianmu yang robek bisa mengundang pria hidung belang lainnya, Nona."
Semula, Rachel ingin menolak uluran jas itu. Namun, memikirkan perkataan pria itu ada benarnya … dia pun menerima dan lekas memakainya. "T-terima kasih, Om, karena sudah menyelamatkanku. Aku tidak tahu apa jadinya kalau–”
“Namaku Tommy.” Pria itu menatap ke arah Rachel yang masih menunduk. “Melihatmu, agaknya kamu seusia dengan anak sulungku. Berapa usiamu?”
Rachel menaikkan pandangan, dan tatapannya bertemu dengan tatapan pria tampan itu. Sesaat, dia agak menyangsikan pengakuan Om Tommy perihal usianya. Sebab, pria yang ada di hadapannya ini masih terlihat begitu muda, tak terlihat seperti om-om yang telah memiliki anak sebesar dirinya.
Namun, tak ingin terlena terlalu lama … Rachel pun memutus pandangan dan kembali menundukkan kepala. "Nama saya Rachel, Om. Saya baru 20-an tahun.”
Pria itu mengangguk, kemudian bersiap memutar kembali tubuhnya. “Mari, kuantar kamu ke bawah. Sudah terlalu malam untuk gadis seusiamu pulang.”
Rachel mengiyakan, dia merasa akan lebih aman jika ‘dikawal’ oleh Om Tommy, karena takut pria hidung belang tadi masih menunggunya di dekat sini.
Sesampainya di lobi, mereka pun berpisah. Tommy melenggang menuju resepsionis, sementara Rachel menghampiri sesosok pria yang menjadi dalang dari kemalangannya malam ini.PLAK!
Sebuah tamparan melaju dengan cepat dan keras di pipi pria tersebut. Kemarahan Rachel padanya benar-benar tak terbendung lagi.“Kamu memang pantas dapat tamparan itu, Berengsek!”
Bersambung....
“Sayang, kamu–” Plak!Lagi-lagi, tamparan dihadiahkan Rachel untuk pria itu. “Aku jijik mendengar panggilanmu!” Dia menatap penuh amarah ke arah Doni yang terdiam dengan kedua pipi memerah. Lobi yang semula sepi, kini ramai karena keributan yang diciptakan mereka berdua. Beberapa karyawan yang berjaga mencuri pandang ke arah mereka.Doni menggertakkan rahangnya. Dia menatap nyalang ke arah Rachel yang baru saja mempermalukannya.“Wanita tidak tahu diri!!” ujarnya sambil merapatkan gigi. “Kamu pikir, pekerjaan apa yang bisa memberikanmu uang banyak dengan waktu yang cepat? Kamu tidak perlu munafik, Rachel!”Rachel mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Dia memang bukan wanita religius, tetapi menyerahkan kehormatannya pada pria hidung belang, terlebih yang tidak dia kenal jelas membuatnya jijik. Dia tak rela disentuh pria hidung belang hanya untuk memuaskan hasrat liar mereka yang tak pernah padam.“Kamu benar-benar bajingan, Don!”Pria itu terlihat tak acuh. Alih-alih lelah memaksa
“Tunggu sebentar, aku akan ambilkan uangnya.”Mata Rachel mengerjap, kemudian mengikuti gerak Tommy yang melangkah menuju brankas yang ada di kamar tersebut.Pria itu terlihat mengambil satu gepok uang, lalu kembali ke hadapan Rachel dan menyerahkan uang itu pada sang gadis.“O-om, ini….”“50 juta. Sisanya, akan kubayar setelah kegiatan kita selesai.”Rachel meneguk lagi salivanya dengan kasar. Untuk pertama kalinya dia memegang uang sebanyak ini. Namun, dia juga gugup sebab untuk pertama kalinya akan bersentuhan dengan seorang pria.“Tapi kalau kamu ragu, aku tidak memaksa.” Pria itu kembali berujar. Raut wajah Rachel yang memucat cukup jadi gambaran kalau masih ada keraguan pada gadis itu. “Kamu boleh kembali ke kamarmu.”“T-tidak, Om.” Rachel menggeleng. Dia memberanikan diri menaikkan pandangan dan menatap Tommy dalam-dalam. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?”Kemudian, dengan pengalaman yang dimiliki Tommy, pria itu membimbing Rachel melewati hal baru. Perlakuan pria itu yang
Dua minggu kemudian.Rachel duduk termangu usai menerima telepon dari temannya. Sejak peristiwa yang tak pernah dia impikan berturut-turut menimpanya, gadis itu jadi sering melamun.Otaknya mumet penuh dengan rasa bersalah, kemarahan dan kejengkelan pada Doni, hingga bayangan Tuan Tommy. Meski tak pernah bertemu lagi dengan pria setengah tua itu, otaknya masih menyimpan dengan baik perilaku pria itu, juga ketampanannya. Pikiran yang tidak-tidak pun mulai dia rasakan. Rasa ketertarikan pada Tommy, juga perasaannya yang begitu nyaman ketika bersama pria itu membuat angan-angan Rachel meliar, berharap dan memimpikan jika dia bisa menjadi pasangan pria gagah itu.“Gila kamu Rachel!” Gadis itu memarahi dirinya sendiri. “Bagaimana pun, dia lebih cocok jadi papamu, ketimbang kekasihmu! Lagian, orang sepertinya tidak mungkin ingat aku, kan?”Rachel mengempaskan pikiran tidak-tidaknya itu dengan membandingkan kondisi mereka berdua. Dia yang hanya anak ingusan–mungkin, di hadapan Tommy, jelas
