1,5 Tahun kemudian….
Hari ini kepala Rachel mumet tak terkira. Sejak pagi, Gibran anaknya lebih rewel dari biasanya.
Tubuh bocah tersebut tak demam, tak juga terlihat popoknya penuh, atau lapar. Rachel pusing, sebab dia kini sedang dikejar deadline menyelesaikan skripsinya.
“Gibran, sebenarnya kamu kenapa sih, Nak?” Rachel menggendong dan menepuk-nepuk lembut punggung sang anak, tapi Gibran tetap tak berhenti menangis
“Atitt…atitttt!” Jari mungil Gibran menunjuk ke wajahnya, Rachel paksa membuka mulut anaknya, terlihat tanda merah, seperti sariawan.
Tak tega sang anak terus merengek, Rachel pun akhirnya bergegas menuju ke sebuah klinik anak dengan motornya.
Tiba di klinik, gestur panik wanita satu anak itu sungguh terlihat. Sebab, tubuh Gibran yang semula adem itu mulai naik suhunya. Kedatangannya di klinik itu pun mencuri perhatian pengunjung.
Bahkan, tanpa Rachel sadari, ada mata seorang pria tampan setengah tua tengah memandangnya.
Rachel duduk menunggu antrean untuk memeriksakan Gibran. Kerewelan Gibran membuat Rachel repot menenangkan anaknya ini, dia tak sadar didekati pria ini.
“Rachel?” Pria tersebut langsung mengucapkan namanya. Matanya menatap wanita itu, bergantian dengan anak yang di gendongannya yang sedari tadi tak henti mengerang sakit. “Ini anak kamu?”
‘Suara itu…’
Sejenak, Rachel merasa de javu. Suara itu terdengar jelas. Suara yang tak pernah Rachel lupakan seumur hidup.
Agak ragu, Rachel pun menoleh ke arah suara tersebut. Matanya langsung memelotot melihat pria yang memang masih diingatnya itu telah berdiri kokoh.
“Maaf Om, mungkin Om salah orang!” ceplos Rachel, dia sekuat tenaga menahan debaran hatinya.
Beruntung, tak lama perawat memanggil nama sang anak untuk diperiksa.
“Antrean nomor 21, Anak Gibran.”
Tanpa bicara, Rachel buru-buru masuk ke ruang periksa. Dia tanpa sadar menjatuhkan tasnya yang tadi dia bawa. Barang itulah yang tak lepas dari pengamatan pria itu, yang langsung mengambilnya.
Selama anaknya diperiksa dokter anak, pikiran Rachel tak lepas dari pria itu, Tommy. Entah bagaimana caranya, mereka bisa bertemu secara kebetulan di sini, di sebuah klinik kecil, saat situasinya tak begitu bagus.
‘Mau ngapaian dia ke sini? Kenapa juga harus bertemu lagi?’ keluh Rachel. Susah payah lebih dari 2 tahun dia bertahan dan berusaha meninggalkan pria itu, tetapi usahanya itu kini hancur karena kemunculan Tommy di klinik ini.
Setelah pemeriksaan, Gibran ternyata memang hanya sariawan. Rasa perih dan tak nyaman di mulut lah yang disinyalir membuat Gibran rewel. Setelah diberi resep obat untuk pereda nyeri, Rachel pun keluar dari ruang periksa dokter bersama sang anak.
Betapa terkejutnya wanita itu, saat melihat Tommy masih berada di tempat tadi dan… memegang tas kecil berisi keperluan Gibran.
“Rachel… boleh aku bicara?” suara Tommy berbeda 180 derajat dari saat dia bertemu di kantor mewah pria ini dua tahunan yang lalu. Tak lagi angkuh dan sinis.
“M-maaf Om, saya buru-buru!” Tanpa berani menoleh wajah Tommy, Rachel langsung bergegas.
“Rachel… ini tas anak kamu.”
Rachel terdiam, tetapi tangan wanita itu terulur guna mengambil tas tersebut tanpa menoleh ke wajah Tommy. Beruntung, urusan obat cepat, jadi dia tak perlu berlama-lama menghadapi kekakuan ini.
Bagaimana Rachel menggendong Gibran, juga bagaimana wanita itu terlihat kerepotan membawa sang anak di gendongan dengan motor pun tak luput dari pandangan Tommy.
Pria itu mengetatkan rahang. Lalu, ketika motor Rachel sudah melaju meninggalkan klinik, Tommy pun bergegas menuju mobilnya dan meminta sang sopir untuk membuntuti Rachel.
“Ikuti motor tadi!” Melihat si sopir bingung sendiri, Tommy pun menambahkan keteragan, “Yang tadi bawa bayi naik motor matic hitam! Cepat!”
Beruntung, jalanan Bandung hari ini agak lengang. Ditambah, laju motor Rachel yang tak cepat itu memudahkan mobil mewah Tommy mengejar posisi wanita itu.
Dia dan sopirnya terus menjaga jarak, tak terlalu dekat dengan motor Rachel, hingga mampu ikuti motor Rachel masuk ke kompleks perumahannya.
Mata elang pria itu terus menunggu agak jauh dari tempat motor matic Rachel terparkir. Dia pun tak langsung memutuskan turun, tetapi melihat situasi lebih jauh.
Saat dirasa sudah tidak terdengar lagi rengekan Gibran, juga tak terlihat bayangan Rachel yang hilir-mudik di dalam rumahnya, pria itu pun bergegas turun.
**
“Loh, dari tadi pintunya belum dikunci, toh?” Rachel menggumam sendiri. Dia yang sungguh kerepotan menenangkan Gibran, sampai lupa menutup pintunya sedari tadi.
Namun, saat akan menutup pintu rumahnya, Rachel tertegun. Tommy Harnady sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Mau apa Om ke sini?” Dia berkata dengan menahan degupan di dada. “Aku kan, sudah bilang … aku bukan Rachel yang Om maksud!”
Namun agaknya, keberanian Rachel itu bukan hal yang akan menyurutkan keinginan Tommy. Terbukti, alih-alih pergi dari rumahnya, pria itu, dengan lengan kokohnya malah mendekat.
Hal itu membuat Rachel ikut mundur, dan memberikan akses masuk untuk Tommy ke rumahnya. Bahkan, tanpa menunggu persetujuan si pemilik rumah, kini pria itu telah duduk dengan gaya angkuhnya di kursi tamu mungil rumah kecilnya.
“Mau kamu operasi plastik sekalipun, kamu tidak akan pernah bisa mengelabuiku, Rachel.” Kali ini, suara Tommy kembali ke gaya aslinya. Dingin, angkuh dan tak terbantahkan.
Rachel mendadak terdiam. Dia kehilangan alibi untuk mengelak. Tak lama, tetapi wanita itu kembali sadar, jika pertemuannya, juga masuknya Tommy ke rumah ini adalah sebuah kesalahan.
“Lebih baik Om pergi dari rumahku sekarang. Om bukan siapa-siapanya aku!” kembali Rachel sengaja bersuara lantang, walaupun ini bertentangan dengan hatinya.
“Baru kali ini aku diusir seorang wanita.” Tommy malah makin memperlebar senyumnya.
Tubuh Rachel mulai bergetar saat melihat senyum pria itu yang memiliki seribu arti, tetapi dia tak bisa menyimpulkan … apa arti dominan dari senyuman yang ditujukan untuknya tadi.
“Kalau Om nggak mau pergi, aku akan berteriak supaya warga kompleks berdatangan ke sini!”
“Kamu menantangku?” ujar Tommy santai. Tetapi pancaran mata pria itu menggelap, seolah tersentil dengan kekukuhan Rachel untuk mengusirnya. “Silakan panggil mereka. Aku akan bilang kamu istriku yang telah lama hilang.”
Setelahnya, pria itu semakin berani. Tak lagi duduk, Tommy kini berdiri dan berjalan menuju sebuah kamar di mana Gibran berada.
Rachel bak patung diam tak berani menegur. Dia begitu takut pada aura Tommy yang begitu gelap.
Entah apa yang dilakukan Tommy di dalam, tetapi tak lama pria itu sudah kembali lagi ke ruang tamu.
“Om mau mengambil uang 250 juta yang pernah Om kasih?” Kehabisan akal, pikiran Rachel buntu memikirkan tujuan Tommy sampai menguntitnya ke sini. “Rachel akan kembalikan, tapi kasih aku waktu.”
Nekad, tentu saja. Rachel kehabisan dalih untuk mengusir Tommy. Dia hanya tak ingin warga yang sudah mulai menerimanya di sini kembali mengecap buruk dirinya yang tak bersuami.