Keheranan pun terjadi pada Sumi. Melihat anaknya terus-terusan muntah di pagi hari itu, membuatnya tak tega.“Kamu makan apa sih nduk, kenapa sampai muntah-muntah begini?”Ibunya itu memijat punggung mulus anaknya ini dengan lembut, mengantarkan kenyamanan yang Rachel rasakan. “Kayaknya Rachel masuk angin, Bu,” jawab Rachel asal, lagi-lagi mengulang alasan yang sama.Pikirnya, saat ini memang sedang masuk musim penghujan. Ditambah lagi, beberapa hari terakhir dia selalu kehujanan ketika pulang dari kampus.Rachel merasa lebih baik usai dipijat ibunya. Wangi aroma minyak urut yang digunakan sang ibu agaknya manjur mengusir mualnya. Tak lama, hasrat ingin makannya pun muncul, membuat dia langsung menuju ke dapur.Mata Rachel berbinar begitu melihat buah mangga yang masih muda, yang ada di atas meja makan. Air liurnya bahkan terus-terusan melonjak, seolah tubuhnya begitu menginginkan buah yang asam itu. Tanpa pikir panjang, alih-alih menyendok makan, Rachel mengupas mangga muda itu. Ha
Kereta api tujuan Bandung bergerak meninggalkan ibukota negeri ini, membawa diri dan hati yang berat secara terpaksa meninggalkan tempat kelahirannya. Satu hari Rachel memutuskan menginap di hotel, sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah rumah sederhana di sebuah kompleks perumahan. “Kamu sendiri ya, Nduk? Suaminya mana? Apa kamu masih gadis?” Si pemilik rumah bertanya, saat Rachel mendatanginya seorang diri. “S-saya janda Bu!” Tergagap, Rachel menjawab pertanyaan yang tak disangka-sangka ini. “Oalaaah, janda. Cantik-cantik kok janda?” ujarnya tidak menyangka. Kemudian, matanya menelisik ke satu arah dan mendekat kemudian berbisik, “Awas loh, hati-hati. Pak RT di sini terkenal ganjen, apalagi sama janda yang masih seger gini!” goda si ibu ini sambil mengecek ponselnya. Uang sebesar 95 juta sebagai harga pembelian rumah itu telah dikirimkan Rachel pada ibu itu. Setelah selesai urusan jual beli rumah, tanpa bertele-tele, si pemilik rumah ini pun berikan sertifikat dan
1,5 Tahun kemudian….Hari ini kepala Rachel mumet tak terkira. Sejak pagi, Gibran anaknya lebih rewel dari biasanya. Tubuh bocah tersebut tak demam, tak juga terlihat popoknya penuh, atau lapar. Rachel pusing, sebab dia kini sedang dikejar deadline menyelesaikan skripsinya.“Gibran, sebenarnya kamu kenapa sih, Nak?” Rachel menggendong dan menepuk-nepuk lembut punggung sang anak, tapi Gibran tetap tak berhenti menangis“Atitt…atitttt!” Jari mungil Gibran menunjuk ke wajahnya, Rachel paksa membuka mulut anaknya, terlihat tanda merah, seperti sariawan.Tak tega sang anak terus merengek, Rachel pun akhirnya bergegas menuju ke sebuah klinik anak dengan motornya. Tiba di klinik, gestur panik wanita satu anak itu sungguh terlihat. Sebab, tubuh Gibran yang semula adem itu mulai naik suhunya. Kedatangannya di klinik itu pun mencuri perhatian pengunjung.Bahkan, tanpa Rachel sadari, ada mata seorang pria tampan setengah tua tengah memandangnya. Rachel duduk menunggu antrean untuk memeriksak
Semenjak bertemu Tommy secara tak terduga di klinik itu, Rachel mulai harap-harap cemas. Ia takut Tommy benar-benar datang lagi ke rumah.Tapi ketakutan Rachel tak terbukti!Entah kenapa sudah lebih satu bulan Tommy tak pernah nongol lagi ke rumahnya.“Semoga saja dia tak datang lagi. Bikin jantungku mau copot saja!” sungut Rachel sambil menatap Gibran dalam pelukannya.Ya, ada rasa tak rela ketika anak semata wayangnya itu memanggil Tommy ‘papa’, padahal selama ini pria itu tak pernah membersamai mereka. Namun, dalam hati wanita itu … ia pun malang melihat sang anak yang kurang kasih sayang–atau bahkan tak dapat perhatian dari sosok ayah.Kendati demikian, Rachel bersyukur dengan keabsenan Tommy beberapa bulan ini. Karena dengan begitu, ia pun bisa selesaikan skripsinya dengan lancar. Tapi Rachel sering terdiam, bahkan mood-nya menjadi begitu tak stabil. Ia mudah berubah jengkel. Gara-gara Gibran makin sering saja sebut ‘papah-papah’.“Kenapa anak ini begitu lancar berucap ‘Papa’?”