Apa yang akan dikatakan warga, jika melihat Rachel yang mengaku janda yang kini beranak satu, justru kedapatan seorang pria di rumahnya dan hanya berdua?
Suara tangisan Gibran terdengar meraung-raung dari dalam kamar. Pikiran Rachel mulai bercabang, antara mengusir Tommy atau tak acuh dan langsung menghampiri sang anak.
Beruntung, Rachel yang tadinya berpikir Tommy akan terus mendebat, ternyata salah. Rahang pria itu yang mengetat justru terlihat mengendur sekarang.
“Baiklah jika itu maumu. Aku akan datang kembali kalau begitu.”
Sayang, rupanya di luar rumah Rachel sudah terdapat Bu Rahmi, tetangganya yang super kepo itu. Wanita itu telah melihat siluet Tommy dan Rachel yang terlihat seperti seorang tengah berdebat.
Maka, ketika Tommy melenggang keluar rumah Rachel, mulut biang gosip di komplek itu pun tak tahan untuk mengonfirmasi sendiri.
Wanita itu memelotot tatkala Tommy mengakui dengan tegas jika dia adalah ayahnya Gibran. Lagi, wanita itu pun buru-buru masuk ke rumah Rachel.
Terlihat, Rachel tengah menggendong sang anak. Rahmi pun bertanya langsung.
“Rachel, jadi … itu ya, bapaknya Gibran?” Bu Rahmi menatap Rachel.
“....”
Pandangan yang kosong, helaan napas panjang, juga tak ada sahutan yang keluar dari bibir Rachel lantas disimpulkan sebagai ‘ya’ oleh Rahmi.
“Ganteng sih, kelihatannya juga kaya. Tapi gaya-nya itu loh!” ceplos Bu Rahmi. Wanita itu pun langsung mengambil Gibran dari gendongan dan berujar kembali, “Kamu jangan kayak bapakmu itu, ya. Sombong, banyak gaya!”
Saat Rahmi dan Rachel terus membicarakan–hanya Rahmi yang mengoceh soal betapa sosok Tommy yang dilihatnya, ternyata bocah bernama Gibran mengambil kesimpulan dengan berceloteh, “Papah…papah…!”
Mata Rachel mengerjap. Dia kaget mendengar sang anak berceloteh demikian, padahal dia tak pernah mengajarkan atau memperkenalkan sosok papa untuknya.
“Iya sayang, Papa kamu tadi datang ke sini, kamunya lagi tidur!” Bu Rahmi yang meski julid, tetapi sudah menganggap Gibran seperti cucunya sendiri pun menyahut dengan gemas.
Namun, sayang … kegemasan itu lama-lama justru membuat Rachel kesal. Tak sadar, wanita itu pun berujar dengan penuh kejengkelan, hingga membuat Bu Rahmi melongo.
“Jangan sebut Papa lagi! Dia sudah pergi!”
Semenjak bertemu Tommy secara tak terduga di klinik itu, Rachel mulai harap-harap cemas. Ia takut Tommy benar-benar datang lagi ke rumah.Tapi ketakutan Rachel tak terbukti!Entah kenapa sudah lebih satu bulan Tommy tak pernah nongol lagi ke rumahnya.“Semoga saja dia tak datang lagi. Bikin jantungku mau copot saja!” sungut Rachel sambil menatap Gibran dalam pelukannya.Ya, ada rasa tak rela ketika anak semata wayangnya itu memanggil Tommy ‘papa’, padahal selama ini pria itu tak pernah membersamai mereka. Namun, dalam hati wanita itu … ia pun malang melihat sang anak yang kurang kasih sayang–atau bahkan tak dapat perhatian dari sosok ayah.Kendati demikian, Rachel bersyukur dengan keabsenan Tommy beberapa bulan ini. Karena dengan begitu, ia pun bisa selesaikan skripsinya dengan lancar. Tapi Rachel sering terdiam, bahkan mood-nya menjadi begitu tak stabil. Ia mudah berubah jengkel. Gara-gara Gibran makin sering saja sebut ‘papah-papah’.“Kenapa anak ini begitu lancar berucap ‘Papa’?”