‘Ya Tuhan … ternyata sulit!’Malam hari, Rachel mengeluh kala melihat saldo di rekeningnya hanya tersisa tiga puluh ribu. Memulai usaha nyatanya tak semudah yang dia kira. Usahanya berjualan skin care sudah berjalan, tetapi masih belum menunjukkan kemajuan. Yang ada, dia terus mendapati komplainan dari customer yang merasa tak cocok dengan produk yang dia jual.Hatinya makin sakit, saat melihat kaleng susu bubuk Gibran tersisa kurang dari seperempatnya.Seiring dengan kesulitan yang membelit, godaan pun makin sering menerpa dirinya. Pak RT yang saat ini mencalonkan diri jadi anggota legislatif itu terang-terangan mencoba menjadikannya simpanan dengan janji uang bulanan hingga 15 juta. Alasan menagih iuran kebersihan dan keamanan RT dijadikan dalih oleh pria itu menemuinya di rumah. Padahal selama ini yang menagih bukan dia, tapi petugas keamanan yang dipekerjakan oleh warga.“Nanti…kalau Abang terpilih jadi Anggota Dewan, bukan hanya 15 juta, 25 juta kukasih,” janji Pak RT dengan mu
Pernikahan sederhana pun di gelar, Dea menolak saat Atiqah mau merayakannya, dia sangat menjaga perasaan Atigah yang hamil tua ini. Baginya Atiqah tetap ‘Ratu’ dalam rumah tangga mereka.Termasuk menolak bulan madu kemanapun dengan Aldi.“Dirumah saja Bang, bisa-bisa Abang lah atur kapan mau gauli Dea,” bisik Dea hingga Aldi tersenyum mengiyakan, sekaligus salut dengan istri keduanya ini.Usai menikah, Aldi yang di minta Atiqah mendatangi kamar Dea garuk-garuk kepala, karena si gemoy Kimberly ternyata selama ini selalu minta ditemani tidur ibu sambungnya ini.Si bungsu yang bentar lagi akan diambil alih posisinya oleh adiknya yang segera lahir memang kolokan.Sampai seminggu usai menikah, Aldi dan Dea belum juga belah duren, Atiqah yang tahu itu tertawa dan sarankan keduanya ke apartemen atau ke hotel bulan madunya.Apalagi Atiqah sudah tak kasih jatah lagi, karena dokter masih melarang keduanya berhubungan, untuk jaga kandungannya.Hingga Aldi yang sudah naik spanning, akhirnya dapat
“Ja-jangan Bang, nanti kebla-blasan,” terdengar suara Dea gemetaran. Antara suka dan takut melanda hatinya.“Maaf…!” Aldi pun kini duduk tenang lagi di setirannya, keduanya sama-sama membisu, namun suara hati tak bisa bohong. Dea sangat bahagia..!Tapi, akal sehat Dea langsung jalan, pria di dekatnya ini pria…beristri dan punya 3 anak! Diapun sudah anggap Atiqah kakaknya dan dekat dengan Nissa, Dilan dan Kimberly. Masa iya dia nekat jadi pelakor?“Dea…seandainya Abang ambil kamu istri, maukah kamu menerimanya?” Kini Aldi tanpa aling-aling ajukan lamaran ke Dea.Mata Dea langsung terbelalak, ini benar-benar diluar nurul baginya. Pria yang diam-diam dia sukai dan kagumi saat ini, di tengah jalan yang macet, justru melamarnya jadi istri kedua!“Bang, j-jangan….bagaimana kalau ka Atiqah tahu, kasian beliau, mana hamil tua lagi!” ceplos Dea, untuk redakan hatinya yang kebingungan.“Justru yang meminta aku melamarmu dia sendiri…!” sahut Aldi kalem. Lagi-lagi ucapan ini membuat Dea terbelal
Semenjak hamil anak kedua, Atiqah harus membatasi berhubungan dengan suaminya, dokter melarang keduanya terlalu sering kumpul.“Kandungan yang kedua ini agak rentan, jadi harus di jaga benar-benar apalagi di usia ibu begini,” kata dokter kandungan langganan keduanya beri peringatan. Mau tak mau Atiqah pun kadang kasian dengan Aldi, yang terlihat menahan libidonya saat mereka bersama. Karena tak bisa lagi bergaya ‘liar’ seperti kebiasan mereka saat bercinta.Kini Atiqah sudah menerima Nissa sebagai anak sulung dalam keluarga mereka, Atiqah juga sudah kenal dengan Dea, yang di tampung sementara, untuk hilangkan trauma di tempat asalnya [Makasar].Nissa dan Dea yang sering dipanggilya ‘Kak Dea’ makin akrab tentu saja tak pernah menduga, kalau Aldi bukan pria sembarangan.Nissa yang semula agak ‘ragu’ dengan Aldi, kini bangga tak terkira, ayah kandungnya, selain tampan juga seorang crazy rich.Apalagi setelah dia kenal dua adiknya, Dilan dan Kimberly yang langsung cocok dengannya, belu
Ditemani Aldi, Dea menjenguk Marsha yang kini koma di rumah sakit, sepintas Dea dan Aldi sudah paham, agaknya sulit bagi Marsha sembuh.Kondisi Marsha makin memprihatinkan dari hari ke hari, dokter sudah berkali-kali lakukan berbagai upaya, untuk selamatkan Marsha.Namun kondisinya tak tak banyak perubahan.“Mabuk akibat alkohol ditambah cekikan yang mematikan penyebabnya,” kata dokter yang merawat Marsha menjelaskan ke Aldi dan Dea, yang saat ini menjenguknya, ini yang ke 3 kalinya.Tiba-tiba datang seorang perawat dengan tergopoh-gopoh. “Dok pasien sadar, tapi kondisinya makin menurun!” seru seorang perawat.Lewat kaca Aldi dan Dea melihat Marsha yang kembali di beri pertolongan darura. Bahkan dokter sampai menggunakan alat kejut jantung untuk memberikan pertolongan pada Marsha.Dokter lalu beri kode pada perawat, seakan minta Aldi dan Dea masuk ke ruangan perawatan ini. Sepertinya dokter sudah merasa, Marsha sulit tertolong.“Pak, kayaknya ibu Marsha mau menyampaikan sebuat pesan,
Aldi kini sudah di jalan raya dan ikuti kemana mobil Marsha dan teman prianya meluncur. Tapi Aldi merasa aneh, kenapa keduanya terlihat bertengkar di dalam mobil tersebut.Itu terlihat dari siluet kaca mobil keduanya, sehingga Aldi heran sendiri, apa yang mereka pertengkarkan.Tiba-tiba di sebuah jalan yang sepi, mobil tersebut berhenti dan tak lama kemudian Aldi kaget bukan main, saat melihat tubuh Marsha yang setengah mabuk di dorong keluar dari mobil tersebut.Dan si teman prianya tadi tancap gas meninggalkan Marsaha begitu saja di sisi jalan.Aldi langsung pinggirkan mobilnya dan dia kaget bukan main, Marsha pingsan dan lehernya seperti baru tercekik.Aldi buru-buru angkat tubuh Marsha dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Dia tak paham apa masalahnya, hingga Marsha dan teman lelakinya itu bertengkar hebat dan Marsha kini kritis akibat cekikan tersebut, sampai berbusa mulutnya.Pertolongan darurat pun diberikan saat sampai di IGD, Aldi langsung kontaknya temannya di Polda dan
Penasaran siapa istri mas Bram sebelumnya, suami dokter Athalia, Aldi pun mulai selidiki wanita itu, benarkah terlibat dalam kecelakaan maut bekas kekasihnya itu.Aldi pun sementara titip Nissa ke bibinya, dia hanya beralasan ada yang di urus di kantornya.“Nanti setelah urusan papa beres, kamu ikut papa ke Jakarta dan tinggal dengan mama dan adik-adikmu yaa?” Aldi bujuk anak sulungnya ini, Nissa pun mengangguk.Hubungan keduanya cepat akrab, selain ada hubungan darah, Nissa yang kini berusia 10 tahun jelang 11 tahun mulai paham soal masalalu mama nya dan ayah kandungnya ini.Dia malah tak sabaran ingin jumpa kedua saudaranya serta ibu sambungnya. Aldi pun plong, dia mulai selidiki mantan istri mas Bram, jiwa petualangannya bangkit saat tahu kematian Athalia dan Mas Bram tak wajar.Tak sulit bagi Aldi ketahui di mana alamat wanita yang pernah jadi istri Mas Bram tersebut.“Wanita ini bernama Marsha, profesinya selebgram, dia suka dugem, inilah yang bikin Mas Bram dulu menceraikannya,