‘Ya Tuhan … ternyata sulit!’Malam hari, Rachel mengeluh kala melihat saldo di rekeningnya hanya tersisa tiga puluh ribu. Memulai usaha nyatanya tak semudah yang dia kira. Usahanya berjualan skin care sudah berjalan, tetapi masih belum menunjukkan kemajuan. Yang ada, dia terus mendapati komplainan dari customer yang merasa tak cocok dengan produk yang dia jual.Hatinya makin sakit, saat melihat kaleng susu bubuk Gibran tersisa kurang dari seperempatnya.Seiring dengan kesulitan yang membelit, godaan pun makin sering menerpa dirinya. Pak RT yang saat ini mencalonkan diri jadi anggota legislatif itu terang-terangan mencoba menjadikannya simpanan dengan janji uang bulanan hingga 15 juta. Alasan menagih iuran kebersihan dan keamanan RT dijadikan dalih oleh pria itu menemuinya di rumah. Padahal selama ini yang menagih bukan dia, tapi petugas keamanan yang dipekerjakan oleh warga.“Nanti…kalau Abang terpilih jadi Anggota Dewan, bukan hanya 15 juta, 25 juta kukasih,” janji Pak RT dengan mu
“Rachel, jadi … itu papanya Gibran?”Sejak tadi bu Sumi menahan mulutnya. Namun, setelah mendengar ucapan Rahmi tadi … dia tak bisa tinggal diam lagi.Dengan lemah, Rachel mengangguk.“Kenapa kamu tak minta tanggung jawabnya?” Bu Sumi menatap tajam wajah anaknya.“Sudahlah bu. Persoalannya tidak sesederhana itu,” ucapnya sembari menghela napas panjang. “Rachel mohon sama Ibu, jangan desak Rachel untuk minta pertanggungjawabannya.”Akhirnya, Sumi mengalah. Dia paham, anaknya mungkin memiliki pertimbangan lain dengan tidak meminta pria tersebut bertanggung jawab.“Gibran, sini, Nak. Nih, susu kamu sudah ada.” Meninggalkan Rachel yang kukuh pada pendiriannya, Sumi memilih untuk memberitahu kabar bahagia untuk sang cucu. “Gibran mau susu?”Bocah itu langsung melonjak kegirangan! “Yeay! Susu Giblan banyak!!”Melihat Gibran kesenangan begitu, Rachel yang tadinya berniat mengembalikan seluruh kotak susu dan cek itu pun menjadi urung. Biarlah, dia anggap saja susu-susu itu hadiah untuk anakn
Awalnya, bocah berusia 2 tahun itu bingung mendengar sebutan Papa yang keluar dari bibir Tommy. Namun, karena kediaman Rachel, juga Tommy yang terus mendekatinya … Gibran pun luluh.“Ini,” ujar bocah itu sembari memberikan mainan berupa mobil-mobilan sport.“Kamu suka mobil ini?” Tommy bertanya dengan suara lembut. Gibran mengangguk dengan wajah semringah. “Papa punya mobil ini. Kamu mau naik?” Gibran langsung melonjak kegirangan seraya bertepuk tangan. “Yeay! Aku mau! Aku mau!” katanya berulang kali.Seketika, Rachel mengerjap, kaget. Ini pertama kalinya dia melihat Gibran sebahagia itu dengan seorang pria. Terlebih, pria itu termasuk asing–baru ditemuinya.Sejenak, wanita itu terlena melihat pemandangan hangat yang tersaji di hadapannya. Sosok Tommy yang angkuh, seketika berubah lembut kala di depan Gibran. Pria itu juga terlihat begitu sabar menyahuti segala celoteh bocah kecil itu yang serba ingin tahu. Namun, ketika tangan mungil itu menjabat tangan Tommy dan mereka bersiap kel