Aldi menatap gundukan tanah merah, jasad dokter Athalia baru saja dimakamkan berdampingan dengan mendiang suaminya, yang tewas di tempat kejadian kecelakaan.Mobil mereka menghantam sebuah truk tronton, Aldi sudah melihat kondisi mobil yang ringsek berat di kantor Polres setempat.Dia sempat memejamkan mata, karena mobil SUV yang rusak berat ini ternyata pemberiannya dahulu buat Athalia.“Maafkan aku Athalia…mobil ini justru bawa celaka buatmu dan suamimu!” batin Aldi sambil hela nafas panjang, sekaligus menatap pilu Nissa yang menangisi kepergian ibunda dan ayah sambungnya.Nissa terus meratapi kepergian Athalia yang tragis, Aldi pun tak tega meninggalkan gadis kecil ini, yang dikatakan Athalia anaknya, darah dagingnya bersama dokter cantik tersebut.Masih terngiang ditelinganya, di saat terakhir di rumah sakit Athalia bilang, setelah berpisah dengan Aldi dia hamil Nissa.“Pantas…wajahnya mirip sekali dengan Kimberly…ternyata Nissa kakaknya sendiri, juga kakaknya Dilan beda ibu…!” pi
Setelah puas berlibur di vila mewah ini, keluarga besar Harnady kembali ke Jakarta. Aldi langsung boyong anak-anak dan istrinya ke rumah mewah yang hampir 3 tahunan ini tak pernah ia tempati.Atiqah ternyata masih subur di usia 39 tahunan, setelah 3 bulan, wanita cantik ini kembali muntah-muntah.Setelah di bawa ke dokter, Dilan dan Kimberly bersuka cita, mereka bakalan punya adik baru. Atiqah ternyata hamil lagi anak kedua setelah Kimberly.Hamil di usia rentan membuat Aldi ekstra jaga kesehatan Atiqah. Dia tak mau kenapa-kenapa dengan istrinya, yang beda usia 9 tahun dengannya.Kebahagiaan menaungi keluarga kecil ini.Tapi perjalanan waktu itu ada siang dan malam, ada sedih ada bahagia, demikianlah semua itu datang silih berganti.Dan…Aldi punya masalalu yang harus dia tuntaskan.Suatu hari Aldi harus ke Makasar, untuk meninjau anak perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan emas dan kini sudah diserahkan Gibran untuk Aldi kelola di sana.Dia dapat kabar ada insiden yang mengak
Dilan hanya terdiam saat Atiqah menjelaskan pelan-pelan, kalau selama ini papanya tidak pernah meninggalkan mereka. Justru Atiqah-lah yang meninggalkan ayahnya.“Jadi mama donk yang salah, bukan papa?” sahut Dilan, Atiqah pun mengangguk dan bilang dulu itu ada kesalah pahaman.“Nanti kalau Dilan dah gede, paham apa itu kesalah pahamannya yaah, sekarang Dilan harus temui papa dan harus segera minta maaf. Kasian papa kamu sejak kemarin ingin meluk Dilan…masa nggak mau di peluk papa seperti adik Kim?”Dilan pun melihat di kejauhan papanya asyik ajarin Kimberly main golf.Dengan perlahan Dilan mendekati ayahnya dan Kimberly yang asyik di ajari main golf. Kimberly agaknya menyukai olahraga ‘mewah’ ini dan Aldi dengan senang hati ajari gadis cantiknya ini.Aldi melirik anaknya yang terlihat ragu mendekatinya. Namun Aldi paham, sebagai orang tua, dia harus mendahului sapa anaknya. Dilan masih rada malu, karena bersikap sinis dengan ayahnya ini.“Kamu mau main golf juga Dilan?” tanya Aldi sam