Sesaat Rachel membeku, menikah? Bagaimana bisa?Bagi Rachel, dia hanya ingin menikah dengan pria yang dia cinta. Namun pada Tommy, meski pikirannya sudah beberapa kali mengkhianati, dia sadar kalau itu hanyalah kekaguman semata. Rachel mengempaskan tangannya dari tangan Tommy, lalu berlari ke dalam rumah. Dia mengurung diri di kamar dengan perasaan bergejolak di hatinya.Sebenarnya, sedikit sudut hati Rachel ingin berkata ya. Hanya saja, sebagian besar dirinya yang lain menolak, karena takut dianggap wanita murahan yang begitu mudah ditaklukkan.“Papa, kenapa mama lali, Papa nakal ya..?” suara Gibran memecah lamunan Tommy.Netra Tommy yang semula tidak putus menatap arah Rachel pergi, kini menatap sang putra yang berdiri mendongak di hadapan.Tommy membelai wajah Gibran. “Tidak sayang, Papa tak nakal. Mama kamu hanya marah, soalnya Papa jarang ke sini!” siasat jitu mulai Tommy lancarkan pada Gibran.“Kenapa?” dengan wajah lugunya, Gibran menatap wajah ayah kandungnya ini.“Papah sibu
Sesampainya di Jakarta, Rachel langsung fokus bekerja, sementara Tommy entah pergi ke mana. Mata Rachel sungguh berbinar bahagia kala melihat nominal kontrak yang disodorkan padanya sebagai brand ambassador produk kecantikan ini.Namun, tangan Rachel yang sudah siap menandatangani perjanjian itu mendadak berhenti bergerak, dan melayang di udara. Hal itu terjadi saat dia melihat owner produk–Tante Willy bangkit guna menyambut seorang tamu pria bertubuh besar. “Halo Om. Wah, tumben nih berkunjung ke sini?!” Tante Willy ini terlihat begitu akrab, bahkan bercipika cipiki dengan pria tersebut.“Rachel ini kenalkan Om Olly, beliau ini pemilik saham mayoritas perusahaan saya. Suatu kehormatan beliau mau datang ke kantor hari ini.” Tante Willy tidak melihat perubahan wajah Rachel yang memucat setelahnya. “Om, ini loh calon brand ambassador kita, Rachel. Dia ini hebat, Om, sebab dalam sebulan penjualannya luar biasa!” dengan mulut berbusa-busa sang owner ini sebutkan prestasi Rachel ke pria
Tommy menatap bengis wajah kuyu Rachel usai dia berhasil membawa wanita itu keluar dari pub. Kini, mereka ada di sebuah restoran, sebab Tommy menuntut penjelasan.“Kalau kamu mau menerima tawaranku tempo hari, kamu mungkin sudah enak-enakan tidur di rumah bersama Gibran dan menjadi wanita terhormat sebagai nyonya Harnady, Rachel!” Rahang pria itu mengetat. “Setan pun akan mikir 100X untuk ganggu kamu, apalagi cuman si tambun itu!”Intonasi suara Tommy sangat mengintimidasi Rachel. Namun, Rachel yang tidak terima disalahkan itu justru tersinggung.Dia menolak tawaran pernikahan itu, merupakan haknya. Lain hal dengan tadi … Rachel berteriak minta tolong pada Tommy. Bukankah pria itu berkewajiban menolongnya sebagai korban?“Sudah cukup ceramahnya, sekarang antarkan aku balik ke hotel, Om.”Rahang Tommy mengetat. Dia kehabisan kata-kata, melihat kepala batunya Rachel yang tak mau tunduk dengannya.“Aku bukan sopir kamu.” Keangkuhan Tommy pun timbul lagi. Ego lelakinya tersentil karena be
“Aku tahu. Lepas tanganmu, ini berbahaya buat kita.” Akhirnya, pria itu bersuara setelah beberapa detik mencoba menenangkan degup jantungnya sendiri.Rachel refleks menarik mundur tangannya, dan meminta maaf. Seperti Tommy, dia pun tidak menyadari tindakannya barusan. Dan ketika dia sadar telah menyentuh lengan kekar pria itu, Rachel merasa ada kupu-kupu di perutnya yang menggelitik.“Tolong, antar aku ke hotel.”Sisa perjalanan itu akhirnya dihabiskan dengan keterdiaman mereka. Tommy dan Rachel sama-sama sibuk pada pikiran mereka masing-masing.Sesampainya di hotel, Rachel bermaksud langsung keluar dari mobil sport mewah itu usai mengucapkan terima kasih. Tapi lengan kanannya di tahan Tommy.“Rachel, mengenai tawaranku padamu–” “Maaf Om… Rachel belum ada niat menikah.”“Aku bisa menunggumu. Hanya saja, jangan terlalu lama.” Tommy bukan pria yang mudah menyerah. Hanya saja, tentu dengan perbedaan usia mereka yang cukup jauh … waktu adalah penghalang terberat mereka. Semakin lama Ra